Selasa, 17 Maret 2009

Perang Indonesia-Malaysia

Meski bertetangga, Indonesia dan Malaysia ternyata masih terlibat perang dingin. Sedikit tersulut, bisa jadi perang terbuka.

Baca koran pagi ini, berita tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi sepakat untuk meminimalkan potensi-potensi gesekan yang bisa menganggu hubungan kedua negara. Langkah-langkahnya tertuang dalam rekomendasi Eminent Persons Group (EPG) yang terdiri dari perwakilan Indonesia dan Malaysia.

”Kadang kita ada selisih. Jangan gaduh, sudahlah. Bosan juga, perlu kita elakkan,” ujar Badawi saat jumpa pers di bersama dengan SBY di Istana Merdeka, Selasa (17/3) kemarin.

Bukan rahasia lagi, bahwa hubungan Indonesia dan Malaysia ibarat api dalam sekam. Tenang di luar, namun panas dan berkecamuk di dalam. Konfrontasi ini pernah mencapai puncaknya pada 1962–1966. Banyak wira yang berguguran dalam pertentangan ini.

Setelah semua reda, bukannya masalah juga sirna. Benih-benih kesumat itu, terus berurat hingga ke generasi saat ini. Cuma, medannya (baca: media) saja yang berbeda. Semua telah menyesuaikan diri dengan zaman.









Jika ditelusuri, masalah yang paling kerap menimbulkan gesekan antara dua negara adalah, saling klaim kepemilikan bisa berupa pulau, ataupun budaya oleh kedua negara.

Yang paling panas, soal sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Pada sidang Mahkamah Internasional yang mengadili status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan 18 Desember 2002, Indonesia kalah. Pemilikan dua pulau itu diputuskan jatuh ke tangan Malaysia.

Belum usai kemarahan akan lepasnya Sipadan dan Ligitan, tahun 2006 sengketa serupa meletus lagi. Blok Ambalat, masalah tapal batas yang masih bersengketa sejak tahun 1967 kembali mengemuka. Saling klaim kepemilikan sepenggal wilayah di laut Sulawesi itu, telah memanaskan hubungan Indonesia dan Malaysia.

Ada kalanya Tentara Laut Diraja Malaysia mengusir paksa nelayan Indonesia. Pesawat tempur dan kapal perang kedua negara pun sempat bentrok kecil di ladang eksplorasi minyak itu.

Tentu saja, kali ini rakyat Indonesia tak mau kecolongan. Patriotisme berkobar di mana-mana, hingga menjalar ke media massa. Semua menyatakan siap perang, demi mempertahankan sejengkal tanah tumpah darah. Untunglah masalah ini berhasil diredam, namun untuk sementara, karena masalah Ambalat sendiri yang terkait Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, sebenarnya belum putus.








Konflik kecil pun terus terjadi. Kali ini mengarah ke budaya. Yang paling heboh, ketika Malaysia mengklaiam reyog Ponorogo sebagai budayanya. Sebagaimana sisebut dalam daftar Visit Maysia. Selanjutnya, berturut-turut angklung, lagu Rasa Sayange, batik dan lain-lain, ikut mereka klaim, yang membuat rakyat kian geram.

Rakyat Indonesia sendiri juga tak mempu menahan sakit, ketika banyak tenaga kerja Indonesia diperlakukan tak manusiawi di negeri jiran itu. Ada kalanya pelaku penganiayaan terhadap TKI itu, bisa lolos dari jeratan hukum.

Hingga pada tahun 2007, Malaysia memberlakukan pembatasan tenaga kerja asing ilegal di negaranya. Untuk melancarkan aksin ini, Malaysia mebentuk milisi sipil, bernama “Rela” (Ikatan Relawan Rakyat). Tugas mereka menangkap buruh migran yang tidak berdokumen. Namun pada praktiknya, tak hanya buruh, mahasiswa, dan istri diplomat RI juga menjadi korban aksi kekerasan Rela.

Tak hanya dihina dengan kata-kata, ada kalanya juga dipukuli dan barangnya diambil. “Indon” begitulah mereka menyebut warga Negara Indonesia. Indon adalah konotasi kaum rendah, kelas pembantu dan buruh.








Inilah sekelumit uraian yang semakin hari kian membuat gesekan antar kedua negara bertetangga ini kian tajam. Gesekan ini kian subur seiring media internet mewabah. Banyak warga Indonesia yang kesal akan sikap Malaysia ini, menumpahkan caci makinya di situs masing-masing.

“Malingsia” begitulah para netter itu menyebut “Malaysia”. Netter Malaysiapun tak mau kalah. Di situs pribadinya mereka juga menghina indonesia. “IndonSial”, begitu katanya (baca juga: http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/anti-indonesia.html).

Dari semula hanya olok-olok di situs masing-masing, akhirnya para netter ini bertemu dan saling serang. Maka, meletuslah perang cybernetic. Peretas (hacker) dari kedua negara saling meluncurkan amunisi, mengacak-acak (deface) situs resmi negara lawan. Tak hanya situs perusahaan, milik pemerintah pun jadi sasaran.

Salah satunya adalah situs milik Sultan Perak yang diubah isinya oleh peretas Indonesia menjadi gambar merah putih dengan tulisan ”INDONESIA” berhuruf besar. Di Bawahnya ada teks berjalan bertuliskan ”jangan ganggu tanahku”, dan diteruskan dengan teks Pancasila, lengkap.








Tak ayal, perang cyber menjadi berita hangat yang sering menghiasi media kedua negara. Pada November 2008 lalu, kantor berita Malaysia, Bernama, melansir sekitar 80 situs Indonesia dan Malaysia telah dideface. Angka ini kian hari kian bertambah. Data terakhir, sudah 80-an lebih situs Malaysia berhasil diacak oleh peretas Indionesia.

Semua ini akan terus dan terus berlanjut dan jika tak ditangani dengan baik, bisa saja nanti berlanjut dari perang kata-kata, menjadi perang nyata. Bukankah dulu yang menyulut perang terbuka Indonesia dan Malaysia ini, bermula dari perang kata-kata mengenai masa depan pulau Kalimantan?

Berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai ”boneka” Britania. Keduanya sama-sama keras, hingga meletuslah konfrontasi itu.

Karena itulah, saya salut akan langkah EPG, yang dipimpin Try Sutrisno (Indonesia) dan Tun Musa Hitam (Malaysia) itu. Sehingga perang kata-kata ini tak berlanjut ke perang fisik. Toh, bagaimanapun masih serumpun juga. Tak akan ada kalah dan menang, yang ada hanyalah untung dan rugi.








Hikmah

Selalu ada hikmah di balik semua persitiwa. Dari fakta ini, mata hati rakyat Indonesia seolah dibuka, ''Hei lihatlah, kamu adalah bangsa besar, bangsa kaya. Jaga, lestarikan dan pertahankanlah!"

Dari peristiwa ini, rakyat Indonesia, secara otomatis mulai bisa mengenal dan menghargai potensinya. Ribuan pulau-pulau kecil di perbatasan yang dulu terbiar, kini mulai dijaga. Satu-persatu dirawat dan diberi nama.

Jangan sampai nanti dicaplok lagi. Sipadan dan Ligitan adalah contoh. Saat masih status konflik dengan Malaysia, Indonesia terkesan mengabaikan pulau ini. Terbukti, pada sisi yang berhadapan langsung dengan perbatsan Indonesia kurang terurus, sementara di sisi yang berbatasan dengan Malaysia, sangat tertata rapi, karena pemerintah kerajaan itu membangunnya dengan baik.

Demikian juga reyog Ponorogo. Sebelum diklaiam Malaysia, keberadaannya kurang begitu dijaga. Uniknya, justru Malaysialah yang menghidupi para seniman reyog ini. Sebab, secara berkala, mereka memesan peralatan reyog tersebut.

Semoga sikap menjaga, melestarikan dan mempertahankan ini terus bergelora. Lucu juga jika kita tak belajar dari semua ini. Jangan hanya setelah hak dan milik kita diklaim orang, baru sibuk.

Bagaimana menurut Anda?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ganyang malaysia. gak usah basa-basi... sok alasan diplomasi yang ada diplomasi LETOY. kembali lihat podato bung karno, jika ada 10 orang malaysia masuk wilayah kita, kita kirim 1000 sukarelawan indonesia.
dasar
diplomasi
letoy
meemblee