Kamis, 01 April 2010

Allah Menyintai Orang-orang Salah

Tak enak rasanya jika kita punya kesalahan. Ada yang mengganjal, seperti ada semut masuk ke baju, apa-apa jadi tak tenang. Rasanya harga diri hilang, kewibawaan hancur, semua kebanggaan yang selama ini melekat jadi debu. Seakan diri menjadi bodoh dan nista dalam sekejap.


Karena inilah mungkin, banyak orang yang berusaha menghindar dari pertanggung jawaban atas kesalahannya. Ada dua jalan yang lazim ditempuh, mencari kambing hitan, atau melarikan diri. Keduanya sama-sama pengecut, cuma caranya saja yang berbeda.

Mungkin kita sudah kenyang melihat situasi seperti ini, di rumah hingga di tempat kerja. Biasanya, semakin tinggi status sosial (kekayaan dan kekuasaan) seseorang, akan semakin takutlah mereka untuk mengakui kesalahannya. Makanya ada ungkapan “boss tak pernah salah.”

Seorang kawan bercerita, betapa masygulnya dia ketika berbuat salah. Apalagi yang dia hadapi orang bermental durjana yang selalu menitik beratkan masalah pada keuntungan saja, sehingga apa saja yang dia sampaikan tak digubrisnya.

Padahal harga diri sudah pun dikorbankan, masih saja kurang. Rasa bersalahnya malah dijadikan modal untuk semakin menekannya. “Ya, mau apa lagi, terpaksa semua permintaannya saya turuti, dari pada mereka memutus hubungan dengan saya,” jawabnya.

Begitu ampuhnya rasa bersalah ini menjadi senjata untuk menekan, sampai-sampai pengacara Hotman Situmpul berpesan pada Akbar Tanjung, saat dia terlilit kasus dugaan korupsi beberapa tahun lalu, agar dia tak menundukkan wajahnya saat menghadapi penyidik. Karena, menurutnya, hal itu bisa dijadikan bukti bahwa kliennya itu benar-benar salah.

Jadi teringat kisah seorang teman. Nenak moyang bangsa Israel boleh dibilang hanya bisa berpikir bila melihat senjata di sampingnya. Maksudnya begini, Anda boleh punya tambang emas, namun orang masih bisa mencurinya, Nah, dengan punya senjata, jangankan pengusir pencuri, mengambil tambang emas milik orang lain pun bisa.

Semakin besar senjatanya, semakin besar pula tambang emas yang bisa dicuri. Dengan senjata inilah, kita bisa memelihara ketakutan orang di sekelilingnya. Kalau anak Palestina melawan dengan batu, mereka bunuh. Kalau melawan dengan bom molotov, mereka rudal kampung halamannya.

Inilah kiranya gambaran bila seseorang memelihara ketakutan orang untuk dijadikan senjata menekannya.

Karena itu, agama mengajarkan bahwa orang yang mau memaafkan itu lebih mulia dari pada yang meminta maaf. Bukan malah tambah menekan orang yang mau minta maaf.

Islam juga memandang, kesalahan berbeda dengan dosa. Meski sama-sama merusak, namun kadarnya jauh lebih ringan. Kesalahan (khata) adalah pembangkangan yang lahir dari ketidak tahuan atau keterpaksaan. Sedangkan dosa adalah pembangkangan terang-terangan atas larangan Tuhan.

Dalam sebuah hadis Allah berfirman, “Wahai Daud, sampaikanlah kabar gembira pada para pelaku dosa, dan peringatkanlah pada para pelaku kesalehan.”

Daud terheran-heran mendengarnya, “Bagaimana aku menyampaikan kabar gembira pada para pelaku dosa, dan memperingatkan para pelaku kesalehen?”

Allah menjawab, “Sampaikanlah kabar gembira kepada pelaku dosa, bahwa Aku menerima tobat mereka dan peringatkanlah orang-orang saleh agar mereka tidak bersifat ujub (takabbur), karena sungguh tidak ada seorang hambapun yang akan selamat jika aku mengadili perbuatan-perbuatan mereka,”

Kisah lain menyebut, Musa as adalah satu-satunya nabi yang dikaruniai kemudahan bercakap-cakap dengan Tuhan. Suatu hari di gunung Sinai, setalah melantnkan segala puji-pujian dia menyapa, “Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang beramal baik! Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang beribadah! Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang berilmu! Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang bertaqwa!”

Di akhir setiap sapaan itu Tuhan selalu menyapa balik, “Labbaik…” Tapi saat musa menyapa Tuhan dengan menyebut, “Ya Allah, wahai Tuhan orang-orang yang berdosa,” dia mendapat tiga kali sapaan balik, “Laibbaik… Labbaik… Labbaik..!”

Heran mendengar sapaan yang banyak itu, Musa bertanya, “Ya Allah, mengapa saat aku memanggil dengan sebutan ‘Tuhan orang-orang yang berdosa,’ Engkau menjawab ku hingga tiga kali?”

Karena orang yang berdosa, kata Tuhan kepada Musa, adalah hamba yang paling lemah dan paling tidak memiliki sesuatu yang dibanggakan. Sementara orang yang beramal baik, beribadah, berilmu dan bertaqwa, semua memiliki bekal sesuatu untuk dibanggakan.

Mereka memiliki bekal yang memadai untuk menghadap-Ku. (Karenanya) Orang-orang berdosa lebih Ku perhatikan dari pada yang lain, bila meminta ampunan-Ku, lantaran mereka adalah golongan hamba Ku yang paling membutuhkan rahmat dan kasih sayang-Ku.

Tuhan mampu menyayangi orang yang berdosa, apalagi hanya memiliki kesalahan. Tentunya, asalkan mereka mau bertobat dan memperbaiki kesalahannya.

Bila Tuhan saja memperlakukan seperti itu, tentunya kita, manusia, sebagai mahluknya, harus lebih mampu lagi. Karena dalam diri manusia itu bersemayam ruh Tuhan, yang tentu saja bisa menularkan 99 nama-nama terbaikNya (asmaul husna).

Kita tahu, malaikat tunduk kepada Adam ketika Allah meniupkan ruh-Nya kepada Adam. Setelah Allah menyempurnakan kejadian Adam sebagai seorang manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan, bahwa ruh itulah yang menyebabkan meningkatnya kualitas manusia, sehingga menjadikan para malaikat menghormatinya.

Ketinggaian zat yang disebut ruh itu, terlihat dari bagaimana Allah mengatakannya sebagai Ruh Ku.

Penggunaan kata “Ruh Ku” ini bukan ditafsirkan sebagai ruh Allah yang masuk dalam diri, melainkan ruh milik (ciptaan) Allah, meskipun di ayat lain Allah juga mengatakan sebagian dari ruh Ku, yang menggiring pada kita bahwa Allah menularkan sebagian dari sifat-sifatnya Nya kepada manusia lewat ruh itu.

Dengan ruh itulah manusia menjadi memiliki kehendak, berilmu pengetahuan, bijaksana, penuh cinta dan kasih, serta bagian-bagian sifat ketuhanan dalam skala manusia. Tuh adalah zat yang memiliki media penyampai sifat-sifat ketuhanan dalam kehidupan manusia.

Tidak ada komentar: