Rabu, 29 Mei 2013

Memahami Manusia

Sudah 25 tahun, seorang tukang cukur di Hartford, Connecticut AS, Anthony Cymerys (82), setiap Rabu membawa kursi dan alat cukurnya ke sebuah taman, untuk memotong rambut para tuna wisma. Semuanya gratis. Anthony cuma meminta agar tuna wisma tersebut memeluknya.

Di sisi lain, kita lihat orang kaya dan berkuasa tergelincir karena kezaliman dan keserakahannya.

"Jika kamu ingin memahami manusia, maka lihatlah tindakannya pada saat ia memiliki kebebasan untuk memilih," Ali bin Abi Thalib.

The Dream Team

Dalam sekotak perkakas ada beragam alat. Palu untuk memukul, obeng untuk memutar, dan seterusnya. Kegunaannya berlainan, dan agar bisa mengerjakan tugas semua harus bekerja sama. 

Sebuah tim hakikatnya seperti itu. Aggotanya tak perlu menguasai banyak hal. Cukup menguasai satu hal saja, asal fokus dan ahli.

Abraham Lincoln berkata, "Siapapun dirimu, jadilah yang terbaik".

Selasa, 28 Mei 2013

Hanya Perbandingan

Apakah tablet anda berukuran besar? Tidak bila dibandingkan dengan televisi. Apakah tablet anda barang mahal? Tidak bila dibandingkan dengan harga motor.

Susungguhnya dalam hidup ini tak ada besar dan kecil, murah dan mahal. Yang ada hanya perbandingan, tergantung apa dan siapa sasarannya.

TS Eliot menulis, "Antara hayal dan kenyataan, antara gerak dan tindakan, selalu ada bayangan".

Como un Terrorista

Bagi penggemar berat Harlem Shake, pasti tak akan asing dengan celotehan yang terucap di sela-sela jeda lagu itu. "Como un terrorista" aalah bahasa Spanyol yang beraryi, "Seperti teroris". 

Ah, itu hanyalah intermezo saja. Sebuah pengantar saja. Saya teringat kalimat tersebut, karena bebetulan saya teringat akan sambutan Ketua Dewan Pers, Prof DR Bagir Manan, di acara sosislisasi MoU UU Pers beberapa waktu lalu di Batam, yang sempat menyingung terorisme.

Bagir Manan bercerita, sebelum berangkat ke Batam, dia sempat berbincang dengan Wakapolri Komjen Nanan Sukarna dan mantan Kapolri Da'i Bachtiar tentang bagaimana etika polisi menyikapi pelaku terorisme ini, khususnya saat ekspose pada pers. Apakah terorisme itu on the record atau off the record? 

Saat itu Wakapolri berpendapat, sebaiknya dibuka daja terang-terangan identitasnya. Mengingat berbahayanya aksi teroris tersebut bagi masyarakat. 

Namun ada yang kurang menyetujui pendapat ini dengan alasan yang masuk akal juga. Akhirnya Bagir mengambil jalan tengah, apakah on the record atau off the record, sikapilah dengan bijaksana tergantung kasusnya.

Kemudian, anggota Densus 88, memperlihatkan pada Bagir video-video aktivitas para teroris, termasuk rekaman-rekaman pelatihan di Aceh dan Poso. Selanjutnya Bagir diminta memberikan tanggapannya.

Bagir pun memberi tiga catatan kecil. Pertama, terkait tayangan tadi, tak ada pers Indonesia yang tak antiterorisme. Persoalannya, apakah tayangan trsebut perlu diketahui umum atau tidak, sehingga menumbuhkan kesadaran apakah ada bahaya atau tidak yang ditimbulka akibat aksi teror itu.

Bagir juga mengingatkan, dalam literatur tentang terorisme terkait pers ada pendapat pertama yang mengharuskan wartawan harus menghormati prinsip-prinsip hukum, dengan tak membuka identitas yang terlibat aksi teror itu. Misalnya dengan cara diinisialkan dan semacamnya. 

Namu  ada juga pendapat bahwa masyarakat harus secara dini mengetahui bahaya terorisme ini. Untuk itu pers mestinya tak dilarang menyingkap siapa dan apa terorisme itu. Maka itu tak perlu pakai inisial segala. "Jadi dipertimbangkan saja bagaimana baiknya," jelasnya.

Catatan kedua, Bagir mengingatkan perlunya pembedaan antara memerangi "teroris" dan memerangi "terorisme". "Isme" di sini perlu juga ditelaah. Karena hal tersebut merupakan akumulasi dari beragam hal. 

Teroris belum tentu menganut paham "isme", bisa jadi tujuan mereka hanya karena ingin bikin kacau saja. Contoh, geng motor dalam tingkatan tertentu bisa dikatakan perbuatan teror, namun itu bukan terorisme.

Perlu diketahui, latar belakang orang ikut serta dalam perbuatan teror, karena kehidupan yang sulit. Tak ada pekerjaan, dan lebih khusus lagi, mereka merasa diperlakukan tak adil. "Inilah yang harus dilihat, agar bisa mengakhiri terorisme itu. Jadi tak semata karena jihad dan sebagainya," jalas mantan Ketua Mahkamah Agung ini.

Apakah "isme" ini bisa dihilangkan? Tentu bisa. Salah satu caranya dengan pembelajaran yang baik. 

Contohnya di Prancis. Pada Perang Dunia ke II, lebih separo parlemen Prancis didominasi anggota Partai Komunis. Tapi di pemilu selanjutnya tahun 1948, anggota Partai Komunis menurun drastis lebih dari separo.

Mengapa begitu? Ternyata rakyat Prancis saat itu termakan oleh propaganda Komunis sebagai pejuang kemiskinan. "Mengingat rakyat Prancis miskin, jadi laku sekali ideologi itu," ujarnya.

Setelah perang dunia ke II dan Prancis mulai membangun melalui bantuan Merika (Marshall Plan), maka ideologi komunis itu hilang. Berkaca dari hal ini, di Indonesia, "isme" yang melekat pada teror itu bisa saja sirna.

Catatan ketiga, ada keluhan dari pihak kepolisian terkait proses penegakan hukum dari aksi teror ini. Misalnya tentang kasus dalah tangkap dan semacamnya. Untuk itu Bagir menegaskan perlunya ada koordinasi antarpenegak hukum, bukan terkait kasus tapi terkait kebijakannya.

Untuk itu, Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Kepolisian, haruslah sering berkoordinasi untuk membicarakan kebijakannya. Misalnya, perkara-perkara pidana kecil, mohon tak diarahkan pada hukuman badan. Tapi pidana sosial, semisal kerja sosial.

"Tapi kalau pidana pemberatan, termasuk kejahatan pada anak, ya silakan saja (dilakukan hukuman badan)," jelas Bagir. ***

Kebosanan = Kejahatan

Pribadi yang menyenangkan akan membuat suasana akan lebih nyaman. Sebaliknya, pribadi yang membosankan akan membuat suasana membosankan juga. Segalanya akan buram dan suram. 

Tepatlah bila Jean Baudrillard, sosiolog, filsuf, budayawan, komentator politik dan fotografer asal Prancis, mengatakan "Kebosanan adalah kejahatan paling buruk kedua di dunia. Menjadi orang yg membosankan adalah kejahatan terburuk level tertinggi".

Ada banyak cara menjadi pribadi yang menyenangkan. Kenapa tak dicoba?

Senin, 27 Mei 2013

Gajah Cengeng & Pelanduk

Seandainya gajah-gajah itu 
tak bertarung
tentu para pelanduk tak akan terjepit 
atau mati di tengah-tengah

Gajah-gajah itu bukan patriot
Mereka bertarung karena hal-hal 
remeh dan cengeng
Mirip anak-anak berebut maianan

Gajah2 itu bukan patriot
Pelanduk-lah patriot itu

Sesusah-susahnya gajah,
mereka masih bisa mencari 
makan dengan tenang
Bahkan menumpuknya
Beda dengan pelanduk, 
kecil, merengit, selalu terjepit

Kini hutan makin sempit, namun 
gajah-gajah itu masih saja 
bertarung sendiri
Jelas mereka bukan patriot
Jiwanya tak sebesar badannya

Apa yg bisa diharap dari 
gajah cengeng, 
kerdil, dan kekanak-kanakan?
Rasa aman, kebijaksanaan, keadilan? 
Jangan harap!

Di hutan ini, tak ada 
yang lebih menggelikan 
bahkan memalukan, 
selain melihat binatang besar 
tapi tak menunjukkan 
kebesarannya

Minggu, 26 Mei 2013

Pelajari Kondisi

Ada orang kuat diminta melempar rumput sejauh 10 meter. Namun lemparannya selalu tak sampai. 

Selanjutnya datanglah orang yang fisiknya lemah, namun berakal. Dia pun mengambil beberapa rumput, menggulungnya menjadi sebuah bola. Lalu, hufff... Rumput itu terlempar melampaui jarak yang ditentukan. 

"Saya tak pernah mengajari seseorang. Saya cuma memberikan kondisi untuk dipelajari," kata Albert Einstein.

Mesin Pintar

Baru-baru ini, The Economist merilis artikel, The Age of Smart Machines, di mana mesin-mesin pintar sudah mulai menyisihkan sumber daya manusia. 

Teringat sebuah buku yang menginspirasi reformasi Kota Paris dan dunia, Les Miserables, karangan Victor Hugo (1862), Volume 4, buku VII, Argot, ada sebuah dialog yang menarik. 

"Sejatinya, kompok manusia itu terbagi antara mereka yang hidup dalam terang dan hidup di kegelapan. Tugas kita mengurangi yang kurang dan meningkatkan yang lebih. Itulah mengapa kita membutuhkan pendidikan dan pengetahuan".

Menelusuri Kebocoran Subsidi BBM di Kepri 1

Hak Rakyat, Dikemplang Penyelundup dan Pencoleng

Kebocoran subsidi BBM terus terjadi. Nilainya sangat besar, Rp 80-160 miliar perhari. Bagaimana bisa terjadi?

Baru menginjak hari ke 46 di tahun 2013, sudah sekitar Rp 37 triliun dana subsidi BBM/energi habis. Dana tersebut cukup untuk beli 1 juta induk sapi. Memasuki hari ke 58, sekitar Rp 48 triliun subsidinBBM/energi habis. Uang tersebut mampu untuk mencetak sekitar 2 juta hektare sawah, program swasembada beras, gula dan kedele akan tuntas.

Berangkat hari ke 61, sudah sekitar Rp 50 triliun dana subsidi BBM/energi terkuras. Bayangkan bila dana itu untuk membangun sarana transportasi massal, tentunya jumlah kendaraan pribadi akan terkendali. Kemacetan pun akan berkurang.

Data tersebut saya kutip dari Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagai perbandingan bila saja uang untuk mensubsidi yang tahun ini mencapai Rp 320 triliun, dialihkan untuk membangun kesejahteraan rakyat.

Tapi hal itu tampaknya tak mungkin. Dengan alasan ”kesejahteraan rakyat” juga, pemerintah yang juga pemimpin politik itu, masih terus mensubsidi BBM. Meski kita semua tahu, dana triliunan rupiah tersebut hanya habis untuk dibakar, tidak dinikmati rakyat banyak, apalagi orang miskin. Sungguh tidak adil.

Kita semua tahu, bahwa penikmat subsidi BBM itu adalah penyelundup atau maling BBM, importir, kilang luar negeri, orang yang punya kendaraan atau mampu, dan hanya menjadi ”bemper” kebijakan orang miskin.

Faktor inilah yang membuat subsidi BBM tersebut sering bocor dan tak tepat sasaran, yang menurut perkiraan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, mencapaj 10-20 persen dari total subsidi BBM untuk rakyat. Jadi nilainya sangat besar, Rp 80-160 miliar perhari !!!

Kebocoran akibat BBM bersubsidi yang dicuri dan diselundupkan ini sudah sering kita saksikan di Batam ini. Sumber Batam Pos mengungkap, bahwa banyak pengusaha nakal yang dengan sangat terorganisir mencoleng BBM bersubsidi.

Jejaring bisnis ilegal pengusaha ini tak hanya di Indonesia saja. Dengan kekuatan armadanya, mereka menyelundupkan BBM bersubsidi itu hingga ke Laut China Selatan!

Misalnya, S, yang dikenal memiliki tangki-tangki penampung BBM yang dicoleng dari SPBU menggunakan mobil yang tangkinya dimodifikasi. Mereka bebas beraksi dan terang-terangan akibat tak adanya hukum yang memberikan efek jera.

Senin, 4 Maret lalu, anggota Direktorat Polisi Air (Ditpolair) Polda Kepri menangkap Edison, 35, pencoleng solar subsidi dengan menggunakan taksi Metro Taksi (MT) Toyota Corolla biru BP 1609 UX, yang tangkinya sudah dimodifikasi.

Edison diamankan saat mengantar solar subsidi yang dibelinya dari sejumlah SPBU ke gudang PT Batam Sumber Energy (BSE) di dekat pelabuhan Seibinti, Sagulung, Sabtu (2/3) sekitar pukul 14.30 WIB. Di gudang PT BSE, sebagai penadah solar subsidi, polisi mendapati bunker penampung solar kapasitas 30 ton berikut isinya sebanyak 20 ton solar.

Solar tersebut dibeli pelaku Rp 4.500 per-liter dan dijualnya ke gudang PT BSE, Rp 6 ribu per liter. Jadi keuntungannya Rp 1.500 perliter. Dari para maling kecil ini, selanjutnya pemilik bungker akan menjual ke industri seharga Rp9 ribu. Jadi keuntungan mereka Rp 3.000 perliter. Bayangkan bila 1 ton!

Namun sayang, sejauh kasus ini terjadi berkali-kali, tak ada satupun yang ditahan apalagi masuk pengadilan. Para pencoleng dilepas, sementara pemilik penampungan tak ada yang tersentuh. Termasuk PT BSE itu.

Dalam kasus ini Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) hanya menyeret Edison, 35, sopir Metro Taksi BP 1609 UX sebagai tersangka tunggal, dalam kasus pencoleng solar subsidi. Sementara, pemilik BSE yang berlokasi di dekat pelabuhan Seibinti, Sagulung, tak tersentuh hukum, karena polisi menganggap tak cukup bukti.

PT BSE tercatat dalam daftar penyalur minyak di Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Ekonomi Sumber Daya Mineral (Disperindag dan ESDM) Kota Batam. Namanya berada di bawah bendera PT Prayasa Indo Mitra Sarana selaku Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum (BU-PIUNU)-nya. Saat ini, ada sembilan BU-PIUNU yang tercatat dalam daftar BU-PIUNU Disperindag dan ESDM. Sementara jumlah penyalurnya mencapai angka 30-an.

PT BSE tercatat dalam daftar penyalur minyak, tentu janggal. Sebab, izin yang mereka kantongi dari Disperindag dan ESDM Kota Batam hanyalah ”surat rekomendasi penyalur”, tertanggal 11 Januari 2013, jadi PT BSE ”bukan penyalur”!

Dalam surat rekomendasi tersebut, tercatat nama Muhammad Asrori sebagai penanggung jawab perusahaan. PT BSE sendiri berlokasi di Komplek Ruko Tiban Sakura Blok A nomor 16 Tiban Lama.

Sekali lagi, surat rekomendasi, bukanlah surat izin menjadi penyalur. Surat tersebut merupakan bagian dari syarat-syarat yang harus dilengkapi calon penyalur untuk mengurus Surat Kelengkapan Penyalur (SKP). SKP itu, nantinya, diterbitkan oleh Direktur Jenderal dengan nomor registrasi yang diterbitkan oleh Badan Pengatur. Semuanya sesuai dengan Permen ESDM nomor 16 tahun 2011.

Hal yang sama juga terjadi pada pencoleng BBM bersubsidi lainnya. Sebagaimana juga yang tertangkap di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Ismadi Salam, Selasa 19 Februari lalu. Pelaku berhasil kabur dengan mengendarai mobil Mitsubishi Storm yang telah diisi 200 liter solar subsidi, padahal sebelumnya dia dudah diamankan di Markas Polresta Barelang.

Saat dikonfirmasi ke polisi, Kabid Humas Polda Kepri AKBP Hartono mengatakan jajaran Polda Kepri, Polresta Barelang dan Polsek Batam Kota sedang mengejar pelaku. Namun hingga saat ini, sebagaimana peristiwa sebelumnya, pelakunya belum juga tertangkap.

Yang lebih mengejutkan lagi, ada pencoleng BBM bersubsidi yang diduga diotaki DS, oknum polisi dari Polresta Barelang. Kasus ini sempat ditangani Unit VI Tindak Pindana Tertentu (Tipiter) Satreskrim Polresta Barelang. Namun, lagi dan lagi belum ada hasilnya.

Maraknya aksi pencurian BBM bersubsidi ini sempat membuat DPRD Kota Batam bersidang, Kamis 21 Februari lalu. Irwansyah, Wakil Ketua Komisi III DPRD Batam mengatakan penimbun solar sangat bebas di Batam. Tidak tersentuhnya bos penimbun akan tetap membuat subur penjahat solar di Batam. Apalagi, sampai saat ini, belum kasus penampung solar diproses hukum.

Dalam rapat itu, Irwansyah juga meminta Disperindag mengevaluasi izin yang dikeluarkan kepada penyalur BBM sekaligus melakukan pengawasan. Namun, lagi dan lagi tak ada tindakan nyata. Pencurian BBM tetap terjadi. Bahkan Pertamina sendiri mengaku, tidak bisa berbuat apa-apa.

Hal senada juga ditegaskan Anggota Komisi Hukum DPR Bambang Soesatyo. Dia mensinyalir perairan Bintan dan Batam sudah sering menjadi lokasi untuk menyelundupkan BBM bersubsidi.

Untuk itu, Bambang meminta KPK menseriusi kasus-kasus penyelundupan dan pencurian BBM bersubsidi ini, karena unsur kerugian negara sudah sangat nyata. ”Tidak usah sampai 30 persen, cukup 10 persen saja yang diselundupkan itu artinya kerugian negara sudah puluhan triliunan rupiah,” tegasnya.

Menurut bambang, pencurian BBM bersubsidi selama ini sudah sangat berani dan ugal-ugalan. Penegak hukum tidak pernah bersungguh-sungguh memburu para pelakunya, terutama pemain besar dan oknum BUMN. ”Sejauh ini, penegak hukum hanya menangkap pengecer kelas teri,” tegasnya. ***

Menelusuri Kebocoran Subsidi BBM di Kepri 2

Aneh! Kuota Dibatasi, SPBU Kian Menjamur

Masyarakat kecil yang mestinya ”dimanjakan” oleh subsidi BBM, malah sengsara. BBM jadi susah dicari.


Akibat maraknya pencurian BBM bersubsidi, di antaranya solar, menjadi salah satu penyebab kelangkaan komoditas tersebut sering terjadi di Batam. Kouta yang dijatah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selalu saja tak cukup. Apalagi kuota solar untuk Provinsi Kepri pada 2013 ini dikurangi sekitar empat persen, atau dari 147.864 kilo liter (KL) dipangkas menjadi 141.954.24 KL.

Untuk Batam juga demikian, bila tahun 2012 suplai solar dari Pertamina ke SPBU sebanyak 8.000 KL per bulan, sekarang hanya 4.000 KL perbulan. Penyaluran tersebut sebagai penyesuain dengan kuota yang ada saat ini. Akibat kelangkaan BBM ini, roda perekonomian terganggu. Kemacetan pun sering terjadi, akibat jalan raya terhadang antrean panjang mobil yang mengantre BBM di SPBU.

Itu versi Pertamina, beda lagi versi pengusaha SPBU. Seorang pengusaha SPBU di Batam (anonim), mengatakan sebaliknya. Kelangkaan BBM tak lepas dari royalnya Pertamina mengeluarkan izin SPBU di Batam.

Bayangkan, kota sekecil ini memiliki 33 SPBU. 32 sudah beroperasi, 1 SPBU lain masih dalam masa penyelesaian. Aneh! SPBU menjamur, sementara kuota BBM dibatasi. Diduga, untuk mengeluarkan izin pendirian satu SPBU di Batam, oknum petinggi Pertamina di Medan mendapat fee antara Rp1-2 miliar!

Akibat royal-nya memberikan izin pendirian SPBU tersebut, kini bayak SPBU di Batam yang kosong. Mereka umumnya nunggu pembagian kuota dari pertamina yang kian ”seiprit”.

Padahal ada kesepakatan antara pengelola SPBU dan Pertamina, yakni untuk tarif  Rp150 juta per dispenser atau pompa SPBU, Pertamina menjamin berapapun kuota BBM yang diperlukan oleh SPBU. Namun, saat ini hal tersebut tak pernah terealisasi.

Tak hanya diduga bermain di izin SPBU, oknum pejabat Pertamina juga main BBM di laut dan mereka jual pada sindikat penyelundup internasional yang biasa boperasi sekitar perairan Batam dan out port of limit dekat Singapura. Bagaimana modusnya?

Khusus pencurian ini, semula Pertamina memberangkatkan tangker pengangkut BBM tujuan kilang-kilang besar dengan muatan semula 3.600 ton minyak. Di tengah perjalanan, di perairan yang dirasa aman, kapal ini berhenti lalu ”kencing” ke kapal-kapal penadah milik sindikat, sejenis tongkang, pompong atau boat pancung.

Yang ”dikencingkan” kapal Pertamina ini adalah jatah milik oknum pejabat Pertamina atau oknum aparat berbagai instansi vital di negeri ini. Misalnya, jatah untuk pejabat A, sekian ton, pejabat B sekian ton, begitu selanjutnya, sesuai kesepakatan tak tertulis.

Karena sudah ”dikencingkan”, maka minyak yang diangkut kapal Pertamina tersebut akan berkurang. Namun lagi-lagi ini lolos, karena oknum pejabat pengawas/auditor juga ikut dapat jatah bagian dalam proses ini.

Seperti yang saya sebut di atas, ”kencing” kapal Pertamina ini dijual pada sindikat BBM bersubsidi, baik lokal dan luar negeri, dalam hal ini Singapura. Tentunya hargaya di atas harga BBM bersubsidi.

Selanjutnya kapal-kapal sindikat tersebut membawa minyak kencing ini ke kilang-kilang minyak yang memiliki bungker raksasa baik di darat (seperti yang belum lama ini berhasil digerebek di Batam dan Bintan), maupun di laut. Ada juga kemudian dikapalkan ke kilang milik bos sindikat BBM subsidi di Singapura.

Selanjutnya, BBM bersubsidi ini mereka jual pada industri, baik galangan kapal, atau kapal-kapal yang jangkar di Batam dan sekitarnya, OPL, maupun di Singapura. Bila harga BBM bersubsidi saat ini Rp4.500 perliter, mereka jual Rp9.000 saai Rp10.000 perliter.

Dari sini kita bisa menghitung keuntungannya. Bila satu liter rata-rata Rp4.000, kalikan saja bila yang dijual adalah 1 ton, atau berapa lagi bila 200 ton? Tentu hasilnya miliran rupiah. Mana ada dagang dengan keuntungan 100 persen begini?! Mirisnya lagi, yang mereka rampok adalah subsidi yang nota bene untuk uang rakyat kecil!

Modus inilah yang baru-baru ini berhasil dikuak. Sebagaimana berita Batam Pos, dan beberapa media lokal di Batam, Rabu (13/2) Direktorat Polair Polda Kepri mengamankan 6 ton solar dari MT Elektra dan KM Eka Jaya di perairan Telagapunggur, Jumat (8/2) malam sekitar pukul 23.00 WIB.

KM Elektra dipergoki sedang mentransfer alias ”kencing” solar sekitar 5 ton ke KM Eka Jaya. “Saat itu kapal dalam kondisi diam karena sedang transfer solar, dan tidak dapat menunjukan surat izin niaga,” kata ujar Direktur Polair Polda Kepri, Kombes Yasin Kosasih, Selasa (12/2).

Dari kapal MT Elektra dan KM Eka Jaya, kata Yassin, diamankan lima orang ditetapkan sebagai tersangka, masing-masing Jhon Hendri nakhoda MT Elektra, Sabaruddin nakhoda KM Eka Jaya, Krisna, Riana dan Janes alias Ucok yang beprofesi sebagai perantara (broker).

Modusnya, Janes alias Ucok menghubungi Hendri nakhoda MT Elektra, apakah ada solar yang mau dijual. Hendri, menjawab ada tiga atau empat ton solar. Janes pun menghubungi Riana dan Krisna.

Dari sini, Riana menghubungi Sabarudin nakhoda KM Eka Jaya dan Kancil (DPO) dari pengurus PT Adja Dian Perkasa. Kancil pun memberi Rp 27,5 juta kepada Krisna untuk membayar solar yang dijual dari MT Elektra itu.

Seterusnya, dengan menumpangi KM Eka Jaya dari pelabuhan Riana langsung menuju ke MT Elektra lego jakar saat itu. Kemudian KM Eka Jaya sandar di lambung kanan MT Elektra. Kedua kapal tersebut langsung mentransfer solar dari tangki ballast MT Elektra ke KM Eka Jaya.  Saat transfer atau memindahkan solar itulah dipergoki oleh anggota Gankum Ditpolair Polda Kepri.

Sebelumnya Antara menulis, petugas patroli Kantor Wilayah Khusus Direktorat Jenderal Bea Cukai Provinsi Kepulauan Riau menangkap dua kapal berbendera Indonesia, MT Serena II dan KM Cahaya diduga bawa solar bersubsidi disalurkan secara ilegal.

Kepala Bidang Penindakan dan Sarana Operasi Kanwil Khusus Ditjen Bea Cukai Kepulauan Riau (Kepri) Agus Wahyono di Tanjung Balai Karimun, Rabu mengatakan bahwa kedua kapal tersebut ditangkap kapal patroli BC-9002 di perairan Lobam, Pulau Bintan sekitar pukul 00.00 WIB, Selasa (29/1).

”MT Serena II merupakan kapal Pertamina yang mengangkut sekitar 3.680 solar bersubsidi dari Pulau Sambu menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Namun, dalam perjalanannya melakukan aktivitas transfer secara ilegal ke lambung KM Cahaya,” katanya.

Menurut Agus Wahyono, nakhoda kapal tidak berhasil menunjukkan dokumen terkait aktivitas transfer tersebut sehingga kedua kapal ditarik ke Kanwil BC Kepri di Tanjungbalai Karimun.

”Kedua kapal tiba di Karimun tadi malam. MT Serena II lego jangkar di tengah laut dengan dikawal petugas patroli, sedangkan KM Cahaya sandar di dermaga Ketapang Kanwil,” katanya.

Dia mengatakan aktivitas transfer solar secara ilegal itu sebenarnya melibatkan tiga kapal, namun satu kapal lagi melarikan diri ketika petugas melakukan penyergapan. Dari sini, pembaca dibuat bertanya, siapakah pemilik KM Cahaya, dan kapal-kapal yang tertangkap itu? Umumnya tak akan ada pemiliknya. Aneh bukan? Ada kapal tak ada pemiliknya?

Namun berdasar informasi yang kami dapat, KM Cahaya adalah milik L, sindikat BBM bersubsidi di Batam. L di sini hanyalah tukang tampung. Armadanya banyak. Selanjutnya BBM tersebut dia jual pada penampung besar di kawasan Tanjunguncang, dekat Nanindah, yakni A. Mengapa L berani? Karena diduga sudah berkoordinasi dengan oknum aparat.

Berdasar sumber kami, di Kepri ini, khususnya Batam, banyak pengumpul
BBM kencing maupun BBM bersubsidi kelas kakap. Ada AT, BA, ML dan yang kecil kecil juga banyak. Di antaranya wanita yang biasa dipangggil ”Ibu TS”. Pengumpul kelas kakap dan teri ini umumnya memiliki tangki pengumpul baik di darat dan di laut dan armada pengapalan sendiri.

Bukan rahasia lagi, bila pencoleng BBM bersubsidi kian menjamur di Batam. Lokasi penimbunan di kawasan Batuaji dan Sagulung, dengan kedok izin niaga gudang, perkebunan atau besi tua yang lokasinya tersembunyi. Namun ini hanay kedok, karena di dalamnya ada beberapa bungker besar.

Umumnya BBM tersebut diambil dari SPBU oleh mobil yang tangkinya sudah diubah dengan kapasitas besar. Kemudian, hasil curian ini dijual ke beberapa perusahaan dengan harga industri.

Yang manarik dari kisah mereka adalah BA. Lelaki yang dulu ABK kapal ini, kini menjadi tangan kanan bos besar sindikat BBM bersubsidi di Singapura bernama
NB.  NB-lah yang mendanai BA dengan memberi kapal-kapal sebagai alat operasional.

NB sendiri adalah bos of the bos. Posisinya berada di puncak dari sindikat penyelundup BBM bersubsidi ini. Dialah penampung besar BBM yang diselundupkan ke Singapura. Armadanya banyak, tersebar hingga laut China Selatan! ***

Menelusuri Kebocoran Subsidi BBM di Kepri 3

Yang Jual BBM Bersubsidi, juga Jual BBM Non Subsidi

Pertamina membantah bila ikut terlibat sindikat BBM. Justru mereka mengaku sebagai korban. Mengapa begitu?

Saat ini ada sekitar 33 SPBU di Batam. Dari jumlah tersebut baru 32 yang beroperasi, sisanya masih tahap pembangunan. Pendirian SPBU ini sendiri melalui proses komputerisasi.

Sebelum izin pendirian SPBU dikeluarkan, Pertama sebelumnya melakukan kajian. Misalnya untuk wilayah Batam, apakah masih bisa ditambah atau tidak. Bila masih bisa, maka Pertamina akan mencari lokasi terbaik.

Selanjutnya lokasi tersebut akan disiarkan via website agar bisa diakses dengan luas dan siapapun bisa mendaftar. Kemudian, dari beberapa calon investor yang mendaftar, masih akan dilakukan seleksi. Yang terbaiklah yang bisa mengantongi izin tersebut.

”Semua sangat transparan. Jadi kalau ada tuduhan oknum Pertamina menerima suap untuk memuluskan izin operasi SPBU, itu tidak benar,” jelas I Ketut Permadi. Wawancara ini diambil saat dia masih mejabat sebagai Sales Area Manager Pertamina Kepri, Februari lalu.

SPBU ini ada yang COCO (company own company operate/ milik Pertamina), dan CODO (company own dealer operate) di mana Pertamina hanya menyertakan sebagian modal dan dikelola swasta. Yang terakhir DODO (dealer own dealer operate) ini swasta murni.

Terkait pemasangan jumlah dispenser atau lazim disebut pompa, lagi-lagi Ketut membantah bila ini juga ditentukan oleh berapa jumlah uang suap yang disetor pengusaha SPBU ke oknum Pertamina. Berapa jumlah dispenser di SPBU itu, menurut Ketut, sebelumnya sudah melalui kajian matang. Misalnya di SPBU A, sudah dikaji berapa jumlah ideal dispenser dan berapa besar tangki timbunnya.

”Tapi kan kadang ada juga pengusaha dengan alasan investasi, membikin SPBU skala besar, misalnya meminta 10 dispenser dan tangki timbun yang besar. Itu tak masalah,” jelas pria yang saat ini dirotasi ke Jakarta itu.

Total investasi untuk membangun SPBU sekitar Rp7,5 miliar, sementara yang dijual umumnya hanya 21 ton BBM all product, dibayar di muka. Dari sini keuntungan yang bisa diraih Rp205 per liter. Jadi, keuntungan kotor perbulan Rp 130 juta. Namun biaya pengelolaan SPBU ini terasa berat, karena 30 persen cost terkuras untuk menggaji operator.

Inilah yang menggerus keuntungan bersih pengusaha SPBU. Dari sini jugalah diduga menjadi pintu masuk banyaknya oknum pengusaha SPBU bermain mata dengan penyelundup dan melakukan bisnis ”cuci solar”.

Misalnya begini ada pengusaha SPBU yang memiliki izin menjual BBM bersubsidi, juga memiliki perusahaan lain yang memiliki izin niaga umum yang menjual BBM non subsidi ke industri. Kemudian, secara sistemik mereka menyalurkan BBM subsidi tersebut untuk dijual ke industri dengan harga non subsidi melalui perusahaannya yang mengantongi izin niaga umum.

Yang mengeluarkan izin niaga umum ini bukan Pertamina. Pertamina sama juga dengan perusahaan yang mengantongi izin niaga umum, juga menjual BBM non subsidi ke industri, dalam hal ini solar.

Kadang Pertamina kesulitan untuk menjual solar-nya, karena beberapa saingan mereka mampu menjual solar lebih murah. Namun, murah bukan berarti bagus. Karena setelah diteliti, kandungan sulfur solar tersebut tinggi, yang berarti jelek. ”Kalau solar Pertamina lebih bersih dan bagus, karena kandungan sulfurnya lebih rendah,” ujarnya.

Terkait alasan keuntungan kecil tadi, sebenarnya Pertamina telah mengarahkan agar pengusaha SPBU tak hanya mengandalkan keuntungan dari bisnis BBM saja. Namun juga menggali dari potensi lain. Misalnya, memanfaatkan penjualan semua produk Pertamina, di antaranya oli, gas LPG, dan lain-lain. Termasuk juga bisnis non fuel, misalnya di area SPBU yang masih kosong, bisa dibuka bisnis retail atau cuci kendaraan, termasuk juga menyewakan tempat untuk periklanan.

Hal inilah yang saat ini dilakukan di luar negeri, seperti Malaysia dan Thailand. Di sana, omset SPBU dari BBM sangat kecil, namun pendapatan mereka dari sektor non fuel sangat besar. Sebaliknya dengan di sini.

Alternatif usaha tersebut harus dipikirkan, karena kalau hanya menggantungkan bisnis dari BBM bersubsidi, hal ini tak akan bertahan lama. Belum lagi ada data terbaru bahwa BBM dari minyak fosil ini akan habis 11 tahun lagi.

”Mungkin saja pemerintah akan menghilangakn subsidi BBM, atau mengkonversi BBM fosil ke bahan bakar lain. Itulah mengapa, saat ini Pertamina menjadi perusahaan energi. Ke depan, outlet ritel ini akan diberdayakan sebagai jaringan Pertamina,” jelas Ketut.

Untuk mengeluarkan izin pendirian SPBU biasanya Pertamina sebagai entitas bisnis memperhitungkan coverage area, pasar, dan masuknya pesaing di wilayah tersebut, baik perusahaan lokal dan perusahaan asing seperti Petronas, Shell dan semacamnya. ”Jadi sebelum perusahaan lain itu masuk, kita cover semua areanya,” ujar Ketut.

Berapa idealnya jumlah SPBU di Batam, Ketut menjawab belum ada aturan yang baku. Namun layak tidaknya wilayah itu dibangun SPBU, biasanya dihitung berdasar beberapa pertimbangan ekonomis.

Dasarnya adalah potensi omset bergantung jumlah kendaraan yang melintas di lokasi tersebut. Misalnya, SPBU di wilayah Batuaji akan beda permintaannya dengan SPBU di wilayah Batam Center. Data tersebut bisa dilihat dari historia penjualan BBM perbulan di SPBU tersebut.

Inilah yang melatar belakangi layak tidaknya pembangunan SPBU dan penetapan pasokan. Artinya, pasokan BBM di tiap SPBU tidak sama, ada yang 48 ton, ada juga yang kurang dari angka tersebut. Tergantung pertimbangan ekonomi tadi, dan total kuota BBM yang diterima Pertamina sesuai ketentuan Pemerintah.

”Untuk menghitung semua potensi ini, Pertamina menunjuk jasa konsultan. Jadi berdasar hitungan kami, saat ini SPBU di Batam sudah cukup,” jelas Ketut.

Secara sederhana, penyaluran BBM bersubsidi seperti ini. Misalnya, kuota yang didapat untuk disalurkan di Kota Batam sekitar ”satu botol”. Dari jumlah ini kemudian dituang ke beberapa SPBU, tergantung kebutuhan. Karena banyaknya SPBU dan terbatasnya kouta BBM yang dibagi, maka tiap SPBU, kalau dulu bisa dapat 1 tangki penuh, kini mungkin hanya seperempatnya saja.

Memang bila bicara permintaan BBM, Batam sangat besar karena pertumbuhannya sangat tinggi. Khususnya premium. Data dari Disperindag, pertumbuhan kendaraan berjumlah 11 persen pertahun. Hal ini bisa dilihat, jam kemacetan di Batam kian bertambah dibanding.

Terkait kuota BBM bersubsidi ini, Pertamina bukanlah penentu. Fungsi Pertamina semenjak diberlakukannya UU No 22 2001 yang diberlakukan 2006 lalu, telah berubah dari badan yang bertanggung jawab mendistribusikan BBM ke seluruh Indonesia, menjadi entitas bisnis dalam bentuk persero.

Jadi, Pertamina bukan lagi pemain tunggal. Posisinya sama dengan operator penyalur BBM lain tak ada istimewanya lagi. ”Selain Pertamina, di Kepri juga ada operator penyalur BBM bersubsidi yang menjadi pendamping kami. Namanya PT Surya Parna Niaga,” jelas Ketut.

Setelah tak lagi jadi pemain tunggal, maka Pertamina tak lagi tahu berapa kouta BBM industri, berapa jumlah industri di Batam, dan jumlah mesinnya. Beda dengan dulu. ”Kini kami hanya punya data berapa pelanggan Pertamina, dan berapa industri yang membeli dari Pertamina,” jelasnya.

Di sisi lain, karena sudah menjadi entitas bisnis, konsekuensinya sebelum menyalurkan BBM bersubsidi, Pertamina diwajibkan ikut tender untuk menyalurkan BBM, sama dengan perusahaan migas lain seperti Petronas dan sejenisnya. Panitia tender ini dipimpin langsung Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang sekaligus melakukan pengawasan.

Saat tender usai dan pemerintah menilai layak, maka ditentukanlahnkuota masing-masing untuk disalurkan di daerah. Berapa yang disubsidi berapa yang tidak. Semua ada ketentuannya. ”Sebenarnya bila bicara cadangan BBM, saat ini Pertamina memiliki stok tak terbatas. Yang terbatas hanyalah (stok untuk) BBM yang disubsidi pemerintah,” ujar Ketut.

Adapun sistem pengawasannya, Pertamina hanya mengontrol perjalanan BBM ke SPBU. Setelah BBM setelah keluar dari selang SPBU, bukan lagi tanggung jawab Pertamina. Meski demikian, untuk mencegah adanya penyelewengan BBM bersubsidi, Pertamina mengontrol ketat SPBU.

Misalnya dengan selalu mengecek laporan penyaluran, berapa BBM yang dikeluarkan lalu dibandingkan dengan berapa BBM yang dikeluarkan dari depot. ”Bila terbukti ada SPBU nakal, kita akan tindak secara administratif. Kementerian ESDM yang mengeluarkan sanksinya,” jelas Ketut.

Satu-satunya yang paling bisa diandalkan untuk mengawasi penjualan BBM bersubsidi setelah keluar dari selang SPBU adalah teknologi informasi. Misalnya dengan mengatur secara otomatis berapa satuan yang bisa dijual pada satu mobil. Teknologi itu sebelumnya merekam dulu data mobil tersebut, sehingga tak akan bisa dicurangi. ”Namun ternologi semacam itu tentu biayanya sangat mahal, dan SPBU belum tentu sanggup,” jelas Ketut.

Terkait tertangkapnya kapal yang disewa Pertamina untuk mengangkut BBM karena kepergok menyalurkan minyak secara ilegal kepada penyelundup, Ketut menjawab, hal tersebut sering terjadi. Dan itu adalah kerugian besar bagi Pertamina.

Sebenarnya kerugian ini langsung atau tidak tetap diderita negara, karena Pertamina adalah badan usaha milik negara. Namun Ketut membantah bila itu disebut kerugian negara. ”Belum jadi kerugian negara, karena minyak itu belum dibeli atau disubsidi negara,” ujarnKetut.

Praktik kotor ini dimulai, ketika Pertamina ingin mengapalkan BBM, dari depot atau kilang besar ke depot kecil. Minyak di kilang tersebut ada yang BBM hasil impor atau hasil tambang dalam negeri.

Yang biasa sandar di depot besar, umumnya tanker besar. Dari depot besar ini juga minyak dikapalkan menuju depot kecil dengan kapalbkecil. Misalnya dari depot Pertamina di Tanjunguban, ke Kabil. Selanjutnya, minyak disalurkan ke lembaga penyalur.

Untuk mengangkut minyak ini, biasanya Pertamina mencarter kapal yang rutenya selalu terpantau dengan global positioning system (GPS). Pengapalan ini selalu melibatkan surveyor independent, dari awal muatan diangkut sampai dituang, semuanya dicek dengan baik. Tak boleh kurang. ”Tapi saya tak tahu apakah ada oknum pegawai Pertamina yang terlibat ’kencing BBM’ dan sebagainya,” pungkas Ketut. ***