Kamis, 12 Desember 2013

Dari Kongres Kebangsaan, Forum Pemimpin Redaksi (2)

Beri Pidato Kunci, SBY Tekankan Pentingnya Perubahan

Haluan berbangsa dan bernegara harus terus dipantau dan diperbaiki. Perubahan itu penting, dan pers menjadi pilar agar Indonesia kembali ke haluan tersebut. 

Kongres Kebangsaan ini akhirnya melahirkan delapan butir Komitmen Jakarta. Sebuah komitmen para pemimpin redaksi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Delapan poin itu antara lain memperkokoh Indonesia dengan memperkuat Pancasila sebagai fondasinya, perjuangan politik untuk membentuk pemerintahan yang mecerdaskan kehidupan bangsa, mengonsolidasikan demokrasi, kemungkinan amandemen kelima konstitusi serta peninjauan kembali peraturan perundangan.

Poin lainnya penyempurnaan lembaga perwakilan dan sistem pemilu, penyempurnaan fungsi DPD, partisipasi keterwakilan tanpa biaya mahal.

Selain itu, perlunya penataan kembali otonomi daerah untuk peningkatan partispasi publik dan menghindari timpang tindih kewenangan. Poin lainnya perlunya memulihkan wibawa hukum melalui pemilihan aparat yang berkompeten dan penguatan budaya demokrasi.

Kongres juga menyepakati keberadaan haluan negara yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Terakhir, meminta MPR mengambil langkah yag diperlukan untuk menindaklanjuti hasil Kongres Kebangsaan.

Komitmen ini dibacakan langsung Ketua Forum Pemred Nurjaman Mochtar pada puncak acara, Rabu (11/12) di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang datang menutup acara tersebut untuk menyampaikan pidato kunci. Bersamanya, hadir juga Ketua MPR, Ketua DPD, perwakilan negara-negara sahabat dan sederet pejabat teras negeri ini.

Di forum itu presiden mengapresiasi gagasan perubahan untuk membuat negeri ini lebih baik. Menurutnya, ini gagasan besar dan fundamental. Untuk itu tak boleh hanya digagas segelintir orang, harus melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak untuk membangun negeri ini berkembang lebih baik.

Presiden kemudian menggambarkan, dalam masyarakat ada dua tipe manusia. Pertama yang senang perubahan. Bagi mereka tiada hari tanpa perubahan, dan selalu mengubah dan mengubah. Namun ada juga yang antiperubahan. Mereka berpendapat, buat apa diubah, kan semua sudah baik.

"Dalam kehidupan bernegara selalu ada benturan antara dua kubu ini, terutama antara kaum ekstrim yang ada di kedua kubu," jelasnya.

SBY berpendapat, perubahan itu tak ditabukan, tapi diniscayakan sepanjang memiliki kepentingan dan urgensi untuk sebuah kebaikan dan dilaksanakan dengan proses yang tepat. Sehingga kalau ada risiko atau guncangan, segala sesuatunya sudah diperhitungkan.

"Ide perubahan hampir selalu mendapat resistensi, namun bila sebuah bangsa sepakat melakukannya, maka tak boleh gentar meski ada elemen-elemen yang tak setuju atau melawannya," pesannya.

SBY kemudian me-review, sejak berdiri pada 1945 lalu, bangsa indonesia telah megalami koreksi sejarah, melalui perubahan dramatis yang menelan risiko korban sangat tinggi. Pada tahun 1965 dan 1998, 2000, terjadi perubahan besar-besaran disertai krisis dan guncangan. 

"Bahkan (saat itu) ada yang meramalkan negeri kita akan jatuh seperti (negara-negara) balkan di Eropa timur," ingatnya.

Dari sini bisa dipetik pelajaran, bahwa tak boleh menghalang-halangi terjadinya hukum alam, bahwa perubahan perlu dilakukan. 

"Menganggap sistem yang sudah lama dianut sudah baik, menurut saya mengganggu hukum alam. Bangsa yang baik dan bijak akan selalu melakukan refleksi untuk melakukan perubahan dan penataan. Daripada terjadi revolusi sosial, atau perubahan yang dipaksakan yang sering menyakitkan," jelasnya.

SBY kembali merefleksi, saat Sidang Umum MPR 1998, saat Soeharto masih berkuasa, dia mewakili Fraksi ABRI di DPR menyampaikan bahwa reformasi tak  bisa dielakkan. Pernyataannya ini menuai kecaman, banyak yang tak siap menerima kata tersebut, yang di era Soeharto sangat ditabukan. "Saya bahkan dibilang kemajon (Jawa: terlalu maju)," ingatnya.

SBY seolah berpesan, andai saja saat itu reformasi (perubahan) dilakukan lebih awal, maka peristiwa berdarah yang memakan banyak korban tak perlu terjadi.

Menurutnya, bila semua rakyat sepakat perlu ada perubahan tertentu, maka perubahan itu perlu direncanakan dan dipersiapkan. "Marilah forum ini kita letakkan dalam kerangka pemikiran seperti itu," ajaknya.

Contoh lain, di tahun 2002 saat menjabat Menkopolkam di era Presiden Megawati, SBY didatangi tokoh mahasiswa yang membawakan suara teman-temannya. "Dia bilang, sudahlah Pak, buang saja UUD 45 itu, ganti yang baru," ungkapnya.

Kemudian di Tahun 2004, saat dia maju sebagai calon presiden, dalam sebuab acara di Jakarta, dia ditanya, beranikan kalau terpilih jadi presiden nanti, dia mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 45 yang telah mengalami empat kali perubahan itu?

SBY hanya diam. Dan memang hingga saat ini, kedua pemikiran ekstrem itu tak jadi bagian dari sejarah Indonesia. "Saya meyakini, keduanya tak terjadi karena rakyat Indonesia tak menghendakinya," jelasnya.

Hingga kini, setelah 15 tahun reformasi, berpendapat bangsa ini haruslah mulai memikirkan perubahan dan penataan kembali bagian-bagian mana saja dari sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang ada saat ini diperbaiki untuk menuju keadaan yang lebih baik.

"Tapi dengan catatan, yang baik harus kita jaga dan dipertahankan. Tapi yang nyata-nyata tak baik, kita harus berani melakukan peninjauan dan perbaikan," tegasnya.

SBY menyadari, pastilah perubahan itu tak bisa dilakukan di era kepemimpinannya. Tapi pemikiran mulia tersebut, tak keliru kalau digagas. Untuk itu SBY mengajak segenap komponen bangsa untuk melihat kerangka bangsa Indonesia guna melakukan penataan kembali.

"Perubahan itu tak boleh grasa-grusu (asal-asalan), ceroboh, emosional, apalagi menuruti tekanan politik tertentu. Karena pemimpin politik akan datang dan pergi, tapi bangsa Indonesia akan ada sepanjang masa. Dan rakyat harus dilibatkan dan didengarkan pandangan dan pendapatnya," jelasnya.

Selanjutnya, melalui beberapa pertanyaan kunci, SBY memberikan sudut pandangnya tentang perubahan yang bagaimana yang bisa dicarikan pemecahannya. "Ini tak cukup hanya satu seminar, perlu ribuan seminar," selorohnya yang disambut tawa hadirin.

Adapun pertanyan kunci yang diambil dari pengalamannya selama dua periode memimpin Indonesia tersebut adalah. Sistem pemerintahan seperti apakah yang harus kita pilih: apakah parlemen atau presidensial? 

Bagaimana hubungan parlemen cek and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif? Bagaimana hubungan pusat dan daerah? Bagaimana hubungan negara dan rakyat? Seperti apakah sistem kebijakan dasar ekonomi Indonesia?

Selanjutnya hubungan internasional seperti apa yang patut kita anut? Sistem pemilu dan pilkada seperti apa yg paling tepat? Hak dan kewajiban warga negara seperti apa yg tepat?
Sistem kebijakan keuangan nengara seperti apa yg tepat?

Tak kalah pentingnya, bagaimana membangun toleransi dan harmonisasi yg kokoh dalam masyarakat yang sangat mejemuk ini? Bagaimana menjaga stabilitas politik di tengah multi partai seperti saat ini?

Bagaimana kepatuhan masyarakat kepada hukum dapat kian diperkokoh sehingga tak mudah terjadi kekerasan? Dan terakhir bagaimana membangun kehidupan yg bersih sehingga korupsi bisa dikurangi di negeri tercinta ini?

SBY kemudian menjawab datu persatu pertanyaannya itu sesuai dengan sudutpandangnya. Namun dia mepersilakan bila ada usulan lain. "Kalau pemimpin redaksi bisa menambahkan list (masalah) lainnya, silakan. Kan pemred bisa mengubah jalannya sejarah," ujarnya yang disambut tepuk tangan hadirin.

Terakhir SBY berpesan, bukalah lebar forum kebangsaan ini, libatkan sebanyak mungkin pihak yang berkompenten, rangkul kalangan kampus, libatkan suara rakyat, cegah pemikiran seseorang yang merasa paliing hebat dan paling benar. 

"Kalau forum ini ingin kendapat pengakuan dari segenap bangsa Indonesia, maka libatkanlah mereka," pesannya menutup pidato kuncinya. ****

Dari Konggres Kebangsaan, Forum Pemimpin Redaksi (1)

Menggagas Haluan Bangsa melalui Perubahan yang Tepat

Dalam perjalanannya, bangsa ini banyak diterpa guncangan. Pertanyaannya, sudah tepatkanh sistem bernegara yang kita anut? Para pemimpin redaksi (Pemred) pun coba memberikan solusi. Seperti apa?

Pencarian solusi itu dikemas dalam sebuah acara Forum Pemred yang digelar Selasa dan Rabu (10-11) kemarin, di Hotel Bidakara, Jakarta. Pertemuan yang dihadiri seluruh Pemred dan perwakilan kepala daerah di Indonesia ini, merupakan puncak dari Forum Pemred yang digelar di Bali, Januari lalu.

Beberapa pucuk pimpinan lembaga-lembaga negara, mulai MPR, DPR, DPD, BPK bahkan militer dan 12 partai politik negeri ini, hadir memaparkan ide-idenya selama 15 menit dalam acara yang bertajuk Konggres Kebangsaan: Menggagas Kembali Haluan Bangsa Menuju 100 Tahun Indonesia. 

Tak ayal, acara yang dipandu Rossiana Silalahai dan Tina Talisa ini sangat padat. Dimulai pukul 08.00 pagi, berakhir pukul 21.00 malam. Tentunya ada jeda untuk makan siang dan malam.

Jimly Assiddiqie****************, selaku dewan pakar forum ini menyebut, acara ini digagas untuk mencari, menjaring ide-ide, dan memberi masukan dalam merumuskan perubahan yang tepat untuk membangun bangsa dan membangun hubungan saling percaya antar komponen bangsa.  Karenanya, perlu evaluasi bagaimana struktur, sistem bernegara kita. Apa kelebihan dan kekurangannya.

Jimly prihatin, karena saat ini wacana yang berkembang hanyalah sibuk membicarakan siapa capres dan caleg. Tak ada yang menyampaikan bagaimana Indonesia setelah pemilu itu usai. 

Untuk itu, melalui forum ini, perlu ada yang menyampaikan ide-idenya agar rakyat pemilih tahu menentukan sikap di Pemilu 2014 mendatang. "Di sinilah media memegang peranan sangat penting, sebagai pilar ke empat dalam sistem demokrasi," jelas mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Setelah sambutan Jimly, mulailah para petinggi negeri memberikan paparannya. Namun dari semuanya, paparan Panglima TNI Jendral Moeldoko************ paling menarik untuk direnungkan.

Jendral yang oleh majalah Tempo disebut "panglima tajir" ini, mengulas masalah yang dia sebut "ketidak teraturan yang berlebihan" dalam perjalanan bangsa akhir-akhir ini, dengan menukil teori Chaos: sebuah keteraturan dalam keacakan.

Sebagai tentara, jendral yang tak segan memberi hormat dan menundukkan kepala pada siapa saja ini, paham benar bagaimana penyimpangan sekeci 0,00127 derajat itu, mampu berubah menjadi pola yang melenceng jauh dari haluan semula.

"Contohnya saat berjalan dengan kompas, bergeser satu derajad saja, bila berkilo-kilo maka akan melenceng jauh," jelasnya.

Lanjut Moeldoko, kepak sayap kupu-kupu di Brazil dapat membuat tornado di Texas. Mengapa? Inilah yang landasan teori chaos: Bila satu komponen kecil diubah, seiring berjalannya waktu, maka duniapun akan terlihat berbeda. 

Sebagaimana ditulis Roy Budi Efferin, Sains & Spiritualitas: Dari Nalar Fisika Hingga Bahasa Para Dewa, "Satu Muhammad lahir dan Asia pun bangun dari mimpi jahiliah. Satu Yesus hadir dan seluruh dunia Barat pun berubah. Satu Gautama tercerahkan dan seluruh kepercayaan Hindu-Budha di India meluas. Satu Hitler muncul dan seluruh dunia terlibat dalam perang dahsyat yang menewaskan lebih dari 20 juta manusia". 

Namun, jelas Moeldoko, dari ketidakpastian, ketidakteraturan dan kekacauan dapat menjadi sumber inspirasi dan awal sebuah karya yang mempengaruhi jalannya sejarah. Untuk itu, sebagaimana disampaikan Michel Serres dalam Genesis (1995), bila chaos hanya dipandang dari sisi negatif, maka tidak akan pernah dilihat sebagai sebuah peluang: peluang kemajuan, peluang dialektika kultural, peluang persaingan, peluang peningkatan etos kerja, peluang peningkatan daya kreativitas dan produktivitas. 

Chaos tidak akan pernah dilihat sebagai cara pemberdayaan, cara manajemen, cara pembelajaran, cara pengorganisasian dan lain sebagainya. Oleh karena itu chaos harus dipandang sebagai positif chaos. Perubahan, ketidakpastian, ketidakberaturan, kekacauan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan, karena menghilangkan ketidakberaturan itu berarti menghilangkan daya perubahan dan kreativitas.

Pertanyaannya, apakah kita masih dalam koridor chaos positif? Apakah ketidak teraturan yang kita alami pasca-reformasi itu sudah berlebihan? Untuk itu, perlulah dilihat polanya dari beberapa anomali-anomali pascareformasi yang terjadi saat ini.

Anomali politik: munculnya nilai-nilai baru bertemu nilai-nilai lama sehingga membuat masyarakat yang tidak siap menyikapinya, melakukan tindakan menyimpang dalam mencari solusi.

Anomali politik juga tampak pada ekses tingginya biaya politik saat ini, yang membuat 2.000 anggota legislatif dan 300 kepala daerah, terlibat masalah hukum (jadi tersangka), dan 94% hubungan kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. "Mesranya hanya tiga bulan saja," sindirnya.

Dalam ekonomi juga terjadi anomali. Seiring banyaknya PHK, dan munculnya kekuatan buruh menjadi kekuatan "parlemen jalanan". Kebebasan berpendapat pun menjadi anugerah sekaligus guncangan. Hal ini juga harus dikelola dengan baik.

"Tahun ini ada 90 juta pengangguran, 40 juta orang lagi setengah menganggur. Belum lagi gerakan buruh cenderung reaktif (baca anarkistis) sehingga menuai kecaman," ujarnya.

Anomali ekonomi yang lain adalah, subsidi BBM hingga menelan Rp200 triliun dari APBN. "Uang sebanyak itu bila dibangun sekolah tentu akan lebih baik. Namun karena telah terbiasa, lama-lama kita nikmati," tegasnya.

Atas nama ekonomi juga, kerusakan lingkungan di daerah sangat luar bisa. Namun semuanya dirasa baik baik saja. "Apakah harus kita biarkan?" tanyanya yang membuat hadirin terdiam.

Hal yang tak kalah parahnya adalah munculnya anomali sosial budaya. Poin-poinnya adalah maraknya generasi muda mengadopsi budaya asing secara mentah-mentah, maraknya pemaksaan kehendak, dan prespektif labeling, berupa stigmatisasi. 

"Misalnya sebutan 'mayoritas' dan 'minoritas'. Saya kurang setuju sebutan itu, karena kita hakikatnya adalah bangsa yang satu" tegasnya.

Munculnya anomali sosial budaya ini kadang membuahkan peristiwa yang menghentak nalar. Misalnya baru baru ini kita dikejutkan ada pemerkosaan bayi yang masih berumur delapan bulan, ada pemerkosaan di angkot dan kasus perkosaan lain yang dianggap biasa. 

"Rakyat Indonesia tenang-tenang saja. Tapi lihat di India, ada pemerkosaan gadis, seluruh masyarakat memberikan dukungan penuh (pada korban dan meminta penegak hukum untuk mengusut). Tapi kita tenang-tenang saja," ulasnya.

Sikap yang sama, lanjut Moeldoko juga tampak ketika masyarakat melihat ada pembakaran orang hidup-hidup. Semua seolah hal biasa saja. Belum lagi ada pengemis di Jakarta untuk naik haji, dan lain-lain. Suatu hal yang tak terpikir sebelumnya namun dianggap biasa.

Menutup presentasinya, Moeldoko menyebut bahwa ketidak seimbangan perkembangan teknologi dan ketidakseimbangan spiritualisme, akan menyebabkan chaos. Ketidak keteraturan akan membuat fraktal-fraktal baru yang terus menciptakan anomali-anomali baru.

Namun berkaca pada alam, kalau ketidakberaturan alam bisa teratur melalui hukum gravitasi, maka kita harus sepakat bahwa ketidakberaturan di bangsa ini bisa teratur bila segenap anak bangsa mematuhi hukum secara konsekuen yang ditopang pilar NKRI, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila.

"Kita perlu mencari titik keseimbangan baru, agar negara kuat rakyat berdaulat," sarannya.***

Kamis, 14 November 2013

Keberpihakan Pemerintah dalam Pembangunan Bawean

Hari Sabtu-Minggu (16-17) November, saya diundang LSM Pusat Kajian Demokrasi, HAM dan Lingkungan Hidup (PUKAD-HALI) Jawa Timur, sebagai pembicara dalam seminar nasional,  “Bawean Dalam Perspektif Masyarakat”. Selain saya, ada enam pembicara lain yang turut diundang, beberapa orang profesor doktor dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Univetsitas Brawijaya Malang, Unair Surabaya, dan presiden persatuan Bawean Malaysia dan Singapura.

Di forum ini panitia meminta saya berbicara tentang "Keberpihakan Pemerintah dalam Pembangunan Bawean". Dari judul yang telah ditentukan itu, malah menimbulkan pertanyaan bagi saya. Apa memang ada keberpihakan pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten Gresik dalam pembangunan Bawean?

Kalau dibilang keberpihakan pemerintah dalam pembangunan Bawean tidak ada sama sekali, saya tak yakin itu. Hanya saja belum tepat, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak dirasakan langsung manfaatnya bagi masyarakat. 

Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi, bila Pemkab Gresik memahami karakter dan kultur masyarakat Bawean itu sendiri. Konsep pembangunan dan pengembangan pulau Bawean, tentu tak sama dengan konsep Mayor Pierre L’Efant, membangun Washington, Raffless membangun Singapura, atau BJ Habibie membangun dan mengembangkan pulau Batam. Semua ini berbeda.

Batam adalah pulau industri, dari sebuah kawasan ekonomi khusus, inilah yang menjadi landasannya. Habibie mendisain ekonomi Batam untuk memanfaatkan sebesar-besarnya keuntungan ekonomi yang didapat singapura. Istilahnya, bila Singapura itu "balon pecah" maka pecahannya akan mengarah ke Batam. Dari sinilah Batam berkembang, dan pembangunannya dirasakan oleh masyarakat hingga ke anak cucu.

Sementara Bawean, itu berbeda. Lalu konsep seperti apakah yang tepat untuk mengembangkan pulau ini? Ada baiknya kita pahami dulu sejarahnya. 

Beberapa liratur menyebut Bawean telah ada ratusan tahun lalu. Dulu pulau ini bernama "Majadi", bahasa sansekerta yang berarti Matahari Terbit. Siatem pemerintahannya adalah kerajaan, dengan sistem kepercayaan lokal.

Hingga di abad 14, Cakraningrat IV dari Madura menaklukkan kerajaan ini. Dari sinilah Islam menyebar dan dianut 100 persen penduduknya. Tak hanya itu, proses akukturasi membuat asli Bawean hilang berganti bahasa penguasa, Madura, hingga kini.

Dari sini, Bawean menjelma menjadi pulau transit. Letaknya yang berada di tengah antara Jawa, Kalimantan dan Sumatera, membuat pulau ini kerap disinggahi kaum saudagar, nelayan dan para wali dari Jawa, Pelembang, Mandar bahkan Campa. 

Ada kalanya kaum-kaun tersebut menetap, membangun klan di Bawean, membuat warga Bawean menjadi multi kultur, hingga kini. Keberadaan pulau Bawean sebagai pelabuhan transit makin kukuh di era penjajahan Belanda.

Di sini mereka membangun pelabuhan moderen, lengkap dengan dam, perkantoran, dan pergudangan. Sistem ini menngingatkan pada sistem free trade zone yang jamak dijumpai saat ini. 

Hingga era kemerdekaan, pembangunan Bawean mandeg. Perannya sebagai kawasan transit tak lagi ada. Pemerintah setelahnya berupaya mengambangkan Bawean sebagai kawasan agraris, namun tak berhasil. Begitupun sempat dibikin sebagai sentra perikanan, juga tak jalan.

Hingga saat ini, arah pengenbangan Bawean kurang jelas ke mana arahnya. Namun, yang masih tak berubah adalah semangat penduduknya untuk merantau, sebagaimana yang dilakukan kakek buyutnya dulu. 

Bagi laki-laki Bawean belum bisa dikatakan matang bila belum merantau. Itulah yang mendorong banyak lelaki Bawean merantau, sehingga Bawean akhirnya disebut "pulau putri", karena di pulau Bawean yang tinggal hanya kaum perempuan saja.

Dari sinilah kemudian muncul idiom bagi lelaki Bawean yang berbunyi: "Jangan menikah sebelum membuka langit, jangan membuka langit sebelum merantau, jangan merantau sebelum memiliki bekal." Terkait "bekal" ini, di era 80-an ke bawah, ada tren anak-anak muda untuk berguru ilmu silat sebelum merantau.

Kebiasaan merantau ini sudah tercatat lama. Ada yang menyebut, pada abad ke 16 warga Bawean sudah berdiaspora ke semenanjung Malaya. Dari kaum perantau ini, masyarakat Bawean mengadopsi budaya Melayu, hingga kini. 

Hingga saat ini banyak warga Bawean mempunyai ikatan darah dengan masyarakat Malaysia dan Singapura. Singapura masih menyebut orang Bawean perantuan sebagai "boyanes", di mana berdasarkan sensus tahun 2010 ada 57.148 jiwa etnis Boyan yang kini menetap di Singapura.

Hingga ketika migrasi bebas ke Malaysia dilarang, seiring konfrontasi RI dan Malaysia, warga bawean banyak yang menetap di Kepulauan Riau. Seperti pulau Bintan, Batam, hingga Lingga. Sehingga jangan heran bila saat ini banyak ditemukan “peninggalan-peninggalan” para diaspora Bawean tersebut. 

Yang paling nyata, di daerah-daerah tersebut banyak ditemukan kampung Boyan. Bahkan di Bangkok, Thailand pun ada. Karena sudah lama berdiaspora, maka saat ini di daerah rantauan, keturunan bawean banyak yang sukses di segala bidang, baik di pemerintahan dan seni.

Berangkat dari uraian ini, maka mestinya sudah bisa dipahami ke mana arah pembangunan Bawean ditautkan. Karena karakter masyarakat Bawean adalah diaspora, maka apa yang bisa dikembangkan dari dispora? Dan apa yang paling dibutuhkan oleh diaspora?

Diaspora adalah fenomena yang lumrah atau biasa, namun menyimpan potensi yang luar biasa. World Bank bahkan mengakui diaspora mampu mengangkat perekonomian dengan menurunkan tingkat kemiskinan. 

Di Bawean sendiri, warga diaspora ini mempunyai sumbangsih besar bagi kemajuan pulau asal mereka. Potensi nyata dari diaspora Indonesia adalah pengiriman uang dari luar ke dalam negeri. 

Ini baru potensi remitansi, belum lagi potensi intangible lain yang bisa digunakan untuk membangun. Peningkatan investasi karena sebagian besar diaspora kita adalah pedagang dan ada yang memegang jabatan penting di sektor swasta dan pemerintah. Kebanyakan diaspora Bawean adalah orang dengan pemikiran cemerlang yang justru lebih banyak membantu negara tujuan. 

Gambaran kecil ini sudah menunjukkan potensi yang mestinya Pemkab Gresik bisa mengembangkan tiga fokus pembangunan di Bawean, sehingga hasilnya dirasakan masyarakat di sana. Seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan infrastruktur lunak (kesehatan dan pendidikan), dan pemanfaatan sumber daya alam. 
 
Fokuslah pada tiga hal tersebut. Sayang, pemkab gresik memang masih sangat lemah dalam memanfaatkan potensi Bawean. Lahan pertanian, perikanan, wisata, masih belum dikelola maksimal.

Belum lagi bila berbicara tentang transportasi, khususnya kapal, sesuatu yang sangat vital bagi masyarakat diaspora yang menganggap laut adalah penghubung. Ini adalah kunci utama. Sederhana saja, bila ingin membangun Bawean, perhatikan akses menuju ke sana. Sediakan transportasi (kapal) yang pasti.

Tapi kenyataannya, jangankan kapal terbang, kapal laut saja sulitnya bukan main. Hampir tiap hari kita melihat dan membaca tentang warga Bawean yang marah, karena ketiadaan kapal ini. Kadang di antara mereka ada warga keturunan Bawean yang ingin melihat kampung halaman kakek buyutnya, namun harus menelan getir juga.

Dari sinilah ketidak puasan ini bermula dan meluas, jadi bahan cerita di jejaring sosial. Kabar ini kian mendunia, membawa citra Bawean, sebagai pulau menyebalkan untuk dikunjungi.

Saya sebagai warga perantau merasakan betapa tersiksanya saat akan pulang ke Bawean, kampung halaman saya sendiri itu. Kadang harus terkatung-katung di gresik tanpa kepastian, dan ini berarti harus merogoh kocek ekstra untuk biaya makan dan penginapan.

Tak cukup hanya itu, pelayanan di pelabuhan jauh dari kata profesional dan manusiawi. Bahkan, pelayanan Pemko Tanjungpinang saat melayani TKI ilegal yang dideportasi dari Malaysia, jauh lebih baik dari pelayanan pelabuhan di Gresik.

Saat pulang ke Bawean, rasanya seperti tawanan perang. Ini sungguh memuakkan. Selalu berulang dan berulang. Jadi wajar saja bila warga Bawean mencap Gresik tak memperhatikan mereka. 

Bila soal kapal saja susah, bagaimana lagi mau bicara soal menggali potensi, misalnya pariwisata? Memangnya wisatawan mau ke Bawean pakai apa? Kunci wisata itu adalah pelayanan dan kenyamanan. Bila sudah tak nyaman, saya rasa mereka akan berpaling pada kawasan lain.

Bicara soal kapal ini, saya ada cerita sedikit. Di Kabupaten Natuna, wilayah utara Provinsi Kepulauan Riau juga memiliki masalah serupa. Untuk menuju ke kabupaten kaya minyak itu, warga menggunakan kapal laut, yang lebih tepatnya disebut dengan kapal barang.

Bedanya, pengelolaan kapal di sana lebih transparan. Sudah dua bulan ini, KM  Bahari 5, armada milik PT putra Anambas shipping yang memenangkan kontrak subsidi trayek Natuna-pontianak dan natuna-Tanjungpinang sebesar Rp23 miliar selama dua tahun, tak melaut.

KM Bahari 5 sudah tak beroperasi karena mesinnya rusak, dan sampai saat ini masih lego jangkar di pelabuhan rakyat, pelantar Penagi, Ranai. Akibat kerusakan ini PT putra Anambas shipping didenda sekitar Rp5 juta perhari selama satu bulan lebih. 

Tak hanya itu, berdasarkan perjanjian antara pemkab dan PT putra Anambas shipping, perusahaan itu terancam putus kontrak jika sampai tanggal 5 november tidak mengoperasikan KM Bahari 5 dengan rute Natuna-pontianak.

Daripada putus kontrak, akhirnya perusahaan tersebut mengerahkan armada pengganti bernama KM Tenang Jaya 1. Inilah yang disebut pemerintah pro rakyat, inilah yang disebut melayani rakyat, ini jualah yang disebut keberpihakan pembangunan. 

Di Bawean bagaimana? Apakah sistem ya seperti itu? Apakah pemkab gresik sudah transparan membeber kontrak kapal trayek Bawean-Gresik? Apa kompensasi yang diberi pada masyarakat bila suatu ketika armada perusahaan kapal tersebut tak melaut? 

Saya dengar belum ada...


*) Dibawakan dalam seminar "Bawean dalam Prespektif Masyarakat", di Hotel Halogen, Surabaya, 16-17 November 2013.

Minggu, 29 September 2013

Dialog tentang Kepemimpinan Bersama Amien Rais

Ini adalah tahun politik, tahun di mana banyak orang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Bagaimana memilih pemimpin yang baik? Prof DR HM Amien Rais memaparkan dari tinjauan historis dan Islam. Berikut petikannya.

”Saya baru tahu kalau tema acara ini tentang kepemimpinan setelah melihat ini (backdrop) dari pintu itu,” ujar Amien, saat berbicara di acara Silaturahmi Pemuda dan Dialog Kepemimpinan yang digelar pemuda Muhammadiyah Batam, di Hotel PIH Batam Center, kemarin yang disambut tawa hadirin. 

Saat diundang sebagai pembicara kemarin, Amien memang tak diberi tahu harus berbicara tentang apa. Dalam dialog itu, Amien di dampingi Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kepri Chablullah Wibisono dan Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Batam Suyono.

Menurut Amien, dari zaman ke zaman manusia selalu memerlukan pemimpin, atau disebut juga leader, imam, fuhrer. Pemimpin secara objektif diperlukan, tak hanya oleh manusia, juga kelompok hewan hingga mahluk halus. ”Golongan jin ada kepala jin, jenderal jin. Setan juga begitu,” lanjut mantan ketua MPR RI ini. 

Kebutuhan akan pemimpin sudah menjadi kodrat manusia, tujuannya untuk memberikan pencerahan atau enlightment. Inilah mengapa Tuhan mengutus para nabi dan rasul. 

Tugas mereka untuk menunjukkan jalan yang benar. Membawa manusia dari kegelapan ke terang benderang, dari kebodohan kepada ilmu, dari kezaliman pada keadilan, dari pengkotak-kotakan menjadi egaliter dan seterusnya.

Dalam konteksnya, di dunia ini ada pemimpin yang tak bisa salah atau maksum. Mereka adalah pemimpin berdasar wahyu. Dialah para nabi. Hakikatnya, nabi juga manusia yang kadang tergoda untuk berbuat salah. Namun tiap kali mereka akan melakukan kekeliruan, selalu saja ada burhan (kekuatan cahaya Allah) yang datang, sehingga dia sadar. 

Amien Rais mencontohkan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha. Ketika Zulaikha kian gencar menggoda, sebenarnya nabi Yusuf sudah mulai tergoda. Namun, kemudian Yusuf melihat burhan. Sehingga terhindarlah dia dari perbuatan nista. ”Para nabi ini crime proof, ada garansi dari Allah, beliau tak bisa berbuat dosa. 

Selain para pemimpin wahyu (nabi dan rasul) ini, ada juga pemimpin non wahyu. Yang pertama, adalah pemimpin yang selalu ingin ittiba’, atau mengikuti petunjuk para nabi yang selalu bersandar pada ajaran sunnah. Sedangkan yang kedua, adalah pemimpin sekuler, yang tak terikat pada agama. Mereka ingin menjadi manusia otonom yang bisa memecahkan masalah sendiri perlu bersandar pada aturan agama. 

Menurut Tokoh PAN ini, pemimpin yang tak pernah menyandarkan langkahnya pada wahyu (agama) bisa lebih buas dari binatang buas. Mereka bisa berbuat apa saja, karena tak ada yang harus dipertanggungjawabkan lagi. Mereka tak percaya kehidupan akhirat nanti. 

Amien kemudian mencontohkan bagaimana kekejaman Jenderal Saloth Sar atau Pol Pot. Di tahun 1963-1979 saat ketua kelompok Khmer Merah tersebut menjabat sebagai perdana menteri Kamboja, sedikitnya 3 juta orang tewas di tangannya. Mereka dibunuh dengan sangat sadis, tak hanya orang dewasa juga bayi. 
”Karena itulah, pemimpin yang bersandar pada agama akan jauh lebih bagus,” jelas politikus kelahiran Solo ini. 

Amien yang kemarin mengenakan baju koko putih dipadu peci hitam dan celana hitam ini, mengutip sebuah pepatah Latin yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya adalah, ”Ikan busuk mulai dari kepala.” Analogi ini, menurut ayahanda Hanum Rais pengarang buku best seller, 99 Cahaya di Langit Eropa tersebut, berarti bahwa sebuah organisasi atau bangsa akan busuk bila pemimpinnya busuk. 

Lalu seperti apakah pemimpin yang baik itu? Tentunya yang mampu memberi teladan yang baik, uswatun hasanah, sebagaimana Rasulullah. ”Tak usah pelajari buku-buku tebal dari Cambridge, Oxford dan seterusnya bila hanya ingin tahu bagaimana kepemimpinan yang baik.  Cukup pelajari saja Alquran. Dan mereferensi pada Nabi Muhammad,” anjurnya.

Menurut tokoh yang dikenal sebagai ”Bapak Reformasi” ini, Nabi Muhammad adalah, the best ever para pemimpin manusia. ”Dalam buku One Hundred, Rasulullah dinobatkan sebagai pemimpin top. Alasan pengarangnya, karena beliau bisa melihat hasilnya sebelum meninggal. Hal ini tentu berbeda dengan pemimpin dunia lainnya. Amien mencontohkan Karl Marx dan Lenin yang dia sebut sebagai nabi pertama dan nabi kedua faham komunis ini. 

Di masa hayatnya, Marx dan Lenin pernah membayangkan pada suatu masa ada sebuah revolusi sosial dan komunis akan tampil untuk menggebuk paham kapitalis dan liberalis. Untuk itu mereka mempersiapkan dengan membuat partai komunis dan perangkatnya dengan bantuan intelijen seperti KGB dan sebagainya. Tapi hingga meninggal, keduanya tak pernah melihat hasil dari apa yang dirancangnya itu. Bahkan kini komunis sudah bubar, dan fahamnya sudah kedaluwarsa. 

Tentang syarat utama seorang pemimpin, Amien tegas mengatakan syarat moral lebih penting daripada syarat intelektual. ”Yang pertama harus ditanya, punya akhlaq tidak? Kalau akhlaknya on off, maka rosikonya besar,” jelasnya. 

Amien mengingatkan, orang pandai banyak tapi yang memegang moral values yang kuat memang sedikit. Apalagi kebanyakan manusia terpikat pada kepentingan dunia.
Amien mencontohkan bagaimana bangsa Amerika kesulitan mencari top leader tersebut. 

”Saat (presiden) Jimmy Carter mau turun, ada kebingungan mencari capres Amerika yang layak,” terangnya. Saat itu orang berpikir jenderal Eisenhower itu pemimpin sempurna, tapi setelah ditelaah ternyata meleset. Lalu ada yang berpendapat, John F kennedy adalah pemimpin kharismatik. Namun itu juga tak terbukti pula. 

Agar kepemimpinan ini berjalan baik, maka perlu penyegaran. Di Muhammadiyah, lanjut Amien, disyaratkan selalu ada penyegaran kepemimpinan, agar nuansanya selalu berubah-ubah, sesuai zamannya. 

Dia mencontohkan, saat dirinya terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dulu, karena eranya saat itu memang pas. ”Waktu rezim orba surut, saya ngomong suksesi reformasi, saya terpilih. Pimpinan Muhammadiyah, sejak era kolonial hingga saat ini, selalu sesuai zamannya,” terangnya. 

Menurut Amien, tak hanya di Muhammadiyah, di mana saja harus ada rotasi kepemimpinan. Sebab bila terlalu lama duduk di ”singgasana” maka akan karatan, sehingga akan ada proses pengroposan dan kehilangan wawasan. ”Kalau begitu selanjutnya akan mengarah pada kesimpulan ‘negara adalah aku’. Jadi siapa yang kritik aku, maka sama artinya menkritik (melawan) negara,” tegasnya.

Sedikit memberikan penyegaran, Amien mengenang tentang bagaimana model kepemimpinan mantan presiden Soeharto dulu. Adalah Emil Salim, bercerita padanya tentang pengalamannya saat menjadi menteri Lingkungan Hidup di era Soeharto. ”Pak Amien, saya ini orang Minang tapi saya sangat paham filosofi kepemimpinan raja Jawa,” kisah Emil pada Amien. 

Filosofi raja Jawa itu adalah, jangan didahului, jangan dikasih tahu, jangan digurui. Karena itulah, kala Emil ingin mengutarakan sebuah program dan minta persetujuan Soeharto, dia tak berani langsung pada poinnya. Takutnya disangka mendahului, memberi tahu dan mengurui. Caranya, Emil membawa tiga opsi ke Soeharto. ”Saya ada rencana begini, Pak, pilihannya begini, bapak pilih yang mana?’ Saat itulah pak Harto memilih,” jelas Amien, menirukan Emil.

Di akhir pertemuan Amien kembali mengingatkan, ”Rujukan kita sebagai pemimpi haruslah nabi Muhammad,” tegasnya. Kekuatan nabi bukan pada intelektualnya, tapi otentik dari akhlaknya. Ada ilmu kepemimpinan yang mengatakan, sebagus bagus pemimpin selalu ada pojok gelapnya. Tapi nabi Muhammad berbeda. Ibarat kaca, sangat transparan. Nabi sangat sempurna.

Kesempurnaan Nabi Muhammad sebagai pemimpin ini karena mengedepankan ampunan. ”Kalau saja nabi keras, maka semua akan bubar. Itulah bedanya nabi dengan pemimpin serperti kita,” ujarnya. 

Yang paling penting, pemimpin jangan pernah meninggalkan rakyatnya  atau bawahannya. Hal ini harus disadari agar tak terpengaruh oleh bualan buku-buku barat yang jauh dari sisi rohani. ***

Sabtu, 20 Juli 2013

Jiwa yang Khusyu

Ali bin Abi Thalib pernah berdoa, "Wahai Tuhanku, anugerahkan padaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus."

Kata khusyu berasal dari kata khasya'a yang artinya hati yang dipenuhi rasa takut, sebagaimana termaktub dalam QS Al-Ghasiyah:2, tentunya takut pada Allah, dan takut jika masa hidupnya tak sempat mengumpulkan bekal untuk hari akhir. Itulah mengapa orang yang khusyu akan bergetar ketika sedang salat atau saat mendengar nama Allah.

Rahmatan lil Alamin

Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang wanita dimasukkan kedalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberikan makan bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada di lantai” (HR. Bukhari).

Islam sejatinya adalah rahmatan lil alamin, berkah pada seluruh alam. Seorang Muslim haruslah memancarkan kemuliaan akhlak Rasulullah kepada alam semesta ini. Tak hanya pada manusia saja dilarang berbuat aniaya, juga kepada alam dan juga binatang.

Kamis, 18 Juli 2013

Alquran dan Nama Rasulullah

Selain Muhammad, Rasulullah SAW memiliki beberapa nama-nama yang lain. Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan Jubair bin Mut’im. “Daku adalah Muhammad, daku adalah Ahmad dan al-Mahi (penghapus) yang dengannya Allah SWT menghapuskan kekufuran. Daku adalah al-Hasyir (pengumpul) yang dengan jejakku Allah SWT mengumpulkan umat manusia. Daku adalah al-A’qib (penyudah) kerana tidak ada nabi lagi selepasku.”  (HR: Bukhari dan Muslim)

Meski memiliki banyak nama, namun dalam Alquran Nama Nabi Muhammad hanya disebut 4 kali saja, sedangkan Nabi Isa as disebut 25 kali. Ini menandakan Alquran diturunkan bukan semata-mata untuk memaparkan kisah Rasulullah, tapi sebagai panduan perjalanan hidup umat Islam.