Jumat, 27 Maret 2009

Dia (Tidak) Lalok (1)

Ini adalah kisah antara aku dan Dia, kawanku, pemuda Minangkabau yang saya kenal sejak pertama kami merintis karier sebagai wartawan di Batam.

Kisah ini bermula di pada Maret tahun 2000, di mana saat itu saya masih bertugas sebagai reporter di sebuah koran kriminal yang baru saja kuncup, 14 Februari 2000. Masih sebulan lah. Saat itulah, kamtor kami kedatangan seorang reporter baru.

Kesan pertama yang saya tangkap, penampilannya cukup rapi, dengan baju kuning tanah motif garis kotak ala ranger, berpadu celana kargo coklat tanah. Wajahnya khas pesisir Minangkabau, dengan rambut potongan ala Andy Lau, potongan yang lagi ngetrend kala itu.

Pemuda tersebut diperkenalkan bernama “Dia”. Katanya, sudah memiliki pebngalaman sebagai jurnalis di nagari asalnya, Sumatera Barat. Adalah Redaktur Pelaksana kami yang menerima dia bergabung dengan kami, yang memang kala itu sangat kekurangan tenaga reporter.







Sejak Dia datang, saya cukup senang, karena saat itu saya mendapat partner dalam bertugas. Setelah kami dapat motor pinjaman dari kantor, saya dan Dia kerap jalan bersama hingga ke ujung Batam untuk mengejar berita.

Pernah suatu saat saya menderita kecapekan akibat digendongin jin penunggu pohon besar, saat meliput penemuan mayat di Bukit Mata Kucing, Dia-lah yang selalu menjadi joki. Hingga akhirnya jin itu berhasil saya usir, setelah saya meminta bantuan Pak Wachdiat, kawan saya, ahli supranatural, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Wasdakim Imigrasi Batam.

Selain kekompakan tim, di lapangan saya sering dibuat kagum akan keberanian Dia. Kadang kami dihadapkan pada sebuah peristiwa penemuan mayat yang telah membusuk dan berulat. Seperti yang terjadi di Baloi. Sepasang kekasih tewas gantung diri dan mayatnya ditemukan 10 hari kemudian.

Kalau hanya mayat, mungkin saya masih tahan, tapi baunya itu yang tak kuat. Saat itulah, Dia maju ke depan dua mayat itu, krek... krek... tanpa bau sedikitpun dia memotret.








Di kamar mayat, kinerja Dia juga trengginas. Kadang dia ikut menyaksikan kepala Kamar Mayat RSOB, Ujang mengotopsi mayat. Membersihkan luka, ulat dan sebagainya, hingga akhirnya masuk ke peti es.

Tak hanya siang, malam haripun Dia cukup tangkas. Kalau ada peristiwa di atas pukul 10.00, Dia dan saya segera turun. Biasanya, peristiwa yang kerap terjadi di zaman tersebut adalah perkelahian kelompok yang umumnya memperebutkan kapling perjudian. Maklumlah, saat itu judi masih legal di Batam.

Di kepolisian Dia juga mudah akrab. Banyak bintara yang jadi temannya, sekaligus jadi informannya. Kesamaan daerah dan bahasa membuatnya mudah berkomunikasi, hingga membentuk ikatan yang mengikat, the tie that bind.

Semua hasil karya Dia ini membuat Pemred, dan khususnya Redpel kami senang. Beritanya bagus-bagus, fotonya seram-seram. Saking bangganya, dia sempat berkata seperti ini pada saya, “Kau lihatlah berita Dia ini, tiap hari jadi ha-el (HL/head line) terus!” katanya. Saya terima saja, memang Dia sangat cocok di bisnis ini.








Karena sering berdua di lapangan, hubungan saya dan Dia pun kian akrab. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk kos bersama. Urunan sewa kamar di sebuah ruko, belakang kantor kamui di Jodoh.

Ya. Beginilah kos-kosan di Batam. Ruko tiga lantai yang tiap lantai dibagi (diskat) beberapa petak dengan triplek tipis. Sewa kamar saat itu hanya Rp200 ribu. Saya dan Duia patungan, Rp100 ribuan. Kadang satu kamar bisa ditempati 4 orang, tergantung kesepakatan dengan induk semang.

Yang unik, ketika pagi menjelang, kami harus rebutan kamar mandi yang luasnya hanya 1x1 meter. Di kamar mandi inilah, penghuni roku mandi, kakus bahkan nyuci.

Kadang kalau hanya mandi, 15 menit sudah kelar. Yang bikin kesal, ada yang melakukan 3 in 1, ya mandi, ya e-ek, ya nyuci. Ampun, satu orang sampai 2 jam! Kalau tak ada kerjaan tak masalah, tapi kalau diburu waktu atau kebelet banget, stress juga. Makanya, kalau sudah begini, saya mending mandi saja di kantor. Tinggal jalan sebentar saja, sudah sampai.








Satpam kantor, Yohannes Kopong Suban, Radot Sitinjak, dan Mustofa, paling paham akan ritual saya ini. Pokoknya kalau saya sudah ke kantor-pagi-pagi sambil bawa gayung dan handuk, merekapun menyambut dengan senyum simpul, “He he he... mau mandi ya?” akupun menjawab singkat, “He eh!”

Hidup di ruko juga kadang ada asyiknya. Terutama bagi mereka yang bertetangga dengan pasangan muda. Kadang tiga kali seminggu, di atas jam 01.00 dini hari, mereka bisa mendengar desahan nafas sepasang insan yang sedang bercinta.

Maklumlah, semua bisa jelas di telinga, karena batas antar kamar hanyalah triplek tipis. Kalau mau lebih beruntung, triplek itu bisa dibikin lubang rahasia yang bisa dibuka tutup dan dipergunakan untuk mengintip.

Itu jualah harapan saya dan Dia saat kos di ruko. Namun hal itu tak terjadi. Tetangga kami bukanlah pasangan suami istri, melainkan seorang wanita simpanan yang sedang hamil pula.







Jadi, kadang kami sering mendengar desahan dia kesakitan atau saat bertengkar dengan istri sah suaminya. Sumpek banget. Bahkan pernah pada pukul 03.00 dini hari, kamar kami diketuk karena wanita tersebut mau melahirkan. Maka pontang pantinglah saya dan Dia menelepon suaminya agar segera datang.

Tak lama, sekitar satu jam kemudian, atau pukul 04.00, si suami datang. Itupun masih belum juga membantu istri simpanannya ke dokter, sebab dia masih terlibat pertengkaran sengit dengan istri tuanya via ponsel. Ramai deh. Huh... seru juga.

Tidak ada komentar: