Kamis, 12 Desember 2013

Dari Konggres Kebangsaan, Forum Pemimpin Redaksi (1)

Menggagas Haluan Bangsa melalui Perubahan yang Tepat

Dalam perjalanannya, bangsa ini banyak diterpa guncangan. Pertanyaannya, sudah tepatkanh sistem bernegara yang kita anut? Para pemimpin redaksi (Pemred) pun coba memberikan solusi. Seperti apa?

Pencarian solusi itu dikemas dalam sebuah acara Forum Pemred yang digelar Selasa dan Rabu (10-11) kemarin, di Hotel Bidakara, Jakarta. Pertemuan yang dihadiri seluruh Pemred dan perwakilan kepala daerah di Indonesia ini, merupakan puncak dari Forum Pemred yang digelar di Bali, Januari lalu.

Beberapa pucuk pimpinan lembaga-lembaga negara, mulai MPR, DPR, DPD, BPK bahkan militer dan 12 partai politik negeri ini, hadir memaparkan ide-idenya selama 15 menit dalam acara yang bertajuk Konggres Kebangsaan: Menggagas Kembali Haluan Bangsa Menuju 100 Tahun Indonesia. 

Tak ayal, acara yang dipandu Rossiana Silalahai dan Tina Talisa ini sangat padat. Dimulai pukul 08.00 pagi, berakhir pukul 21.00 malam. Tentunya ada jeda untuk makan siang dan malam.

Jimly Assiddiqie****************, selaku dewan pakar forum ini menyebut, acara ini digagas untuk mencari, menjaring ide-ide, dan memberi masukan dalam merumuskan perubahan yang tepat untuk membangun bangsa dan membangun hubungan saling percaya antar komponen bangsa.  Karenanya, perlu evaluasi bagaimana struktur, sistem bernegara kita. Apa kelebihan dan kekurangannya.

Jimly prihatin, karena saat ini wacana yang berkembang hanyalah sibuk membicarakan siapa capres dan caleg. Tak ada yang menyampaikan bagaimana Indonesia setelah pemilu itu usai. 

Untuk itu, melalui forum ini, perlu ada yang menyampaikan ide-idenya agar rakyat pemilih tahu menentukan sikap di Pemilu 2014 mendatang. "Di sinilah media memegang peranan sangat penting, sebagai pilar ke empat dalam sistem demokrasi," jelas mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Setelah sambutan Jimly, mulailah para petinggi negeri memberikan paparannya. Namun dari semuanya, paparan Panglima TNI Jendral Moeldoko************ paling menarik untuk direnungkan.

Jendral yang oleh majalah Tempo disebut "panglima tajir" ini, mengulas masalah yang dia sebut "ketidak teraturan yang berlebihan" dalam perjalanan bangsa akhir-akhir ini, dengan menukil teori Chaos: sebuah keteraturan dalam keacakan.

Sebagai tentara, jendral yang tak segan memberi hormat dan menundukkan kepala pada siapa saja ini, paham benar bagaimana penyimpangan sekeci 0,00127 derajat itu, mampu berubah menjadi pola yang melenceng jauh dari haluan semula.

"Contohnya saat berjalan dengan kompas, bergeser satu derajad saja, bila berkilo-kilo maka akan melenceng jauh," jelasnya.

Lanjut Moeldoko, kepak sayap kupu-kupu di Brazil dapat membuat tornado di Texas. Mengapa? Inilah yang landasan teori chaos: Bila satu komponen kecil diubah, seiring berjalannya waktu, maka duniapun akan terlihat berbeda. 

Sebagaimana ditulis Roy Budi Efferin, Sains & Spiritualitas: Dari Nalar Fisika Hingga Bahasa Para Dewa, "Satu Muhammad lahir dan Asia pun bangun dari mimpi jahiliah. Satu Yesus hadir dan seluruh dunia Barat pun berubah. Satu Gautama tercerahkan dan seluruh kepercayaan Hindu-Budha di India meluas. Satu Hitler muncul dan seluruh dunia terlibat dalam perang dahsyat yang menewaskan lebih dari 20 juta manusia". 

Namun, jelas Moeldoko, dari ketidakpastian, ketidakteraturan dan kekacauan dapat menjadi sumber inspirasi dan awal sebuah karya yang mempengaruhi jalannya sejarah. Untuk itu, sebagaimana disampaikan Michel Serres dalam Genesis (1995), bila chaos hanya dipandang dari sisi negatif, maka tidak akan pernah dilihat sebagai sebuah peluang: peluang kemajuan, peluang dialektika kultural, peluang persaingan, peluang peningkatan etos kerja, peluang peningkatan daya kreativitas dan produktivitas. 

Chaos tidak akan pernah dilihat sebagai cara pemberdayaan, cara manajemen, cara pembelajaran, cara pengorganisasian dan lain sebagainya. Oleh karena itu chaos harus dipandang sebagai positif chaos. Perubahan, ketidakpastian, ketidakberaturan, kekacauan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan, karena menghilangkan ketidakberaturan itu berarti menghilangkan daya perubahan dan kreativitas.

Pertanyaannya, apakah kita masih dalam koridor chaos positif? Apakah ketidak teraturan yang kita alami pasca-reformasi itu sudah berlebihan? Untuk itu, perlulah dilihat polanya dari beberapa anomali-anomali pascareformasi yang terjadi saat ini.

Anomali politik: munculnya nilai-nilai baru bertemu nilai-nilai lama sehingga membuat masyarakat yang tidak siap menyikapinya, melakukan tindakan menyimpang dalam mencari solusi.

Anomali politik juga tampak pada ekses tingginya biaya politik saat ini, yang membuat 2.000 anggota legislatif dan 300 kepala daerah, terlibat masalah hukum (jadi tersangka), dan 94% hubungan kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. "Mesranya hanya tiga bulan saja," sindirnya.

Dalam ekonomi juga terjadi anomali. Seiring banyaknya PHK, dan munculnya kekuatan buruh menjadi kekuatan "parlemen jalanan". Kebebasan berpendapat pun menjadi anugerah sekaligus guncangan. Hal ini juga harus dikelola dengan baik.

"Tahun ini ada 90 juta pengangguran, 40 juta orang lagi setengah menganggur. Belum lagi gerakan buruh cenderung reaktif (baca anarkistis) sehingga menuai kecaman," ujarnya.

Anomali ekonomi yang lain adalah, subsidi BBM hingga menelan Rp200 triliun dari APBN. "Uang sebanyak itu bila dibangun sekolah tentu akan lebih baik. Namun karena telah terbiasa, lama-lama kita nikmati," tegasnya.

Atas nama ekonomi juga, kerusakan lingkungan di daerah sangat luar bisa. Namun semuanya dirasa baik baik saja. "Apakah harus kita biarkan?" tanyanya yang membuat hadirin terdiam.

Hal yang tak kalah parahnya adalah munculnya anomali sosial budaya. Poin-poinnya adalah maraknya generasi muda mengadopsi budaya asing secara mentah-mentah, maraknya pemaksaan kehendak, dan prespektif labeling, berupa stigmatisasi. 

"Misalnya sebutan 'mayoritas' dan 'minoritas'. Saya kurang setuju sebutan itu, karena kita hakikatnya adalah bangsa yang satu" tegasnya.

Munculnya anomali sosial budaya ini kadang membuahkan peristiwa yang menghentak nalar. Misalnya baru baru ini kita dikejutkan ada pemerkosaan bayi yang masih berumur delapan bulan, ada pemerkosaan di angkot dan kasus perkosaan lain yang dianggap biasa. 

"Rakyat Indonesia tenang-tenang saja. Tapi lihat di India, ada pemerkosaan gadis, seluruh masyarakat memberikan dukungan penuh (pada korban dan meminta penegak hukum untuk mengusut). Tapi kita tenang-tenang saja," ulasnya.

Sikap yang sama, lanjut Moeldoko juga tampak ketika masyarakat melihat ada pembakaran orang hidup-hidup. Semua seolah hal biasa saja. Belum lagi ada pengemis di Jakarta untuk naik haji, dan lain-lain. Suatu hal yang tak terpikir sebelumnya namun dianggap biasa.

Menutup presentasinya, Moeldoko menyebut bahwa ketidak seimbangan perkembangan teknologi dan ketidakseimbangan spiritualisme, akan menyebabkan chaos. Ketidak keteraturan akan membuat fraktal-fraktal baru yang terus menciptakan anomali-anomali baru.

Namun berkaca pada alam, kalau ketidakberaturan alam bisa teratur melalui hukum gravitasi, maka kita harus sepakat bahwa ketidakberaturan di bangsa ini bisa teratur bila segenap anak bangsa mematuhi hukum secara konsekuen yang ditopang pilar NKRI, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila.

"Kita perlu mencari titik keseimbangan baru, agar negara kuat rakyat berdaulat," sarannya.***

Tidak ada komentar: