Minggu, 28 Maret 2010

Hati-hati Baca Buku

Akhir-akhir ini saya banyak diceletuki rekan-rekan sekantor. "Wah, rajin baca sekarang ya..." Mereka berkata demikian, karena sudah tiga bulan ini buku selalu tak lepas dari tangan saya.

Selama ini saya memang sangat suka membaca. Lha wong, saya wartawan kok, gimana ceritanya kalau tak suka baca? Bukan hanya baca saja, menonton siaran berita pun sangat doyan, mulai politik hingga gosip.

Cuma bedanya, selama ini yang saya baca bukan buku, melainkan situs-situs, mulai forum komunitas, hingga berita real time di internet. Koran? Pasti dong.

Baru sekitar tiga bulan inilahj saya mulai sering membaca buku. Ini dipicu, ketika kantor tempat saya bernaung, mulai punya perpustakaan kecil. Sangat kecil malah. Koleksinya kurang dari 100 buku dan ini terus bertambah.

Di samping itu, karena saya saat ini tengah membukin perpustakaan mini di ruang lantai dua rumah. Ini adalah investasi, sebuah teladan untuk anak saya kelak.

Kepada istri saya berpesan, silakan dibaca buku ini, namun ingat berhati-hatilah. Karena kadang buku ibarat ular. Indah namun memiliki bisa yang mematikan. Buku itu ibarat ikan kembung, bila diolah (dibaca) dengan baik maka akan terasa nikmat, namun bila diolah sembarangan bisa beracun yang dapat menewaskan yang melalapnya dalam sekejap.

Untuk itu, ingatlah, sebelum membaca buku kita harus memiliki konsep diri yang matang. Seperti apakah konsep diri kita, sehingga saat nanti membaca hal-hal baru, hal tersebut bisa bekerja menyaring dan mendiskusikan apakah baik atau buruk untuk kita ambil sebagai kebenaran.

Buku, apapun itu bentuknya, selalu saja memiliki efek cuci otak. Bila tak waspada, narasi-narasinya akan menggiring kita untuk memercayai sesuatu yang kadangkala belum tentu benar dan bisa diterapkan di dunia nyata.

Belum lagi, kadang buku-buku tersebut dikarang oleh orang yang kurang kompeten. Sebuah milis mengungkap, ternyata para penulis buku-buku motivator itu banyak gagal di dunia nyata. Yang ini saya juiga punya pengalaman sendiri.

Saya kenal seorang motivator bisnis, sudah banyak buku yang ditulisnya. Namun tahu tidak, dalam kenyataannya ternyata dia orang yang gagal berbisnis. Usaha donat yang dirintisnya hancur. Maka itulah, dia kini mengais rezeki dengan cara menjadi motivator.

Nah, apa jadinya bila saya membaca buku-bukunya, yang ternyata ditulis oleh orang yang gagal. Gimana saya mau berhasil bila saya menerima tips dari orang yang gagal? Secara psikologis saja sudah tak masuk.

Jadi ibarat dukun yang mengatakan punya ilmu untuk membuat kaya orang dengan minta imbalan tertentu. Sementara dia miskinnya minta ampun. Kenapa dia tak bikin kaya dia dulu, baru bikin kaya orang lain?

Contoh lain, ada seorang kutu buku yang selalu saja dalam setiap sikapnya menyandarkan diri pada teori-teori dari buku yang dibacanya. Padahal, hal tersebut sangat kurang tepat dipraktikkan dalam kondisi yang dia hadapi saat ini. Akibatnya, selalu terjadi pergolakan dan penolakan di lingkungannya.

Belum lagi sifatnya yang cenderung memaksakan opininya sebagai sebuah kebenaran. Suka memotong pendapat orang lain, sehingga proses komunikasi jadi hancur. Sementara bila diberi amsukan, marahnya minta ampun. Jadi terkesan sok pinter gitu. Hal ini bisa mengarah ke kufur.

Jadi ingat pada orang zionis Yahudi. Mereka itu, baru bisa berpikir ketika melihat senjata. Maka jadilah, mereka dengan senjatanya menebar rasa takut. Orang-orang Palestina yang berunjuk rasa, dibalas dengan mematahkan kakinya. Bila ada yang melawan di bunuh. Luar biasa.

Dari sini, saya jadi teringat nasihat ayah saya, “Biasanya orang yang suka membaca, dia tak suka mendengar. Sebaliknya, orang yang suka mendengar dia tak suka membaca. Hal yang baik adalah, saat dia membaca dia mau mendengar, di saat dia mendengar dia mau membaca,”

Nasihat inilah yang selalu saya pegang sampai saat ini. Sehingga bila saya membaca buku, saya selalu melakukan komparasi di internal dan eksternal diri saya. Dan saat saya mendengarkan sebuah pesan, saya pun membandingkan dengan apa yang terjadi di internal dan eksternal diri juga. Sehingga saya bisa memetik hikmah yang terkandung di dalamnya.

Saya ingatkan lagi, wahyu pertama Allah pada Nabi Muhammad adalah “Bacalah, dengan nama Tuhanmu!”

Artinya, segala sesuatu itu harus dikembalikan kepada Tuhan, bukan untuk menentangNya. Maka dari itu, Rasulullah sebelum perintah ini turun, telah dibekali dulu benteng iman yang kuat, meskipun dia sendiri adalah orang yang buta baca tulis.

Tidak ada komentar: