Rabu, 04 Maret 2009

Aku dan Tionghoa (1)

Ibarat mengupas bawang. Begitulah jika kita mengupas peran etnis Tionghoa di Republik ini. Satu tersingkap, masih ada lagi lembar yang lain.



Peran mereka sudah demikian banyaknya, jauh sebelum etnis Tionghoa ditetapkan sebagai salah satu suku di Indonesia melalui, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Kiprah warga Tionghoa di Indonesia telah dimulai ribuan tahun sebelum zaman kemerdekaan. Jejak sejarah ini tercatat rapi dalam buku perjalanan para saudagar Tiongkok kala itu. Bahkan, ada yang menyebut, nenek moyang negeri ini ada yang berasal dari Hunan, sebuah provinsi di Republik Rakyat China yang juga tempat kelahiran Mao Zedong.

Berdasarkan klasifikasinya, umumnya etnis Tionghoa yang menetap di Indonesia berasal dari daerah selatan/tenggara China, atau biasa disebut sebagai orang Tang. Mereka terdiri dari suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia dan Tiochiu.

Jika dipetakan, awalnya suku-suku tersebut menetap di sebuah daerah di Indonesia secara berkelompok dan homogen. Sebuah catatan menulis, suku Hakka umumnya menetap di Aceh, Sumatra Utara, Batam (Kepulauan Riau), Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.









Hainan, menetap di Riau (Pekanbaru, juga Batam) dan Menado. Hokkien memilih di Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.

Sedangkan Kantonis, umumnya berada di Jakarta, Makassar dan Menado. Hokchia, umumnya di Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya). Terakhir, Tiochiu memilih Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Berdasarkan data, tujuan perantauan orang Tinghoa ke Indonesia banyak terdapat di Pulau Jawa. Namun dalam perkembangannya, proses pembauran lebih banyak terjadi di luar Jawa.

Seperti telah saya singung, arus migrasi orang Tionghoa ke Republik ini, salah satunya dipicu oleh hubungan dagang. Seperti yang terjadi selama Dinasti Tang (618-906).

Memang, saat dinasti ini berkuasa, daerah selatan China terkenal memiliki palabuhan dagang moderen. Selain misi tersebut, ada juga yang datang ke nusantara dalam bentuk misi pendidikan, seperti yang terjadi di era kejayaan Sriwijaya.

Selain itu, kedatangan mereka dalam penyebaran agama Islam. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah di antara sembilan wali, ada di antaranya berdarah Tionghoa. Dialah Sunan Bonang.

Selain hal tersebit, ada juga orang Tionghoa yang didatangkan oleh raja-raja di Nusantara, sebagai tenaga kerja kasar dan ahli (ekspatriat). Karena saat itu, orang-orang Tionghoa dikenal pandai, kratif dan pekerja keras.

Hal ini terjadi pada tahun sekitar 1700-an. Kala itu, Kesultanan Riau di Tanjungpinang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk mengelola kebun-kebun gambir milik kerajaan. Setelah pusat kesultanan Riau hijrah ke Lingga, kebun-kebun berpindah tangan kepada orang-orang Tionghoa.









Kehebatan ilmu orang-orang Tionghoa dalam bercocok tanam juga sempat diturunkan kepada penduduk setempat. Sebuah catatan kuno menulis, merekalah yang mengajari konsep sawah terasiring (berundak) kepada petani-petani di Bali.

Selain bertani, orang-orang Tionghoa amat terampil dalam dunia pengobatan. Dalam hal ini memanfaatkan khasiat herbal. Sampai saat ini, sebagian besar perusahaan jamu di Indonesia didirikan oleh orang Tionghoa.

Yang paling terkenal adalah Nyonya Meneer, Semarang. Usaha jamunya meledak, ketika si pemilik berhasil menyembuhkan tetangga yang sakit keras.

Adakalanya juga, kedatangan orang-orang China ke Nusantara dengan membawa misi kerajaan. Yang paling terkenal adalah kisah Laksamana Ceng Ho. Wikipedia menulis, di tahun 1415 (era dinasti Ming) armada laksamana Muslim ini berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas China kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana.

Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.

Tidak ada komentar: