Jumat, 27 Maret 2009

Dia (Tidak) Lalok (1)

Ini adalah kisah antara aku dan Dia, kawanku, pemuda Minangkabau yang saya kenal sejak pertama kami merintis karier sebagai wartawan di Batam.

Kisah ini bermula di pada Maret tahun 2000, di mana saat itu saya masih bertugas sebagai reporter di sebuah koran kriminal yang baru saja kuncup, 14 Februari 2000. Masih sebulan lah. Saat itulah, kamtor kami kedatangan seorang reporter baru.

Kesan pertama yang saya tangkap, penampilannya cukup rapi, dengan baju kuning tanah motif garis kotak ala ranger, berpadu celana kargo coklat tanah. Wajahnya khas pesisir Minangkabau, dengan rambut potongan ala Andy Lau, potongan yang lagi ngetrend kala itu.

Pemuda tersebut diperkenalkan bernama “Dia”. Katanya, sudah memiliki pebngalaman sebagai jurnalis di nagari asalnya, Sumatera Barat. Adalah Redaktur Pelaksana kami yang menerima dia bergabung dengan kami, yang memang kala itu sangat kekurangan tenaga reporter.







Sejak Dia datang, saya cukup senang, karena saat itu saya mendapat partner dalam bertugas. Setelah kami dapat motor pinjaman dari kantor, saya dan Dia kerap jalan bersama hingga ke ujung Batam untuk mengejar berita.

Pernah suatu saat saya menderita kecapekan akibat digendongin jin penunggu pohon besar, saat meliput penemuan mayat di Bukit Mata Kucing, Dia-lah yang selalu menjadi joki. Hingga akhirnya jin itu berhasil saya usir, setelah saya meminta bantuan Pak Wachdiat, kawan saya, ahli supranatural, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Wasdakim Imigrasi Batam.

Selain kekompakan tim, di lapangan saya sering dibuat kagum akan keberanian Dia. Kadang kami dihadapkan pada sebuah peristiwa penemuan mayat yang telah membusuk dan berulat. Seperti yang terjadi di Baloi. Sepasang kekasih tewas gantung diri dan mayatnya ditemukan 10 hari kemudian.

Kalau hanya mayat, mungkin saya masih tahan, tapi baunya itu yang tak kuat. Saat itulah, Dia maju ke depan dua mayat itu, krek... krek... tanpa bau sedikitpun dia memotret.








Di kamar mayat, kinerja Dia juga trengginas. Kadang dia ikut menyaksikan kepala Kamar Mayat RSOB, Ujang mengotopsi mayat. Membersihkan luka, ulat dan sebagainya, hingga akhirnya masuk ke peti es.

Tak hanya siang, malam haripun Dia cukup tangkas. Kalau ada peristiwa di atas pukul 10.00, Dia dan saya segera turun. Biasanya, peristiwa yang kerap terjadi di zaman tersebut adalah perkelahian kelompok yang umumnya memperebutkan kapling perjudian. Maklumlah, saat itu judi masih legal di Batam.

Di kepolisian Dia juga mudah akrab. Banyak bintara yang jadi temannya, sekaligus jadi informannya. Kesamaan daerah dan bahasa membuatnya mudah berkomunikasi, hingga membentuk ikatan yang mengikat, the tie that bind.

Semua hasil karya Dia ini membuat Pemred, dan khususnya Redpel kami senang. Beritanya bagus-bagus, fotonya seram-seram. Saking bangganya, dia sempat berkata seperti ini pada saya, “Kau lihatlah berita Dia ini, tiap hari jadi ha-el (HL/head line) terus!” katanya. Saya terima saja, memang Dia sangat cocok di bisnis ini.








Karena sering berdua di lapangan, hubungan saya dan Dia pun kian akrab. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk kos bersama. Urunan sewa kamar di sebuah ruko, belakang kantor kamui di Jodoh.

Ya. Beginilah kos-kosan di Batam. Ruko tiga lantai yang tiap lantai dibagi (diskat) beberapa petak dengan triplek tipis. Sewa kamar saat itu hanya Rp200 ribu. Saya dan Duia patungan, Rp100 ribuan. Kadang satu kamar bisa ditempati 4 orang, tergantung kesepakatan dengan induk semang.

Yang unik, ketika pagi menjelang, kami harus rebutan kamar mandi yang luasnya hanya 1x1 meter. Di kamar mandi inilah, penghuni roku mandi, kakus bahkan nyuci.

Kadang kalau hanya mandi, 15 menit sudah kelar. Yang bikin kesal, ada yang melakukan 3 in 1, ya mandi, ya e-ek, ya nyuci. Ampun, satu orang sampai 2 jam! Kalau tak ada kerjaan tak masalah, tapi kalau diburu waktu atau kebelet banget, stress juga. Makanya, kalau sudah begini, saya mending mandi saja di kantor. Tinggal jalan sebentar saja, sudah sampai.








Satpam kantor, Yohannes Kopong Suban, Radot Sitinjak, dan Mustofa, paling paham akan ritual saya ini. Pokoknya kalau saya sudah ke kantor-pagi-pagi sambil bawa gayung dan handuk, merekapun menyambut dengan senyum simpul, “He he he... mau mandi ya?” akupun menjawab singkat, “He eh!”

Hidup di ruko juga kadang ada asyiknya. Terutama bagi mereka yang bertetangga dengan pasangan muda. Kadang tiga kali seminggu, di atas jam 01.00 dini hari, mereka bisa mendengar desahan nafas sepasang insan yang sedang bercinta.

Maklumlah, semua bisa jelas di telinga, karena batas antar kamar hanyalah triplek tipis. Kalau mau lebih beruntung, triplek itu bisa dibikin lubang rahasia yang bisa dibuka tutup dan dipergunakan untuk mengintip.

Itu jualah harapan saya dan Dia saat kos di ruko. Namun hal itu tak terjadi. Tetangga kami bukanlah pasangan suami istri, melainkan seorang wanita simpanan yang sedang hamil pula.







Jadi, kadang kami sering mendengar desahan dia kesakitan atau saat bertengkar dengan istri sah suaminya. Sumpek banget. Bahkan pernah pada pukul 03.00 dini hari, kamar kami diketuk karena wanita tersebut mau melahirkan. Maka pontang pantinglah saya dan Dia menelepon suaminya agar segera datang.

Tak lama, sekitar satu jam kemudian, atau pukul 04.00, si suami datang. Itupun masih belum juga membantu istri simpanannya ke dokter, sebab dia masih terlibat pertengkaran sengit dengan istri tuanya via ponsel. Ramai deh. Huh... seru juga.

Dia (Tidak) Lalok (2)

Akibatnya, saya dan Dia baru bisa tidur pukul 05.00-an. Kebayang kan bangunnya jam berapa? Pas pukul 11.00, pas lapar banget. Untung saat itu hari Sabtu, the off day.

Saat lapar ini, kami punya pilihan. Warung padang di seberang jalan komplek Jodoh Square, menjadi favorit kami. Saya tahu rumah makan ini karena Dia yang ngajak. Maklumlah, Dia memang tak bisa makan kalau tanpa nasi padang.

Di sini yang jadi favorit kami selalu gulai kepala ikan. Rasanya juicy banget. Daging ikannya jadi kok jadi legit begitu. Selain di sini, rumah makan favorit kami adalah di Jodoh, letaknya di sebelah tangga pasar Jodoh. Di sini saya paling suka makan dengan sayur kangkung.

Yang paling khas dari semua rumah makan yang kami datangi, selalu menyajikan teh goyang. Sebuah minuman selamat datang. Biasanya teh tanpa gula, namun tetap enak dan harum pandan.







Ya, masakan padang memang enak. Orang-orang Minang ini memang ahli mengolah masakan. Kalau di China daratan, mereka ibarat orang Kanton. Keahliannya memasak, luar biasa. Bahkan jika orang Kanton memasak ayam, semua bagian tubuhnya, mulai paruh hingga cakar, bisa dimakan. Kecuali bulunya saja.

Selain belajar makan masakan Padang, saat bersama Dia saya juga belajar berbahasa Minangkabau. Caranya, saya memperhatikan bagaimana mereka berkomunikasi. Maklumlah, di Batam, banyak orang Padang yang konsisten dengan bahasanya. Jadi mudah dipelajari. Jika tak mengerti saya bertanya pada Dia. Dari sanalah saya memperkaya perbendaharaan bahasa Minang ini.

Selain itu, bahasa Minang memiliki banyak persamaan dengan bahasa Melayu, jadi tak terlalu menyesuaikan dirinya. Misalnya, kemana jadi kamma, berapa (bara), sini (siko), bagaimana (ba'a), kabar (kaba), kampung (kampuang/khusus lafal "u" selalu dibaca "ua").

Beda dengan bahasa Tapanuli (Batak) yang jauh langit dan bumi. Sehingga sampai saat inipun, saya sangat kesulitan menguasai bahasa ini. Paling banter hanya bisa bilang ”nang adong hepeng” yang artinya tak ada uang. Lain itu tidak.









Ada pengalaman unik ketika saya belajar bahasa Minang ini.

Seperti biasa, usai meliput sekitar pukul 13.00, Dia tak langsung ke kantor, tapi memilih tidur dahulu. Setelah pukul 15.00 Dia bangun, mandi, lalu pukul 16.00 langsung ke kantor, ngetik laporan.

Beda dengan saya, usai meliput langsung ke kantor. Di sinilah kadang saya kerap ditanya oleh Pemimpin Redaksi, di mana Dia berada. Kalau sudah begitu, jawaban saya singkat. ”Lalok Bang!”. Artinya ”tidur”. Maklumlah, saya ingin memamerkan pada Pemred bahwa saya sekarang belajar bahasa Padang.

Pemredpun langsung mengrti. Maklumlah dia berasal dari Pekanbaru. Meski Pemred saya bukan orang Padang, namun rata-rata orang Pekanbaru mengerti bahasa Padang, karena bahasa ini menjadi bahasa bisnis mereka.

”Kalau belanja di Pekanbaru, harus berbahasa Padang, jadi bisa dikasih murah,” jelas Pemred saya, suatu ketika.







Hingga hari-hari berikutnya, saat melihat saya mengetik laporan, Pemred masih bertanya di mana dia beada. Saya jawab, “Lalok, Bang!” pertanyaan ini terus berulang,

”Mana Dia?”

”Lalok!”

”Mana Dia?”

”Lalok!”

”Mana Dia?”

”Lalok!”

Dia, Lalok.

Dia, Lalok.

Dari pertanyaan dan jawaban berulang akan Dia inilah, akhirnya menimbulkan Lalok jadi melekat pada nama Dia, hingga dia disebut ”Dia Lalok.” Dalam perkembangan selanjutnya, Dia pun dipanggil ”Lalok” saja.

Uniknya, Dia menikmati betul nickname barunya ini. Hingga kadang, Dia tak mau menoleh saat disebut nama aslinya. Namun, saat dipanggil ”Lok... Lalok...” Dia langsung merespon.








Saya kadang sedikit bertanya, ngapain dia tidur dulu sebelum ngetik berita? Bahkan saya sempat mencelanya. Namun lama-lama saya sadar, hal itu merupakan solusi cerdas. Sehingga Dia bisa mengetik laporan dengan kondisi yang fresh. Tak seperti umumnya wartyawan yang datang ke kantor dengan muka pucat, lusuh, seleke dan kantung mata tebal akibat kantuk.

Toh, dia melakukan itu beritanya tetap hebat, tetap jadi headline dan tak pernah telat deadline. Di samping itu, saat Dia diminta mengejar peristiwa yang baru terjadi, tenaganya juga lebih sigap, karena sudah di-charge tadi.

Yang saya pelajari di sini adalah, manajemen waktu. Dia paham betul berapa lama waktu yang dia habiskan menulis satu berita, sehingga bisa dikalkulasikan total waktu dengan batas akhir, sehingga dia bisa mengatur waktu kapan mulai mengetik dan kapan dia harus berhenti.

Inilah yang disebut perencanaan, inilah manajemen. Karena kerja media juga tak lepas dari dua hal ini.

Ah ternyata Dia tidak Lalok.

---------------
Prescript:

Setelah melewati masa kos-kosan di ruko, saya dan Dia terus berteman. Setelah setahun di koran kriminal, saya diminta kembali ke koran induk, sementara terakhir saya dengar Dia pindah ke perusahaan pers lain.

Namun, akhirnya Dia keluar, dan akhirnya Dia kembali ke koran tempat saya bekerja. Selanjutnya, kami bersama lagi satu kos kali ini di rumah yang kami kontrak di Baloi. Kami berpisah kamar, setelah Dia menikah.

Hingga tahun 2006, kami berpisah. Dia menggawangi koran baru masih grup kami.

Selasa, 24 Maret 2009

Dosa Kecil Terindah (1)

Aku sebenarnya kurang piawai dalam berbohong, meski itu hanya bercanda. Namun entah mengapa, saat itu kebohongan saya menuai sukses. Namun tak bertahan lama. Selang beberapa hari kemudian, terungkap.


Ceritanya begini, kala itu sekitar tahun 1990-an, Indonesia diguncang musik slow rock ala Malaysia. Di mana-mana, alunan musik ini mengalun. Di radio, televisi, bahkan di kampung-kampung, anak-anak muda pun menyanyikannya.

Tingginya animo masyarakat akan lagu-lagu negeri jiran ini, membuat TVRI dan RRI membikin program khusus yang menampilkan artis dan lagu-lagu Malaysia.

Amy Search, Saleem Iklim, Ella, dan beberapa nama lain merupakan nama artis Malaysia pujaan ramai kala itu. Lagu-lagunyapun populer, mulai anak-anak hingga nenek-nenek banyak yang hafal.

Ya, siapa sih yang tak kenal lagu Isabella, Suci Dalam Debu, atau Pengemis Cinta.








Di zaman itu, mayoritas anak muda akan kelihatan kuno jika tak kenal lagu-lagu Malaysia. Di antara jutaan generasi muda itu, adalah aku, M Riza Fahlevi, dan dua teman saya Yusuf (biasa dipanggil Yusup) dan Muslim (biasa dipanggil Lim). Dua tokoh inilah yang akan saya tampilkan di tulisan saya kali ini.

Pada suatu hari... atau biar keren one upon a time di kampung Kotta, Sangkapura, Pulau Bawean, Jawa Timur. Tersebutlah saya yang sedang gandrung lagu Malaysia.

Seperti hari-hari biasa, tiap pukul 16.00 sore, saya selalu ditemani radio dua band entah apa mereknya.

Saat santai itu, saya mengisinya dengan mendengar siaran Radio RKPD Gresik. Biasanya pada jam-jam segitu, mereka selalu memutar lagu-lagu top di Indonesia. Tentu saja isinya mayoritas lagu Malaysia.

Hingga akhirnya, telinga saya tertarik akan sebuah lagu yang belum pernah saya dengar. Menurut penyiarnya, ini adalah lagu baru Ella. Sedap sekali, sehingga pemutarannya selalu saya nantikan pada sore-sore berikutnya.

Supaya puas, saya punya ide untuk merekamnya. Hingga pada hari berikutnya, keinginan saya kesampaian. Proses merekam pun sukses. Kini jadilah saya bisa memutar lagu tersebut, kapan dan dimanapun yang saya mau.









Tak hanya itu, saya juga bisa menghafal liriknya, kemudian saya tulis di kertas dan saya mainkan dengan kecrekan gitar bolong, tiap pagi dan sore.Sekadar diketahui, gini-gini saya bisa juga main gitar. Namun sebatas cord-cord standar aja, itupun tak jauh dari grip 1, he he...

Setelah lagu itu saya kuasai, saya ada keinginan memamerkannya pada Muslim dan Yusuf.

Hingga setelah salat Maghrib, saya main ke rumah Muslim yang berada di kampung sebelah, namanya Bengkosobung, jaraknya 100 meter dari rumah saya. Kebetulan juga Yusuf ada di sana. Ya udah, sekali menyelam nemu mutiaralah.

“Hei, Lim, aku puya lagu baru. Enak,” teriakku pada mereka. Lim menoleh, Yusup juga.

“Mana gitarmu, biar saya mainkan. Kita nyanyi entar ya. Ini saya bawa catatannya,” lanjut saya.

Lim menurut, lalu berganjak ke kamarnya, mengambil gitar bolong dan diserahkan pada saya. Ehm... Sayapun mulai genjreng-genjreng dan bernyanyi memainkan lagu ini.

Fantastis. Tak nyangka, mereka langsung tertarik. “Mantap sekali Ja!” pujinya, (Mereka panggil aku "Rija". Maklumlah, lidah orang Bawean tak bisa menyebut huruf “Z”).










“Lagu siapa ini,” kejar Lim.

“Apa judulnya?” sambung Yusuf.

Melihat antusiasme mereka akan lagu ini, aku makin di atas angin. “Oh, rupanya mereka belum tahu lagu ini. Padahal ini lagu ngetop banget,” bisik saya dalam hati.

“Ayo lagu siapa?” tanya mereka. Saya lihat, mata Lim dan Yusuf, sangat penasaran menungga jawaban dari saya.

“Ini lagu ciptaan saya Sup!” balas saya spontan.

“Ha?! Enak sekali. Masak?” Yusuf tak percaya.

“Iyalah. Emang kamu pernah dengar lagu ini?” tanya saya. Mereka hanya diam, lalu menggeleng.

Perlahan, mereka mulai mempercayai omongan saya. Bagi mereka, masuk akal saja saya bisa mencipta lagu, sebab selama ini saya adalah seorang vokalis di Grand Funk, band top di Bawean beraliran Rock Dangdut.

Dosa Kecil Terindah (2)

“Judulnya apa?” tanya Yusuf. Rupanya dia masih penasaran, pertanyaan utamanya dari tadi belum saya jawab.

“Oh iya ya, judulnya apa? Kenapa saya ceroboh tak mencari tahu apa judulnya?” bisik saya dalam hati.

“Ini saya kasih judul Di Dalam Sendu!” jawab saya sekenanya. Judul tersebut saya ambil dari kalimat terakhir pada syair lagu tersebut.

“Ya udahlah, yuk mainkan lagi,” kata Lim. Kamipun larut, genjreng-genjreng.







Di antara Yusuf dan Lim, ternyata Lim lebih cepet hafalnya. Dia juga tampak lebih menjiwai. Tak sadar, sesekali matanya merem melek mengikuti cengkok lagu nan syahdu ini. Ada kalanya urat lehernya keluar, saat lagu menginjak reffren.

Bahkan, Lim tak ragu berteriak saat sampai pada syair... Ombak yang mendatang... yang kebetulan, berada di puncak nada oktaf tertinggi pada lagu tersebut.

Tak terasa dua jam sudah menyanyikan lagu ini secara trio. Akhirnya kami kecapekan, lalu berpisah pulang ke rumah masing-masing. Sepanjang jalan ke rumah, saya selalu tersenyum sendiri melihat Yusuf dan Lim percaya saja saat saya bilang bahwa lagu itu adalah lagu ciptaan saya.

“He he he, padahal ini lagu baru Ella,” batinku sumringah.

Hari berganti, kami pun kerap memainkan lagu ini bersama Lim dan Yusuf. “Ayo Ja, kita mainkan lagu Di Dalam Sendu, ciptaanmu lagi,” begitu ajak mereka, tiap bertemu dengan saya.







Hingga selang sebulan, pak pos datang ke rumah membawa paket kiriman dari kakak saya, yang saat itu masih dosen tak tetap di Universitas Muhammadiyah Malang. Isinya, oh... sebuah kaset. Saya buka bungkusnya, ternyata album baru Ella yang lagunya tengah saya gandrungi itu.

Di album tersebut, lagu favorit ini berada di tangga nomor tiga. JUDULNYA: Sepi Sekuntum Mawar Merah. “Oh, ini toh judulnya. Bukan Di Dalam Sendu seperti yang aku sangka.

Singkat kata, begitu malam menjelang, saya bawa kaset ini ke rumah Lim. Bukan main perasaan mereka, ketika tahu bahwa lagu yang mereka suka dan saya klaim sebagai lagu ciptaan saya, ternyata lagunya Ella.

“Wa.... aku pikir ciptaanmu beneran Ja...” ujar Lim. Yusuf pun ketawa cekikikan.







“Hik kik kik kik... Aku juga heran, kok lagu ciptaanmu enak begini... ternyata lagunya Ella... kik kik kik...” balas Yusuf.

Kamupun tertawa bersama. Ha ha ha ha... Kik kik kik...

Ya sudah, meski kebohonganku terungkap, hingga saat ini setiap kami mendengar lagu tersebut, selalu Yusuf nyeletuk sambil nyengir, “Hi hi hi, ini kan lagu yang dulu kamu bilang ciptaanmu ya, hik hik hik...”

Hingga saat ini, peristiwa tersebut saya kenang sebagai dosa kecil terindah dalam hidupku.



--------------
Keterangan:

Di mana Lim dan Yusuf sekarang?
Lim sudah menjadi orang kaya dan tinggal di Batam. Dia bekerja pada kapal Minyak di Singapura.

Yusuf bekerja sebagai fotografer koran ternama di Batam. Namanya sudah mengukir prestasi sebagai fotografer di tingkat nasional.

Penasaran lagu ini? Klik di
http://www.4shared.com/file/38895427/915c8422/Ella_-_Sepi_Sekuntum_Mawar_Merah.html?s=1

atau di
http://www.imeem.com/atuf25/music/yJBfhalP/ella-sepi-sekuntum-mawar-merah/

Mau lihat videonya:
http://www.youtube.com/watch?v=vhANCp7ATkI&feature=related


Ini Syairnya

Sepi Sekuntum Mawar Merah

Berulang kali kumencuba
Memujuk hati
Lupakan semua
Kenangan...

Namun mimpi bertemu lagi
Di saat engkau
Tiada di sisi...

Ku berpegang pada janji
Tercipta ... antara kita dulu
Hilangmu tiada berganti
Biarlah ... begini

Ku belayar di lautan
Tidak bertepian
Sesekali disedarkan
Ombak yang mendatang
Aku seperti hilang
Punca arah dan ... tujuan

Aku puisikan namamu
Bersama rindu
Di dalam sendu ...



Berulang kali kumencuba
Memujuk hati
Lupakan semua
Kenangan...

Namun mimpi bertemu lagi
Di saat engkau
Tiada di sisi...

Ku berpegang pada janji
Tercipta ... antara kita dulu
Hilangmu tiada berganti
Biarlah ... begini

Ku belayar di lautan
Tidak bertepian
Sesekali disedarkan
Ombak yang mendatang
Aku seperti hilang
Punca arah dan ... tujuan

Aku puisikan namamu
Bersama rindu
Di dalam sendu ...

Jumat, 20 Maret 2009

Keyboard untuk Regalia

Pulang kantor pukul 17.45 (Jumat 20/3), ada sedikit keceriaan di rumah. Regalia, putri ku, sedang asyik. Sebuah keyboard mini tiga oktaf merek Casio, terbentang di depannya. Jemari kecilnya lincah menekan-nekan tuts demi tuts, memainkan nada tak beraturan.

“Dari mana asal keyboard ini?” batin saya bertanya. Oh, rupanya baru saja dibelikan oleh pak ciknya (om) kakak saya yang kepala sekolah itu. Tadi siang dia mampir sejenak ke tempat pasar barang-barang seken terbesar di Batuaji. Meski seken namun kondisinya masih bagus.

Memang, sudah seminggu belakangan ini, kakak saya kepingin sekali membelikan Regalia keyboard. “Bagus untuk otak kanannya,” jelasnya pada saya kala itu. Ah, rupanya hari ini dia benar-benar menepati janjinya.

Kakak saya memang seorang psikolog. Dulu, saat psikolog kawakan Sartono Muqadis berdinas di Pikori (Persatuan Istri Karyawan Otorita Batam), kaka saya diminta membantunya selama beberapa bulan.








Meski saat ini dia tak lagi berpraktik sebagai seorang psikolog, namun, ilmu itu tetap dia terapkan. Di sekolahnya, banyak wali murid yang bertanya padanya soal perkembangan anak. Dan berkat sentuhan tangannya, sekolah yang dipimpinnya maju dari segi kualitas SDM, maupun pengembangan belajar mengajar.

Dan memang sejak Regalia lahir, kakak saya ini kerap memperhatikan perkembangannya. Termasuk rajin membelikan mainan berkualitas, sehingga kognisi Regalia tetap terjaga baik. Banyak sudah yang sudah dibeli, rata-rata memiliki beragam tombol yang mampu mengeluarkan suara. Ada telepon-teleponan, boneka, stir mobil dan yang terakhir, ya, keyboard ini.

Ah, saya jadi terharu. Jadi teringat, betapa saat masih remaja, saya sangat menginginkan alat ini. Namun apa daya, mau beli, saya hanyalah orang miskin. jalan yang sering saya lakukan, dengan cara meminjam keyboard milik Grand Funk, grup musik, di mana saya bergabung sebagai vokalis.

Lamunan saya jadi berlanjut. saya teringat sebuah kalimat bijak yang katanya, hidup kita saat ini hanyalah mengulang alur hidup orang-orang tua pendahulu kita. Tampaknya ada benarnya juga. Dulu, saat saya masih kecil, ayah sering memainkan accordion untuk mengantar saya tidur. Dan kini, Regalia juga kami kenalkan pada keyboad.

Keyboard memang bagus untuk perkembangan otak anak. Alat inilah yang menjadi salah satu rahasia kecerdasan orang Yahudi.







Sebuah artikel yang saya baca dari Dr Stephen Carr Leon, menulis dari pengamatan langsung setelah berada 3 tahun di Israel. Di sana dia mencari tahu mengapa Yahudi sangat cerdas. ternyata ada rahasianya.

Mulai dengan persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu akan sering menyanyi dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suami. Tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan.

Selanjutnya begitu si anak lahir, sejak kecil mereka telah dilatih bermain piano dan biola. Ini adalah suatu kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not dapat meningkatkan IQ. Sudah tentu bakal menjadikan anak pintar. Ini menurut saintis Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak. Tak heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi.

Bermainlah nak, namun tetap smart ya...

Bagaimana menurut Anda?














---------------
Pre Script:

Kecerdasan orang Yahudi tak lepas juga dari pola makannya. Sejak awal mengandung, si ibu suka memakan kacang badam dan kurma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan.

Menurut wanita Yahudi itu, daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandungi kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak di dalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung. menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan.

Uniknya, mereka akan makan buah buahan dahulu sebelum hidangan utama. Jangan terperanjat jika Anda diundang ke rumah Yahudi Anda akan dihidangkan buah buahan dahulu. Menurut mereka, dengan memakan hidangan kabohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah buahan, ini akan menyebabkan kita merasa ngantuk. Akibatnya lemah dan payah untuk memahami pelajaran di sekolah.

Di Israel, merokok adalah tabu, apabila Anda diundang makan di rumah Yahudi, jangan sekali kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh Anda keluar dari rumah mereka. Menyuruh Anda merokok di luar rumah mereka.

Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak (bodoh). Suatu penemuan yang dari saintis gen dan DNA Israel.

Perhatian Stephen selanjutnya adalah mengunjungi anak-anak Yahudi. Mereka sangat memperhatikan makanan, makanan awal adalah buah buahan bersama
kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (code oil lever).

Seterusnya di kelas 1 hingga 6, anak anak Yahudi akan diajar matematika berbasis perniagaan. Pelajaran IPA sangat diutamakan. Di dalam pengamatan Stephen, "Perbandingan dengan anak anak di California, dalam tingkat IQ-nya bisa saya katakan 6 tahun kebelakang!! !" katanya.

Segala pelajaran akan dengan mudah di tangkap oleh anak Yahudi. Selain dari pelajaran tadi olahraga juga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga yang diutamakan adalah memanah, menembak dan berlari. Menurut teman Yahudi-nya Stephen, memanah dan menembak dapat melatih otak fokus. Disamping itu menembak bagian dari persiapan untuk membela negara.

Selanjutnya perhatian Stephen ke sekolah tinggi (menengah). Di sini murid-murid digojlok dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk menciptakan produk. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu dan memboroskan, tetap diteliti dengan serius. Apa lagi kalau yang diteliti itu berupa senjata, medis dan teknik. Ide itu akan dibawa ke jenjang lebih tinggi.

Satu lagi yg di beri keutamaan ialah fakultas ekonomi. Saya sungguh terperanjat melihat mereka begitu agresif dan seriusnya mereka belajar ekonomi. Diakhir tahun diuniversitas, mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek. Mereka harus memperaktekkanya. Anda hanya akan lulus jika team Anda (10 pelajar setiap kumpulan) dapat keuntungan sebanyak USD 1 juta!

hegemoni Yahudi. klik gambar untuk memperbesar.

Kamis, 19 Maret 2009

Ippho Sucks

Baca buku Ippho, bikin kesal saja. Ibarat pemulung, Ippho hanya memunguti barang-barang bekas dari para pakar yang sudah mati. Tak ada itu teori baru yang dia ciptakan, semua copypaste aja.

Teori daur ulang semacam ini, hanya akan menjadi sampah di otak saja. Makin dibaca jadi semakin penuh. Hingga terakhir Ippho kena batunya, dia harus memasang iklan permintaan maaf di Kompas, gara-gara mengutip Rheinald Kasali tanpa sepengetahuan pakar manajemen itu.


Ippho Santosa, BBA.(Hons)(Mktg). Anak muda ini begitu terkenal di Batam. Dia adalah ahli marketing. Buah pikirannyapun sudah banyak dibukukan.

Karakteristik buku Ippho selalu menghadirkan banyak ”bintang tamu” yang lagi tren. Dulu, dia menggandeng AA Gym dan di buku terbarunya, beberapa pakar marketing sekelas Hermawan Kertajaya, ikut memberi pendapat.

Saya pun sempat penasaran. Tak sabar, sebuah buku Ippho pun saya petik. Beberapa jam saya larut mendalami buah pikir sang Ippho ini.

Namun, di babak akhir saya kecewa berat, sebab di bukunya banyak sekali mengutip pendapat pakar marketing barat. Intinya, Ippho saya nilai hanya memanggil kembali ”mayat” hidup.

Dalam retorika sufisme, memang mengutip kata-kata pakar bisa menambah kepercayaan penerima informasi. Selain itu, bisa menambah citra bahwa si penyampai informasi adalah orang yang berwawasan luas.

Namun jika kita berkaca pada pendapat Bob Sadino, mestinya marketing bisa menciptakan trik dan kiat yang lebih baru yang bersumber dari penggaliannya (studi) sendiri, bukan hanya mengutip pendapat orang yang zamannya sudah berbeda dari saat ini.

Tapi bukan berarti uraian ini menggambarkan semua buku Ippho seperti ini. Mungkin saya saja yang lagi sial, sehingga dapat buku yang isinya kurang pas.

Meski demikian, saya salut pada Ippho yang mengerti betul bagaimana menarik perhatian khalayak. Lihat saja, baru-baru ini dia meluncurkan bukunya di dua negara dan di tiga tempat dalam satu hari, 13 April 2008.

Dua negara (Singapura dan Indonesia), tiga tempat (laut, udara dan darat). Katanya, ini tercatat Musium Rekor Indonesia (MURI)sebagai Peluncuran Buku di 3 Sarana Transportasi (Laut, Udara, Darat), di 2 Negara (Singapura, Indonesia) dalam 1 Hari.

Kayaknya Ippho bisa merangkap jadi konsultan publisitas dan iklan ya.

Tapi tahukan Anda, bahwa kredibilitas Muri akhir-akhir ini diragukan. Beda dengan Guinness Book of World Record, Muri akan dengan sangat mudah memberikan award. Konon, saru award dibandrol Rp40 juta!

Bagaimana menurut Anda?

Manusia dan Cahaya

Manusia ibarat laron yang menyukai cahaya. Manusia selalu merindukan tempat terang dan gemerlap. Karena terang adalah hidup.

Kecintaan manusia akan hal benderang ini tak hanya sebatas ritus, tapi juga kultus. Para penganut Majuzi menjadikan api sebagai “oknum tertingginya.” Mereka memuja, mereka meminta. Tak hanya api, manusia juga memuja benda-benda langit yang bercahaya, seperti bulan, bintang dan matahari.

Jangan heranlah, jika banyak lelaku anak manusia yang berpijak dari sini.
Orang-orang suku Maya, menjadikan benda-benda langit tersebut sebagai penanda akan keberlangsungan alam semesta. Hingga akhir-akhir ini, dunia dihebohkan akan sebuah temuan dari ramalan suku Maya, bahwa bumi akan hancur di tahun 2012.

Sementara orang-orang suku Tengger kuno, akan turun beramai-ramai menabuh kentongan saat matahari dan bulan dilanda gerhana. Mereka akan terus menabuh, sampai matahari atau bulan itu bisa bersinar sempurna lagi. Mereka percaya, gerhana tersebut terjadi karena matahari atau hulan, ditelan raksasa yang sedang murka. Untuk itu, harus diusir dengan kentongan.









Tak hanya itu, manusia juga banyak melakukan perayaan -yang masih bertahan hingga saat ini- tepat saat purnama menjelang. Karena pada saat itu, mereka merasa mendapat sensasi hidup yang lain dari biasanya; sinar bulan membuat hidup atau hari meraka lebih panjang.

Ke luar rumah di malam hari tak lagi menakutkan, orang tua pun dengan rela melepas anak-anaknya untuk bermain. Obor-obor dinyalakan, para pecinta sumringah merayakan momennya.

Beragam kegembiraan beraktivitas di bawah sinar bulan ini juga memberi inspirasi bagi para penyair untuk memuja bulan. Meski akhirnya diketahui, bahwa wajah bulan tak secantik apa yang mereka bayangkan dahulu.

Terang adalah hidup, jadi segala hal yang benderang adalah pemberi kehidupan. Maka itu harus diagungkan.

Keinginan untuk selalu terang inilah, mendorong masyarakat dunia sebelum abad 19 menghiasi kotanya dengan lampu. Lampu kala itu, tentu hanya sinar lilin di balik jendela.

Hingga sekitar abad 15, warga Eropa mulai mengenal lampu jalan. Bentuknya masih sederhana, berupa lentera yang dipasang di luar rumah. Bahan bakar lampu masih berupa minyak zaitun, lilin lebah, minyak ikan, atau lemak ikan paus. Bahkan kemudian minyak tanah.










Dalam perkembangannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara banyak menghias jalannya dengan lampu-lampu ini. Pemandangan ini banyak dikisahkan dalam kitab-kitab kuno dan catatan para pedagang.

Baru sekitar 1784 saat batu bara dan gas alam diperkenalkan, lampu jalan di Eropa saat itu memakai bahan bakar tersebut. Berlanjut, tahun 1830 lampu jalan berbahan bakar gas mulai digunakan di wilayah yang lebih luas di beberapa kota di AS, khususnya di New York.

Revolusi teknologi penerangan terjadi pada pertengahan abad 19 setelah orang gencar melakukan percobaan dengan listrik. Meski pada tahun 1845-an telah banyak orang menghasilkan lampu listrik, namun pada tahun 1878 Joseph Swan di Inggris dan Thomal Alfa Edison di AS pada tahun 1879 secara terpisah berhasil menemukan lampu pijar.

Tak lama kemudian lampu karya Thomas Alfa Edison, terpasang di jalan New York dengan pasokan listrik dari pembangkit di Pearl Street yang didirikan sejak 1882. Lampu jalanan listrik diakui sangat membantu menurunkan angka kejahatan di jalan raya AS. Pada tahun 1930-an lampu merkuri dan sodium pun mulai digunakan.

Kini, setelah listrik ditemukan, cahaya tak lagi identik dengan matahari, bulan dan api. Hidup pun jadi lebih mudah, lebih terang dan lebih panjang. Tak ada lagi beda siang dan malam. Kota-kota juga lebih semarak. Sebutan kota yang selalu identik dengan sesuatu yang gemerlap, kian nyata.









Pandangan manusia pun akan cahaya mulai berubah. Cahaya tak lagi hanya sebagai alat penerang dan hiasan, tapi juga alat pemoles citra kota. Kadang kita bisa menilai sebuah kota hanya dari gemerlap cahayanya.

Bayangkan, saat kita baru masuk ke sebuah kota di malam hari, namun tak menjumpai sedikitpun cahaya. Sepanjang jalan yang menyambut hanyalah gelap gulita. Otomatis, saat itu kita akan berpikir, kota ini adalah kota hantu, miskin, tertinggal dan ungkapan seram lainnya.

Falsafah kota gemerlap inilah, salah satunya, yang mendorong Las Vegas, kota judi di Nevada, Amerika, memasang ribuan lampu pijar di tiap bangunannya, khususnya kasino. Di sini mereka seolah berpesan, ”Hey lihatlah, inilah gemerlap hidup yang akan bisa Anda raih di sini, Las Vegas, (tentunya jika Anda beruntung).”

Fungsi cahaya lain yang tak kalah penting adalah sebagai alat keamanan. Soal ini saya masih ingat peristiwa di tahun 2000 lalu, ketika itu, Kapolresta Batam Nicolaus Eko menjawab pertanyaan masyarakat bagaimana menjaga agar rumah tetap aman.

Ternyata jawaban Nico, amat sederhana, “Pasang saja lampu 60 watt di teras Anda. Itu sudah cukup sebagai penangkal pertama atas gangguan keamanan, seperti pencuri dan sebagainya!”

Dari beragam uraian ini, jangan heranlah jika manusia moderen saat ini akan sangat stress jika sedetik saja harus berpisah dari cahaya.

Bagaimana menurut Anda?

Membesarkan Anak Hyena

Seorang anggota dewan, sebut saja namanya Manusia Ikan, marah-marah, ketika biaya prawatan mobil pribadinya yang mencapai puluhan juta rupiah itu, ditolak saat hendak dialihkan ke biaya perawatan mobil dinasnya.

Dia meradang, beragam argumen tetap tak diterima. Pemko menolak akan hal ini, karena biaya mobil pribadi, haram hukumnya ditanggung sebagai biaya perawatan mobil dinas. Ini korupsi namanya.

Mentok menghadapi masalah ini, si Manusia Ikan pun memakai jurus andalan. Dia meminta seseorang untuk mengaku sebagai anggota KPK dan menelepon beberapa kantor media massa di kotanya.

Dalam teleponnya si orang suruhan ini mengatakan, telah terjadi mark-up atas biaya perawatan mobil dinas Pemko. Modus ini berjalan mulus, karena bekerja sama dengan bengkel langganan perawatan mobil dinas yang terletak di sebelah kantor BNI.

Dia melanjutkan, jumlah biaya perawatan mobil dinas yang dimark-up ini tak tanggung-tanggung, satu unit mobil bisa mencapai puluhan juta rupiah.














“Jika biaya perawatannya hanya 5 juta (rupiah), maka dibilang 10 sampai 20 juta (rupiah)!” jelasnya pada petugas di kantor media tersebut.
Selanjutnya, si penelepon meninggalkan sederet nomor telepon pada si petugas, yang dia katakan itu nomor ponselnya.

Setelah usai, si petugas menyampaikannya kepada wartawan di kantornya. Wahhh... Tentu ini berita yang teramat bagus. Bisa jadi berita utama. Masyarakat suka akan hal ini.

Maka dilacaklah berita ini ke bengkel yang dimaksud. Ternyata tak ada. Sementara saat orang yang mengaku KPK itu dihubungi, nomor teleponnya tak aktif lagi.

Ah, pakai jurus lain aja. Konfirmasi. Semua pegawai Pemko yang terkait pun dikonfirmasi.
Tre te te teeeeeng.... jadilah berita. Biaya Perawatan Mobil Dinas Dimark Up!

Semudah itukah?




Konfirmasi dalam bidang jurnalistik memang sangat penting, namun mestinya yang paling utama adalah menggali sumber, data dan fakta dari mana isu itu muncul. Bukankah jurnalistik itu ada, untuk menegaskan apakah sebuah kabar itu hanya isu atau hoax?










Karena kalau data dan faktanya kokoh, kadang konfirmasi juga tak perlu lagi dilakukan.

Kalau hanya konfirmasi dijadikan pijakan, hanya akan membuat suasana tidak kondusif. Isu-isu berjalan liar, kadang bisa tak jelas lagi apa itu fakta, apa itu nyata.
Yang lebih parah, bisa saja nanti, pers dimanfaatkan orang-orang yang memiliki kepentingan negatif. Bahkan, pers bisa dijadikan senjatanya untuk memeras.

Ah, saya sudah muak akan hal ini. Tahun 2000 lalu, di Batam kerap terjadi hal ini. Saya kala itu, masih menjadi calon reporter yang lugu, sempat termakan oleh permainan ini.

Modusnya seperti ini, mereka meminta tanah pada Otorita Batam. Namun ditolak. Merekapun marah. Berbekal kartu nama dan sedikit uang untuk bayar makan di hotel, mereka membikin forum-foruman.

Selanjutnya preman terorganisir ini, memanggil wartawan. Saya salah satunya (bodoh banget). Pada saya mereka bercerita tentang kebobrokan OB. Saya pun termakan. “Aha, ini berita bagus!”

Lalu dengan bodohnya, isu-isu dari mereka saya tulis bulat-bulat lalu ditutup dengan sebuah “konfirmasi”. tentu saja hal ini dibantah.









Meski dibantah, saya senang, sebab syarat sebuah berita yang saya buat sudah terpenuhi. “Kan udah konfirmasi!” Begitulah. Esok pagi, berita itu terbit. OB heboh, kebakaran jenggot, sementara si preman teroganisir bersiap nunggu telepon. Tak lama, akhirnya OB mengalah. Sebidang tanah pun diberikan.

Ini hanyalah contoh kasus, betapa pers kadang tak sadar ditunggangi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan negatif. Mereka ibarat hyena, memakan apa saja. Taringnya tajam, lidahnya selalu terjulur lapar. Di kepalanya selalu menggenggam prinsip, kapal pecah, hiu berpesta.

Ah, kalau mengingat ini, tak terasa bahwa saya ikut andil membesarkan seorang bajingan berdasi. Para bajingan itu kini masih bernafas, mereka ongkang-ongkang kaki, pundi-pundi uangnyapun banyak. Bahkan ada juga yang duduk di dewan.

Sementara saya, masih duduk di sini, dikursi ini, sambil mengetik di depan komputer. sama seperti yang saya lakukan dulu, 10 tahun lalu!

Bagaimana pendapat Anda?

Selasa, 17 Maret 2009

Perang Indonesia-Malaysia

Meski bertetangga, Indonesia dan Malaysia ternyata masih terlibat perang dingin. Sedikit tersulut, bisa jadi perang terbuka.

Baca koran pagi ini, berita tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi sepakat untuk meminimalkan potensi-potensi gesekan yang bisa menganggu hubungan kedua negara. Langkah-langkahnya tertuang dalam rekomendasi Eminent Persons Group (EPG) yang terdiri dari perwakilan Indonesia dan Malaysia.

”Kadang kita ada selisih. Jangan gaduh, sudahlah. Bosan juga, perlu kita elakkan,” ujar Badawi saat jumpa pers di bersama dengan SBY di Istana Merdeka, Selasa (17/3) kemarin.

Bukan rahasia lagi, bahwa hubungan Indonesia dan Malaysia ibarat api dalam sekam. Tenang di luar, namun panas dan berkecamuk di dalam. Konfrontasi ini pernah mencapai puncaknya pada 1962–1966. Banyak wira yang berguguran dalam pertentangan ini.

Setelah semua reda, bukannya masalah juga sirna. Benih-benih kesumat itu, terus berurat hingga ke generasi saat ini. Cuma, medannya (baca: media) saja yang berbeda. Semua telah menyesuaikan diri dengan zaman.









Jika ditelusuri, masalah yang paling kerap menimbulkan gesekan antara dua negara adalah, saling klaim kepemilikan bisa berupa pulau, ataupun budaya oleh kedua negara.

Yang paling panas, soal sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Pada sidang Mahkamah Internasional yang mengadili status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan 18 Desember 2002, Indonesia kalah. Pemilikan dua pulau itu diputuskan jatuh ke tangan Malaysia.

Belum usai kemarahan akan lepasnya Sipadan dan Ligitan, tahun 2006 sengketa serupa meletus lagi. Blok Ambalat, masalah tapal batas yang masih bersengketa sejak tahun 1967 kembali mengemuka. Saling klaim kepemilikan sepenggal wilayah di laut Sulawesi itu, telah memanaskan hubungan Indonesia dan Malaysia.

Ada kalanya Tentara Laut Diraja Malaysia mengusir paksa nelayan Indonesia. Pesawat tempur dan kapal perang kedua negara pun sempat bentrok kecil di ladang eksplorasi minyak itu.

Tentu saja, kali ini rakyat Indonesia tak mau kecolongan. Patriotisme berkobar di mana-mana, hingga menjalar ke media massa. Semua menyatakan siap perang, demi mempertahankan sejengkal tanah tumpah darah. Untunglah masalah ini berhasil diredam, namun untuk sementara, karena masalah Ambalat sendiri yang terkait Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, sebenarnya belum putus.








Konflik kecil pun terus terjadi. Kali ini mengarah ke budaya. Yang paling heboh, ketika Malaysia mengklaiam reyog Ponorogo sebagai budayanya. Sebagaimana sisebut dalam daftar Visit Maysia. Selanjutnya, berturut-turut angklung, lagu Rasa Sayange, batik dan lain-lain, ikut mereka klaim, yang membuat rakyat kian geram.

Rakyat Indonesia sendiri juga tak mempu menahan sakit, ketika banyak tenaga kerja Indonesia diperlakukan tak manusiawi di negeri jiran itu. Ada kalanya pelaku penganiayaan terhadap TKI itu, bisa lolos dari jeratan hukum.

Hingga pada tahun 2007, Malaysia memberlakukan pembatasan tenaga kerja asing ilegal di negaranya. Untuk melancarkan aksin ini, Malaysia mebentuk milisi sipil, bernama “Rela” (Ikatan Relawan Rakyat). Tugas mereka menangkap buruh migran yang tidak berdokumen. Namun pada praktiknya, tak hanya buruh, mahasiswa, dan istri diplomat RI juga menjadi korban aksi kekerasan Rela.

Tak hanya dihina dengan kata-kata, ada kalanya juga dipukuli dan barangnya diambil. “Indon” begitulah mereka menyebut warga Negara Indonesia. Indon adalah konotasi kaum rendah, kelas pembantu dan buruh.








Inilah sekelumit uraian yang semakin hari kian membuat gesekan antar kedua negara bertetangga ini kian tajam. Gesekan ini kian subur seiring media internet mewabah. Banyak warga Indonesia yang kesal akan sikap Malaysia ini, menumpahkan caci makinya di situs masing-masing.

“Malingsia” begitulah para netter itu menyebut “Malaysia”. Netter Malaysiapun tak mau kalah. Di situs pribadinya mereka juga menghina indonesia. “IndonSial”, begitu katanya (baca juga: http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/anti-indonesia.html).

Dari semula hanya olok-olok di situs masing-masing, akhirnya para netter ini bertemu dan saling serang. Maka, meletuslah perang cybernetic. Peretas (hacker) dari kedua negara saling meluncurkan amunisi, mengacak-acak (deface) situs resmi negara lawan. Tak hanya situs perusahaan, milik pemerintah pun jadi sasaran.

Salah satunya adalah situs milik Sultan Perak yang diubah isinya oleh peretas Indonesia menjadi gambar merah putih dengan tulisan ”INDONESIA” berhuruf besar. Di Bawahnya ada teks berjalan bertuliskan ”jangan ganggu tanahku”, dan diteruskan dengan teks Pancasila, lengkap.








Tak ayal, perang cyber menjadi berita hangat yang sering menghiasi media kedua negara. Pada November 2008 lalu, kantor berita Malaysia, Bernama, melansir sekitar 80 situs Indonesia dan Malaysia telah dideface. Angka ini kian hari kian bertambah. Data terakhir, sudah 80-an lebih situs Malaysia berhasil diacak oleh peretas Indionesia.

Semua ini akan terus dan terus berlanjut dan jika tak ditangani dengan baik, bisa saja nanti berlanjut dari perang kata-kata, menjadi perang nyata. Bukankah dulu yang menyulut perang terbuka Indonesia dan Malaysia ini, bermula dari perang kata-kata mengenai masa depan pulau Kalimantan?

Berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai ”boneka” Britania. Keduanya sama-sama keras, hingga meletuslah konfrontasi itu.

Karena itulah, saya salut akan langkah EPG, yang dipimpin Try Sutrisno (Indonesia) dan Tun Musa Hitam (Malaysia) itu. Sehingga perang kata-kata ini tak berlanjut ke perang fisik. Toh, bagaimanapun masih serumpun juga. Tak akan ada kalah dan menang, yang ada hanyalah untung dan rugi.








Hikmah

Selalu ada hikmah di balik semua persitiwa. Dari fakta ini, mata hati rakyat Indonesia seolah dibuka, ''Hei lihatlah, kamu adalah bangsa besar, bangsa kaya. Jaga, lestarikan dan pertahankanlah!"

Dari peristiwa ini, rakyat Indonesia, secara otomatis mulai bisa mengenal dan menghargai potensinya. Ribuan pulau-pulau kecil di perbatasan yang dulu terbiar, kini mulai dijaga. Satu-persatu dirawat dan diberi nama.

Jangan sampai nanti dicaplok lagi. Sipadan dan Ligitan adalah contoh. Saat masih status konflik dengan Malaysia, Indonesia terkesan mengabaikan pulau ini. Terbukti, pada sisi yang berhadapan langsung dengan perbatsan Indonesia kurang terurus, sementara di sisi yang berbatasan dengan Malaysia, sangat tertata rapi, karena pemerintah kerajaan itu membangunnya dengan baik.

Demikian juga reyog Ponorogo. Sebelum diklaiam Malaysia, keberadaannya kurang begitu dijaga. Uniknya, justru Malaysialah yang menghidupi para seniman reyog ini. Sebab, secara berkala, mereka memesan peralatan reyog tersebut.

Semoga sikap menjaga, melestarikan dan mempertahankan ini terus bergelora. Lucu juga jika kita tak belajar dari semua ini. Jangan hanya setelah hak dan milik kita diklaim orang, baru sibuk.

Bagaimana menurut Anda?

Minggu, 15 Maret 2009

Adi Pura-pura

Minggu pagi, sekitar pukul 07.30 saya melewatkan untuk jalan-jalan ke Jodoh. Sebuah kota penyanggah di Batam. Saat melintas di depan Ramayana dan Pasar Toss 3000, ada pemandangan yang lain. Jalanan lengang dan lapang.


Saya tentu saja penasaran. Ada apa? Biasanya, di sini amat padat dan kotor. Pedagang kaki lima meluber sampai menutup badan jalan. Mulai penjual sayur hingga penjual pecah-belah, berjejer sepanjang jalan sejauh 1 kilo meter, meninggalkan aneka sampah plastik dan bau busuk.

Yang tampak saat itu hanya sampah berupa bungkus plastik, dan juga sepasukan Satpol PP. Oh mungkin, baru saja ada penertiban. Tapi kok terlalu mudah? Biasanya, kalau penertiban kan berlangsung lama, tegang dan rusuh.

Ini tidak, malah sebaliknya. Bak negeri antah-berantah saja. Tampak pedagang kaki lima dengan rela mengemasi dagangannya, sementara beberapa personel Satpol PP, dengan langkah santai dan sedikit senyum, berkeliling sambil berkata, “Ayo bubar-bubar…” katanya.

Lagipula, kalau penertiban, mana sanggup jika hanya dilakukan oleh sepasukan Satpol PP. Biasanya kadang dibantu satu peton polisi pengendali massa saja kewalahan. Maklumlah, kawasan Jodoh ini adalah pusatnya pedagang kaki lima.














Pedagang kaki lima di sini sudah mirip industri saja. Sangat terorganisir, dan memang terkesan dipelihara karena “pajak” gelap yang dihasilkan dari mereka cukup besar. Bisa puluhan juta perhari. Maka itu, pedagang kaki lima di sini berakar amat kuatnya.

Berangkat dari beragam rasa penasaran itu, saya coba turun dari kendaraan, mendekati beberapa pedagang kaki lima yang baru saja berkemas-kemas.

“Ada apa Bang?”
“Ah biasalah bang, Adipura,” jawabnya.

Saya penasaran akan jawaban ini, lalu mendekat,
“Maksudnya bagaimana Bang?”
“Ya, kan hari ini ada penilaian tim Adipura di sini, jadi kami diminta tak jualan dulu. Tapi dua hari lagi udah normal lagi,” jelasnya.

Saya agak kaget juga dengar jawaban mereka. Juga sedikit geli. Ah, saya kira memang permanen. Ternyata hanya pura-pura saja, karena ada tim penilai Adipura. Kalau memang demikian, mestinya pedagang kaki lima di sini harus juga dapat penghargaan Adipura, karena mereka dengan rela ikut bersekongkol (baca: berpartisipasi) tak jualan dulu, agar Batam kelihatan bersih oleh tim penilai Adipura.

Kawasan Jodoh memang menjadi salah satu titik penilaian tim Adipura di Batam. Meski kondisinya kumuh dan kotor, saat anugeran Adipura diumumkan, kawasan ini menjadi penumbang nilai terbesar bagi kebersihan Kota Batam.

Tentu ini tak masuk akal. Saya juga semula tak percaya, karena kawasan ini amat kumuhnya. Tapi kok bisa bersih ya?













Saya tak seorang diri, masyarakat Batam sendiri banyak juga yang protes kotanya bisa meraih Adipura. Terbukti beberapa siaran di radio dan kolom interaktif di koran, banyak yang memprotes akan penghargaan tersebut.

“Katanya dapat Adipura, kok masih kotor?”
“Kok Batam dapat Adipura, gimana tim penilainya?”
“Kok Batam dapat Adipura, padahal sampah di mana-mana?”

Begitulah teriak mereka. Lalu apa jawaban Pemko Batam? Rata-rata hanya retorika belaka. Yang inilah-yang itulah. Tapi kebenaran tetaplah kebenaran. Serapi-rapinya menyimpan barang busuk, toh baunya akan tercium juga.

Ah, ternyata ada skenarionya.

Kalau ingat hal ini, saya jadi teringat komentar Mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir. Semasa dia menjabat dulu, dia kurang bergairan mengejar Adipura.

“Saya bukanlah pemburu award. Buat apa, dapat award tapi kenyataannya masih kotor. Yang penting bagi saya bagaimana membikin tahapan agar masyarakat bisa mandiri dalam menjaga kebersihan ini,” jelasnya.

Ah Adipura… Adi pura-pura… Tapi percayalah, masyarakat tak bodoh.

Bagaimana menurut Anda?

Jumat, 13 Maret 2009

Citra Diri

Tahun lalu, saya sempat protes pada (mantan) dosen saya, karena nama e-mailnya sangat ke kanak-kanakan (saya lupa namanya). Dia keheranan, dan bertanya memangnya kenapa?

“Itu email saat saya masih mahasiswa. Untuk asyik-asyikan saja,” jelasnya.

Saya jawab, itu sah-sah saja. “Namun ingat, bahwa ibu sekarang tak mahasiswa lagi. Apa kata kolega dan relasi ibu kalau melihat nama email seperti ini? Ini sungguh tak membawa citra positif,” jelasku.

Sejak saat itu, dosen saya itu langsung mengubah nama emailnya jadi lebih terhormat dan berwibawa. Namanya, sagita@.... Dalam emailnya dia mengucap terimakasih telah mengingatkan.














“Nah, kalau begini kan kesannya jadi dewasa Bu. Bahkan terkesan ibu adalah penggemar musik.”

“Ya, ada juga yang bilang negitu,” jawabnya.

Kasus lain, seorang Nita (begitu sajalah samarannya) pejabat sebuah perusahaan pernah ngomel, tulisan-tulisan di facebook-nya dikutip oleh wartawan tanpa minta izin padanya.

Tulisan itu berkisah tentang keinginannya untuk pasang tato di Bali. “Kan saya udah nganggap dia (si wartawan) kawan, kok seperti itu ya?” ujarnya polos.

Tentu saja akibat berita ini, dia menjadi malu. Citranya di kantor, bahkan lembaganya sendiri, ikut terganggu. Malah akhir-akhir ini, dia malah diidentikkan dengan tato. “Ingat tato ingat Nita.” Begitulah kira-kira.

Saya tak mau menanggapi kontroversial ini, meski saya paham klausul di facebook yang mengatakan, bahwa apa saja yang ada di fecebook sudah menjadi milik umum. Bebas aja dikopi, disebarkan, baik itu atas atau tanpa izin si empunya.

Cuma saya menyarankan agar yang bersangkutan berhenti menebar sensasi di facebook. “Anda itu adalah wanita, petinggi perusahaan lagi, maka akan banyak sekali orang iseng yang mendekat jika anda menebar tulisan sensasional di facebook,” ujar saya.




















Saya mencontohkan, betapa pada suatu waktu, dia menulis di “berandanya” bahwa saat itu dia sedang ngopi di Starbuck Jakarta, lalu melihat seorang bule ganteng yang melirik terus padanya. Sebentar saja, tulisannya itu panen tanggapan.

Banyak lagi yang lain. Hingga puncaknya, saat berada di Bali, dia menulis ingin memasang tato. Inilah yang menurut saya sensasi. Sehingga orang jadi tertarik, ingin tahu dan se,acamnya. Bisa jadi juga dapat memancing orang untuk iseng.

“Tapi kan saya hanya mau bercanda Bang?”
“Betul. Mungkin kami, kawan-kawan Anda bisa menerima. Tapi bagaimana bagi orang lain yang tak tahu siapa Anda? Begitu melihat postingan semacam ini, bisa saja asumsi mereka beragam!” jelas saya.

Dua topik di atas tadi, adalah masalah citra diri. Mungkin saat di rumah, kita bisa jadi diri kita. Mau telanjang juga tak masalah. Namun saat di luar rumah, kita adalah… (baca titik-titik). Bisa kita seorang pejabat, seorang pengusaha, orang kaya, orang miskin dan sebagainya.

Inilah yang disebut peran (role). Setiap orang kadang memiliki beragam peran (multy of role). Misalnya, saat di lingkungannya si A adalah ketua RT, namun saat di kantor dia seorang kepala bagian, saat di organisasi massa dia adalah sekretaris dan seterusnya.













Jika tidak bijak, terkadang multi peran ini menimbulkan konflik. Bahkan ada yang konyol, tak bisa lagi membedakan perannya di mana dia saat itu berada. Misalnya, di kantor malah berlaku bak ketua RT, di lingkungan malah berperan bak kepala bagian dan sebagainya.

Yang paling parah, jika hal ini terjadi pada orang miskin yang berperan bak orang kaya, tentu akan kacau. Akan banyak sekali hal-hal yang dipaksakan yang tenmtunya akan berdampak buruk bagi si penyandang peran tersebut.

Secara sederhana, peranan ini ibarat baju kita. Memakainya harus sesuai situasi dan kondisi. Misalnya, saat memakai bikini ya jangan coba-coba main ke pasar, karena orang akan menganggap Anda gila. Lebih parah, bisa-bisa Anda diterkam “binatang buas”.

Dari setiap peran inilah memunculkan citra (image). Citra adalah bayangan yang muncul dari peran yang kita sandang. Selanjutnya citra memberikan aturan, bagaimana cara berpakaian, cara bicara cara bertingkah laku, cara bertindak dan lain-lain.

Mungkin kita sering mendengar kalimat seperti ini, “Dia itu kan pejabat, masak ngomongnya macam tukang becak!” dan sebagainya dan sebagainya.

Jadi, jangan lalai lalai menjaga peran sosial dan citra diri bahkan lembaga saat bersosialisasi. Sehingga tak terjadi konflik peran yang akan merugikan diri sendiri dan bisa jadi juga citra lembaga yang kita wakili.

Bagaimana pendapat Anda?

Kamis, 12 Maret 2009

Anakku

Anakku saat ini sudah masuk 10 bulan, sudah bisa merangkak. Waduh-waduh... bikin sibuk aja. Maunya selalu melantai, sehingga dalam sekejap, ruangan rumah habis dijelajah.


Mulai dari ruang tengah, muter-muter lalu ke ruang tamu, muter-muter, kembali ke ruang tengah, kamar lalu ke dapur. Stop. Ini wilayah terlarang, harus segera dihentikan, di kembalikan legi ke ruang tengah lalu dia kembali melakukan aktivitas semula. Berulang, lagi, lagi dan lagi.

Nah, sekarang giliran orang tuanya yang repot. Repot kenapa? Ya harus dikawal. Jangan sampai nanti saat merangkak membentur pojokan dinding, jangan sampai terpeleset, jangan sampai memungut barang kotor, jangan sampai menyentuh kabel listrik, jangan sampai ini, jangan sampai itu.

Selain itu, lantaipun harus selalu dipel agar bebas kuman. Sehingga, saat melantai bisa aman. Maklumlah, anak kecil mana tahu itu ktor atau tidak. Kadang kala, apa saja dipungut langsung dimasukkan ke mulut. Atau, saat istirahat usai kecapekan merangkak, biasanya dia duduk dan saat itu langsung memasukkan jari jemari ke mulutnya. Wah wah wah.

Ada kalanya istri saya, terlalku over protectif. Dari pada melantai, banyak bahaya, mending digendong ajalah. Anggapan ini tentu saya tentang keras. Biarkan saja dia merangkak, jangan dihalangi. Merangkaklah, kalau perlu sampai ujung dunia sekalipun. Tapi, memang harus dijaga. Itu saja.

Ya. Kadang sebagai orang tua, saya merasa aneh juga. Dulu semasih dalam buayan, ingin rasanya melihat dia segera bisa tiarap. Harapan kita terus meningkat, ingin bisa tiarap, ingin bisa duduk, bisa berdiri, bisa bicara dan lain-lain. Namun setelah proses ini berhasil dia lalui, kadang orang tua sendiri yang tidak siap.













Saat mulai bisa guling-guling dan tiarap, kita ketakutan, jangan-jangan nanti malah jatuh dari tempat tidur. Saat baru bisa merangkak, kembali takut, jangan-jangan membentur dinding dan kaca.

Demikian juga saat nanti bisa berdiri, takut, jangan-jangan meraih benda-benda berbahaya. Apalagi nanti kalau sudah bisa ngomong, waduh, takutnya bukan main, jangan-jangan nanti melawan orang tua. Aneh ya, tak bisa ngomong disuruh ngomong, giliran bisa ngomong dibatas-batasi.

Kadang kita ingin anak kita pandai, lalu dibelilah susu-susu mahal berkualitas. Namun setelah mereka pandai, kita ketakutan, jangan-jangan mereka menggusur dan meruntuhkan wibawa kita. Jadi bingung.

Apakah ini memang sifat orang tua? Mereka protektif, bukan karena takut anaknya menghadapi masalah, namun takut jika masalah anaknya menjadi masalahnya?

Saat saya tarik ke hal yang lebih luas lagi, hal ini juga tumbuh di masyarakat. Kadang generasi tua, selalu saja menghakimi (terlalu mudah mengambuil kesimpulan) dari sikap generasi yang lebih muda dengan alasan demi kebaikan generasi muda itu sendiri. Padahal, jika ditelusuri, sebenarnya mereka takut kewibawaannya terancam, kekuasaannya terusik dan sebagainya.

Jadilah generasi muda kadang dibatasi, dibungkam dan sebagaiya. Padahal, mestinya mereka haruslah membiarkan proses alam ini terjadi, supaya ada regenerasi. Supaya nanti, generasi muda tersebut bisa berkembang dengan baik. Jagalah, kawallah, jangan hambat!

Bagaimana menurut Anda?

Peoples Changing

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan seorang reporter majalah, Michael Jackson pernah ditanya seperti ini. Apakah kulit putihnya akibat operasi plastik? Dia menjawab tidak. Si reporter tak percaya. Saat itu raja pop itu menjawab, “Peoples changing (manusia berubah).”

Saya tentu mempercayai konsep “manusia berubah” ini, tapi secara kepribadian saja, bukan pada perubahan warna kulit. Manusia memang harus berubah, untuk bisa menyesuaikan diri.

Dalam sistem kemasyarakatan, prtoses perubahan bisa melalui akulturasi dan asimilasi. Sedangkan dalam lingkup individu, perubahan bisa berbentuk sikap, sifat, kepribadian atau kognisi.

Hal-hal yang mempercepat perubahan ini, tentu di dasari oleh pengalaman dan yang utama adalah lingkungan.

Konkretnya seperti ini, jika Anda mengenal seseorang 10 tahun lalu, jangan menilainya sama seperti saat Anda pertama berjumpa. Karena bisa jadi, di rentang waktu sepanjang itu dia sudah berubah jauh melebihi Anda.

Bisa jadi dia lebih bijaksana, lebih berilmu, dan lebih lebih yang lain. Namun sebaliknya, bisa jadi juga dia berubah lebih jahat. Bisa saja. Tergantung lingkungan apa yang telah menempanya selama waktu tersebut.

Makanya, harus hati-hati.


















Sumanto. Siapa sangka dia bisa menjadi manusia kanibal dan mejadi seorang pemuja syetan? Padahal dulu, dia dikenal sebagai anak penakut di desanya.

Atau siapa sangka, bahwa Amrozi tersangka bom Bali itu, saat masih mondok di Paciran Lamongan, adalah pemuda yang sangat flamboyan. Kadang Amrozi sering bertanya tentang doa-doa agar wanita jatuh cinta padanya.

Atau mungkin Anda memiliki contoh yang lebih bagus lagi. Kadang kita berkata seperti ini, “Wah tak nyangka ya, dulu anaknya lemah, kok sekarang jadi kepala preman!”

Ya apapun bisa terjadi. Semua tumbuh, semua berubah, semua mengubah.

Dari semua uraian ini, ada sesuatu yang sulit berubah. Itulah sifat dasar. Ada yang baik, ada pula yang buruk.

Sifat dasar memang sulit diubah, namun bukan berarti tak bisa dikurangi. Dari beberapa sifat dasar inilah yang nantinya membentuk sebuah kepribadian. Kepribadian itu di antaranya melankolis (pemikir, perasa, perfeksionis), estrovert (terbuka) dan introvert (tertutup).

Lalu bagaimana menyikapi kepribadian ini? Apa harus dihilangkan? Jangan! Konyol jika Anda berpikir seperti itu. Kepribadian itu unik, itu adalah anugerah yang Kuasa. Kafir kalau kita mengingkarinya.

Cara yang terbaik menyikapi kepribadian ini, dengan cara menempatkan pada tempat yang semestinya. Karena jika kepribadian bisa ditempatkan dengan baik, hasilnya akan baik pula.

Misalnya, seorang yang ekstrovert cocoknya bekerja sebagai MC. Jadi, bukan malah harus memaksa orang ekstrovert menjadi introvert. Aburadul nanti.

Namun, khusus sifat yang buruk, seperti iri, dengki, hasut, harus sebisa mungkin dihilangkan. Karena jika sifat jelek tadi dibawa-bawa saat Anda bersosialisasi, hanya akan membuat Anda nista saja.

Bagaimana pendapat Anda?

Subyektivitas

Seorang sahabat dekat datang padaku dan bertanya. “Za, kritiklah aku. Yang jelek-jelek ya….” Saya pun bingung dan bertanya kenapa? “Aku ingin mengubah diri supaya lebih baik.”

Saya diam sejenak. Setelah lama saya cerna, akhirnya saya urung menjawab pertanyaan kawan saya tadi.

Tentu saja dia keheranan dan bertanya, mengapa? Saya menjawab, bahwa saya tak mau mengganggu proses alamiah. Biarkanlah ini terjadi, karena sewaktu-waktu sifat buruk itu perlu juga kamu perlihatkan.

Sebenarnya, bagi saya sangat mudah saat itu memberikan penilaian pada rekan saya tadi, tentang apa saja sifat buruknya. Ibarat melihat ikan di akuarium, saat itu juga saya bisa memberinya beribu kekurangannya.

Jangankan saya, yang suda sebesar ini, anak kecilpun akan sangat mahir soal ini. Karena itu memang sudah menjadi sifat dasar manusia, paling bisa melihat kekurangan orang lain, seolah diri paling sempurna saja.

“Kuman” di seberang lautan saja kelihatan, namun “gajah” di pelupuk mata malah tak tampak. Itulah dia kata pepatah.

Karena itulah, ada psikolog yang berkata hal ini pada saya, “Jika kamu sudah merasa terjepit oleh serangan musuhmu, serang saja pribadinya, pasti kacau dia,” sebutnya.

Saya camkan kata-kata ini, ternyata ada benarnya. Kadang kita lihat, orang yang tak bisa lagi secara akal mengalahkan rivalnya, memilih menjatuhkannya dengan menyerang subjektivitasnya. Apa yang menjadi kekurangan orang tersebut, dibeberkan.




















Menjatuhkan lawan dengan menyerang subyektivitas ini, sering kita lihat di forum-forum bahkan di internet sekalipun.

Tentunya kita sudah sering membaca, betapa banyak politisi cerdas yang jatuh, setelah foto-foto atau video yang menggambarkan sisi negatifnya, beredar luas.

KH Zainuddin MZ dalam ceramahnya pernah berujar, orang kalau sudah mencintai seseorang jangankan dengar suaranya, kentutnyapun dibilang wangi. Tapi kalau sudah tak senang, jangankan ngomong, ngajipun salah.

Maksud kiai sejuta umat ini adalah, seseorang kalau sudah tak menyenangi orang lain, yang timbul di kepalanya hanyalah penilaian yang jelek-jelek saja. Objektivitasnya dikalahkan subyektivitas.

Subyektivitas ini dilemparkan seseorang, untuk melindungi egonya. Hal ini terbentuk oleh emosional si pelaku. Karena itu, subyektivitas sulit dibuktikan secara obyektif.

Ini adalah naluri, yang sudah terbina sejak kecil. Seperti yang saya contohkan di atas tadi. Ya, lihat saja anak kecil, kalau tak bisa lagi bersaing dengan temannya, biasanya akan menyerang subyektivitas (kekurangan) temannya tersebut.

Karena ini adalah hal yang paling mudah, dari pada harus capek-capek berargumen.

Efek Cermin
Dari beragam kasus subyektivitas, cenderung merupakan cerminan sifat buruk si penuduh. Sebenarnya, saat dia mengungkap kekurangan lawan bicaranya, saat itu pula dia menelanjangi diri sendiri.

Misal, orang yang selalu curiga, cenderung akan menuduh orang lain memiliki sifat yang sama dengannya, yakni selalu curiga. Orang yang suka mengambil kesimpulan dan hasut, juga cenderung menuduh orang lain yang tidak disukainya sebagai orang yang suka mengambil kesimpulan dan hasut pula. Begitu seterusnya.

Karena itu, ada baiknya, stay away orang yang suka jelek-jelekin orang. Karena saat di depan Anda dia jelek-jelekin orang, tapi ketika Anda tak ada, bisa jadi dia akan menjelek-jelekkan Anda.


Bagaimana pendapat Anda?

Sabtu, 07 Maret 2009

Sempurna

“Sempurna”. Tiap manusia menginginkan hal ini, tapi sayang, tak ada kesempurnaan yang tercipta. Karena, manusia sendiri tak ada yang sempurna.

Dalam hidup, ada saja cacatnya. Yang ini dapat, yang itu lepas. Yang itu bisa, yang ini gagal. Begitulah. Namun, inilah harmoni. Padupadannya akan menimbulkan keindahan, yang bisa jadi mencapai kesempurnaan.

Dalam hidup kita sering melihat orang sukses tiada tara. Namun, jika diamati, selalu ada saja yang kurang. Rano Karno, kurang bagaimana lagi. Kecil disayang, muda dipuja, tua dicinta dan kaya raya. Tapi sayang, belum memiliki anak kandung.

Tommy Soeharto… Ah, Anda mungkin sudah bisa menilainya sendiri.

Lalu, apakah salah mencari kesempurnaan? Tentu tidak. Teruslah berusaha mencarinya, namun ingat, Anda harus siap! Sebab, semakin Anda mencari kesempurnaan, maka Anda
akan mendapati ketidak sempurnaan. Di sana juga akan tampak, betapa tak sempurnanya Anda.










Inilah maksud peringatan saya di atas tadi, bahwa Anda harus siap! Karena kalau tak siap, jiwa Anda akan dibuat terganggu karenanya. Mengapa? Karena Anda akan dijajah oleh perasaan tersebut.

Kalau tidak siap, nafsu ingin sempurna dapat membuat kita tak percaya pada orang lain, kita dijajah oleh perasaan kita sendiri, sehingga kita dijangkiti rasa arogan.

Hal ini tentu akan sangat berbahaya, apalagi jika terjadi di lingkungan kerja. Dalam sekejap, suasana akan tak kondusif. Apalagi, jika ini menyangkut kerja tim.

Sekarang, mana ada hasil kerja yang sempurna? Tak ada. Yang ada hanyalah mendekati sempurna saja. Untuk itu memerlukan tim yang kokoh, karena dunia kerja adalah dunia tim.

Jika ada yang salah, bimbinglah. Bagaimanapun mereka sudah membantu pekerjaan kita. Lagipula, memberikan bimbingan merupakan salah satu tugas pimpinan. Bukankah pemimpin diangkat karena dinilai bisa mengatasi masalah, baik sebelum, di saat, hingga setelah terjadi?











Jangan malah mirip penonton sepak bola, bisanya hanya meneriaki pemain saja. Tapi saat suruh main sendiri, lari saja tak bisa. Ingat menkritik itu lebih gampang dari pada mengerjakan.

Inilah perlunya kerja sama tim yang baik. Kerja tim tak bisa bergantung pada seseorang, namun seluruh anggota. Demikian pula, keberhasilan tim, tak bisa diklaim menjadi keberhasilan seseorang saja. Semua harus wholistik.

Selain itu, dunia kerja adalah dunia sistem, bukan individu. Kalau sistemnya jalan, ada atau tidaknya individu tak akan terlalu berpengaruh. Tapi jika tatanan sistem ini bergantung pada sosok individu, ini berarti sistemnya tak jalan. Perlu dievaluasi, tentunya harus dari atas, karena merekalah yang menciptakan sistem.

Untuk itulah, perlunya pemahaman organisasi. Repot juga jika seorang pemimpin tak paham bagaimana berorganisasi, aturan organisasi, struktur organisasi, komunikasi organisasi dan semua hal tentang organisasi. Karena ini hanya akan membuatnya tak memiliki seni kepemimpinan. Semua hanya akan subyektif saja.









Celakanya lagi, sudah tak paham akan organisasi, masih dijajah perasaan ingin sempurna. Maka jadilah dia one man show, bak pemain organ tunggal saja. Yang paling parah, akan mendorong menjadi orang yang arogan. Jangankan mengkader, percaya pada tim saja sulit. Kalau sudah begini, untuk apa fungsi anggota tim?

Sebuah dialog dalam film Gladiator rasanya pantas diajadikan renungan. Saat itu, Kaisar Marcus Aerrelius berkata pada putranya, Commodus. “Commodus, keberhasilanmu merupakan kebanggaan saya sebagai orang tua, sedangkan kesalahanmu merupakan kegagalan saya sebagai orang tua.”

Jadi jangan hanya enaknya saja, mirip plesetan slogan para pengacara. Kalau berhasil, mereka berkata pada kliennya, “Kita menang!”. Sementara kalau gagal, mereka berkata pada kliennya, “Maaf, Anda kalah!”

Bagaimana pendapat Anda?

Baca juga soal kaitan tulisan ini di http://rizafahlevi.blogspot.com/2008/07/organisasi-dan-target-1.html








--------------
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Media Bawean (bawean.net), jangan takut, maju terus, abaikan para pengejek itu.

Maju terus Media Bawean, bangun daerah kita tercinta.

Terimakasih sebelumnya telah menerbitkan beberapa tulisan di blog ini. http://www.bawean.net/2009/03/sempurna.html

Rabu, 04 Maret 2009

Hayalanku

Matahari pagi belum lagi sempurna menyingsingkan roknya (he he he), ketika sebuah dering SMS mengalun di ponsel saya. Rupanya ada yang memberikan atensi atas artikel saya.



Aku berhayal:

Jika aku seorang ketua partai, tentu aku akan memilih program mercusuar aja, bukan segera memberesin masalah yang utama, namun sepi dari citra. Saya senang dapat award. Pamerin aja, asyiik banyak pujian.

Barus sekejap saya berhayal, tiba-tiba ada suara yang menyadarkanku:
Hei, gundul! Saya dulu dapat banyak award dari presiden tapi saya tak pamerin. Malah saya diundang untuk dapat penghargaan oleh menteri dalam keberhasilan pembinaan dan diundang ke Jakarta. Program saya dulu juga banyak berhasil dan mendapat penghargaan, tingkat nasional namun juga tak saya ekspose!

Akupun larut dalam lamunan. Suara-suara itu terus terngiang. Dasar aku yang sontoloyo, bukannya jera, malah melanjutkan berhayal lagi. Namun kali ini tak berani menjadi sebagai ketua Parpol, mending pilih level yang di bawahnya aja, wakil ketua partai.

Aku berhayal:
Jika aku seorang wakil ketua partai, aku akan menjadi sosok yang sangat tak disiplin. Jika diundang dialog dengan masyarakat, aku akan nelat-nelatin. Jika undangannya pukul 20.00, aku akan datang pukul 21.20 aja. Ha ha ha... Siapa suruh ngundang aku. Mau nunggu syukur, tak pun masa bodoh. Kan aku mereka butuhkan.

Baru sekejap saya berhayal, tiba-tiba datang lagi suara yang tadi menyadarkanku:
Hei gundul! (kok dipanggil “gundul” lagi ya?), kamu tahu tidak, saat kamu telat di acara itu, saya juga ikut hadir di situ. Saya menunggumu sampai letih. Begitukah rasa hormatmu pada kaum sepuh? Kamu wakil aja begitu, saya dulu semasih menjadi ketua partai tak pernah begitu amat.

Tahu tidak sebagai rasa protesku saat itu, saya hanya ngasih sambutan 3 menit saja dan langsung pulang! Saya batal jadi narasumber, karena ada undangan acara lain (emangnya lu doang yang banyak acara???).

Ini adalah kali kedua aku dan masyarakat kau bikin menunggu. Belum lama ini, engkau bikin kami menunggu 2 jam lebih! Saya lagi-lagi sebal melihat tingkahmu.

Hingga akhirnya saya tahu, ternyata di lingkungan kantor, kamu memang sering telat ya? Sehingga kamu digelar Si Jago Terlambat!

Gubrak! Saya terhenyak, lalu bangun tak berani berhayal lagi. Mending ambuil wudu sajalah, solat! Azan Subuh masih di telinga.

---------------
Tulisan ini saya cuplik dari tanggapan akan sebuah artikel yang baru muncul di blog ini. Maaf tak saya sebutkan nama artikelnya. Isinya bagus, sehingga saya perlu memposting di sini, meski harus menggunakan nama dan kata kiasan.

Belajar pada Abdul Hadi Djamal (1)

Jangan-jangan salah sangka dulu saat membaca judul di atas. Saya, tentu saja, tak akan mengajak Anda ikut-ikutan politisi PAN itu ke penjara. Tentu tidak! Dari pada berprasangka buruk, yuk simak uraian saya di bawah ini.

Menurut hikayat Pak Sahuibul (maksudnya berdasar sahibul hikayat, he he he) Abdul Hadi Djamal adalah politisi yang paling disegani di daerah pemilihannya, Sulawesi Selatan.

Maklumlah, sebelum melenggang ke Senayan Abdul Hadi merupakan petinggi di Bukaka, kelompok usaha milik Jusuf Kalla. Setelah dia berhasil duduk di Senayan, sumbangsihnya atas daerah asal cukup signifikan. Dialah yang berhasil menggagas pembangunan beberapa bandara da pelabuhan di bagian timur Indonesia.

Karirnya terus menanjak, pamorpun meroket. Hingga akhirnya dia memutuskan punya blog pribadi, layaknya para pesohor lain. Biar IT minded-lah, sekalian bisa berinteraksi dengan rakyat yang diwakilinya.

Layaknya blog para pesohor lain, di laman Abdul Hadi juga ditulis agenda kegiatan sang Komisi V asal FPAN itu. Agar menarik, juga dipajang beberapa komentar dari para pengunjung.

Namanya juga pesohor, blog pribadinya cukup populer. Buktinya, blognya ramai dikunjungi khususnya oleh warga Sulawesi Selatan. Lihat saja dalam rubrik Apa Kata Mereka, Abdul Hadi dipuji sebagai salah satu contoh wakil rakyat yang sebenarnya.












”Saya rasa hanya sedikit anggota dewan yang betul-betul punya kinerja signifikan bagi masyarakat yang diwakilinya,” begitu puji Nadewa dari Makassar.

Selain warga biasa, Abdul Hadi juga mendapat komentar positif dari Rektor UIN Alauddin Prof Azhar Arsyad. ”Pak Hadi itu orangnya civil minded, selalu me-mikirkan kepentingan orang banyak. Kalau kita lihat bandara baru, maka yang perlu kita ingat adalah Pak Hadi karena dia merupakan pencetus pembangunan bandara baru,” kata Azhar Arsyad.

Abdul Hadi juga dikenal baik oleh jurnalis di Sulawesi Selatan. Beberapa dari mereka memberi semangat kepada Abdul Hadi agar terus memperjuangkan rakyat kecil.

”Salam kenal, kami tunggu kiprah bapak dalam memperjuangkan nasib kaum kecil seperti kami,” kata Dayat seorang reporter televisi swasta yang bertugas di Makassar.

Hingga kejadian mengerikan itu terjadi. Abdul Hadi tertangkap tangan KPK pada Senin 2 Maret 2009 sekitar pukul 22.30 WIB, bersama pegawai Dishub, Darmawati. Keduanya ditangkap di kawasan Karet, Jl Sudirman, Jakarta. KPK menyita uang senilai USD 90 ribu (setara Rp1 miliar lebih) dan Rp 54 juta.

Lalu apa yang terjadi? Komentar yang muncul di blog yang beralamat di abdulhadijamal.blogspot.com itu berubah drastis. Kolom komentar pada blognya panen ratusan umpatan kepada politisi yang nyaleg lagi untuk Pemilu 2009 itu.

”Alah Jamal, Kau korup ternyata yah. Enyahlah kau dari bumi Sulesl, omong kosong aja kau! Korup, udah botak korup pula,” begitu umpatan yang mampir di buku tamu blog Abdul Hadi dengan nama Kapeka.

”Aduhh, mulai ketahuan ya aslinya. Ayo dong Pak bilang saja, temannya siapa saja,” tulis seseorang dengan nama Thahershofa.

Siapa yang tak gerah akan hal ini? Hingga akhirnya, tepat pada hari Rabu, 4 Maret, bagian pengelola blog tersebut menghapus semua isi kontennya. Kini, blog Abdul Hadi Djamal yang meringkuk di LP Cipinang, karena diduga menerima suap dari rekanan itu. Jika sebelumnya jadi ajang promosi, kini blog beralih menjadi wadah pembelaan diri.


---------------
Foto:Abdul Hadi Djamal (courtessy detik.com)

Belajar pada Abdul Hadi Djamal (2)

Tak cuma tulisan itu, semua artikel-artikel yang sengaja diposting mengenai kinerja Abdul Hadi yang kemarin terpampang di blog itu juga raib. Foto-fotonya, termasuk bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tidak ditemui lagi.



”Perjuangan Tidak Berakhir di Ujung Terali Besi, Pak!” begitu judul blog tersebut. Warnanya yang semula biru khas PAN, kini berubah abu-abu.

Sebuah tulisan yang tampak berapi-api juga memberikan pembelaan untuk Abdul Hadi. ”Mana mungkin dia melakukan itu (disuap), sementara kondisi ekonomi dia saja tidak berlebih. Kalau pulang ke Makassar saja dia numpang sama saya,” begitu salah satu kalimatnya.

Tulisan yang diposting oleh seseorang yang menamakan Underconstruction itu juga meminta agar pihak-pihak yang pernah dibantu oleh Abdul Hadi tidak diam saja.

”Anda atau daerah, institusi dan banyak pihak yang pernah mendapat bantuan langsung baik dari kantong pribadi beliau maupun melalui proyek-proyek yang terbukti atas perjuangan beliau, ayo buktikan dong kalau apapun yang diusahakan oleh beliau adalah buat kesejahteraan Sulsel,” tulisnya.

”Jangan lantas diam saja bahkan ikut menghujat bagaikan orang paling suci,” lanjut kalimat itu.

Dia juga tidak percaya Abdul Hadi seorang yang mau menerima uang haram. Sebelum menjadi anggota DPR, Abdul Hadi sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses dan pejabat penting di Bukaka.

”Mobilnya saja hanya Terrano, padahal sudah jadi pengusaha sukses. Bandingkan dengan pejabat lain. Andalah yang bisa menilai,” tegasnya.











Demikianlah akhir kisah blog seorang Abdul Hadi Jamal. Lalu, apa yang bisa kita pelajari di sini?

Publisitas itu ibarat pisau bermata dua bagi manusia. Saat kita mulai populer, itu sama halnya dengan kita membuka ruang bagi orang lain untuk menilai diri kita. Atau ibarat berdiri di cahaya lampu sorot dalam pentas opera. Semua mata tertuju pada kita, semua langkah dan gerak selalu di lihat dan dinilai.

Semua orang ingin tahu tentang siapa dan apa diri kita, tak ada lagi ruang yang tersisa. Tak hanya pujian yang manis, cacian hingga fitnahan pahit pun kerap dilayangkan. Bahkan ada yang sampai memparodikan segala. Maka itu kalau tidak siap, akan bikin kita sendiri yang susah.

Tak membuka diri saja, orang sudah ingin mengorek-ngorek, apalagi membuka diri dengan gamblang di internet. Kian bebaslah para penjelajah dunia maya itu beraksi. (lebih lengkap klik: http://rizafahlevi.blogspot.com/2008/08/pisau-popularitas.html)

Belum lama ini ada diskusi hngat di Voice of America. Yang dibahas kali ini soal demam Facebook. Mereka mengamati bagaimana keranjingannya manusia Amerika akan situs jejaring sosial yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg itu.

Di antara manusia amerika itu, tentu ada juga di antarnya seorang politisi muda. Sebelum menapak karir ke dunia “tarik vokal” itu, si pemuda adalah seorang Facebooker. Di sanalah dia memosting seluruh aktivitas pribadinya. Kawan-kawannya pun banyak.

Hingga suatu saat, lawan politiknya melihat celah di Facebook tersebut. Di sana, entar disengaja atau tidak, juga diposting foto-foto pribadi sang politisi. Maka, dikopilah foto tersebut sebanyak-banyaknya, dan dijadikan senjata untuk menjatuhkan sang politisi.

Hasilnya, karir politik pemuda tersebut hancur dalam sekejap saja, oleh foto-fotonya sendiri, yang dia posting di Facebook-nya sendiri.








Ekses negatif Facebook juga sempat terungkap. Seorang gadis pengguna Facebook
tiap malam ditelepon banyak orang karena diangap wanita panggilan.

Setelah ditelusuri, ternyata data si gadis di Facebook-nya (lengkap dengan telepon dan foto), di-copy oleh orang yang bertanggungjawab lalu diseberluaskan di website sebagai wanita panggilan lengkap dengan nomor telepon dan fotonya.

Ini adalah pelajaran bagi kita semua. Untuk itu, ssebisa mungkin jangan mengumbar data pribadi, informasinya secukupnya saja. Tak usahlah mencantumkan nomor telepon segala.

Lihat-lihat dulu, jangan asal ''add friend''. Tambahkan yang kenal atau setidaknya yang pernah kita tahu saja. Kalau yang tak jelas, mending jangan.

Jangan asal ''add application,'' karena saat Anda mengizinkan (allow) data Anda dibaca, sangat mungkin data pribadi Anda sedang di-copy dan akan disalahgunakan oleh si pembuat aplikasi.

Bagaimana? Sudah siap terkenal? Sudah siap punya blog? Pikir lagi lah. Kalau tipe Anda suka dipuji, kalau Anda alergi dikritik, mending pikir berulang kali. Belajarlah pada kasus Abdul Hadi Djamal.



-----------
tulisan ini diperkaya oleh detik.com

Aku dan Tionghoa (1)

Ibarat mengupas bawang. Begitulah jika kita mengupas peran etnis Tionghoa di Republik ini. Satu tersingkap, masih ada lagi lembar yang lain.



Peran mereka sudah demikian banyaknya, jauh sebelum etnis Tionghoa ditetapkan sebagai salah satu suku di Indonesia melalui, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Kiprah warga Tionghoa di Indonesia telah dimulai ribuan tahun sebelum zaman kemerdekaan. Jejak sejarah ini tercatat rapi dalam buku perjalanan para saudagar Tiongkok kala itu. Bahkan, ada yang menyebut, nenek moyang negeri ini ada yang berasal dari Hunan, sebuah provinsi di Republik Rakyat China yang juga tempat kelahiran Mao Zedong.

Berdasarkan klasifikasinya, umumnya etnis Tionghoa yang menetap di Indonesia berasal dari daerah selatan/tenggara China, atau biasa disebut sebagai orang Tang. Mereka terdiri dari suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia dan Tiochiu.

Jika dipetakan, awalnya suku-suku tersebut menetap di sebuah daerah di Indonesia secara berkelompok dan homogen. Sebuah catatan menulis, suku Hakka umumnya menetap di Aceh, Sumatra Utara, Batam (Kepulauan Riau), Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.









Hainan, menetap di Riau (Pekanbaru, juga Batam) dan Menado. Hokkien memilih di Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.

Sedangkan Kantonis, umumnya berada di Jakarta, Makassar dan Menado. Hokchia, umumnya di Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya). Terakhir, Tiochiu memilih Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Berdasarkan data, tujuan perantauan orang Tinghoa ke Indonesia banyak terdapat di Pulau Jawa. Namun dalam perkembangannya, proses pembauran lebih banyak terjadi di luar Jawa.

Seperti telah saya singung, arus migrasi orang Tionghoa ke Republik ini, salah satunya dipicu oleh hubungan dagang. Seperti yang terjadi selama Dinasti Tang (618-906).

Memang, saat dinasti ini berkuasa, daerah selatan China terkenal memiliki palabuhan dagang moderen. Selain misi tersebut, ada juga yang datang ke nusantara dalam bentuk misi pendidikan, seperti yang terjadi di era kejayaan Sriwijaya.

Selain itu, kedatangan mereka dalam penyebaran agama Islam. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah di antara sembilan wali, ada di antaranya berdarah Tionghoa. Dialah Sunan Bonang.

Selain hal tersebit, ada juga orang Tionghoa yang didatangkan oleh raja-raja di Nusantara, sebagai tenaga kerja kasar dan ahli (ekspatriat). Karena saat itu, orang-orang Tionghoa dikenal pandai, kratif dan pekerja keras.

Hal ini terjadi pada tahun sekitar 1700-an. Kala itu, Kesultanan Riau di Tanjungpinang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk mengelola kebun-kebun gambir milik kerajaan. Setelah pusat kesultanan Riau hijrah ke Lingga, kebun-kebun berpindah tangan kepada orang-orang Tionghoa.









Kehebatan ilmu orang-orang Tionghoa dalam bercocok tanam juga sempat diturunkan kepada penduduk setempat. Sebuah catatan kuno menulis, merekalah yang mengajari konsep sawah terasiring (berundak) kepada petani-petani di Bali.

Selain bertani, orang-orang Tionghoa amat terampil dalam dunia pengobatan. Dalam hal ini memanfaatkan khasiat herbal. Sampai saat ini, sebagian besar perusahaan jamu di Indonesia didirikan oleh orang Tionghoa.

Yang paling terkenal adalah Nyonya Meneer, Semarang. Usaha jamunya meledak, ketika si pemilik berhasil menyembuhkan tetangga yang sakit keras.

Adakalanya juga, kedatangan orang-orang China ke Nusantara dengan membawa misi kerajaan. Yang paling terkenal adalah kisah Laksamana Ceng Ho. Wikipedia menulis, di tahun 1415 (era dinasti Ming) armada laksamana Muslim ini berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas China kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana.

Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.

Aku dan Tionghoa (2)

Saat akan pergi, Raja di Semarang meminta kenang-kenangan pada mereka. Akhirnya dihadiahkanlah sebuah bedug.

Dari kisah ini, konon tradisi menabuh bedug di masjid bermula hingga saat ini. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.

Peran warga Tionghoa dalam membangun Republik ini terus berlangsung, sejak masa pergerakan hingga era pra kemerdekaan. Bahkan dikabarkan, Harian Sin Po, sebagai koran Melayu Tionghoa, yang pertama kali mempublikasikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh W R Supratman.

Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata ”Indonesia bumiputera” sebagai pengganti kata ”Belanda inlander” di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata ”Tjina/Cina” dengan kata Tionghoa.

Berdasar etimologisnya, Tionghoa berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Istilah ini memang dibikin sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia.










Selain di bidang ini, kalangan Tionghoa juga banyak berjuang mendirikan Republik ini, mulai dari membangun sarana pendidikan, serikat dagang, kepartaian, bahkan kemiliteran.

Namun, kiprah mereka bukan berarti berjalan mulus. Beberapa catatan sejarah menulis, orang-orang Tionghoa adakalanya mendapat perlakuan diskriminatif hingga sasaran pembunuhan massal atau penjarahan.

Seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.

Perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa juga terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama, keluar Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1959, yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten.

Beberapa ahli ekonomi mengatakan, akibat perlakukan inilah yang membuat ekonomi Indonesia saat ini hanya bergerak di hulu saja. Hal ini sebenarnya telah dirasakan saat peraturan itu mulai berjalan. Saluran distribusi barang terganggu, dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.












Bukannya mengambil pelajaran, pemerintah Orde Baru mengulangi politik diskriminasi ini dengan menerapkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI. Tak hanya itu, Orba juga melarang seluruh aktivitas berbau Tionghoa, mulai Imlek, barongsai, hingga nama-nama keturunannya.

Akibat beberapa peraturan ini, membuat hubungan warga Tionghoa dan pribumi kurang harmonis. Pembauran, khususnya di Jawa, terhambat. Asimilasi, apalagi. Mereka protes, namun tak didengar. Sementara itu, akibat aturan ini hubungan di masyarakat berlangsung penuh ketegangan dan curiga.

Hingga akhirnya, semua aturan ini dicabut saat Presiden Abdurrahman Wahid memimpin negeri ini, pada tahun 2000. Bahkan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Dan saat ini, warga Tionghoa memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain.

Tentu saja, keputusan ini disambut suka cita. Belenggu diskriminasi selama puluhan tahun itu akhirnya lepas. Kini mereka bebas berkiprah dalam segala lini untuk mengisi pembangunan. Intinya, mau jadi apa saja, silakan. Asal mau dan mampu.

Setelah semua anugerah ini diberikan, kini saatnnya orang Tionghoa membuktikan kepada ibupertiwi, seperti apa yang telah leluhur mereka berikan dahulu. Jadi, tunggu apa lagi, membaurlah, berbuatlah. Soal ada sandungan kecil, itu biasa, semua juga merasakan. Jadi janganlah selalu diartikan diskriminatif.