Rabu, 04 Maret 2009

Aku dan Tionghoa (2)

Saat akan pergi, Raja di Semarang meminta kenang-kenangan pada mereka. Akhirnya dihadiahkanlah sebuah bedug.

Dari kisah ini, konon tradisi menabuh bedug di masjid bermula hingga saat ini. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.

Peran warga Tionghoa dalam membangun Republik ini terus berlangsung, sejak masa pergerakan hingga era pra kemerdekaan. Bahkan dikabarkan, Harian Sin Po, sebagai koran Melayu Tionghoa, yang pertama kali mempublikasikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh W R Supratman.

Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata ”Indonesia bumiputera” sebagai pengganti kata ”Belanda inlander” di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata ”Tjina/Cina” dengan kata Tionghoa.

Berdasar etimologisnya, Tionghoa berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Istilah ini memang dibikin sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia.










Selain di bidang ini, kalangan Tionghoa juga banyak berjuang mendirikan Republik ini, mulai dari membangun sarana pendidikan, serikat dagang, kepartaian, bahkan kemiliteran.

Namun, kiprah mereka bukan berarti berjalan mulus. Beberapa catatan sejarah menulis, orang-orang Tionghoa adakalanya mendapat perlakuan diskriminatif hingga sasaran pembunuhan massal atau penjarahan.

Seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.

Perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa juga terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama, keluar Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1959, yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten.

Beberapa ahli ekonomi mengatakan, akibat perlakukan inilah yang membuat ekonomi Indonesia saat ini hanya bergerak di hulu saja. Hal ini sebenarnya telah dirasakan saat peraturan itu mulai berjalan. Saluran distribusi barang terganggu, dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.












Bukannya mengambil pelajaran, pemerintah Orde Baru mengulangi politik diskriminasi ini dengan menerapkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI. Tak hanya itu, Orba juga melarang seluruh aktivitas berbau Tionghoa, mulai Imlek, barongsai, hingga nama-nama keturunannya.

Akibat beberapa peraturan ini, membuat hubungan warga Tionghoa dan pribumi kurang harmonis. Pembauran, khususnya di Jawa, terhambat. Asimilasi, apalagi. Mereka protes, namun tak didengar. Sementara itu, akibat aturan ini hubungan di masyarakat berlangsung penuh ketegangan dan curiga.

Hingga akhirnya, semua aturan ini dicabut saat Presiden Abdurrahman Wahid memimpin negeri ini, pada tahun 2000. Bahkan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Dan saat ini, warga Tionghoa memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain.

Tentu saja, keputusan ini disambut suka cita. Belenggu diskriminasi selama puluhan tahun itu akhirnya lepas. Kini mereka bebas berkiprah dalam segala lini untuk mengisi pembangunan. Intinya, mau jadi apa saja, silakan. Asal mau dan mampu.

Setelah semua anugerah ini diberikan, kini saatnnya orang Tionghoa membuktikan kepada ibupertiwi, seperti apa yang telah leluhur mereka berikan dahulu. Jadi, tunggu apa lagi, membaurlah, berbuatlah. Soal ada sandungan kecil, itu biasa, semua juga merasakan. Jadi janganlah selalu diartikan diskriminatif.

Tidak ada komentar: