Rabu, 28 April 2010

Buku 1

Setiap orang pasti memiliki ungkapan menarik tentang buku. Yang sangat familiar adalah ungkapan almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Saking berharganya buku, sehingga dia mengatakan, ”Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku, dan orang gilalah yang mau mengembalikannnya.”.




Saya juga memiliki kenangan yang manarik bila berbicara soal buku ini. Dari mulai membuka persewaan mini, hingga akhirnya harus membeli versi foto kopian, untuk menambah perbendaharaan literatur saat kuliah dulu. Selain itu, bagi saya buku adalah kenangan persahabatan.

Saat SD berebut membaca kisah 25 Nabi dan Rasul, buya HAMKA. Selang di bangku SMP, mulai larut dalam kisah-kisah petualangan, Gullver hingga Tom Sawyer.

Berganjak ke SMA, mulai antre dipersewaan komik, melalap beratus seri kisah pendekar klasik China karya Asmaraman Khopinghoo. Sesekali diselingi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, hingga catatan Anne Frank.

Hingga mahasiswa masih antre lagi di perpustakaan, baca The Art of Philosphy, The Art of War, The Art of Loving, Psikologi Komunikasi, buku-buku ”kiri”, buku-buku ”kanan”. Majalah dan koran, sudah tak terhitung lagi.

Hingga hari ini membaca buku-buku tasawwuf moderen karya Agus Mustofa, sekaligus bersahabat dengan penulis dan distributornya. Begitulah kesan saya dan saya rasa tiap orang memiliki kesan tersendiri yang beragam akan buku.

Keasyikan membaca buku ini adalah, imajinasi masih bebas merdeka mengembara, mereka-reka gambar apa yang cocok bagi kata-kata yang tengah dibaca. Penyair Prancis, Charles Pierre Baudelaire pernah menulis, bahagialah pikiran yang terbang seperti layang-layang pagi, dan memahami ”bahasa” bunga dan benda yang tak berbunyi.

Bukan seperti televisi yang kadang membatasi ruang nalar. Gunawan Muhammad pernah menulis di twitter-nya, TV adalah media perkasa: bisa membuat kebencian jadi fasih dan preman jadi pahlawan. Inilah mengapa, di negara maju televisi disebut sebagai candu yang berbahaya bagi generasi penerus.

Berbicara menganai buku, tentunya tak lepas kaitannya dengan kertas. Sebuah buku dasar-dasar Publisistik pernah membedah, bahwa dunia sudah seharusnya berterima kasih kepada Ts’ai Lun (Cai Lun), penemu kertas berkebangsaan Tionghoa pada tahun 105 Masehi.

Sebelum era ini, perpustakaan lebih banyak dipenuhi skroll ketimbang buku. Maklumlah, saat itu tulisan masih diukir dan dipahat dalam kulit kayu, bambu, hingga daun lontar (parkamen). Setelah revolusi yang memulai peradaban buku inilah, kemudian mengubah peradaban kitab suci, dan peradaban manusia modern.

Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ketangan orang-orang Arab pada masa Dinasti Abbasiyah yang memerintah antara 750-1258, terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi (abad ke-8).

Hingga muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand dan kota-kota industri lainnya. Kertas masuk ke Eropa lewat Islam pada abad ke-11, sedangkan industri kertas masuk ke Itali dan Jerman baru awal abad ke-15, tujuh abad setelah kaum Muslim menggunakannya.

Perkembangan kertas yang kemudian menjadi buku ini, membuat ilmu peradaban Islam saat itu kian maju. Dalam sebuah catatan, ibu kota Abbasiyah, Baghdad, merepresentasikan kota-kota modern saat ini seperti New York, Paris, atau London di dalam peradaban Barat modern.

Cendekiawan muslim, Luthfi Assyaukanie Ph.D pernah menulis, Marshal Hodgson, penulis The Venture of Islam, mengatakan, Baghdad adalah bintang terang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu.

Di Baghdad kaum Muslim mencapai kejayaannya di mana berbagai aspek kehidupan mengalami artikulasinya secara sempurna. Islam Baghdad adalah Islam yang gemilang yang menandakan pencapaian agama yang dibawa Nabi Muhammad.

Bagdad di masa kejayaannya adalah kota rujukan bagi peradaban dunia saat itu. Kota-kota Islam lain yang mereplikasi Baghdad adalah Cordova, Granada, dan Sevilla di Spanyol di bawah kekuasaan Dinasti Umayah.

Sama seperti Baghdad, ketiga kota itu merupakan mercusuar peradaban Islam di zaman pertengahan. Tanpa Baghdad dan Cordova, agama Islam tetaplah sebuah agama padang pasir yang tidak menarik.

Buku 2

Kejayaan ini tak lepas kaitannya dengan banyaknya jumlah buku yang dihasilkan, setara dengan iklim membaca masyarakatnya.



Tak heran saat itu bermunculan para filusuf, ilmuan. Puluhan perpustakaan besar (maktabah) didirikan, termasuk Perpustakaan Baghdad yang diawasi langsung oleh khalifah. Selain karya-karya asing, buku karya ilmuan muslim sendiri juga ada di Perpustakaan Baghdad ini. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.

Verba valent, scripta manent. Kata-kata bisa hilang, tetapi tulisan tetap abadi. Dakwah yang palng abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan.

Meskipun orang melirik pada dunia maya dengan perkembangan ternologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikirannya, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia bisa menjangkau pikiran manusia kapan saja, dibaca di mana saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.

Namun dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukanMongol (1258). Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris.

Konon, ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun pembakaran buku Perpustakaan Baghdad konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad.

Ini adalah peristiwa terburuk dalam sejarah kepustakaan dunia, setelah peritiwa terbakarnya Ptolemies, perpustakaan besar di Alexandria di era kejayaan Romawi Timur, Byzantium.

Sedangkan sejarah percetakan buku di Indonesia dimulai pada tahun 1619 ketika pemerintah kolonial belanda menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaannya di Hindia Belanda. Namun perkembangan percetakan di daerah itu, dimulai dengan kedatangan misionaris Inggris, Medhurst, ke Batavia pada tahun 1828.

Ketika misionaris Amerika dan Inggris pindah ke China, pada tahun 1840-an, percetakan itu ditinggalkan di Singapura dan dimanfaatkan oleh Reverend Keasberry dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Penerbitan mereka berdua menghasilkan beberapa buku dengan iluminasi dan edisi yang mewah di zamannya.

Sebuah buku Roeman Pergaoelan mengisahkan, buku awal yang dicetak dalam bahasa Minangkabau adalah Malayan Miscellanies 1820-1822 dan Kaba Cindur Mata pada tahun 1904.

Malayan Miscellanies ditulis Dr W Jack dan terdiri atas dua volume. Volume I adalah syair dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang perjalanan Raffles ke Minangkabau berjudul Account of a Journey from Moco-Moco to Pangkalan Jambi, Trough Korinchi in 1818. Kedua ditulis dalam bahasa Minangkabau setebal 8 halaman yang berisi undang-undang serta keturunan raja Moko Moko Inderapura Darat.

Penerbitan ini menjadi era baru percetakan buku di Sumatera, khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Sejumlah penerbitan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara inilah yang memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan sosial politik pada masa-masa pra kemerdekaan.

Melalui buku inilah, fungsi jurnalistik bagi masyarakat dapat dijalankan dengan maksimal, terutama dalam hal kritik sosial dan advokasi bagi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Pada akhir 1930-an sejumlah penerbit karya sastra di berbagai daerah mulai mengelola penerbitannya secara khusus. Roman mulai diterbitkan secara periodik. Dalam mengusahakan penerbitan karya sastra itu, para penggagasnya tetap mengusahakan terwujudnya cita-cita mereka terhadap kemerdekaan.

Hal itu diperlihatkan dengan keterlibatan mereka dalam organisasi pergerakan politik dan juga pandangan ideologi para pegiat penerbitan tersebut. Semangat nasionalisme menjadi sesuatu yang mendasari penerbitan karya sastra.

Hingga saat ini, buku selalu menjadi media penting untuk mencerdaskan masyarakat. Tak heran bila di negara-negara maju, budaya membaca tumbuh dengan hebatnya. Amien Rais pernah bercerita, betapa masyarakat Amerika sangat suka membaca. Hal ini juga sama dengan yang ada di Jepang. Tiada hari tanpa buku, bahkan saat antre hingga dalam kereta-pun masih membaca.

Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Budaya membaca, khususnya buku, sulit ditemukan. Mahalnya buku, kadang selalu dituding jadi penyebab. Berbeda dengan India yang sangat murah dan mudah mendapatkan buku berkualitas.

Selain itu, kemauan pemerintah untuk menyediakan perpustakaan (sebut saja rumah baca) hingga ke daerah, juga masih kurang. Sehingga, minat baca masyarakat pun berkurang. Yang terpenting, peran ibu untuk menanamkan minat baca pada anak sejak dini. Jangan malah mengarahkan anak agar menonton televisi.

Ada sebuah kisah yang manarik untuk dipetik. Dulu ada anak buta yang rajin membaca, sehingga membuat dunia buku jadi terbuka bagi kaum tuna netra. Dimulai saat Kapten Charles Barbier, seorang perwira artileri Perancis yang mengembangkan tehnik ”membaca malam” menggunakan kertas yang diberi titik-titik timbul kombinasi 12 posisi pengganti alfabet.

Sistem ini selanjutnya dipelajari seorang anak buta umur 13 tahun yang ditugaskan di Institut Tuna Netra Kerajaan Perancis. Anak ini lalu merombak dan membuat sendiri sistem ”membaca malam” yang dapat digunakan dengan lebih mudah bagi tuna netra, hingga cuma diperlukan 6 posisi titik dalam sistemnya.

Alat yang digunakan untuk menulis dan menandai dalam sistem itu adalah jarum. Namun jarum juga yang dulu membuat anak muda ini buta. Anak buta itu adalah: Louis Braille.
Hikmahnya; selagi masih ”melek”, rajinlah membaca. Selamat Hari Buku Nasional.

Kamis, 01 April 2010

Allah Menyintai Orang-orang Salah

Tak enak rasanya jika kita punya kesalahan. Ada yang mengganjal, seperti ada semut masuk ke baju, apa-apa jadi tak tenang. Rasanya harga diri hilang, kewibawaan hancur, semua kebanggaan yang selama ini melekat jadi debu. Seakan diri menjadi bodoh dan nista dalam sekejap.


Karena inilah mungkin, banyak orang yang berusaha menghindar dari pertanggung jawaban atas kesalahannya. Ada dua jalan yang lazim ditempuh, mencari kambing hitan, atau melarikan diri. Keduanya sama-sama pengecut, cuma caranya saja yang berbeda.

Mungkin kita sudah kenyang melihat situasi seperti ini, di rumah hingga di tempat kerja. Biasanya, semakin tinggi status sosial (kekayaan dan kekuasaan) seseorang, akan semakin takutlah mereka untuk mengakui kesalahannya. Makanya ada ungkapan “boss tak pernah salah.”

Seorang kawan bercerita, betapa masygulnya dia ketika berbuat salah. Apalagi yang dia hadapi orang bermental durjana yang selalu menitik beratkan masalah pada keuntungan saja, sehingga apa saja yang dia sampaikan tak digubrisnya.

Padahal harga diri sudah pun dikorbankan, masih saja kurang. Rasa bersalahnya malah dijadikan modal untuk semakin menekannya. “Ya, mau apa lagi, terpaksa semua permintaannya saya turuti, dari pada mereka memutus hubungan dengan saya,” jawabnya.

Begitu ampuhnya rasa bersalah ini menjadi senjata untuk menekan, sampai-sampai pengacara Hotman Situmpul berpesan pada Akbar Tanjung, saat dia terlilit kasus dugaan korupsi beberapa tahun lalu, agar dia tak menundukkan wajahnya saat menghadapi penyidik. Karena, menurutnya, hal itu bisa dijadikan bukti bahwa kliennya itu benar-benar salah.

Jadi teringat kisah seorang teman. Nenak moyang bangsa Israel boleh dibilang hanya bisa berpikir bila melihat senjata di sampingnya. Maksudnya begini, Anda boleh punya tambang emas, namun orang masih bisa mencurinya, Nah, dengan punya senjata, jangankan pengusir pencuri, mengambil tambang emas milik orang lain pun bisa.

Semakin besar senjatanya, semakin besar pula tambang emas yang bisa dicuri. Dengan senjata inilah, kita bisa memelihara ketakutan orang di sekelilingnya. Kalau anak Palestina melawan dengan batu, mereka bunuh. Kalau melawan dengan bom molotov, mereka rudal kampung halamannya.

Inilah kiranya gambaran bila seseorang memelihara ketakutan orang untuk dijadikan senjata menekannya.

Karena itu, agama mengajarkan bahwa orang yang mau memaafkan itu lebih mulia dari pada yang meminta maaf. Bukan malah tambah menekan orang yang mau minta maaf.

Islam juga memandang, kesalahan berbeda dengan dosa. Meski sama-sama merusak, namun kadarnya jauh lebih ringan. Kesalahan (khata) adalah pembangkangan yang lahir dari ketidak tahuan atau keterpaksaan. Sedangkan dosa adalah pembangkangan terang-terangan atas larangan Tuhan.

Dalam sebuah hadis Allah berfirman, “Wahai Daud, sampaikanlah kabar gembira pada para pelaku dosa, dan peringatkanlah pada para pelaku kesalehan.”

Daud terheran-heran mendengarnya, “Bagaimana aku menyampaikan kabar gembira pada para pelaku dosa, dan memperingatkan para pelaku kesalehen?”

Allah menjawab, “Sampaikanlah kabar gembira kepada pelaku dosa, bahwa Aku menerima tobat mereka dan peringatkanlah orang-orang saleh agar mereka tidak bersifat ujub (takabbur), karena sungguh tidak ada seorang hambapun yang akan selamat jika aku mengadili perbuatan-perbuatan mereka,”

Kisah lain menyebut, Musa as adalah satu-satunya nabi yang dikaruniai kemudahan bercakap-cakap dengan Tuhan. Suatu hari di gunung Sinai, setalah melantnkan segala puji-pujian dia menyapa, “Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang beramal baik! Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang beribadah! Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang berilmu! Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang bertaqwa!”

Di akhir setiap sapaan itu Tuhan selalu menyapa balik, “Labbaik…” Tapi saat musa menyapa Tuhan dengan menyebut, “Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang berdosa,” dia mendapat tiga kali sapaan balik, “Laibbaik… Labbaik… Labbaik..!”

Heran mendengar sapaan yang banyak itu, Musa bertanya, “Ya Allah, mengapa saat aku memanggil dengan sebutan ‘Tuhan orang-orang yang berdosa,’ Engkau menjawab ku hingga tiga kali?”

Karena orang yang berdosa, kata Tuhan kepada Musa, adalah hamba yang paling lemah dan paling tidak memiliki sesuatu yang dibanggakan. Sementara orang yang beramal baik, beribadah, berilmu dan bertaqwa, semua memiliki bekal sesuatu untuk dibanggakan.

Mereka memiliki bekal yang memadai untuk menghadap-Ku. (Karenanya) Orang-orang berdosa lebih Ku perhatikan dari pada yang lain, bila meminta ampunan-Ku, lantaran mereka adalah golongan hamba Ku yang paling membutuhkan rahmat dan kasih sayang-Ku.

Tuhan mampu menyayangi orang yang berdosa, apalagi hanya memiliki kesalahan. Tentunya, asalkan mereka mau bertobat dan memperbaiki kesalahannya.

Bila Tuhan saja memperlakukan seperti itu, tentunya kita, manusia, sebagai mahluknya, harus lebih mampu lagi. Karena dalam diri manusia itu bersemayam ruh Tuhan, yang tentu saja bisa menularkan 99 nama-nama terbaikNya (asmaul husna).

Kita tahu, malaikat tunduk kepada Adam ketika Allah meniupkan ruh-Nya kepada Adam. Setelah Allah menyempurnakan kejadian Adam sebagai seorang manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan, bahwa ruh itulah yang menyebabkan meningkatnya kualitas manusia, sehingga menjadikan para malaikat menghormatinya.

Ketinggaian zat yang disebut ruh itu, terlihat dari bagaimana Allah mengatakannya sebagai Ruh Ku.

Penggunaan kata “Ruh Ku” ini bukan ditafsirkan sebagai ruh Allah yang masuk dalam diri, melainkan ruh milik (ciptaan) Allah, meskipun di ayat lain Allah juga mengatakan sebagian dari ruh Ku, yang menggiring pada kita bahwa Allah menularkan sebagian dari sifat-sifatnya Nya kepada manusia lewat ruh itu.

Dengan ruh itulah manusia menjadi memiliki kehendak, berilmu pengetahuan, bijaksana, penuh cinta dan kasih, serta bagian-bagian sifat ketuhanan dalam skala manusia. Tuh adalah zat yang memiliki media penyampai sifat-sifat ketuhanan dalam kehidupan manusia.