Jumat, 26 Maret 2010

Si Apa di Belakang Mereka?


Saat ini, Kepulauan Riau dimeriahkan oleh pelilihan umum kepala daerah, mulai level kabupaten hingga provinsi
.


Terus terang, saya pribadi kurang begitu tertarik untuk membedah visi dan misi para calon itu. Bukannya mengatakan bahwa hal tersebut tak penting, namun kenyataan membuktikan bahwa kadang visi dan misi hanya dibikin sebagai gugur kewajiban para calon. Kalau mau menjadi calon kepala daerah, ya minimal harus punya visi dan misi.

Parahnya, kadang visi dan misi ini bukan karya orijinal sang calon, namun buah tangan dari para staf, tim sukses, atau perusahaan pencitraan. Jadilah visi dan misi saat ini tak lebih dari bagian teknik memasarkan sang calon. Visi dan misi tak ubahnya mirip iklan obat flu atau jamu masuk angin. Cuma bedanya, visi dan misi berdurasi panjang. Namun intinya sama saja.

Pertama masyarakat diperlihatkan akan ketidakberesan yang sekarang terjadi, lalu ujungnya ditutup dengan anjuran untuk memilih sang calon, sehingga semua ketidak beresan ini akan berakhir (sembuh).

Namanya juga iklan, makanya dikemas sangat menarik. Di dalamnya dimasukkan teknik pencitraan dan semacamnya. Mirip ungkapan Mister Crabs di film kartun Spoengebob, “The money is always right.”

Maka jangan heran bila terkadang dalam perjalanan kepemimpinan kepala daerah terpilih, antara visi dan misi dengan pelaksanaan berbeda jauh. Dulu janjinya begini, setelah duduk, kok begitu?

Jangan heran, semua ini adalah bagian dari sebuah proses manajemen: seni memanfaatkan tenaga manusia. Dengan manajemen yang baik, kepemimpinan akan lebih berwibawa.

Seorang calon hebat saat ini tak lagi diukur dari sederet titel yang dimiliki, karena bila ternyata tak jeli memanfaatkan tenaga terampil di sekelilingnya, maka tak akan berarti.

Tapi meski orang biasa saja, namun mampu menempatkan orang-orang terampil sesuai keahliannya, maka dia akan menjelma menjadi pemimpin yang hebat. Soal kekurangan, bisa mereka tutupi dengan membentuk tim yang tangguh yang siap memberikan saran hingga mengkonsep piodatonya.

Kembali lagi soal visi dan misi, bedasar uraian di atas itulah, saya tak terlalu tertarik membedahnya. Saya malah lebih tertarik mencermati siapa di belakang yang menyokong dana kampanye para calon itu.

Inilah yang lebih penting, karena merekalah nantinya yang sangat perkasa untuk mempengaruhi kepemimpinan sang kepala daerah kelak.

Sudah menjadi rahasia umum, untuk bisa maju menuju kursi kepala daerah dibutuhkan modal uang yang tak sedikit.

Sebuah partai politik yang masuk 5 besar saja mematok Rp15-hingga 20 miliar, untuk mendukung seorang calon yang nota bene bukan dari kadernya. Dengan asumsi satu kursi Rp250 juta. Ini baru satu partai, kalau banyak partai, tinggal kalkulasikan saja.

Belum lagi untuk membayar perusahaan pencitraan yang saat ini sedang ngetren, seiring popularitas presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kabarnya, perusahaan pencitraan ini mematok angka Rp12 miliar untuk menggarap pencitraan calon gubernur, sedangkan untuk wali kota Rp7 miliar.

Merekalah nantinya yang akan bekerja agar sang calon tampak sempurna. Baik dari sisi penampilan, motto, hingga visi dan misinya. Mereka jugalah yang nantinya mengemas iklan-iklan di media massa, sehingga masyarakat menjadi yakin untuk memilih calon yang dimaksud.

Ini baru yang sah, yang selanjutnya disebut political cost, belum lagi yang tak sah (bila memang ada) dengan apa yang disebut money politic, tentu akan lebih besar lagi. Bisa membuat kantong bengkak hingga ratusan miliar rupiah! Kian besar daerah dan jumlah penduduk, kian banyak juga dana yang dibutuhkan. Luar biasa memang.

Karena itulah, seorang calon memerlukan penyandang dana tadi untuk memberikan sokongan finansial yang kuat. Hal ini bisa dari perorangan, biasanya konglomerat, atau dari kelompok (grup).

Namun tentu saja, tak ada yang gratis. Karena biasanya mereka memeinta kompensasi agar sang pengauasa nantinya, mau menyokong semua rencana-rencana (baca: proyek) mereka baik yang akan atau sudah berlangsung. Dan, ini yang penting, mau menjadi tameng bila pekerjaan mereka bermasalah.

Di luar negeri, hal ini juga sudah umum diketahui. Tentunya kita sudah banyak mendengar bahwa beberapa presiden Amerika dana kampanyenya disokong oleh pengusaha minyak. Sehingga sempat berkembang kabar juga, invasi atas Irak sebenarnya bukan karena negara itu memiliki senjata pemusnah massal, namun untuk meraih kontrol atas minyak dan gas alam di sana.

Salah satu kelompok yang paling terkenal adalah Bilderberg Group. Ini disebut-sebut organisasi rahasia paling berpengaruh yang mengendalikan dunia saat ini. Organisasi ini berdiri pada tahun 1954, anggotanya adalah orang-orang paling berkuasa di dunia.

Mulai dari konglomerat kelas wahid meliputi bisnis media, keuangan, consumer goods, hingga para bangsawan Eropa, kumpul di sini. Di meja pertemuan kaum imperialis inilah, nasib Anda, keluarga Anda, bahkan anak cucu Anda ditentukan.

Sebuah buku karangan Daniel Estulin mengungkap sepak terjang organisasi ini. Menurutnya, hanya sedikit orang-orang terpilih yang diundang karena para anggota Bilderberg berpikir bahwa orang itu merupakan perangkat berguna di dalam rencana globalis mereka dan kemudian dibantu untuk meraih posisi yang kuat dalam pemilu. Namun bila orang yang terpilih itu gagal, maka akan disingkirkan.

Contoh yang paling dramatis dari "rekrut berguna" ini adalah Gubernur Arkansas yang tak populer, Bill Clinton yang diundang menghadiri pertemuan rahasia Bilderberg pertamanya di Baden-Baden Jerman, 1991.

Saat itu anggota inti organisasi ini, David Rockefeller mengatakan pada Clinton mengapa North America Free Trade Agreement (NAFTA) adalah prioritas Bilderberg, untuk itu mereka membutuhkan Clinton untuk mendukungnya.

Setahun kemudian, Clinton terpilih sebagai persiden Amerika, dan dialah yang menjadi pendukung kuat NAFTA!

Sepak terjang Bilderberg Group tak hanya bermain di tataran pemimpin Amerika saja, namun juga negara kuat di Eropa, seperti Inggris, Italia, hingga Prancis. Bahkan mereka juga masuk menentukan para pemimpin pakta militer, seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO/Pakta Pertahanan Atlantik Utara) .

Mereka lah yang diduga di balik kemenangan Tony Blair (PM Inggris/1997), Romano Prodi (Presiden Eropa/1999 kemudian menjabat PM Italia 2006), hingga George Robertson (Sekjen NATO).

Lalu apa tujuan organisasi ini? William Shannon pernah mengatakan, Bilderberg sedang mencari era pascanasionalisme: era ketika kita tidak memerlukan negara, tapi hanya wilayah-wilayah di bumi yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal.

Itu berarti ekonomi global, pemerintahan satu dunia (yang diseleksi), bukan dipilih melalui pemilu) dan agama universal.

Untuk menyakinkan diri sendiri dalam meraih sasaran-sasaran ini, Bilderberg berfokus pada "pendekatan" teknis yang lebih besar dan kurangnya kewaspadaan sebagai wakil dari khalayak umum.

Saya sendiri kurang tahu apakah pengaruh Bilderberg Gruop ikut bermain dalam menentukan siapa calon kepala pemerintahan di sini, namun demikian praktik ala organisasi ini sudah kita ketahui bersama.

Seperti yang saya singgung di atas, bukan rahasia lagi ada kelompok dengan finansial kuat, menjadi penyandang dana kampanye calon presiden, calon gubernur, hingga bupati/wali kota di negeri ini.

Yang paling heboh, apa yang terjadi saat Wakil Gubernur Riau Wan Abubakar melakukan perang terbuka dengan Rusli Zainal, Gubernur Riau, pasangannya sendiri, di akhir masa jabatannya tahun 2008 lalu.

Dia mengungkap bahwa Rusli Zainal tak berdaya menolak keinginan beberapa pengusaha, karena mereka nota bene telah membantu dana kampanyenya hingga puluhan miliar rupiah. Praktik seperti ini (membantu dana kampanye dengan deal-deal tertentu) juga terjadi di daerah lain, cuma tak ada yang berani mengungkapkan saja.

Saya menyambut baik bahwa saat ini sudah ada peraturan bahwa calon kepala daerah harus melampirkan surat keterangan bila mereka berutang. Namun, alangkah lebih baiknya bila ada audit dulu dana kampanye mereka, khususnya siapa yang mendanainya.

Kalau ini dinilai tak keburu, para calon harus terbuka mengatakan siapa penyandang dana kampenyenya, sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan dengan baik.

Sebab, bila di belakang mereka orang-orang "berhati mulia" tak masalah, namun bila penyandang dananya ternyata seorang konglomerat hitam, tentu akan bahaya. Yang lebih bahaya lagi, bila dana kampanye itu ternyata hasil korupsi.

Ujung-ujungnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Yakinlah, bahwa tak akan tercipta pemerintahan yang bersih bila sumbernya sudah kotor.

Tidak ada komentar: