Selasa, 28 Mei 2013

Como un Terrorista

Bagi penggemar berat Harlem Shake, pasti tak akan asing dengan celotehan yang terucap di sela-sela jeda lagu itu. "Como un terrorista" aalah bahasa Spanyol yang beraryi, "Seperti teroris". 

Ah, itu hanyalah intermezo saja. Sebuah pengantar saja. Saya teringat kalimat tersebut, karena bebetulan saya teringat akan sambutan Ketua Dewan Pers, Prof DR Bagir Manan, di acara sosislisasi MoU UU Pers beberapa waktu lalu di Batam, yang sempat menyingung terorisme.

Bagir Manan bercerita, sebelum berangkat ke Batam, dia sempat berbincang dengan Wakapolri Komjen Nanan Sukarna dan mantan Kapolri Da'i Bachtiar tentang bagaimana etika polisi menyikapi pelaku terorisme ini, khususnya saat ekspose pada pers. Apakah terorisme itu on the record atau off the record? 

Saat itu Wakapolri berpendapat, sebaiknya dibuka daja terang-terangan identitasnya. Mengingat berbahayanya aksi teroris tersebut bagi masyarakat. 

Namun ada yang kurang menyetujui pendapat ini dengan alasan yang masuk akal juga. Akhirnya Bagir mengambil jalan tengah, apakah on the record atau off the record, sikapilah dengan bijaksana tergantung kasusnya.

Kemudian, anggota Densus 88, memperlihatkan pada Bagir video-video aktivitas para teroris, termasuk rekaman-rekaman pelatihan di Aceh dan Poso. Selanjutnya Bagir diminta memberikan tanggapannya.

Bagir pun memberi tiga catatan kecil. Pertama, terkait tayangan tadi, tak ada pers Indonesia yang tak antiterorisme. Persoalannya, apakah tayangan trsebut perlu diketahui umum atau tidak, sehingga menumbuhkan kesadaran apakah ada bahaya atau tidak yang ditimbulka akibat aksi teror itu.

Bagir juga mengingatkan, dalam literatur tentang terorisme terkait pers ada pendapat pertama yang mengharuskan wartawan harus menghormati prinsip-prinsip hukum, dengan tak membuka identitas yang terlibat aksi teror itu. Misalnya dengan cara diinisialkan dan semacamnya. 

Namu  ada juga pendapat bahwa masyarakat harus secara dini mengetahui bahaya terorisme ini. Untuk itu pers mestinya tak dilarang menyingkap siapa dan apa terorisme itu. Maka itu tak perlu pakai inisial segala. "Jadi dipertimbangkan saja bagaimana baiknya," jelasnya.

Catatan kedua, Bagir mengingatkan perlunya pembedaan antara memerangi "teroris" dan memerangi "terorisme". "Isme" di sini perlu juga ditelaah. Karena hal tersebut merupakan akumulasi dari beragam hal. 

Teroris belum tentu menganut paham "isme", bisa jadi tujuan mereka hanya karena ingin bikin kacau saja. Contoh, geng motor dalam tingkatan tertentu bisa dikatakan perbuatan teror, namun itu bukan terorisme.

Perlu diketahui, latar belakang orang ikut serta dalam perbuatan teror, karena kehidupan yang sulit. Tak ada pekerjaan, dan lebih khusus lagi, mereka merasa diperlakukan tak adil. "Inilah yang harus dilihat, agar bisa mengakhiri terorisme itu. Jadi tak semata karena jihad dan sebagainya," jalas mantan Ketua Mahkamah Agung ini.

Apakah "isme" ini bisa dihilangkan? Tentu bisa. Salah satu caranya dengan pembelajaran yang baik. 

Contohnya di Prancis. Pada Perang Dunia ke II, lebih separo parlemen Prancis didominasi anggota Partai Komunis. Tapi di pemilu selanjutnya tahun 1948, anggota Partai Komunis menurun drastis lebih dari separo.

Mengapa begitu? Ternyata rakyat Prancis saat itu termakan oleh propaganda Komunis sebagai pejuang kemiskinan. "Mengingat rakyat Prancis miskin, jadi laku sekali ideologi itu," ujarnya.

Setelah perang dunia ke II dan Prancis mulai membangun melalui bantuan Merika (Marshall Plan), maka ideologi komunis itu hilang. Berkaca dari hal ini, di Indonesia, "isme" yang melekat pada teror itu bisa saja sirna.

Catatan ketiga, ada keluhan dari pihak kepolisian terkait proses penegakan hukum dari aksi teror ini. Misalnya tentang kasus dalah tangkap dan semacamnya. Untuk itu Bagir menegaskan perlunya ada koordinasi antarpenegak hukum, bukan terkait kasus tapi terkait kebijakannya.

Untuk itu, Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Kepolisian, haruslah sering berkoordinasi untuk membicarakan kebijakannya. Misalnya, perkara-perkara pidana kecil, mohon tak diarahkan pada hukuman badan. Tapi pidana sosial, semisal kerja sosial.

"Tapi kalau pidana pemberatan, termasuk kejahatan pada anak, ya silakan saja (dilakukan hukuman badan)," jelas Bagir. ***

Tidak ada komentar: