Selasa, 21 Mei 2013

Pers yang Merdeka

Hari Kamis (16/5) lalu, saya mengikuti Sosialisasi MoU Dewan Pers dan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan. Ada banyak hal menarik yang bisa dibagi di kolom ini, yang tentu saja tentang pers, media dan wartawan.

M Ridho Eisy, anggota Dewan Pers mewakili unsur perusahaan pers, yang hadir jadi pembicara saat itu menyampaikan, tentang peran Dewan Pers sebagai pelindung kemerdekaan pers.

"Kemerdekaan pers ini bukan hanya bagian hak asasi manusia semata, tapi juga sebagai fondasi tegaknya hak asasi manusia. Tanpa kemerdekaan pers, hak asasi manusia bisa dicabut oleh kekuasaan dengan seenaknya," jelasnya.

Tentunya kita sering melihat menindasan, kewenang-wenangan yang berujung perkosaan dan pembunuhan. Pertanyaannya, siapakah yang akan menolong para korban bila pers dibungkam? Akankah kasus-kasus semacam ini mendapat perhatian publik, bila ruang gerak media khususnya wartawan dibatasi dan terancam?

Masa Orde Baru telah menjelaskan pada kita, bagaimana ketidakadilan bertahta. Aktivis buruh, Marsinah, dibunuh tanpa jelas siapa pelakunya. Aktivis pro demokrasi diculik, di antaranya, Wiji Thukul, belum jelas rimbanya. Demikian juga kasus korupsi, hampir tak terdengar, meski semua tahu saat itu gila-gilaan juga.

Semua ini lewat begitu saja, tanpa ada yang mengawasi. Pers saat itu tak bisa berbuat banyak, karena kebebasannya diberangus. Bila nekat, akan ditutup.

Semua peristiwa kelam tersebut, jangan lagi terjadi. Untuk itulah, kebebasan pers harus dijaga, sehingga bila ada yang sedikit saja disakiti, media-media akan berteriak.

Kesaktian pers dalam membentuk dan mengarahkan opini publik, sudah terbukti ampuh sejak dulu. Itulah mengapa, para pemimpin berfaham fasis akan menguasai pers terlebih dulu, sebelum menguasai rakyatnya.

Di luar negara, ada Hitler, fuhrer Nazi yang sangat faham publisitas. Karena itu dia mengontrol ketat pers sesuai dengan keinginannya. Untuk itu dia memasang kawan dekatnya, Paul Joseph Goebbels, sebagai Menteri Propaganda Nazi Jerman (1933-1945).

Jadi jangan heran bila rakyat Jerman yang terkenal pinter itu, dengan mudah bisa dikuasai oleh Hitler. 

Di tangan Goebbels, Nazi mengontrol opini publik melalui media. Media yang ada saat itu hanya menjadi alat propaganda Nazi. Namanya juga "propaganda", maka informasi yang dsampaikan tidak obyektif, karena dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya.

Menurut Goebbels, "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik percaya." Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja. 

Goebbels juga mewajibkan agar rakyat tak mendengar, lihat dan lakukan selain yang dia katakan dan sampaikan. 

Di Indonesia, Soeharto juga berlaku sama. Orde Baru sangat mengontrol pers, melalui Departemen Penerangan. Media dikontrol melalui undang-undang pers yang represif. 

Entah disengaja atau tidak, UU nomor 11 tahun 1966 tetang pers itu, salah satu pasalnya ada yang bunyinya fatwa Lenin, pemimpin komunis Rusia. bunyinya, "Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi...."

Materi UU ini terus berlanjut, cuma dalam perkembangannya kata "alat revolusi" diganti "alat perjuangan".

Menteri Penerangan Orde Baru yang sangat terkenal adalah Harmoko yang tindak tanduknya mirip Goebbels. Saat itu Dewan Pers yang diketuai Harmoko. Namun, bukannya menjaga pers agar lestari, namun malah menjadi "monster" membredel koran-koran.

Teknik membredelnya pun, sagat "aneh". Semula Harmoko atas nama Dewan Pers ngajak rapat anggotanya, lalu dia menceramahi ada koran-koran yang harus dibredel. Setelah itu, keluar surat bredelnya. 

Hal inilah yang kini diubah: Dewan Pers lebih indipenden. Bahkan, saat ini, selain Afrika Selatan, Dewan Pers Indonesia menjadi yang terbaik di dunia. Di hadapan Dewan Pers kita, Dewan Pers Belanda dan Taiwan, jadi tampak amatir. 

Beda di zaman Orde Baru yang fungsinya sebagai "tukang pukul", Dewan Pers saat ini telah menjadi benteng untuk melindungi kemerdekaan pers dengan dua MoU baik dengan polisi dan kejaksaan. 

Untuk polisi, bila ada wartawan yang tersangkut hukum harus dimediasi terlebih dahulu, tak boleh langsung dikenakan dengan pasal pidana. Sedangkan untuk kejaksaan, bila ada pengaduan yang masuk tentang pers, haruslah diutamakan dengan uu pers, dengan tinjauan Kode Etik Wartawan Indonesia. 

Yang terbaru, awal tahun ini telah dilakukan MoU antara Dewan Pers dan Polri di Jambi. Kesepakatannya cukup alot, khususnya dalam menjabarkan UU 40 1999 tentang pers, sehingga kerja wartawan bisa terjamin. Roh dari MoU tersebut adalah, bila ada kasus hukum dalam ruang lingkup kejurnalistikan, maka perlu dikoordinasikan dulu dengan Dewan Pers. 

Inilah langkah menjaga kemerkaan pers. Kemerdekaan yang tak hanya melibatkan dan untuk kepentingan awak media semata, tapi juga untuk dan melibatkan orang lain. Dengan kemerdekaan pers, media atau jurnalis bisa mengakses apapun juga, karena semua untuk kepentingan publik.

Untuk itu, perlulah kemerdekaan pers diiring dengan kode etik. Sebab, tanpa etika maka kebebasan tersebut tak akan berjalan dengan baik dan benar. ***

Tidak ada komentar: