Orang Amerika mengenal Macau sebagai Monako di Timur, sedangkan orang Eropa menyebut Las Vegas di Timur. Tampaknya julukan Las Vegas di Timur lebih tepat untuk Macau.
Lihatlah Macau kala malam. Semua bangunan, khususnya hotel, billboard, bahkan hingga gang sempit, ramai bertabur lampu indah, terang benderang, kerlap kerlip, berwarna warni. Semua ini membuat kota Macau kian gemerlap, berkilau oleh jutaan lampu. Sepintas mirip di Las Vegas Strip.
Cara yang indah menikmati terang benderangnya kota Macau ini, dari jembatan Sai Van. Dari sana, gemerlap lampu kian cantik terpantul air.
Yang paling indah, tentunya melihat lampu yang menghias hotel-hotel tempat arena judi (kasino), seolah menjadi penarik pengunjung, yang bagai laron, untuk mengadu nasib.
Macau memang satu-satunya kota di China yang dibolehkan membuka perjudian. Di sini ada 33 kasino besar yang bertebaran di mana-mana. Bahkan ada yang berdekatan dengan perguruan tinggi, Universidade de Macau.
Selain di hotel-hotel megah, judi juga dibuka di hotel-hotel menengah dan kecil. Seperti di hotel Grand View tempat kami menginap, dekat Tupac Square ini.
Saat tiba, Jumat (6/5) pukul 00.00 atau Sabtu dini hari, saya lihat sekumpulan pria wanita lansia asyik bermain judi kartu. Lokasinya di pojok, agak jauh dari tempat resepsionis dan hanya ditutup skertel (batas pemisah ruangan) dari kayu tipis.
”Dari perjudian inilah, Macau membangun kota moderen. Mulai jalan, jembatan, hingga gedung megah,” ujar Ester, warga Macau yang juga menjadi tour guide kami.
Yang lebih mengagumkan, menurut Ester, di Macau tak ada pengemis. Tapi bila pengemis tak ada, mengapa banyak copet? Bahkan di lapangan bawah reruntuhan Katedral St Paul, otoritas setempat sampai menempatkan TV LCD ukuran besar, hanya untuk mengingatkan agar bahaya copet.
”Pencopet itu bukan orang Macau. mereka datang dari China daratan,” jawab Ester.
Sebenarnya mereka sudah banyak yang tertangkap, namun saat dilepas mencopet lagi.
Begitu terus.
”Kalau tertangkap dikurung dua bulan. Bila kasusnya besar, sampai dihukum lebih satu tahun dan paspornya ditolak masuk Macau selama lima tahun,” jelasnya. Namun, tetap saja pencoleng itu bisa masuk Macau lagi. Caranya, bikin paspor baru, identitas baru. Maka, mulailah mencopet lagi.
Sekadar informasi, Ester sudah lanjut. Usia sekitar 80 tahun. Karena itu kami memanggilnya ama (nenek). Meski demikian, Ester masih enerjik dan lincah. Dia juga modis, dengan baju ungu dan celana kain hitam. Rambutnya yang memutih digelung ke atas.
Ester memperkenalkan diri dari lahir di Medan, Sumatera Utara. Dia hijrah ke China, bersama ribuan warga Tionghoa Indonesia, ketika G30S-PKI pecah pada tahun 1965, sehingga pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan China. Di masa itu, semua yang bernuansa China dilarang. Bahkan sampai berujung pembunuhan 42 ribu warga Tionghoa.
Inilah yang memicu protes orang Tionghoa hingga banyak di antara mereka kembali ke China daratan. Termasuk Ester yang kala itu masih belia. Namun, ternyata hidup di China saat itu juga tak begitu nyaman.
Karena saat itu, tepatnya 16 Mei 1966 pemimpin China Mao Tse Tung, menerapkan gerakan revolusi terbesar di China bahkan di dunia, yang dikenal sebagai The Great Proletarian Cultural Revolution atau Revolusi Kebudayaan.
Dampaknya, banyak sektor ekonomi terhenti. Setelah 10 tahun Revolusi Budaya berlangsung, sistem pendidikan di China perlahan hancur. Ribuan kaum intelektual dikirim ke kamp buruh. Mereka yang bertahan mengatakan hampir setiap orang yang memiliki keahlian di atas rata-rata menjadi target ”perjuangan” politik.
Indonesian-Chinese Culture Study Group menulis, banyak yang melapor hak asasi mereka dirampas. Jutaan orang dipindahkan paksa. Kaum muda di kota dipaksa tinggal di desa dan dipaksa mengabaikan segala bentuk standar pendidikan untuk mengajarkan propaganda partai. Ada juga yang dipaksa bertani.
Hal ini masih terekam perih dalam ingatan Akin (60), tour guide kami di Hong Kong. Kang Akin, begitu kami menyapanya karena lahir di Jawa Barat, mengaku tak tahan mengalami penderitaan akibat Revolusi Kebudayaan. Apalagi saat dipaksa bertani.
Maklumlah, Mao menjejalkan aneka slogan. Para petani harus ”menggali lebih dalam” untuk meningkatkan hasil. ”Karena itu, saya kabur berenang ke Hong Kong,” ujarnya.
Langkah Akin ini juga dilakukan warga Tionghoa asal Indonesia yang lain. Di antaranya Ester, yang juga pindah (kabur) ke Hong Kong dan kemudian menetap di Macau. Kini, Ester sangat enjoy menikmati hari tuanya.
”Orang tua (lansia, red) di sini tiap bulan dapat santunan dari pemerintah,” katanya. Bahkan, hasil kasino ini juga disumbangkan untuk pendidikan, dan kesejahteraan. Di sini, anak-anak dapat sekolah gratis selama 15 tahun, mulai TK sampai SMA. ”Makanya, bila ada orang tua yang tak menyekolahkan anaknya, akan dihukum oleh negara,” sambungnya.
Hasil kasino Macau memang cukup besar. Pada bulan April 2011 ini, pendapatan dari kasino-kasino di Macau mencapai lebih dari 2,5 miliar dolar AS, atau melonjak 45 persen dibanding April tahun 2010 lalu. Jumlah itu juga merupakan pendapatan bulanan tertinggi selama ini.
Sekilas kita review asal muasal Macau menjadi tempat judi. Semua ini bermula ketika masa keemasan Portugis di Macau (Asia) memudar. Khususnya setelah Inggris membuka Hong Kong, buntut dari kemenangan di perang candu I (1839-1842). Dari sini, sebagian besar pedagang asing meninggalkan Macau, tempat ini pun menjadi sepi, kumuh dan terpencil.
Selama dalam kekuasaan Portugis, Macao terkenal sebagai kawasan kriminal dan ganster kelas kakap. Siapa pun tak berani mendekat, apalagi wisatawan.
Hingga pada 20 Desember 1999, setelah ditolak tahun 1974 karena dinilai tak seprospek Hong Kong, Macau resmi bergabung ke China. Saat itulah, kekerasan mulai reda, perekonomian menggeliat, pariwitsata bangkit. Jadi, meski luasnya tidak sampai 24 kilometer persegi, Macau bisa mendatangkan 10 juta turis setiap tahunnya.
Ingat, pariwisata Macau tak hanya menjual masa lalu juga menjual ”masa kini”, seperti iven Grand Prix. Dan untuk memantapkan langkahnya, sejak Desember 2001, di ulang tahun ke-2 penyerahan kembali Macau ke China, Macau Tower setinggi 338 meter, pun berdiri dan menjadi menara tertinggi ke-8 di Asia, dan ke-10 di dunia.
Dengan 70 dolar Hong Kong (kalikan Rp1.200) kita bisa menuju lantai teratas, lantai 58, dengan lift dalam hitungan detik. Dari sini seluruh kota Macau bisa dilihat, bahkan sampai Zhuhai, kota yang terletak di China daratan. Macau Tower juga emmiliki restoran berputar.
Wisata masa kini tersebut ada, khususnya setelah RRC mengizinkan judi beroperasi di Macau dan mengundang investor-investor Amerika Serikat untuk membuat pusat judi dan resor mewah. Sebenarnya kebijakan RRC ini, hanya melanjutkan kebijakan Portugis, yang sejak tahun 1850-an, melegalkan judi di Macau.
Tak hanya itu, Macau juga mengembangkan berbagai industri seperti tekstil, elektronik dan mainan, serta menciptakan industri pariwisata kelas dunia dengan pilihan luas untuk hotel, resor, fasilitas olahraga, restoran dan kasino.
Meski demikian, tetap saja ekonomi Macau berkaitan erat dengan Hong Kong dan Provinsi Guangdong, khususnya dengan daerah Pearl River Delta, yang disebut salah satu dari ”macan kecil” Asia. Macau kini juga menyediakan pelayanan keuangan dan perbankan, pelatihan staf, dukungan transportasi dan komunikasi.
Kantor Berita AP melansir, investor pun makin berdatangan. Pada 28 Agustus 2008 lalu, misalnya, sebelum dampak krisis global terasa ke wilayah Asia, Las Vegas Sands Corporation (LVSC) meresmikan Four Seasons Hotel Macao. Itu persis setahun setelah membuka The Venetian Hotel. Ini hotel kedua mereka di Cotai Strip, daratan hasil reklamasi di antara Pulau Colaine dan Taipa.
Para investor berkantong tebal inilah yang ikut menggerakkan ekonomi Macao. Bahkan, pada tahun 2006, total pendapatan kasino di wilayah dengan luas kurang dari seperenam kota Washington DC itu mampu melewati perolehan bisnis judi di Las Vegas.
”Siapa saja boleh berjudi di sini, asal bukan pegawai negeri,” jelas Ester.
Bahkan ada sebutan, tak perlu berdandan kalau hanya ingin main judi di Macao. Hanya di Venetean yang harus pakai baju rapi. Sekadar tips, bila Anda kehausan, masuk saja ke kasino The Venetean di lantai 2. Di sana minuman dibagikan gratis. Ada kopi, teh, susu dan tentu saja air mineral. Untuk menuju kesanapun, bisa naik bus ulang-alik warna biru. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar