Kamis, 19 Maret 2009

Membesarkan Anak Hyena

Seorang anggota dewan, sebut saja namanya Manusia Ikan, marah-marah, ketika biaya prawatan mobil pribadinya yang mencapai puluhan juta rupiah itu, ditolak saat hendak dialihkan ke biaya perawatan mobil dinasnya.

Dia meradang, beragam argumen tetap tak diterima. Pemko menolak akan hal ini, karena biaya mobil pribadi, haram hukumnya ditanggung sebagai biaya perawatan mobil dinas. Ini korupsi namanya.

Mentok menghadapi masalah ini, si Manusia Ikan pun memakai jurus andalan. Dia meminta seseorang untuk mengaku sebagai anggota KPK dan menelepon beberapa kantor media massa di kotanya.

Dalam teleponnya si orang suruhan ini mengatakan, telah terjadi mark-up atas biaya perawatan mobil dinas Pemko. Modus ini berjalan mulus, karena bekerja sama dengan bengkel langganan perawatan mobil dinas yang terletak di sebelah kantor BNI.

Dia melanjutkan, jumlah biaya perawatan mobil dinas yang dimark-up ini tak tanggung-tanggung, satu unit mobil bisa mencapai puluhan juta rupiah.














“Jika biaya perawatannya hanya 5 juta (rupiah), maka dibilang 10 sampai 20 juta (rupiah)!” jelasnya pada petugas di kantor media tersebut.
Selanjutnya, si penelepon meninggalkan sederet nomor telepon pada si petugas, yang dia katakan itu nomor ponselnya.

Setelah usai, si petugas menyampaikannya kepada wartawan di kantornya. Wahhh... Tentu ini berita yang teramat bagus. Bisa jadi berita utama. Masyarakat suka akan hal ini.

Maka dilacaklah berita ini ke bengkel yang dimaksud. Ternyata tak ada. Sementara saat orang yang mengaku KPK itu dihubungi, nomor teleponnya tak aktif lagi.

Ah, pakai jurus lain aja. Konfirmasi. Semua pegawai Pemko yang terkait pun dikonfirmasi.
Tre te te teeeeeng.... jadilah berita. Biaya Perawatan Mobil Dinas Dimark Up!

Semudah itukah?




Konfirmasi dalam bidang jurnalistik memang sangat penting, namun mestinya yang paling utama adalah menggali sumber, data dan fakta dari mana isu itu muncul. Bukankah jurnalistik itu ada, untuk menegaskan apakah sebuah kabar itu hanya isu atau hoax?










Karena kalau data dan faktanya kokoh, kadang konfirmasi juga tak perlu lagi dilakukan.

Kalau hanya konfirmasi dijadikan pijakan, hanya akan membuat suasana tidak kondusif. Isu-isu berjalan liar, kadang bisa tak jelas lagi apa itu fakta, apa itu nyata.
Yang lebih parah, bisa saja nanti, pers dimanfaatkan orang-orang yang memiliki kepentingan negatif. Bahkan, pers bisa dijadikan senjatanya untuk memeras.

Ah, saya sudah muak akan hal ini. Tahun 2000 lalu, di Batam kerap terjadi hal ini. Saya kala itu, masih menjadi calon reporter yang lugu, sempat termakan oleh permainan ini.

Modusnya seperti ini, mereka meminta tanah pada Otorita Batam. Namun ditolak. Merekapun marah. Berbekal kartu nama dan sedikit uang untuk bayar makan di hotel, mereka membikin forum-foruman.

Selanjutnya preman terorganisir ini, memanggil wartawan. Saya salah satunya (bodoh banget). Pada saya mereka bercerita tentang kebobrokan OB. Saya pun termakan. “Aha, ini berita bagus!”

Lalu dengan bodohnya, isu-isu dari mereka saya tulis bulat-bulat lalu ditutup dengan sebuah “konfirmasi”. tentu saja hal ini dibantah.









Meski dibantah, saya senang, sebab syarat sebuah berita yang saya buat sudah terpenuhi. “Kan udah konfirmasi!” Begitulah. Esok pagi, berita itu terbit. OB heboh, kebakaran jenggot, sementara si preman teroganisir bersiap nunggu telepon. Tak lama, akhirnya OB mengalah. Sebidang tanah pun diberikan.

Ini hanyalah contoh kasus, betapa pers kadang tak sadar ditunggangi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan negatif. Mereka ibarat hyena, memakan apa saja. Taringnya tajam, lidahnya selalu terjulur lapar. Di kepalanya selalu menggenggam prinsip, kapal pecah, hiu berpesta.

Ah, kalau mengingat ini, tak terasa bahwa saya ikut andil membesarkan seorang bajingan berdasi. Para bajingan itu kini masih bernafas, mereka ongkang-ongkang kaki, pundi-pundi uangnyapun banyak. Bahkan ada juga yang duduk di dewan.

Sementara saya, masih duduk di sini, dikursi ini, sambil mengetik di depan komputer. sama seperti yang saya lakukan dulu, 10 tahun lalu!

Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar: