Sabtu, 14 Mei 2011

Macau, Bukan Mak Kau (1)

Pusat sejarah Macau mencakup delapan alun-alun yang dipenuhi bangunan kolonial klasik dan oriental.

Jumat 6 Mei lalu, saya bersama bos dan kawan sekantor mengunjungi Macau. Banyak hal menarik yang dijumpai di daerah bekas koloni Portugis ini. Sebelum ke Macau, terlebih dulu transit di Singapura, untuk selanjutnya terbang selama 3,5 jam ke Hong Kong. dari sana, masih menuju pelabuhan feri selama 50 menit ke pulau Taipa, pelabuhan Macau.

Tiketnya sekitar 134 dolar Hong Kong. Berbeda dengan fery ada umumnya, fery yang digunakan ke Macau ini jenis hidrofoil, di sana disebut turbojet, sedangkan di Indonesia sudah lama dikenal dengan jetfoil. Hidrofoil terkenal sebagai kapal angkut tercepat dengan kecepatan 114 km/jam!

Saat melaju hidrofoil bisa terbang lebih 1 meter dari permukaan air. Penjelasannya seperti ini: pada penyangga di bawah lambung kapal, dipasang bagian seperti sayap. Saat meningkatkan kecepatannya, hidrofoil memproduksi gaya angkat sehingga lambungnya terangkat dan keluar dari air. Ini menyebabkan pengurangan gesekan, sehingga meningkatkan kecepatan.

Selain itu, aman dari efek ombak, sehingga lebih stabil di laut dan lebih nyaman bagi penumpang. Mulanya, hidrofoil menggunakan sayap atau foil berbentuk-U. Namun kini, Hidrofoil menggunakan foil berbentuk-T yang keseluruhannya berada di bawah air.

Sekitar tahun 1995-an, saya sering naik hidrofoil (jetfoil) jurusan Bawean-Gresik. Angkuitan ini dikelola ASDP. Tapi sekarang sudah tak ada lagi. Perawatannya mahal, bila diteruskan bisa merugi. Namun hidrofoil yang beroperasi Hongkong-Macau ini dua kali lebih besar. Tempat duduknya lebih luas dan lapang, dengan menggunakan sistem nomor.

Macau adalah contoh kesuksesan prinsip Deng Xiaoping: “satu negara, dua sistem”. Kebijakan ini diluncurkan demi tercapainya persatuan dan reunifikasi China di bawah naungan Republik Rakyat China.

Satu negara yang dimaksud adalah RRC dengan pemerintah pusatnya di Beijing. Sedangkan dua sistem yang dimaksud adalah sistem sosialisme dengan kekuasaan terpusat di RRC dan kapitalisme serta demokrasi dalam tingkat berbeda di Hong Kong, Macau dan Taiwan.

Macau terletak 70 kilometer sebelah barat daya Hong Kong, dan 145 km dari Guangzhou. Macau sendiri saat ini merupakan daerah administrasi khusus RRC. Sebenarnya, pada tahun 1974, Macau akan dikembalikan lagi oleh Portugal ke China. Namun saat itu, ada beberapa syarat yang membikin China menolaknya. Hingga 25 tahun kemudian, atau tahun 1999, penyerahan bisa terlaksana.

Sama seperti Hong Kong, keluar masuk Macau harus melalui pintu imigrasi. Beijing menyerahkan semua otoritas pemerintahan dan otonomi luas, kecuali bidang pertahanan dan luar negeri.

Di bawah sistem ini, Macau menikmati pertumbuhan ekonomi yang cepat, keamanan publik, serta stabilitas sosial sejak serah terima pada Desember tahun 1999. Satu lagi, Macau juga punya bendera dan mata uang sendiri, bernama pataka (Macanese pataca). Meski begitu, dolar Hong Kong berlaku di sini, namun sebaliknya di Hong Kong tak ada yang mau menerima pataka.

Macau sendiri selama 4 abad menjadi koloni Protugis, terdiri dari tiga pulau kecil yaitu pulau Macau di utara, Taipa di tengah, dan Coloane di selatan. Ada tiga jembatan yang menghubungkan dari Taipa ke pulau Macau, yaitu jembatan Sai Van, jembatan Friendship, dan jembatan Macau Taipa.

Sepintas mirip Batam, Rempang, Galang yang disatukan dengan 7 jembatan. Bandara Macau terletak ”di tengah” laut, dekat pelabuhan Taipa.

Berdasarkan sejarahnya, Macau dulu dihuni para nelayan dari Fujian dan para petani dari Guangdong. Saat itu namanya Ou Mun, atau ”gerbang perdagangan”, karena berada di muara Pearl River di hilir Guangzhou (Kanton).

Pada zaman dulu kota pelabuhan merupakan bagian dari Jalan Sutra dengan kapal-kapal menaikkan muatan sutra dari sini menuju Roma.

Setelah Cina tidak lagi menjadi pusat perdagangan dunia, Guangzhou menjadi makmur dari usaha maritim dengan negara-negara Asia Tenggara, sehingga pengusaha lokal menyambut baik kedatangan pedagang-penjelajah Portugis. Apalagi setelah Jorge Alvares datang di selatan China pada tahun 1513, bertujuan mencari pos perdagangan yang sesuai untuk mereka.

Kali pertama penjelajah Portugis menginjakkan kaki di Ou Mun, di dekat pelabuhan tersebut ada sebuah kuil paling kuno, tempat Dewi A-Ma, dewi para pelaut, dipuja. Masyarakat menyebutnya Ma Kok Miu, artinya Kuil Ma. Sedangkan pendatang China menyebutnya A Ma Gao, artinya teluk A Ma. Kuil ini didirikan oleh Dinasti Ming sekitar tahun 600 Masehi.

Saat tiba di tempat ini, mereka ini bertanya pada penduduk lokal, apa nama daerah tersebut. Ada yang menjawab Ma Kok Miu ada yang menyebut A Ma Gao. Dari sinilah kemudian orang Portugis menyebut Macao.

Dengan izin penduduk Guangdong berbahasa Mandarin, Portugis mendirikan sebuah kota yang dalam waktu singkat menjadi pintu masuk perdagangan besar antara China, Jepang, India dan Eropa.

Hingga tahun 1557, Portugis kian massive membangun pos dagang, benteng lalu melakukan penataan kota, pusat keagamaan hingga budaya. Tak heran bila Macau menjelma menjadi kota Portugis.

Sebuah universitas Kristen didirikan, tepat di sebelah gereja yang kini disebut reruntuhan St Paul, di mana siswa-siswa seperti Matteo Ricci mempersiapkan diri untuk tugas mereka sebagai cendekiawan Kristen pada Imperial Court di Beijing.

Macau juga menjadi persimpangan yang sempurna sebagai tempat pertemuan antara budaya Timur dan Barat. Gereja Katolik Roma mengirimkan beberapa misionaris terbaiknya untuk melanjutkan tugas St. Francis Xavier (yang meninggal tak lama setelah melakukan banyak perubahan di Jepang).

Kemudian Macau resmi menjadi koloni Portugis pada 1887 dan membuat bahasa Portugal menjadi bahasa kedua di sini setelah China (Kanton). Hal ini tampak dari penanda jalan, toko, perkantoran dan sebagainya yang terawat hingga kini.

Yang menarik, gang-gang kecil di kota peninggalan Portugis ini, dibuat dari batu. Berdasar cerita, batu-batu tersebut diangkut langsung dari Portugis. Ada kebiasaan orang Portugis sebelum ke Timur, memenuhi kapalnya dengan batu. Selanjutnya batu tersebut diturunkan, lalu diganti rempah-rempah dan sebagainya.

Semua bangunan peninggalan Portugis masa silam ini, dapat dilihat di pusat sejarah Macau, yang mencakup delapan alun-alun yang dipenuhi bangunan kolonial klasik dan oriental. Salah satunya alun-alun Senado yang telah menjadi pusat Macau sejak awal, dan memainkan peranan sebagai tuan rumah bagi banyak acara publik.

Di daerah ini terdapat beberapa arsitektur terkemuka, seperti Sam Kai Vui Kun (Kuil Kuan Tai), Leal Senado, dan Holy House of Mercy. Kuil Kuan Tai terletak di lokasi bazaar Macau lama, pusat perdagangan yang sangat penting selama periode komersial China di Macau.

Ada juga alun-alun Barra yang bagian depannya dibangun dari mosaik Portugis. Ubinnya diletakkan dalam pola bergelombang yang mencerminkan aliran sungai. Di dalam alun-alun, inilah Kuil A-Ma, berada.

Selanjutnya alun-alun St Augustine yang menyatukan beberapa situs terkenal, termasuk Gereja St Augustine, Teater Dom Pedro V, Gereja St Joseph, dan Perpustakaan Sir Robert Ho Tung. Teater Dom Pedro V sendiri adalah teater bergaya barar pertama di China.

Kemudian Alun-alun Lilau, berarti ”mata air pegunungan,” dan ini digunakan sebagai sumber air utama di Macau. Di dalamnya ada menemukan gedung Mandarin dan barak Moor. Gedung Mandarin adalah tempat tinggal pemikir terkenal Tionghoa Guanying Zheng. Sedangkan barak Moor, dibangun arsitek asal Italia Cassuto.

Ada juga benteng Mout, benteng pertahanan militer yang bembentang seluas 10 ribu meter persegi, yang berdiri di sebelah reruntuhan gereja St Paul. Tempat ini memuat banyak meriam, barak-barak, sumur, dan koleksi amunisi serta pasokan untuk peperangan. Ada juga benteng Guia, dibangun antara tahun 1622 dan 1638.

Disebelahnya, berdiri mercusuar Guia, yang dibangun tahun 1865 dan merupakan mercusuar modern pertama di pantai China.

Dan yang terakhir, peninggalan Portugis paling terkenal di Macau adalah gereja St Paul (Sao Paulo). Awalnya bernama gereja Mater Dei. Dulunya merupakan gereja katolik terbesar di Asia yang dibangun 1582 – 1602, kini oleh UNESCO ditetapkan sebagai World Heritage.

Sekarang gereja ini hanya menyisakan dinding depannya saja, sisi lainnya hancur akibat kebakaran dan angin topan pada 1835. Kabarnya, kebekaran dipicu percikan api dari dapur. Semua musnah, termasuk perpustakan dengan koleksi ribuan buku kuno. Sekarang, yang tersisa hanya sebuah dinding depan.

Karena tinggal rerentuhannya saja, maka sisa gereja Santo Paul ini juga dikenal sebagai Ruinas de Sao Paulo, atau Ruins of St Paul’s Church, yang kini menjadi tujuan utama wisatawan di penjuru dunia ke Macau.

Di reruntuhan gereja ini, banyak wisatawan mengabadikan sisa bangunannya. Bahkan ada yang buka usaha foto prewedding dengan kostum khas Portugal. Tentu, semuanya tidak gratis. ***

Macau, Bukan Mak Kau (2)

Orang Amerika mengenal Macau sebagai Monako di Timur, sedangkan orang Eropa menyebut Las Vegas di Timur. Tampaknya julukan Las Vegas di Timur lebih tepat untuk Macau.

Lihatlah Macau kala malam. Semua bangunan, khususnya hotel, billboard, bahkan hingga gang sempit, ramai bertabur lampu indah, terang benderang, kerlap kerlip, berwarna warni. Semua ini membuat kota Macau kian gemerlap, berkilau oleh jutaan lampu. Sepintas mirip di Las Vegas Strip.

Cara yang indah menikmati terang benderangnya kota Macau ini, dari jembatan Sai Van. Dari sana, gemerlap lampu kian cantik terpantul air.

Yang paling indah, tentunya melihat lampu yang menghias hotel-hotel tempat arena judi (kasino), seolah menjadi penarik pengunjung, yang bagai laron, untuk mengadu nasib.

Macau memang satu-satunya kota di China yang dibolehkan membuka perjudian. Di sini ada 33 kasino besar yang bertebaran di mana-mana. Bahkan ada yang berdekatan dengan perguruan tinggi, Universidade de Macau.

Selain di hotel-hotel megah, judi juga dibuka di hotel-hotel menengah dan kecil. Seperti di hotel Grand View tempat kami menginap, dekat Tupac Square ini.

Saat tiba, Jumat (6/5) pukul 00.00 atau Sabtu dini hari, saya lihat sekumpulan pria wanita lansia asyik bermain judi kartu. Lokasinya di pojok, agak jauh dari tempat resepsionis dan hanya ditutup skertel (batas pemisah ruangan) dari kayu tipis.

”Dari perjudian inilah, Macau membangun kota moderen. Mulai jalan, jembatan, hingga gedung megah,” ujar Ester, warga Macau yang juga menjadi tour guide kami.

Yang lebih mengagumkan, menurut Ester, di Macau tak ada pengemis. Tapi bila pengemis tak ada, mengapa banyak copet? Bahkan di lapangan bawah reruntuhan Katedral St Paul, otoritas setempat sampai menempatkan TV LCD ukuran besar, hanya untuk mengingatkan agar bahaya copet.

”Pencopet itu bukan orang Macau. mereka datang dari China daratan,” jawab Ester.
Sebenarnya mereka sudah banyak yang tertangkap, namun saat dilepas mencopet lagi.
Begitu terus.

”Kalau tertangkap dikurung dua bulan. Bila kasusnya besar, sampai dihukum lebih satu tahun dan paspornya ditolak masuk Macau selama lima tahun,” jelasnya. Namun, tetap saja pencoleng itu bisa masuk Macau lagi. Caranya, bikin paspor baru, identitas baru. Maka, mulailah mencopet lagi.

Sekadar informasi, Ester sudah lanjut. Usia sekitar 80 tahun. Karena itu kami memanggilnya ama (nenek). Meski demikian, Ester masih enerjik dan lincah. Dia juga modis, dengan baju ungu dan celana kain hitam. Rambutnya yang memutih digelung ke atas.

Ester memperkenalkan diri dari lahir di Medan, Sumatera Utara. Dia hijrah ke China, bersama ribuan warga Tionghoa Indonesia, ketika G30S-PKI pecah pada tahun 1965, sehingga pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan China. Di masa itu, semua yang bernuansa China dilarang. Bahkan sampai berujung pembunuhan 42 ribu warga Tionghoa.

Inilah yang memicu protes orang Tionghoa hingga banyak di antara mereka kembali ke China daratan. Termasuk Ester yang kala itu masih belia. Namun, ternyata hidup di China saat itu juga tak begitu nyaman.

Karena saat itu, tepatnya 16 Mei 1966 pemimpin China Mao Tse Tung, menerapkan gerakan revolusi terbesar di China bahkan di dunia, yang dikenal sebagai The Great Proletarian Cultural Revolution atau Revolusi Kebudayaan.

Dampaknya, banyak sektor ekonomi terhenti. Setelah 10 tahun Revolusi Budaya berlangsung, sistem pendidikan di China perlahan hancur. Ribuan kaum intelektual dikirim ke kamp buruh. Mereka yang bertahan mengatakan hampir setiap orang yang memiliki keahlian di atas rata-rata menjadi target ”perjuangan” politik.

Indonesian-Chinese Culture Study Group menulis, banyak yang melapor hak asasi mereka dirampas. Jutaan orang dipindahkan paksa. Kaum muda di kota dipaksa tinggal di desa dan dipaksa mengabaikan segala bentuk standar pendidikan untuk mengajarkan propaganda partai. Ada juga yang dipaksa bertani.

Hal ini masih terekam perih dalam ingatan Akin (60), tour guide kami di Hong Kong. Kang Akin, begitu kami menyapanya karena lahir di Jawa Barat, mengaku tak tahan mengalami penderitaan akibat Revolusi Kebudayaan. Apalagi saat dipaksa bertani.

Maklumlah, Mao menjejalkan aneka slogan. Para petani harus ”menggali lebih dalam” untuk meningkatkan hasil. ”Karena itu, saya kabur berenang ke Hong Kong,” ujarnya.

Langkah Akin ini juga dilakukan warga Tionghoa asal Indonesia yang lain. Di antaranya Ester, yang juga pindah (kabur) ke Hong Kong dan kemudian menetap di Macau. Kini, Ester sangat enjoy menikmati hari tuanya.

”Orang tua (lansia, red) di sini tiap bulan dapat santunan dari pemerintah,” katanya. Bahkan, hasil kasino ini juga disumbangkan untuk pendidikan, dan kesejahteraan. Di sini, anak-anak dapat sekolah gratis selama 15 tahun, mulai TK sampai SMA. ”Makanya, bila ada orang tua yang tak menyekolahkan anaknya, akan dihukum oleh negara,” sambungnya.

Hasil kasino Macau memang cukup besar. Pada bulan April 2011 ini, pendapatan dari kasino-kasino di Macau mencapai lebih dari 2,5 miliar dolar AS, atau melonjak 45 persen dibanding April tahun 2010 lalu. Jumlah itu juga merupakan pendapatan bulanan tertinggi selama ini.

Sekilas kita review asal muasal Macau menjadi tempat judi. Semua ini bermula ketika masa keemasan Portugis di Macau (Asia) memudar. Khususnya setelah Inggris membuka Hong Kong, buntut dari kemenangan di perang candu I (1839-1842). Dari sini, sebagian besar pedagang asing meninggalkan Macau, tempat ini pun menjadi sepi, kumuh dan terpencil.

Selama dalam kekuasaan Portugis, Macao terkenal sebagai kawasan kriminal dan ganster kelas kakap. Siapa pun tak berani mendekat, apalagi wisatawan.

Hingga pada 20 Desember 1999, setelah ditolak tahun 1974 karena dinilai tak seprospek Hong Kong, Macau resmi bergabung ke China. Saat itulah, kekerasan mulai reda, perekonomian menggeliat, pariwitsata bangkit. Jadi, meski luasnya tidak sampai 24 kilometer persegi, Macau bisa mendatangkan 10 juta turis setiap tahunnya.

Ingat, pariwisata Macau tak hanya menjual masa lalu juga menjual ”masa kini”, seperti iven Grand Prix. Dan untuk memantapkan langkahnya, sejak Desember 2001, di ulang tahun ke-2 penyerahan kembali Macau ke China, Macau Tower setinggi 338 meter, pun berdiri dan menjadi menara tertinggi ke-8 di Asia, dan ke-10 di dunia.

Dengan 70 dolar Hong Kong (kalikan Rp1.200) kita bisa menuju lantai teratas, lantai 58, dengan lift dalam hitungan detik. Dari sini seluruh kota Macau bisa dilihat, bahkan sampai Zhuhai, kota yang terletak di China daratan. Macau Tower juga emmiliki restoran berputar.

Wisata masa kini tersebut ada, khususnya setelah RRC mengizinkan judi beroperasi di Macau dan mengundang investor-investor Amerika Serikat untuk membuat pusat judi dan resor mewah. Sebenarnya kebijakan RRC ini, hanya melanjutkan kebijakan Portugis, yang sejak tahun 1850-an, melegalkan judi di Macau.

Tak hanya itu, Macau juga mengembangkan berbagai industri seperti tekstil, elektronik dan mainan, serta menciptakan industri pariwisata kelas dunia dengan pilihan luas untuk hotel, resor, fasilitas olahraga, restoran dan kasino.

Meski demikian, tetap saja ekonomi Macau berkaitan erat dengan Hong Kong dan Provinsi Guangdong, khususnya dengan daerah Pearl River Delta, yang disebut salah satu dari ”macan kecil” Asia. Macau kini juga menyediakan pelayanan keuangan dan perbankan, pelatihan staf, dukungan transportasi dan komunikasi.

Kantor Berita AP melansir, investor pun makin berdatangan. Pada 28 Agustus 2008 lalu, misalnya, sebelum dampak krisis global terasa ke wilayah Asia, Las Vegas Sands Corporation (LVSC) meresmikan Four Seasons Hotel Macao. Itu persis setahun setelah membuka The Venetian Hotel. Ini hotel kedua mereka di Cotai Strip, daratan hasil reklamasi di antara Pulau Colaine dan Taipa.

Para investor berkantong tebal inilah yang ikut menggerakkan ekonomi Macao. Bahkan, pada tahun 2006, total pendapatan kasino di wilayah dengan luas kurang dari seperenam kota Washington DC itu mampu melewati perolehan bisnis judi di Las Vegas.

”Siapa saja boleh berjudi di sini, asal bukan pegawai negeri,” jelas Ester.

Bahkan ada sebutan, tak perlu berdandan kalau hanya ingin main judi di Macao. Hanya di Venetean yang harus pakai baju rapi. Sekadar tips, bila Anda kehausan, masuk saja ke kasino The Venetean di lantai 2. Di sana minuman dibagikan gratis. Ada kopi, teh, susu dan tentu saja air mineral. Untuk menuju kesanapun, bisa naik bus ulang-alik warna biru. ***

Macau, Bukan Mak Kau (3)

Di Macau semua jenis perjudian ada. Hal ini, sedikit banyak telah menjaring warganya sendiri menjadi pejudi patologis.

Macau memiliki hotel-hotel mewah yang menyediakan kasino. Ada Xanadu Bar, Sands Casino, MGM, Lisboa dan lain sebagainya. Namun yang termegah adalah The Venetian Hotel.

Venetian merupakan hotel terbesar ke-8 di Asia, luasanya mencapai 980 ribu meter persegi. Artinya, cukup besar untuk menampung 90 Boeing 747 jet jumbo. Karena itulah, banyak orang kesasar saat melihat-lihat di dalamnya.

Hotel ini menjulang dengan 40 lantai, memiliki 3 ribu kamar, semua suite. Kamar terkecil berukuran 70 meter, yang besar 200 meter. Tempat ini kian ramai pengunjung kala akhir pekan. Tarif kamar pun ikutan naik, menjadi 3.000 dolar Hong Kong permalam. Sementara di hari-hari biasa, 1.700 dolar Hong Kong saja.

Sesuai namanya, arsitektur hotel ini kaya nuansa Venisia, Itali. Bahkan di depan hotel terdapat tower mirip Piazzetta San Marco di kota Venesia, Italia. Tak hanya itu, di lantai tiga ada sungai buatan lengkap dengan gondola, perahu khas Venisia.

Pengunjung bisa naiki gondola ini dengan tarif 106 pataka untuk dewasa dan 80 pataka untuk anak-anak. Tapi antrenya minta ampun. Selanjutnya, sang pengayuh gondola (gondolier) akan membawa kita menelusuri sungai buatan itu selama 15 menit, sembari menyanyikan lagu-lagu Italia dengan iringan musik dari sound system.

Gondolier ini berseragam khas, memakai kaus ketat bergaris putih dan biru tua dan celana juga warna biru tua. Sebuah topi anyaman bambu berlapis pita merah bertengger di kepala. Pita merah juga mereka lilitkan di leher dan pinggang. Meriah.

Saat kami ke sana, sang gondolier menyanyikan lagu O Sole Mio. Lagu ini dikenal dalam versi bahasa Inggris dengan judul It's Now Or Never yang tenar dibawakan Elvis Presley. Suaranya yang khas, sekilas mengingatkan kita pada penyanyi tenor, Pavarotti.

Suasana di lantai tiga ini terkesan beda, dengan langit buatan di atasnya. Banyak wisatawan berfoto berlatar belakang langit buatan tersebut, yang nampak asli. Seolah mereka berada di luar ruang, padahal kenyataanya ada dalam ruang. Jadi ingat mall Grand Indonesia, Jakarta.

Di The Venetian Hotel ini juga ada mall yang menjual barang-barang branded jumlahnya mencapai 350 gerai. Ada juga memiliki 30 restoran kelas dunia, dengan koki terbaik. Di sini juga ada spa kelas dunia.

Serta, tentu saja kasino yang berada di lantai 1, tepatnya di sebelah Starbucks. Saya sempat melihat-lihat isi kasino tersebut, luasnya tiga kali lapangan bola dan memiliki 600 meja. Tak heran bila dikatakan, kasino The Venetian ini adalah nomor dua terbesar di dunia. Di sini semua jenis judi dipermainkan mulai baccarat, rolette Amerika, slot machine, bahkan permauinan tradisional China, mahjong.

Suasananya begitu riuh. Sesekali terdengar teriakan kemenangan dari pejudi di sana. Setiap permainan, selalu menyertakan bandar. Mau tahu berapa gaji seorang bandar kasino di Macau? Berkisar antara 10 ribu hingga 18 ribu pataka (kalikan Rp900). Tak heran, peminat anak-anak muda Macau untuk menjadi bandar ini sangat besar.

Namun meski Macau tampak gemerlap kala malam, tak begitu kala siang. Di sini, jarang tampak orang berlalu lalang. Macau bagai kota tak berpenghuni. Suasana kontras tampak di dalam kasino, yang selalu ramai.

Yang kadang memprihatinkan, karap dijumpai orang dengan ekspresi kebingungan bersandar di bawah pohon di dekat sebuah kasino. Pemandangan ini juga kami lihat saat melintas di depan kasino tertua Macau, Lisboa, sekitar pukul 11.00 waktu setempat.

Tampak ada tiga orang, satu perempuan. Dua orang duduk lesu di bawah pohon, yang satu lagi berbaring di sebuah kursi. Dari dandanannya mereka bukanlah gelandangan. Karena di Macau memang tak ada gelandangan.

Setelah kami tanya, barulah diketahui, mereka adalah orang-orang yang kalah judi. Pemandangan ini lazim dijumpai di Macau. Akin, guide tour kami di Hong Kong bercerita, biasanya orang seperti itu menjadi incaran para rentenir judi.

Modusnya, para rentenir itu mendatangi mereka untuk meminjamkan uang agar bisa menebus kekalahan dengan bunga 20 persen. Jangka waktunya hanya dua jam. Bila dalam jangka waktu tersebut mereka menang, maka selamatlah. Namun bila kalah, semua akan terkuras. Yang lebih mengerikan, utang tersebut terus akan berbunga tiap dua jam. ”Namanya orang kalah judi, kadang udah gelap,” terang Akin.

Inilah yang menurut DSM-IV Screen (alat yang digunakan untuk mengukur tingkatan penjudi), disebut chasing: Setelah kalah berjudi, cenderung kembali berjudi lagi untuk mengejar kemenangan supaya memperoleh titik impas.

Selain itu, Macau juga rawan terjadi kasus pencucian uang di arena perjudian, serta bermunculan pejudi bermasalah (patologis). Maklumlah, di Macau semua kategori perjudian ada, yang menurut Stanford Wong dan Susan Spector (1996), dalam buku Gambling Like a Pro, perjudian berdasarkan karakteristik psikologis mayoritas para penjudi itu dibagi lima.

Masing-masing adalah:. sociable games, di mana pemain duduk bersama dalam satu meja. Termasuk dalam kategori ini adalah: dadu, baccarat, blackjack, pai gow poker, let it ride, roulette Amerika).

Analytical games, di sini pemain menganalisis data dan mampu membuat keputusan sendiri. Termasuk dalam kategori ini adalah: pacuan kuda, sports betting (cth: sepakbola, balap mobil/motor, dll).

Games you can beat: penjudi sangat kompetitif dan ingin sekali untuk menang. Termasuk dalam kategori ini adalah : blackjack, poker, pai gow poker, video poker, sports betting, pacuan kuda.

Escape from reality: para pemain menjalankan slot machine atau video games dalam waktu yang cukup lama akan merasa seperti terbawa ke alam lain. Termasuk dalam kategori ini adalah: slot machines dan video games.

Patience games: penjudi menunggu dengan sabar nomor yang mereka miliki keluar. Termasuk dalam kategori ini adalah: lottery, keno, bingo.

Semua kategori perjudian ini sedikit banyak menjerat warganya sendiri (umumnya usia 20-40 tahun) menjadi pejudi patologis yang sanggup melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang untuk berjudi.

Belum lama ini saya pernah mebaca dari sebuah situs, Joe Tang, pemimpin pusat Caritas, mengatakan kepada UCA News bahwa jumlah pecandu judi di Macau meningkat ketika sejumlah kasino dibuka, tapi pemerintah daerah tidak berbuat banyak untuk mencegah kecanduan berjudi atau untuk membantu para pecandu judi (patologis).

Karena itulah, saat ini kelompok kelompok keagamaan setempat bekerja sama mengatasi judi. Masalah ini sebenarnya juga diderita ribuan warga yang di tempatnya dilegalkan perjudian. Seperti Australia, Amerika dan sebagainya.

Masalah yang sering terjadi adalah, bukan hanya bagi para penjudi tersebut, melainkan juga bagi orang yang terimbas langsung akibat kebangkrutan, perceraian, bunuh diri, dan kehilangan waktu di tempat kerja. ***