Jumat, 27 Maret 2009

Dia (Tidak) Lalok (2)

Akibatnya, saya dan Dia baru bisa tidur pukul 05.00-an. Kebayang kan bangunnya jam berapa? Pas pukul 11.00, pas lapar banget. Untung saat itu hari Sabtu, the off day.

Saat lapar ini, kami punya pilihan. Warung padang di seberang jalan komplek Jodoh Square, menjadi favorit kami. Saya tahu rumah makan ini karena Dia yang ngajak. Maklumlah, Dia memang tak bisa makan kalau tanpa nasi padang.

Di sini yang jadi favorit kami selalu gulai kepala ikan. Rasanya juicy banget. Daging ikannya jadi kok jadi legit begitu. Selain di sini, rumah makan favorit kami adalah di Jodoh, letaknya di sebelah tangga pasar Jodoh. Di sini saya paling suka makan dengan sayur kangkung.

Yang paling khas dari semua rumah makan yang kami datangi, selalu menyajikan teh goyang. Sebuah minuman selamat datang. Biasanya teh tanpa gula, namun tetap enak dan harum pandan.







Ya, masakan padang memang enak. Orang-orang Minang ini memang ahli mengolah masakan. Kalau di China daratan, mereka ibarat orang Kanton. Keahliannya memasak, luar biasa. Bahkan jika orang Kanton memasak ayam, semua bagian tubuhnya, mulai paruh hingga cakar, bisa dimakan. Kecuali bulunya saja.

Selain belajar makan masakan Padang, saat bersama Dia saya juga belajar berbahasa Minangkabau. Caranya, saya memperhatikan bagaimana mereka berkomunikasi. Maklumlah, di Batam, banyak orang Padang yang konsisten dengan bahasanya. Jadi mudah dipelajari. Jika tak mengerti saya bertanya pada Dia. Dari sanalah saya memperkaya perbendaharaan bahasa Minang ini.

Selain itu, bahasa Minang memiliki banyak persamaan dengan bahasa Melayu, jadi tak terlalu menyesuaikan dirinya. Misalnya, kemana jadi kamma, berapa (bara), sini (siko), bagaimana (ba'a), kabar (kaba), kampung (kampuang/khusus lafal "u" selalu dibaca "ua").

Beda dengan bahasa Tapanuli (Batak) yang jauh langit dan bumi. Sehingga sampai saat inipun, saya sangat kesulitan menguasai bahasa ini. Paling banter hanya bisa bilang ”nang adong hepeng” yang artinya tak ada uang. Lain itu tidak.









Ada pengalaman unik ketika saya belajar bahasa Minang ini.

Seperti biasa, usai meliput sekitar pukul 13.00, Dia tak langsung ke kantor, tapi memilih tidur dahulu. Setelah pukul 15.00 Dia bangun, mandi, lalu pukul 16.00 langsung ke kantor, ngetik laporan.

Beda dengan saya, usai meliput langsung ke kantor. Di sinilah kadang saya kerap ditanya oleh Pemimpin Redaksi, di mana Dia berada. Kalau sudah begitu, jawaban saya singkat. ”Lalok Bang!”. Artinya ”tidur”. Maklumlah, saya ingin memamerkan pada Pemred bahwa saya sekarang belajar bahasa Padang.

Pemredpun langsung mengrti. Maklumlah dia berasal dari Pekanbaru. Meski Pemred saya bukan orang Padang, namun rata-rata orang Pekanbaru mengerti bahasa Padang, karena bahasa ini menjadi bahasa bisnis mereka.

”Kalau belanja di Pekanbaru, harus berbahasa Padang, jadi bisa dikasih murah,” jelas Pemred saya, suatu ketika.







Hingga hari-hari berikutnya, saat melihat saya mengetik laporan, Pemred masih bertanya di mana dia beada. Saya jawab, “Lalok, Bang!” pertanyaan ini terus berulang,

”Mana Dia?”

”Lalok!”

”Mana Dia?”

”Lalok!”

”Mana Dia?”

”Lalok!”

Dia, Lalok.

Dia, Lalok.

Dari pertanyaan dan jawaban berulang akan Dia inilah, akhirnya menimbulkan Lalok jadi melekat pada nama Dia, hingga dia disebut ”Dia Lalok.” Dalam perkembangan selanjutnya, Dia pun dipanggil ”Lalok” saja.

Uniknya, Dia menikmati betul nickname barunya ini. Hingga kadang, Dia tak mau menoleh saat disebut nama aslinya. Namun, saat dipanggil ”Lok... Lalok...” Dia langsung merespon.








Saya kadang sedikit bertanya, ngapain dia tidur dulu sebelum ngetik berita? Bahkan saya sempat mencelanya. Namun lama-lama saya sadar, hal itu merupakan solusi cerdas. Sehingga Dia bisa mengetik laporan dengan kondisi yang fresh. Tak seperti umumnya wartyawan yang datang ke kantor dengan muka pucat, lusuh, seleke dan kantung mata tebal akibat kantuk.

Toh, dia melakukan itu beritanya tetap hebat, tetap jadi headline dan tak pernah telat deadline. Di samping itu, saat Dia diminta mengejar peristiwa yang baru terjadi, tenaganya juga lebih sigap, karena sudah di-charge tadi.

Yang saya pelajari di sini adalah, manajemen waktu. Dia paham betul berapa lama waktu yang dia habiskan menulis satu berita, sehingga bisa dikalkulasikan total waktu dengan batas akhir, sehingga dia bisa mengatur waktu kapan mulai mengetik dan kapan dia harus berhenti.

Inilah yang disebut perencanaan, inilah manajemen. Karena kerja media juga tak lepas dari dua hal ini.

Ah ternyata Dia tidak Lalok.

---------------
Prescript:

Setelah melewati masa kos-kosan di ruko, saya dan Dia terus berteman. Setelah setahun di koran kriminal, saya diminta kembali ke koran induk, sementara terakhir saya dengar Dia pindah ke perusahaan pers lain.

Namun, akhirnya Dia keluar, dan akhirnya Dia kembali ke koran tempat saya bekerja. Selanjutnya, kami bersama lagi satu kos kali ini di rumah yang kami kontrak di Baloi. Kami berpisah kamar, setelah Dia menikah.

Hingga tahun 2006, kami berpisah. Dia menggawangi koran baru masih grup kami.

Tidak ada komentar: