Kamis, 12 Desember 2013

Dari Kongres Kebangsaan, Forum Pemimpin Redaksi (2)

Beri Pidato Kunci, SBY Tekankan Pentingnya Perubahan

Haluan berbangsa dan bernegara harus terus dipantau dan diperbaiki. Perubahan itu penting, dan pers menjadi pilar agar Indonesia kembali ke haluan tersebut. 

Kongres Kebangsaan ini akhirnya melahirkan delapan butir Komitmen Jakarta. Sebuah komitmen para pemimpin redaksi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Delapan poin itu antara lain memperkokoh Indonesia dengan memperkuat Pancasila sebagai fondasinya, perjuangan politik untuk membentuk pemerintahan yang mecerdaskan kehidupan bangsa, mengonsolidasikan demokrasi, kemungkinan amandemen kelima konstitusi serta peninjauan kembali peraturan perundangan.

Poin lainnya penyempurnaan lembaga perwakilan dan sistem pemilu, penyempurnaan fungsi DPD, partisipasi keterwakilan tanpa biaya mahal.

Selain itu, perlunya penataan kembali otonomi daerah untuk peningkatan partispasi publik dan menghindari timpang tindih kewenangan. Poin lainnya perlunya memulihkan wibawa hukum melalui pemilihan aparat yang berkompeten dan penguatan budaya demokrasi.

Kongres juga menyepakati keberadaan haluan negara yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Terakhir, meminta MPR mengambil langkah yag diperlukan untuk menindaklanjuti hasil Kongres Kebangsaan.

Komitmen ini dibacakan langsung Ketua Forum Pemred Nurjaman Mochtar pada puncak acara, Rabu (11/12) di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang datang menutup acara tersebut untuk menyampaikan pidato kunci. Bersamanya, hadir juga Ketua MPR, Ketua DPD, perwakilan negara-negara sahabat dan sederet pejabat teras negeri ini.

Di forum itu presiden mengapresiasi gagasan perubahan untuk membuat negeri ini lebih baik. Menurutnya, ini gagasan besar dan fundamental. Untuk itu tak boleh hanya digagas segelintir orang, harus melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak untuk membangun negeri ini berkembang lebih baik.

Presiden kemudian menggambarkan, dalam masyarakat ada dua tipe manusia. Pertama yang senang perubahan. Bagi mereka tiada hari tanpa perubahan, dan selalu mengubah dan mengubah. Namun ada juga yang antiperubahan. Mereka berpendapat, buat apa diubah, kan semua sudah baik.

"Dalam kehidupan bernegara selalu ada benturan antara dua kubu ini, terutama antara kaum ekstrim yang ada di kedua kubu," jelasnya.

SBY berpendapat, perubahan itu tak ditabukan, tapi diniscayakan sepanjang memiliki kepentingan dan urgensi untuk sebuah kebaikan dan dilaksanakan dengan proses yang tepat. Sehingga kalau ada risiko atau guncangan, segala sesuatunya sudah diperhitungkan.

"Ide perubahan hampir selalu mendapat resistensi, namun bila sebuah bangsa sepakat melakukannya, maka tak boleh gentar meski ada elemen-elemen yang tak setuju atau melawannya," pesannya.

SBY kemudian me-review, sejak berdiri pada 1945 lalu, bangsa indonesia telah megalami koreksi sejarah, melalui perubahan dramatis yang menelan risiko korban sangat tinggi. Pada tahun 1965 dan 1998, 2000, terjadi perubahan besar-besaran disertai krisis dan guncangan. 

"Bahkan (saat itu) ada yang meramalkan negeri kita akan jatuh seperti (negara-negara) balkan di Eropa timur," ingatnya.

Dari sini bisa dipetik pelajaran, bahwa tak boleh menghalang-halangi terjadinya hukum alam, bahwa perubahan perlu dilakukan. 

"Menganggap sistem yang sudah lama dianut sudah baik, menurut saya mengganggu hukum alam. Bangsa yang baik dan bijak akan selalu melakukan refleksi untuk melakukan perubahan dan penataan. Daripada terjadi revolusi sosial, atau perubahan yang dipaksakan yang sering menyakitkan," jelasnya.

SBY kembali merefleksi, saat Sidang Umum MPR 1998, saat Soeharto masih berkuasa, dia mewakili Fraksi ABRI di DPR menyampaikan bahwa reformasi tak  bisa dielakkan. Pernyataannya ini menuai kecaman, banyak yang tak siap menerima kata tersebut, yang di era Soeharto sangat ditabukan. "Saya bahkan dibilang kemajon (Jawa: terlalu maju)," ingatnya.

SBY seolah berpesan, andai saja saat itu reformasi (perubahan) dilakukan lebih awal, maka peristiwa berdarah yang memakan banyak korban tak perlu terjadi.

Menurutnya, bila semua rakyat sepakat perlu ada perubahan tertentu, maka perubahan itu perlu direncanakan dan dipersiapkan. "Marilah forum ini kita letakkan dalam kerangka pemikiran seperti itu," ajaknya.

Contoh lain, di tahun 2002 saat menjabat Menkopolkam di era Presiden Megawati, SBY didatangi tokoh mahasiswa yang membawakan suara teman-temannya. "Dia bilang, sudahlah Pak, buang saja UUD 45 itu, ganti yang baru," ungkapnya.

Kemudian di Tahun 2004, saat dia maju sebagai calon presiden, dalam sebuab acara di Jakarta, dia ditanya, beranikan kalau terpilih jadi presiden nanti, dia mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 45 yang telah mengalami empat kali perubahan itu?

SBY hanya diam. Dan memang hingga saat ini, kedua pemikiran ekstrem itu tak jadi bagian dari sejarah Indonesia. "Saya meyakini, keduanya tak terjadi karena rakyat Indonesia tak menghendakinya," jelasnya.

Hingga kini, setelah 15 tahun reformasi, berpendapat bangsa ini haruslah mulai memikirkan perubahan dan penataan kembali bagian-bagian mana saja dari sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang ada saat ini diperbaiki untuk menuju keadaan yang lebih baik.

"Tapi dengan catatan, yang baik harus kita jaga dan dipertahankan. Tapi yang nyata-nyata tak baik, kita harus berani melakukan peninjauan dan perbaikan," tegasnya.

SBY menyadari, pastilah perubahan itu tak bisa dilakukan di era kepemimpinannya. Tapi pemikiran mulia tersebut, tak keliru kalau digagas. Untuk itu SBY mengajak segenap komponen bangsa untuk melihat kerangka bangsa Indonesia guna melakukan penataan kembali.

"Perubahan itu tak boleh grasa-grusu (asal-asalan), ceroboh, emosional, apalagi menuruti tekanan politik tertentu. Karena pemimpin politik akan datang dan pergi, tapi bangsa Indonesia akan ada sepanjang masa. Dan rakyat harus dilibatkan dan didengarkan pandangan dan pendapatnya," jelasnya.

Selanjutnya, melalui beberapa pertanyaan kunci, SBY memberikan sudut pandangnya tentang perubahan yang bagaimana yang bisa dicarikan pemecahannya. "Ini tak cukup hanya satu seminar, perlu ribuan seminar," selorohnya yang disambut tawa hadirin.

Adapun pertanyan kunci yang diambil dari pengalamannya selama dua periode memimpin Indonesia tersebut adalah. Sistem pemerintahan seperti apakah yang harus kita pilih: apakah parlemen atau presidensial? 

Bagaimana hubungan parlemen cek and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif? Bagaimana hubungan pusat dan daerah? Bagaimana hubungan negara dan rakyat? Seperti apakah sistem kebijakan dasar ekonomi Indonesia?

Selanjutnya hubungan internasional seperti apa yang patut kita anut? Sistem pemilu dan pilkada seperti apa yg paling tepat? Hak dan kewajiban warga negara seperti apa yg tepat?
Sistem kebijakan keuangan nengara seperti apa yg tepat?

Tak kalah pentingnya, bagaimana membangun toleransi dan harmonisasi yg kokoh dalam masyarakat yang sangat mejemuk ini? Bagaimana menjaga stabilitas politik di tengah multi partai seperti saat ini?

Bagaimana kepatuhan masyarakat kepada hukum dapat kian diperkokoh sehingga tak mudah terjadi kekerasan? Dan terakhir bagaimana membangun kehidupan yg bersih sehingga korupsi bisa dikurangi di negeri tercinta ini?

SBY kemudian menjawab datu persatu pertanyaannya itu sesuai dengan sudutpandangnya. Namun dia mepersilakan bila ada usulan lain. "Kalau pemimpin redaksi bisa menambahkan list (masalah) lainnya, silakan. Kan pemred bisa mengubah jalannya sejarah," ujarnya yang disambut tepuk tangan hadirin.

Terakhir SBY berpesan, bukalah lebar forum kebangsaan ini, libatkan sebanyak mungkin pihak yang berkompenten, rangkul kalangan kampus, libatkan suara rakyat, cegah pemikiran seseorang yang merasa paliing hebat dan paling benar. 

"Kalau forum ini ingin kendapat pengakuan dari segenap bangsa Indonesia, maka libatkanlah mereka," pesannya menutup pidato kuncinya. ****

Tidak ada komentar: