Kamis, 12 Maret 2009

Anakku

Anakku saat ini sudah masuk 10 bulan, sudah bisa merangkak. Waduh-waduh... bikin sibuk aja. Maunya selalu melantai, sehingga dalam sekejap, ruangan rumah habis dijelajah.


Mulai dari ruang tengah, muter-muter lalu ke ruang tamu, muter-muter, kembali ke ruang tengah, kamar lalu ke dapur. Stop. Ini wilayah terlarang, harus segera dihentikan, di kembalikan legi ke ruang tengah lalu dia kembali melakukan aktivitas semula. Berulang, lagi, lagi dan lagi.

Nah, sekarang giliran orang tuanya yang repot. Repot kenapa? Ya harus dikawal. Jangan sampai nanti saat merangkak membentur pojokan dinding, jangan sampai terpeleset, jangan sampai memungut barang kotor, jangan sampai menyentuh kabel listrik, jangan sampai ini, jangan sampai itu.

Selain itu, lantaipun harus selalu dipel agar bebas kuman. Sehingga, saat melantai bisa aman. Maklumlah, anak kecil mana tahu itu ktor atau tidak. Kadang kala, apa saja dipungut langsung dimasukkan ke mulut. Atau, saat istirahat usai kecapekan merangkak, biasanya dia duduk dan saat itu langsung memasukkan jari jemari ke mulutnya. Wah wah wah.

Ada kalanya istri saya, terlalku over protectif. Dari pada melantai, banyak bahaya, mending digendong ajalah. Anggapan ini tentu saya tentang keras. Biarkan saja dia merangkak, jangan dihalangi. Merangkaklah, kalau perlu sampai ujung dunia sekalipun. Tapi, memang harus dijaga. Itu saja.

Ya. Kadang sebagai orang tua, saya merasa aneh juga. Dulu semasih dalam buayan, ingin rasanya melihat dia segera bisa tiarap. Harapan kita terus meningkat, ingin bisa tiarap, ingin bisa duduk, bisa berdiri, bisa bicara dan lain-lain. Namun setelah proses ini berhasil dia lalui, kadang orang tua sendiri yang tidak siap.













Saat mulai bisa guling-guling dan tiarap, kita ketakutan, jangan-jangan nanti malah jatuh dari tempat tidur. Saat baru bisa merangkak, kembali takut, jangan-jangan membentur dinding dan kaca.

Demikian juga saat nanti bisa berdiri, takut, jangan-jangan meraih benda-benda berbahaya. Apalagi nanti kalau sudah bisa ngomong, waduh, takutnya bukan main, jangan-jangan nanti melawan orang tua. Aneh ya, tak bisa ngomong disuruh ngomong, giliran bisa ngomong dibatas-batasi.

Kadang kita ingin anak kita pandai, lalu dibelilah susu-susu mahal berkualitas. Namun setelah mereka pandai, kita ketakutan, jangan-jangan mereka menggusur dan meruntuhkan wibawa kita. Jadi bingung.

Apakah ini memang sifat orang tua? Mereka protektif, bukan karena takut anaknya menghadapi masalah, namun takut jika masalah anaknya menjadi masalahnya?

Saat saya tarik ke hal yang lebih luas lagi, hal ini juga tumbuh di masyarakat. Kadang generasi tua, selalu saja menghakimi (terlalu mudah mengambuil kesimpulan) dari sikap generasi yang lebih muda dengan alasan demi kebaikan generasi muda itu sendiri. Padahal, jika ditelusuri, sebenarnya mereka takut kewibawaannya terancam, kekuasaannya terusik dan sebagainya.

Jadilah generasi muda kadang dibatasi, dibungkam dan sebagaiya. Padahal, mestinya mereka haruslah membiarkan proses alam ini terjadi, supaya ada regenerasi. Supaya nanti, generasi muda tersebut bisa berkembang dengan baik. Jagalah, kawallah, jangan hambat!

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar: