Jumat, 28 Desember 2012

berlibur dan berhibur

Liburan itu penting. Inilah satu-satunya cara untuk sejenak melepaskan dari himpitan hidup di kota yang kian keras.
Mungkin, dari sinilah istilah ”i hate Monday” bermula. Sebuah ungkapan keengganan memulai pekerjaan saat libur yang dirasa kurang. Sementara hari Sabtu sangat dinanti, sebagai hari menyambut libur untuk melepas kepenatan.
Dalam liburan, umumnya selalu dihiasi dengan mencari hiburan. Penting digaris bawahi di sini, bahwa hiburan tak selalu berkonotasi negatif. Hiburan di sini dalam arti istirahat sejenak dai rutinitas tuk melepas kepenatan.
Jadi, bisa saja diisi dengan mengikuti workshop untuk mengembangkan potensi, menjadi pekerja lepas alias freelance, membaca buku best seller, nonton film berkualitas, mengembangkan hobi baik musik dan keahlian lain, atau berkumpul atau melewatkan hari bersama keluarga.
Bagi orang tua dan anak, liburan ini penting, karena tubuh dan pikiran perlu penyegaran dan pembaharuan setelah sekian lama menjalani rutinitas. Liburan yang efektif akan membuat seseorang terhindar dari kejenuhan dan penurunan semangat saat melakukan tuntutan tugas rutinnya kembali.
Rasa haus akan hiburan ini akhirnya mengejawantah menjadi sebuah ”ritual” kecil yang harus dipenuhi saat libur telah tiba. Disebut ”ritual”, karena telah menjadi atribut budaya yang merupakan tindakan kolektif dalam ruang umum.
Intinya, sebuah ritual memiliki jadwal tetap dan hukumnya wajib dipenuhi/dirayakan. Juga, sekali lagi, memiliki tempat dan ruang tertentu yang ujungnya membentuk sebuah identitas dari masyarakat itu sendiri.
Pengertian lain dari ritual adalah, aktivitas yang melibatkan komunitas secara luas atau salah satu sub-kultur, yang dilaksanakan pada tempat dan ruang tertentu.
Ritual inilah yang dilalui masyarakat kota umumnya. Hari libur menjadi hari suci yang wajib ditunaikan/dirayakan. Tempatnya bisa di mana saja, misalnya taman kota, mall, pantai, puncak dan sebagainya.
Dan di penghujung bulan Desember ini, warga kota kembali akan merayakan puncak ritual tahunan, yakni pergantian tahun yang selalu disejalankan dengan hari libur. Semua telah bersiap, beragam rencana terlah disusun.
Nah, selamat berlibur dan berhibur, asal setelahnya harus lebih semangat dan produltif lagi. ***

Minggu, 18 November 2012

Ciyuuus... Miapah?

Ciyuuus... Miapah? Akhir-akhir ini kita sering diakrabkan oleh kalimat tersebut. Apalagi setelah provider telpon seluler mengangakap dua kata itu sebagai tag line iklan mereka. Ciiyus (serius)... Miapah (demi apa?), tak ayal menjadi ”mantra/sihir” manusia moderen Indonesia dalam berainteraksi.
Semula kalimat ini berkembang lewat jejeraing sosial Twitter, menyusul lebay (berlebihan), kepo (ingin tahu), curcol (curhat colongan) yang sudah lebih dulu lazim dipakai. Namun, dibanding ”pendahulunya” kalimat ciyuuus, miapah, lebih bisa diterima dan menyebar luas.
Inilah yang disebut bahasa alay. Bahasa pergaulan yang mulai populer tahun 2009 ini tetap eksis sampai saat ini dalam berbagai variasi. Bahasa ini makin masif karena media massa memopulerkannya lewat iklan dan tayangan lainnya.
Ada yang sewot, sampai-sampai menghubungkan bahwa bahasa alay ini dapat menggerus rasa nasionalisme segala macam. Padahal kalau ditelaah, tak ada negara yang hancur karena serbuan bahasa alay. Karena bahasa itu fleksibel, dia akan selalu menyerap bahasa lain atau membentuk bahasa baru, agar tetap bertahan. Bila kaku, akan lenyap.
Bahasa prokem, gaul dan alay, sebenarnya adalah ”bahasa Slang”, sebuah ragam bahasa tidak resmi, dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kelompok sosial terteentu untuk komunnikasi intern, dengan maksud, agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Slang di ciptakan oleh perubahan bentuk pesan linguistik tanpa mengubah isinya untuk maksud penyembunyian atau kejenakaan, jadi slang bukanlah jika kita berbicara yang seharusnya sebuah bahasa, melainkan hanya transformasi parsial sebagian dari suatu bahasa menurut pola-pola tertentu. Contohnya, kata bahasa Indonesia mobil dapat di ubah wujudnya menjadi bo'il, bolim, demobs atau kosmob.
Karena itulah, fenomena bahasa slang, bukan hanya terjadi saat ini saja, setiap generasi punya bahasa slang-nya sendiri. Tak hanya di Indonesia saja, di belahan dunia manapun, seperti Singapura atau Amerika, punya bahasa slang.
Di Indoensia sendiri, pada era 1980-an, anak-anak muda kala itu telah terpapar bahasa prokem. Tak lama bahasa ini pudar, dan kemudian di penghujung 1990-an, ada bahasa gaul. Bahasa ini sangat lekat di kalangan anak muda, sampi-sampai Kamus Bahasa Gaul, karangan artis Debby Sahertian pun, laris manis diburu. Setelah bahasa gaul tak lagi trend, bahasa alay pun muncul.
Bila mau menilik jauh ke belakang, sebelum prokem dan bahasa gaul muncul, orang Malang, Jawa Timur telah menggunakan bahasa slang yang mereka sebut osob kiwalan kera ngalam (boso nalawik arek Malang ) bahasa terbalik Arek Malang.
Adalah Suyudi Raharno, seorang tokoh pejuang kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) Malang (tahun 1949), yang mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang sehingga dapat menjadi suatu identitas tersendiri sekaligus menjaga keamanan informasi.
Bahasa yang dibuat untuk menangkal banyak mata-mata Belanda yang disusupkan dalam kelompok pejuang Malang ini, haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat pada aturan tata bahasa baik itu bahasa nasional, bahasa daerah (Jawa, Madura, Arab, China) maupun mengikuti istilah yang umum dan baku. Bahasa campuran tersebut hanya mengenal satu cara baik pengucapan maupun penulisan yaitu secara terbalik dari belakang dibaca ke depan.
Dan terbukti, bahasa baru ini efektif menangkal aksi mata-mata Belanda tersebut. Jadi tak selalu bahasa slang ini buruk, bukan? Namun bukan berarti bahasa tak harus dijaga. Inilah tugas media sebagai polisi bahasa yang menjaga standar bahasa, dan bagi masyarakat, khususnya publik figure, harus mampu memberi contoh dan bagga berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selasa, 07 Agustus 2012

Mekah (2)

Jauh sbelum minyak ditemukan, tanah Hijaz Saudi Arabia selalu jadi rebutan negara-negara adikuasa kala itu.
Antara kisra Persia dan Kaisar Romawi. Bahkan lebih mundur lagi, tepatnya di abad 5 SM, di zaman Yunani dan Persia, daerah Arab, secara turun temurun selalu diperebutkan antara dunia timur dan barat.
Pertentangan ini dimulai antara kerajaan Yunani dan Persia, kemudian, masih di abad sebelum Masehi, diwarisi Republik Romawi yang menentang Persia. Pertentangan dua negara adi kuasa ini terus berlanjut dan berubah bentuk, kini antara Kerajaan Romawi-Byzantium di dunia barat, melawan kerajaan Persia di dunia timur.
Sebagaimana yang telah saya sebut di tulisan terdahulu, perebutan tanah Arab ini tak pernah menyentuh Mekah. Dua dua pasukan negara adidaya itu selalu bertempur di daerah perbatasan utara yang subur makmur, seperti Mesopotamia (Irak), Syam (Syiria), dan Palestina.
Selain di kawasan utara (Syam) dua negara besar itu kerap bertempur di kawasan selatan (Yaman) yang juga subur makmur. Dan semua tahu, akhirnya daerah ini menjadi wilayah kekuasaan Romawi.
Hingga kita ketahui, bahwa kawasan selatan (Yaman) jadi provinsi Romawi (kemudian Byzantium), melalui pemerintahan di Habsy/Habsah (Ethiopia). Juga kawasan utara, Syam yang langsung jadi provinsi Romawi. Itulah mengapa Romawi banyak membangun kubu pertahanan, hingga kini peninggalannya masih bisa dilihat.
Dari sinilah kemudian penetrasi budaya dan agama masuk. Termasuk pada pola penanggalan, orang Arab dulu menyesuaikan kalendernya dengan penanggalan Romawi. Utamanya menyesuaikan pada perayaan hari-hari besar keagamaannya.
Ketika Romawi dan Persia berebut daerah jazirah Arab yang subur di utara dan selatan, namun tidak halnya dengan kawasan Arab di tengah, dalam hal ini Mekah, Yastrib (Madinah), Thaif dan sebagainya. Baik romawi dan Persia tak punya cukup nyali untuk mendudukinya.
Padahal sebagaimana di ketahui, selain Syam dan Yaman, Yatsrib juga terkenal sebagai kawasan pertanian yang subur. Masyarakat Yatsrib yang kemudian disebut Madinah, adalah masyarakat agraris yang tentu saja memiliki karakter gotong royong dan kekeluargaan.
Inilah mengapa, saat nabi Hijrah ke Madinah penduduk di sana menerima dengan baik. Beda dengan Mekah yang menjadi daerah bisnis, sehingga masyarakatnya cenderung individualistis karena selalu berkompetisi.
Namun kesuburan Yatsrib ini tak jua bisa ditaklukkan pasukan dua emperium itu. Pasukan mereka tak cukup untuk menundukkan padang gurun dan tebing-tebing Arabia tengah dengan penduduk nomaden (suku Badui), kuat, premordial dan gemar berperang. Hingga akhirnya Romawi dan Persia memiliki pertimbangan sama-sama ingin manfaatkan kawasan Arabia tengah sebagai jalur dagang bebas ke dunia luar, dalam hal ini China dan India.
Karena itulah, mengapa Arabia tengah bebas dari pengaruh asing. Arabia tengah, dalam hal ini Mekah berkembang dengan jati dirinya yang murni. Hal ini jualah yang membuat Rasulullah, tak pernah bertentangan dengan raja-raja sepert nabi-nabi yang lain. Meski kita ketahui, di masa Rasulullah tanah Arab masuk dalam kekuasaan Byzantium (kekaisaran Romawi Timur).
Tidak masuknya penetrasi Asing baik Romawi dan Persia ini membuat juga menguntungkan dari sisi hubungan politik. Arabia tengah pun menjadi tempat yang tepat untuk mendirikan dan mengambangkan new order oleh suatu kekuasaan dalam hal ini kebangkitan Islam.
Dari uraian ini, muaranya adalah bahwa nabi Muhammad memang diturunkan di daerah yang strategis untuk mengembangkan Islam, karena wilayahnya steril dari pendudukan asing.
Hingga kemudian Rasulullah berhasil mengembangkan Islam hingga menaklukkan Byzantium dan Sasania (kerajaan Persia di Ctesiphon atau mada'in/Irak. Penaklukkan ini sebelumnya telah diramalkan dalam Alquran, sebagaimana disebut dalam surah Ar-Rum yang berarti Bangsa Romawi (Bizantium).
Haji Agus Salim dalam kuliahnya di depan mahasiswa Amerika menyebut, kemenangan Rasulullah ini banyak terbantu oleh faktor X tadi. Mungkin kalau boleh saya simpulkan, yang dimaksud faktor ”X” ini adalah extraordinary, sebuah faktor yang luar biasa, faktor ketentuan Yang Maha Kuasa. Di mana Islam memang telah didesain untuk menjadi besar. ***

Jumat, 03 Agustus 2012

Mekah (1)

Selama ini Mekah dikenal sebagai kota suci Ummat Islam, kota ini dihormati dan dikagumi. Sebenarnya, jauh sebelum Islam hadir, Mekah sudah dikenal oleh warga dunia. Sama halnya dengan sekarang, kota ini juga dihormati bahkan dijaga dari mara bahaya.
Mekah pada zaman dahulu jadi jalur utama pedagang-pedagang dua negara super power, Romawi dan Persia. Maklumlah, posisi Mekah yang berada di antara dua negara yang menjadi pusat perdagangan, yaitu Syam (di sebelah utara) dan Yaman (sebelah selatan).
Negeri Syam (sekarang Syiria) merupakan pintu perniagaan yang menuju ke arah laut tengah dan negeri-negeri sebelah barat Yaman membuka jalan dagang kenegeri-negeri sebelah timur sampai ke India, Nusantara dan China.
Hal inilah yang kemudian menempa warga Mekah hidup dalam iklim bisnis. Incomenya di dapat dari usaha perlintasan kafilah, mengingat saat itu eksplorasi minyak belum ditemukan. tentu saja.
Adapun jadwal dagang orang Mekah kala itu adalah: di musim dingin, suku-suku di sana, termasuk suku Quraisy, melakuan perjalanan ke negeri Yaman. Pada musim panas, mereka pergi ke Syam. Adapun jalur perdagangan musim dingin, yakni Mekah – Taif – Asir – Sari’adalah (Yaman). Sedangkan jalur musim panas terdiri dari dua jalur yakni Mekah – Yatsrib (Madinah) – Damaskus; Mekah – humain – Badar – ma’an (Syirqil Urdun).
Selain jalur darat, Mekah juga menjadi transit kapal-kapal saudagar dari India bahkan Nusantara ke Mesir. Melalui hubungan dagang lewat laut inlah, penyebaran Islam di Indonesia
Mengingat posisinya yang strategis itulah, maka Romawi dan Persia yang kala itu selalu saja terlibat peperangan, tak berani ngusik Mekah. Karena itulah, Mekah kemudian menjadi kota yang aman bahkan dari perang sekte sekalipun.
Demikian juga orang-orang Hijaz (Arab), juga menjaga kedamaian kota ini dengan meyepakati tiga bulan masa damai, bulan di mana tak boleh ada pertikaian, saat musim kafilah dagang lewat.
Tiga bulan masa damai ini, ditentukan berdasar penanggalan Arab yang cukup unik: orang Arab sejak dulu memakai penanggalan lunar, tapi mengacu ke penanggalan matahari. Karena itu, tiap 3 tahun, ada 1 tahun yang jumlahnya 13 bulan (hingga zaman Nabi Muhammad, sistem bulan ke 13 ini dihapuskan). Pola penanggalan ini dipakai untuk menyesuaikan dengan penanggalan Romawi. Utamanya menyesuaikan pada perayaan hari-hari besar keagamaannya.
Mengapa Romawi? Karena saat itu, jazirah Arab berada dalam wilayah Romawi. Namun tak langsung dalam pengawasannya. Kekaisaran Romawi lebih memilih bercokol di Yaman yang suburnya luar biasa, sebagai provinsinya, yang dimasukkan dalam wilayah Kerajaan Abasyi, kini Ethiopia.
Ada sedikit kisah menarik tentang Provinsi Yaman ini. Di masa-masa sebalum nabi Muhammad lahir, Yaman dipimpin gubernur Abrahah. Dia menjadi penguasa tunggal di Yaman, setelah membunuh Ariath.
Pembunuhan ini didengar raja Abisinia, yang kemudian naik pitam dan bersumpah akan menginjak tanah Yaman dan menginjak kepala Abrahah. Namun rencana ini batal, setelah Abrahah ngirim rambutnya dan tanah Yaman pada raja Abisinia di Ethiopia. Dalam suratnya dia berkata, ”Ini tanah Yaman dan rambut hamba, tuanku. Injaklah.”
Dalam suratnya itu juga, Abrahah bersumpah setia pada raja Abisinia, sehingga sang rajapun luluh dan urung menyerang Yaman. Abrahah memang diplomat ulung. Setelah berkuasa, Abrahah sempat jengkel melihat kemajuan Mekah dan Madinah. Kedua kota ini menjelma jadi daerah kaya hanya manfaatkan transit para pedagang dari yaman dan Syam.
Bukan itu saja, perhatian Abrahah juga tertuju ke Kabah, kuil suci yang sangat dipuja orang-orang suku Arab, yang di dalamnya diletakkan berhala dan nama-nama penyair tenar mereka. Memang sudah jadi kebanggaan orang Arab saat memenangkan lomba, di antaranya bersyair, nama/karya pemenangnya di tempel di dinding Ka’bah.
Abrahah pun memutar otak, bagaimana caranya Yaman bisa menyaingi Mekah, khususnya untuk menarik minat peziarah orang-orang arab agar berpaling dari Ka’bah. Maka Abrahah membangun tempat ibadah megah di Yaman, berupa sebuah gereja.
Melalui surat, Abrahah mempresentasikan rencananya ini pada Raja Abisinia. Menurut Abrahah, gereja tersebut untuk menarik orang-orang Arab agar datang membawa dagangannya ke Yaman kemudian ke Abisinia. Ternyata isi surat ini bocor pada penduduk Mekah. Mereka pun gusar dan resah. Hingga kemudian tak ada warga Mekah yang mengunjungi gereja Abrahah.
Abrahah pun kesal, lalu menyerang Mekah dengan pasukan gajahnya. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai tahun gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad yang kemudian diabadikan Alquran dalam surat Al Fiil. Dan kita semua tahu, tentara Abrahah kalah, akibat serangan burung ababil (sejenis burung layang-layang) yang menghujaninya dengan batu-batu neraka.
Setelah penyerangan gagal ini, kota Mekah merah darah. Mayat-mayat tentara Abrahah bergeletakan. Kemudian datanglah banjir bandang yang menyapu mayat-mayat tentara tersebut. Abrahah sendiri berhasil selamat, tapi kemudian tewas di kota San'a, Yaman dengan luka parah.

Jumat, 27 Juli 2012

Halal

Sekitar November tahun lalu, saya diundang Batam Pos Entrepreneur School dalam sebuah diskusi yang melibatkan entrepreneur di Kota Batam, Dinas Kesehatan Kota Batam, Dinas Pariwisata Kota Batam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Batam. Di sana saya menemukan hal menarik yang mungkin bisa dibagi dalam kolom ini.
Ditemukan fakta bahwa banyak resto di Batam, baik besar maupun kecil, memalsukan label MUI sebagai penarik konsumen. Semua itu dilakukan secara terang-terangan, label itu di tempel di dinding yang bisa dilihat oleh pengunjung.
Dan anehnya, banyak pengunjung yang cuek. Yang penting asal dilihat tulisan ”halal” dengan huruf Arab, sudah disangka bahwa itu sudah sesuai standar kehalalal MUI. Padahal tidak.
Akibatnya, sering kali ditemukan beberapa resto memasak makanan dengan mengabaikan kehalalal. Halal tak hanya menyajikan makanan yang higinis dan bersih, namun sesuai kaidah dalam agama Islam.
Pentingnya di mana? Jangan sampai apa yang sempat termuat di surat pembaca Batam Pos, menimpa kita. Di surat pembaca itu seseorang menulis, tentang sebuah resto yang kokinya selalu memasak ditemani anjing kesayangannya. Adakalanya juga si anjing, mencicipi bekas makanan yang menempel di alat masak sang koki.
Berbicara tentang produk halal, 50 tahun yang lalu, belum ada yang berpikir bahwa produk berlabel halal akan laku dijual. Namun kini, semua sudah melihat perdagangan dengan label halal ini mampu mengeruk uang miliaran dolar AS.
Kini label halal tak hanya bisnis makanan saja, tapi sudah merambah pada perbankan. Bank syariah, misalnya. Siapa yang menyangka bila bank syariah akan bisa menjaring begitu banyak nasabah.
Hingga saat ini bank-bank konvensional, yang dulu sempat diperdebatkan kehalalannya karena menggunakan sistem bunga, berlomba membentuk divisi baru berlabel “syariah” dengan tawaran yang menarik dan tentu saja halal.
Fenomena ”halal” ini juga merambah di bidang broadcasting. Di tengah dominasi dunia oleh berita-berita BBC dan CNN, Al Jazeera hadir memberikan alternatif baru bagi pemirsa Muslim. Kontan saja, peminatnya luar biasa. Bahkan kabarnya, stasiun televisi ini saat perang teluk II sempat membikin George W Bush berang hingga berniat mengebom-nya.
Kehadiaran Al Jazeera dengan kemasan berita yang menarik, dinilai mampu membela kaum Muslimin di tengah terpaan pemberitaan BBC dan CNN yang selama ini dikenal tak netral, syarat dengan agenda Amerika dan Inggris.
Produk berlabel halal juga menyeruak di jejaring sosial. Saat ini, sudah banyak jejeraing sosial berkonten “halal”. Di Indonesia ada salingsapa.com dan semacamnya. Saya juga pernah membaca tulisan M Aji Surya, “Segenggam Cinta dari Moskwa” bahwa di awal November 2011 lalu, di Mesir para pakar IT dunia tengah menggagas mendirikan jejaring sosial berkonten halal.
Menurut mereka, ini merupakan peluang bisnis yang bagus. Nama yang disepakati adalah SalamWorld.com. yang menarik, pendirinya bukanlah warga negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di Dunia, melainkan dari warga Rusia. Mereka menjamin, kontennya akan jauh dari hal yang haram, semacam pornografi dan tentu saja aman karena akan menyertakan nilai-nilai luhur agama.
Saat ini sudah ada beberapa investor dari beragam belahan dunia yang sudah menggelontorkan puluhan juta dolar. kantor pusatnya terletak di Istambul dan Moskwa, sedangkan IT-nya diboyong dari India. Nantinya, mereka akan masuk bersaing merebut pasar yang saat ini masih didominasi google.com, twitter.com, yahoo.com, facebook.com, e-Bay, wikipedia dan lainnya.
Jejaring sosial berlabel halal, merupakan peluang yang bagus, bila melihat jumlah umat Islam dunia yang mencapai 1,5 miliar. Belum lagi, kian memasyarakatnya internet dan ponsel pintar. Sehingga, masing-masing orang dengan mudahnya kian terhubung.
Saat ini saja di Indonesia ada sekitar 35 juta muslim pengguna internet, disusul Turki dan Iran (30 juta), Malaysia (10-an juta) dan oman (5 juta). Ini bukan data mati, karena dalam empat tahun ke depan jumlahnya akan membengkak. Di Iran Muslim pengguna internet diperkirakan mencapai 100 juta orang, Mesir (55 juta), Nigeria (50 juta), Turki (43 juta) dan Indonesia (40 juta).

Rabu, 18 Juli 2012

From Rusia with Iman

Ramadan lalu saya sempat menulis tentang masjid di Wina Austria yang kerap menebar hidayah bagi warga setempat. Nama etpatnya, Vienna Islamic Center. Letaknya berada di tepian sungai Danube, sungai terkenal di Eropa (lebih lenjut sila klik http://rizafahlevi.blogspot.com/2011/08/h-i-d-y-h.html).
Kembali di penghujung Ramadan kali ini, saya kembali akan mengupas sedikit tentang cahaya Islam di Rusia yang erat kaitannya dengan masjid.
Sekadar diketahui, Islam masuk ke Rusia jauh lebih awal dari Indonesia. Tepatnya sekitar tahun 637, masih di era khulafaurrasyidin. Kota pertama yang diterpa cahaya Islam adalah Derbent, dekat Grozny ibukota Chechnya.
Kabarnya, Khalifah Umar bin Khattab mengirim sahabat nabi, Suraqat bin Amr ke wilayah ini sekitar tahun 22 Hijriyah atau abad ke 7 masehi. Selanjutnya Salman bin Rabi’i (komendan pasukan) dan Abdurrahman bin Rabi’i (logistik) juga dikirim ke Derben. Hingga akhirnya Salman bin Rabi’i, disusul Abdurrahman bin Rabi’i, memimpin Derbent setelah Suraqat meninggal.
Setelah mereka, Derbent banyak disinggahi tabit-tabiin. Di antaranya ada Huzaifah bin Yaman, bahkan ahli strategi perang Salman Alfarisi dan perawi hadis Abu Hurairah juga singgah di sini. Ratusan tahun penyebar Islam bertempat di sini, sehingga penduduknya mayoritas Muslim.
Hal inilah mengapa, Islam di Rusia, khususnya Derbend, sangat kokoh. Meski selama 70 tahun negara ini masuk dalam sistem komunis yang melarang kegiatan keagamaan, namun umat islam di sana tak jua berpaling. malah kian kokoh.
Nah, bila melancong ke Rusia jangan lupa mampir ke Masjid Biru. Di sini kita bisa mengenang celoteh presiden pertama, Soekarno, yang disegani pemimpin negara adidaya, Rusia.
Seorang diplomat kita, M Aji Surya, dalam bukunya “Segenggam Cinta dari Moskwa” menulis, sebenarnya blue mosque bernama Masjid Jamul Muslimin, namun karena kubah dan gerbangnya berwarna biru langit nan elok, maka untuk memudahkan warga setempat menamainya masjid biru. Letak masjid ini berada di antara dua obyek wisata Rusia, yakni benteng Peter & Paul serta sungai Neva. Itulah mengapa masjid ini ikutan terkenal.
Lantai satu masjid biru bisa menampung 2.00-an jemaah, sedangkan lantai dua dan tiga dipakai untuk jemaah wanita.
Hubungan masjid ini dengan Soekarno terjadi ektika tahun 1955 sang presiden berlibur ke St Pitersburgh yang saat itu bernama Leningrad, bersama putrinya, Megawati menikmati keindahan kota yang dibangun Peter yang Agung.
Hingga kemudian sang Proklamator melihat bangunan yang dia rasa masjid, kemudian minta sopir mengantarkan ke sana. Namun, permintaan ini tak dipatuhi. Hingga kemudian, dalam lawatan resminya ke Rusia guna perundingan tingkat tinggi hubungan bilateral terkait perang dingin, kepada pemimpin Rusia saat itu Nikita Sargeyevich Krushchev, Soekarno ditanya tentang kunjungnnnya ke Leningrad tempo hari.
Dia menjawab, ”Rasanya saya belum pernah ke Leningrad.” Krushchev bingung, ”Bukannya tempo hari tuan presiden berjalan-jalan bersama sang puteri di sana?” kejar Krushchev.
”Ya kami memang berada di sana, tapi belum ke sana. karena Saya tak dibolehkan sopir mengunjungi bangunan yang saya yakini itu sebuah masjid,” jelasnya.
Seminggu setelah kunjungan usai, Kremlin menginfokan, satu-satunya masjidf di Leningrad yang telah menjadi gudang pasca-revolusi Bolshevic boleh dibuka kembali untuk beribadah, tanpa persyaratan apapun. Padahal semua tahu saat itu, Rusia sangat melarang semua yang berbau agama. Bahkan, beberapa tempat ibadah yang bernilai historispun sekelas Khram Khrista Spasitelya, mereka ratakan dengan tanah.
Selain masjid biru juga ada masjid Prospek Mira di jantung kota Moskwa. Namun utnuk bisa salat di masjid Rusia, harus datang beberapa jam lebih awal. Bila tidak, anda tak akan kebagian lagi tempat. Maka, terpaksalah salat meluber ke jalan.
Apalagi pas Idul Fitri atau Idul Adha. Lautan jemaah ibarat lebah mengepung sarang, meluber sampai jauh. Saking jauhnya, jemaah tak lagi bisa mendengar suara imam. Bahkan, tuntunan Fiqih agar jangan salat di depan imam pun tak lagi berlaku. ”Allah maha mengerti,” ujar mereka.
Yang mengharukan, semangat melaksanakan salat berjamaah ini tak kendor meski negara di belahan utara Bumi itu mamasuki musim salju yang sangat dingin. Beginilah kiranya kekuatan iman itu.
Kian melubernya jemaah ini, akibat jumlah kaum muslimin Rusia terus bertambah, sementara masjid masih jarang. Bayangkan di kota Moskwa saja ada 2 juta kaum Muslimin, ini merupakan jumlah Muslim terbesar di Eropa. Sementara masjid hanya enam.
Sebenarnya dulu, di masa Tsar ada sekitar 15 ribuan masjid di Rusia. Namun, pascarevolusi Bolshevic jumlahnya menyusut hanya 100 masjid. banyak yang dihancurkan dan dialihfungsikan sebagai gudang dan semacamnya. Nasib baik Masjid Prospek Mira ini tak ikut dihancurkan juga. Alhamdulillah.

Kamis, 12 Juli 2012

Eta Rossiya!

Dulu saya sempat menulis di kolom ini, tentang Tsar Rusia, Peter yang Agung (Peter 1). Sebagaimana diketahui, Peter 1 (1672-1725), sukses memimpin Rusia menjadi negara maju dan kuat setelah membawa negara ini berkiblat ke Eropa, utamanya soal teknologi dan seni.
Di Prusia dia mengikuti pelatihan menembakkan meriam, serta memiliki kepedulian tentang anatomi. Di Belanda dia belajar teknik pembuatan kapal dan di Inggris dia belajar tentang pelatihan militer.
Peter juga terinspirasi karya seni seniman-seniman Prancis. Hasil karya seninya yang bertahan hingga kini adalah istana musim panas Petrodvorets yang indah sehingga disebut juga Istana Versailles dari Rusia.
Karya Peter 1 lainnya adalah kota Saint Petersburgh (Leningrad), yang merupakan kota paling keren di Eropa, juga pusat kebudayaan dan kesenian. Kota yang akhirnya jadi ibu kota kekaisaran Rusia ini, dibangun tahun 1703, di muara sungai Neva yang menghubungkan 101 buah pulau dengan 500 jembatan.
Hingga tibalah masa revolusi Bolshevich pimpinan Lenin yang muncul akibat aksi protes atas kemewahan hidup para tsar. Rusia pun mencampakkan segala atribut kebaratannya dan berubah menjadi Republik Sosialis.
Sistem ini, juga sukses membawa Rusia menjadi negara adidaya di era perang dingin. Selama 70 tahun negeri ini ”mandiri” dengan konsep sama rata sama rasa. Masyarakat tak perlu banyak bicara atau banyak kerja, semua telah ditanggung pemerintah.
Tak hanya itu, agama yang dianggap candu juga dilarang. Tempat ibadah dirobohkan atau dialih fungsikan, tak peduli apakah itu memiliki nilai historis, semacam Khram Khrista Spasitelya atau Katedral Kristus Sang penyelamat yang dibangun pasca kekalahan Napoleon, 1837.
Angin-pun berubah, hidup sama rasa sama rata yang menyeragamkan kehidupan rakyat dengan pemerintah, akhirnya bubar di era Gorbachev. Tahun 1991 glassnot dan perestroika berhembus, sistem sosialis sebagai pilar Uni Soviet (dewan berserikat) tumbang.
Kini masyarakat Rusia sangat terbuka. Globalisasi dan pop culture menembus sendi-sendi tirai besi sang berung merah. Kapitalisme kian tak terbendung. Warga Rusia sendiri tak siap menghadapi era pasar bebas, sehingga menjadi pasar raksasa beragam produk-produk Barat, China dan Jepang, serta resto waralaba ala Amrik. Gerai-gerai junk food terasa gagah dimakan, menggusur kartoshka (kentang bakar bertabur daging dan sayuran). Pizza pun menggusur ukha (sup ikan) dan borsk (sup sayuran merah).
Sebuah buku Segenggam Cinta dari Moskwa, tulisan M Aji Surya, diplomat kita di Rusia mengupas, betapa bangganya bila orang Rusia saat ini bisa hidup ala Hollywood. Naik BMW, Ferrari, Harley atau ngadem di mobil buatan Jepang. Tak ayal, dalam sekejap mobil-mobil buatan nasional yang berkibar di era perang dingin, semacam Neva, UAZ menangis darah bertahan. Yang masih membanggakan dari produk rusia adalah industri pertahanannya. Tentunya kita sudah kenal apa itu Sukhoy, atau AK-47.
Kini Rusia yang Masyarakatnya berdiri di dua kaki: Eropa dan Asia itu, mengahadapi kegamangan kemanakah menentukan kiblatnya. Masyarakatnya terbelah pada dua ”benua”, antara kaum Slavophil dan Zapadniki.
Kaum Slavophil menyatakan, Rusia harus menapaki nilai-nilai aslinya karakter nasional (samobytnost) dan kekhasan budayanya. Perkembangan Rusia harus bertumpu pada ortodoksi (pravoslavie), otokrasi (samodherzavie) dan kerakyatan (narodnost). Nilai-nilai ini harus dituangakan dalam semangat kolektif (sobornost) bukan dengan individualisme barat. Bahkan Pyotr Chaadaev, pemikir Rusia beraliran Slavophil, bersikeras bahwa kebesaran peradaban rusia terletak pada keaslian gereja orthodoks dan beragam institusi sosial tradisional rusia.
Sedangkan kaum Zapadniki, terus memotori agar Rusia, sebagai bagian dari Eropa, kembali mengadopsi ide-ide Barat demi kemajuan dan masa depan negara, sebagaimana yang dilakukan Peter yang Agung.
Polemik kebudayaan antara Slavopil (yang lahir lebih tua) dan Zapadniki (aliran utama yang muncul tahun 1840-an) ini dipicu pasca reformasi yang dilakuakn Peter 1 Agung 1672-1725.
Meski gamang menentukan arah kiblat, namun ada satu yang membanggakan dari Rusia. Hukum di negara ini dijalankan sangat tegas. Bahkan di sana, seorang satpam pun bisa mengusir mobil petinggi negara bila tak memeneuhi prosedur.
Jadi jangan macam-macam. Eta Rossiya! (ini Rusia Bung!). ***

Jumat, 08 Juni 2012

Bahasa Melayu

Cerita ini berasal dari Aernoudt Lintgenszoon, seorang warga berkebangsaan Eropa. Dia berada di Bali dalam waktu yang lama dan menuliskan sendiri pengalamannya sebagai laporan pada donatur pelayaran pertama bangsa Belanda, sekitar tahun 1500-an.
Dalam buku Bali Tempoe Doloe disebut, kala itu Belanda banyak memakai jasa penerjemah untuk memperlancar misi dagangnya, waktu nusantara masih terbagi dari beberapa kerajaan.
Salah seorang penerjemah yang dipakai Belanda saat itu, bernama Juan, seorang Portugis. Tulisan ini menyebut, saat itu bangsa Melayu dan bangsa Portugis berlomba agar bahasanya menjadi lingua franca (bahasa pengantar) yang digunakan di seluruh Nusantara.
Namun rupanya bahasa Melayu lebih diterima, sehingga Juan menggunakan bahasa ini sebagai alat komunikasinya, meski dia berkebangsaan Portugis.
Kesan unik orang barat pada bahasa Melayu, saya temukan di tulisan Colin McPhee, komposer sekaligus pakar musik asal Kanada, yang ikut memberikan pengaruh pada musik kotemporer berkat kemampuannya mengelaborasi musik Bali secara rinci.
Catatan ini dia tulis tahun 1947-an. Dia mengisahkan, tentang kengguanannya belajar bahasa Belanda. Namun memilih bahasa Melayu.
Baginya, Melayu terdengar sebagai bahasa kekanakan namun sederhana untuk mengekspresikan keinginan sehari hari. Namun, bahasa melayu sangat rumit dan ambigu artinya jika digunakan untuk mengungkapkan pemikiran yang kompleks.
Bahasa Melayu, tulis Colin McPhee, adalah bahasa esperanto atau artifisial dari Melayu dan Indies. Perbendaharaan kata-katanya terdiri dari bahasa Arab, sedikit Sansekerta, Portugis dan Jawa, sedikit bahasa Belanda dan Inggris, serta kata-kata yang berbungi lucu untuk mendiskripsikan manusia, ikan dan kelapa.
Saya setuju Colin McPhee, bahasa Melayu memang mudah diterima, ibarat bahasa Inggris yang luga menyerap dan menggeser semua bahasa di sekitarnya. Sekadar mengulas ke belakang, Eropa di abad pertengahan, masyarakatnya digolongkan dalam tiga bahasa. Bahasa Inggris dipakai masyarakat kelas bawah, bahasa Latin dipakai kalangan gereja dan ilmuwan, dan bahasa Perancis dipakai untuk kaum bangsawan mulai daratan Inggris hingga Rusia.
Itulah mengapa, Raja Richard lebih mahir berbahasa Prancis dibanding Inggris, meski dia sendiri Raja Inggris. Bahkan gelar kebangsawanannya saja menggunakan bahasa Prancis, yakni Coeur de Lion (Lion Heart/Hati Singa).
Bahasa Perancis dianggap lebih terhormat dan teratur. Beda dengan bahasa Inggris yang lebih santai, tak terlalu terikat aturan. dengan kata lain, setiap orang boleh berbahasa Inggris dengan aksennya sendiri, asal tujuannya tercapai.
Karena fleksibel itulah, bahasa Inggris lebih bisa diterima, tak hanya di Eropa, namun juga dunia. Itu sebabnya ada bahasa Inggris-Amerika, Inggris-Australia, dan bahkan Singlish, alias Inggris-Singapura yang diwarnai Melayu dan dialek China.
Karena fleksibel juga, bahasa Inggris saat ini berubah dan berbeda jauh dengan bahasa Inggris dahulu kala, seperti yang tertulis dalam dokumen tentang kisah Beowulf. Karenanya, tak ada manusia moderen saat ini yang bisa membaca dokumen tersebut.
Sementara itu, bahasa Perancis kalah pamor karena terlalu kaku. Hingga tiga abad 19, tepatnya era perdagangan, bahasa Prancis kalah beradaptasi dan banyak ditinggalkan. Apalagi sebelumnya, Perancis telah membuat bahasanya bagai agama yang mengatur ”dosa” para penggunanya dengan mendirikan ”Académie Française”. Akademi ”dogma” bahasa ini didirikan Kardinal Richelieu.
Kembali lagi ke Bahasa Melayu, beginilah adanya bahasa ini. Mudah menyerap, diserap dan diterima. Sehingga ragamnya meluas, tak hanya di Indonesia, juga ke luar negeri. Apa yang kita kenal saat ini sebagai bahasa Indonesia, sebenarnya ruh-nya adalah bahasa Melayu, namun kosa katanya diperkaya dengan merangkul ratusan bahasa daerah yang ada. Luar biasa.
Contoh, kata ”nyeri” sebenarnya bahasa Sunda yang diadopsi jadi Bahasa Indonesia, artinya sakit bersifat tajam dan lokal. Dalam perkembanganya, banyak juga bahasa yang daerah yang diserap bahasa Indonesia. Tak hanya itu, ada kalanya kata serapan dari bahasa asing di-Indonesiakan. Seperti unduh untuk download, unggah untuk upload atau daring untuk online. Banyak lagi yang lain.
Cukup dulu ulasan soal bahasa ini. Sebelum saya akhiri, bila Juan, seorang Portugis saja bangga berbahasa Melayu sejak tahun 1500-an lalu, rasanya amat disayangkan bila pejabat teras di Kepulauan Riau ini, kurang menghargai bahasa ini. Misalnya saat berbicara di depan publik, dia menyelip-nyelipkan bahasa Inggris pasaran agar tampak hebat. ***

Jumat, 25 Mei 2012

Negeri nan Ramah

Banyak yang terkejut ketika negeri yang penduduknya terkenal manis budi bahasa, lemah lembut perangainya, saling menghormati, saling menghargai hak azasi, bernaung di bawah pusaka garuda Pancasila dan sang saka Merah Putih sebagai lambangnya ini ternyata menyimpan sejarah kelam tentang pembantaian anak-anaknya sendiri.
Semua terperangah, saat membaca dalam perjalanannya, anak-anak bangsa ini berlaku kejam dan sadis. Saat terjadi konflik, dendam eksumat muncul, dan membabat habis saudara yang dimusuhinya hingga kekarnya. Apakah ini yang disebut adat ketimuran?
Kita tentunya tak lupa, sejarah kelam ketika Partai Komunis Indonesia dinyatakan terlarang. Saat itu tahun 1966. Sekitar 500 ribu orang yang terkait atau bahkan yang hanya dituding terlibat PKI itu, diculik, disekap lalu dibunuh dengan sadis.
Ada yang disuruh berjalan dengan mata tertutup menuju luweng (sumur alam yang dalam). Kemudian mereka jatuh dan tewas di dalamnya, jenazahnya tak dikubur dengan layak. Di daerah lain, ada yang dikumpulkan di tepian hutan, lalu disuruh bunuh diri dengan menggorok leher sendiri. Alasannya, karena saat itu tentara ingin menghemat peluru. Banyak lagi kisah-kisah sadis lainnya.
Ada juga yang dikumpulkan di tepian sungai Brantas, Jawa Timur, lalu diberondong senapan mesin. Mayat-mayat bergeletakan, mengapung. Sungau Brantas merah darah. Peristiwa ”merahnya kali Brantas” ini disaksikan oleh Ong Hok Ham, sejarawan dan cendekiawan Indonesia, yang kala itu masih muda.
Tak ayal, Ong langsung dipresi, lalu berteriak-teriak ”Hidup PKI... Hidup PKI...” tentusaja aksinya dilihat tentara, lalu dia ditangkap dan nyaris dilenyapkan. Kemudian Ong Hok Ham dibawa ke Jakarta, namun kemudian dia dibebaskan oleh Nugroho Notosusanto, pejabat top Orde baru kala itu.
Itu tadi soal pembantaian tahun 66. Mau mundur lagi? Tentunya kita ingat bagaimana tewasnya Raden Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang memberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Trunojoyo kemudian dikeluarkan dari penjara Belanda oleh Sultan Amangkurat II, lalu dihadirkan dalam rapat pimpinan yang dipimpin sultan dan dihadiri para bupati Mataram. Kemudian di depan para bupatinya, Amangkurat II menusuk Trunojoyo dengan keris hingga tembus ke punggung. Selanjutnya, seluruh bupati dierintahkan ikut menusuk.
Tak sampai disitu, hati Trunojoyo dikeluarkan, dicincang dan dimakan ramai-ramai. Kepala Trunojoyo dipenggal dan dibawa ke keputren, lalu disuruh diinjak-injak. Setelah tak berbentuk dimasukkan alu dan ditumbuk!
Kisah sadis lain terungkap dari catatan Dr Walter H Medhurs (1796-1857) dan asistennya Revd Tomlin seorang misionaris. Kali ini tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Baliling (kini Buleleng, Bali), sebagaimana ditulis dalam buku Bali Tempoe Doeloe yang disusun Adrian Vickers.
Dikisahkan, pemangku kekuasaan Baliling kala itu, Guati Moorah Gede Karang, dibunuh saat terjadi pemberontakan di Djembrana. Kemudian Dewa Pahang, anak lelaki yang juga penerusnya, terlibat pertengkaran dengan pamannya, Gusti Moorah Lanang, raja Karang Assam (kini Karangasem).
Dia pun bersumpah akan menangkap sang paman dan meminum darahnya. Kemudian, darah itu akan dipakai mencuci rambut saudara perempuannya. Ancaman ini dia kirim melalui surat pada Gusti Moorah Lanang, yang kemudian juga membalas melalui surat, akan akan menangkap Dewa Pahang, lalu memenggal kepalanya dan mencincang tubuhnya hingga berbentuk potongan-potongan kecil.
Bahkan bila Dewa bermurah hati mengabulkan keinginannya ini, Lanang akan membuat pura dari tulang manusia lalu menyelimutinya juga dengan kulit manusia, sebagai bentuk penghormatan.
Singkat kata, dua kerajaan tersebut berperang. Kerajaan Baliling menang, Raja Moorah Lanang terusir. Namun Lanang berhasil meloloskan diri. Hingga kemudian dia berhasil membalas dendam lewat bantuan Raja Kalong Kong (kini Klungkung).
”Bukankah dulu kamu berjanji akan meminum darahku? Inilah yang mendorong aku memenggal kepalamu. Janji adalah janji, aku tak mungkin melanggarnya. Maka terimalah ini...” ujarnya. Gusti Moorah Lanang pun memenggal kepala Dewa Pahang, kemudian memutilasinya dan mengirimkan potongan potongan tubuh itu kepada beberapa raja sebagai bukti keberhasilannya.
Masih banyak lagi, masih banyak lagi... Kekejaman ini terus berlanjut hingga ratusan tahun setelahnya, hingga saat ini. Tentunya kita masih ingat tentang konflik di Ambon, Sampit atau yang menimpa penganut Ahmadiyah Cikeusik?
Dalam skala kecil, kita sering saksikan antar kita sendiri saling serang. Mulut kadang kasar, membentak, memaki, mengintimidasi, memerangi orang yang dianggap beda. Kenapa masyarakat kita kian piawai melakukan kekerasan? Bully dianggap biasa, membunuh jadi tren?
Inikah yang katanya bangsa nan ramah? Inikah adat ketimuran itu?
Sudah hilangkah negeri yang penduduknya terkenal manis budi bahasa, lemah lembut perangainya, saling menghormati, saling menghargai hak azasi itu? ***

Kamis, 24 Mei 2012

Lady Gagal?

Heboh Lady Gaga akhirnya sampai juga ke Indonesia. Ini terjadi setelah rencana konser penyanyi asal Amerika itu di Gelora Bung Karno Jakarta, pada tanggal 3 Juni mendatang, ditentang banyak pihak. Alasannya, penampilan Lady Gaga dinilai tidak sesuai dengan budaya dan moral bangsa Indonesia.
Penentangan ini akhirnya direspon Kepolisian Indonesia, dengan melarang konser tersebut. Menurut Juru Bicara Polri Saud Usman Nasution mengatakan, pertimbangan diambil berdasarkan surat dari Seketariat Negara yang mendapat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, DPR dan beberapa organisasi masyarakat.
Jika konser tersebut masih berlangsung, kepolisian akan menindak tegas pihak penyelenggara. Inilah yang kemudian memicu pro kontra di masyarakat. Lagidan lagi, masyarakat bagai berdiri di dua tebing, sekuler-agamis, liberal-fasis, ortodok-progresif.
Kehebohan ini kian besar, seiring perkembangan teknologi informasi, berita pembatalan konser Lady Gaga ini mendunia, membawa efek bola salju yang kian membesar. ”Makin terpuruk negeri ku,” komen seorang dari kelompok liberalis.
Alasan pelarangan konser penyanyi yang bernama lengkap Stefani Joanne Angelina Germanotta ini, sebagaimana disebut di atas, karena tidak sesuai dengan budaya dan moral bangsa Indonesia.
Apakah konser satu malam Lady Gaga bisa merusak budaya dan moral bangsa ini? Entahlah. Tanpa Lady Gaga pun, budaya akan terus berkembang dan berubah tanpa henti, karena budaya adalah produk dari interaksi antar kelompok manusia. Tidak ada budaya yang tidak berubah karena perubahan itu adalah mekanisme ineheren dalam suatu budaya untuk terus bertahan dan tetap relevan.
Namun ada yang menarik, mungkin saja pelarangan tersebut ada kaitannya karena selama ini Lady Gaga dituding sebagai agen Illuminati, sebuah organisasi persaudaraan rahasia kuno yang pernah ada dan diyakini masih tetap ada sampai sekarang. Para Iluminatus (pengikut Illuminati) itu mempersiapkan sebuah kedatangan si Mata Satu (Horus), dewa pagan untuk tatanan dunia baru.
Illuminati dinilai memiliki pandangan-pandangan yang menyimpang (bid’ah) Menurutnya, dengan penjelasan logis ilmu pengetahuan, maka tak akan ada lg misteri Tuhan karena semua ada jawabannya.
Dalam perkembangannya, konsep paganisme dan satanic protocol terlihat ketika Illuminati berpadu dengan gerakan rahasia Freemanson, yakni mengendalikan pikiran manusia dengan cara menyusupkan agen rahasia dalam beragam macam sendi --salah satunya lewat musik-- yang terkonsep dalam sebuah agenda besar, ”The Protocol of Zionism.”
Salah satu ciri Freemason ini, selalu menampilkan simbol piramida buntung dan simbol cahaya dengan mata satu (dewa Horus) di tengahnya, sebagaimana tampak pada lembaran uang 1 dolar AS.
Tudingan inilah yang dialamatkan pada Lady Gaga, karena dalam setiap konser, penampilan maupun klipnya, dia konsisten menampilkan simbol mata satu dan pengendalian pikiran. Selain itu, Lady Gaga dituding membuat referensi yang jelas pada Baphomet (Iblis).
Apakah benar Lady Gaga agen Illuminati dan musisi satanik? Entahlah. Yang jelas, saat ini kita konflik lagi konflik lagi. ***

Kebun Raya, Mimpi

Dengarkan, ada berita menarik... Batam akan memiliki kebun raya dan taman rekreasi yang luasnya sekitar 87 hektare, lebih luas dibanding kebun raya Bogor.
Beragam jenis tumbuhan akan ditanam di sini. Nama kebun raya dan taman rekreasi yang berlokasi di Jalan Hang Lekir, Kelurahan Nongsa ini adalah, The View of Indonesia. Wow, keren.
Nantinya, di kebun raya tersebut akan diisi seluruh tanaman atau tumbuhan yang ada di seluruh daerah di Indonesia. Fungsi lainnya, sebagai fasilitas penelitian dan tempat wisata, yang diharapkan dapat menarik turis lokal dan manca negara, dalam hal ini Singapura dan Malaysia.
Tak hanya itu, di sana akan dibangun seluruh rumah adat dan khazanah budaya dari 33 provinsi di Tanah Air. Intinya, kebun raya Batam akan didesain sebagai gerbang masuk ke Indonesia jadi turis akan memahami berbagai daerah di kawasan tersebut sebelum mereka mengunjunginya.
Karena itulah, Kebun Raya ini juga akan menjadi pusat informasi bagi daerah lain dan ini dimanfaatkan Pemko Batam untuk menggaet lebih banyak lagi turis asing.
Untuk mewujudkan impian tersebut, Senin (21/5) lalu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan serta Kepala BP Batam Mustofa Widjaya telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta.
Kepada wartawan, Wali kota Batam Ahmad Dahlan mengaku optimis pembangunan Kebun Botani seluas hampir 100 hektare itu rampung dalam dua tahun setelah Detail Engineering Design (DED)-nya dibuat tahun 2013 nanti.
Untuk Kebun Raya sendiri, dibutuhkan lahan sekitar 87 hektare, sedangkan pembangunan Taman Rekreasi The View of Indonesia atau Taman Mini-nya Indonesia di atas lahan seluas 20 hektare.
Adapun sumber pendanaan Kebun Raya yang terletak dekat Waduk Nongsa dan kawasan wisata Batam View tersebut, berasal dari APBD Kota Batam dan APBN secara berkelanjutan.
Untuk pembiayaan, Dahlan mengatakan mulai tahun ini Pemko memasukan anggarannya dalam APBD Perubahan nanti yang akan disampaikan sekitar Agustus 2012 nanti.
Lau berapa besar dana yang dirogoh untuk pembangunan kebun raya serta taman rekreasi bertajuk The View of Indonesia tersebut? Apakah akan dibangun pemerintah provinsi, pemko, BP Batam, atau kita pihak swasta? Belum jelas.
Apalagi rencana ini juga belum ada dalam peraturan daerah rencana pembangunan jangka menengah Batam. Masalah lain, ternyata DPRD juga belum tahu berapa anggran kebun raya Batam ini. Namun diprediksi bakal menelan ratusan miliar rupiah. Waduh, salah-salah APBD Batam untuk pembangunan yang cuma dialokasikan Rp300 miliar (dari Rp1,4 triliun total APBD) habis.
Padahal, dari Rp300 miliar itulah yang dipakai untuk perbaikan jalan, penanganan banjir, pembangunan/pernaikan sekolah, dan sebagainya. Tentunya, dana tersebut masih sangat jauh dari cukup. Apalagi, nanti harus tersedot ke kebun raya.
Maka itu, tuan wali kota, di balik besarnya keinginan untuk memiliki lanskap yang prestisius, mending dipikir ulang. First thing first, pakai skala prioritas, itu tentu lebih baik. Buat apa punya kebun raya, bila jalan banyak rusak, banjir tak tertangani, sekolah kurang atau banyak rusak? Think again! ***

Jumat, 18 Mei 2012

Mengontrol Kinerja Pers

Senin 7-8 Mei lalu, saya diundang berbagi tentang cara membuat pers rilis, berita dan feature, dalam Diklat Kehumasan dan Jurnalistik di Lingkungan Bank Riau Kepri, di Hotel Grand Elite Pekanbaru. Pesertanya ada 30 Kepala Cabang Bank RiauKepri, se Riau dan Kepri.
Tentu saya bangga bisa berbicara selama 2 jam lebih, di depan orang-orang hebat ini. Namun, yang lebih membanggakan saat mengetahui bahwa saat ini masyarakat sangat peduli akan dunia jurnalistik. Ini bagus karena pers asalnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Semangatnya sama dengan demokrasi, karena memang pers adalah pilar ke empat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dari sini saya teringat tulisan Farid Gaban, ”Jurnalisme terlalu penting untuk hanya diurus para wartawan saja. Publik perlu mempersenjatai diri dengan pengetahuan bagaimana industri media beroperasi, bagaimana wartawan bekerja.”
Saat ini, seiring maraknya jejaring sosial, kian banyak masyarakat yang peduli pada kinerja wartawan. Hal ini tampak dalam peristiwa tragedi Sukhoi, baru-baru ini. Bila menyimak di twitter, tampak bagaimana masyarakat aktif mengontrol kinerja wartawan, mulai dari cara wawancara, sampai penyajian berita dan gambar/foto. Luar biasa! Dampaknya, wartawan kian terbantu manyajikan berita yang aman dan dibutuhkan masyarakat. Bukankah berita dibuat untuk dibaca? Dan agar dibaca, tentunya harus dibutuhkan.
Hal ini jua yang saya sampaikan pada para peserta, yang memang sangat antusias ingin tahu. Sehingga tak jarang, materi pers rilis, berita dan feature yang saaya bawakan, sempat melebar, demi menjawab pertanyaan peserta yang sangat ingin tahu akan proses produksi koran.
***
Hal yang banyak ditanyakan dalam pelatihan itu tentang kode etik jurnalistik. Menurut saya, kode etik adalah standar kerja yang harus dimiliki wartawan supaya tak melanggar aturan. Kode etik itu sendiri adalah satu titik tengah yang dianggap paling maksimal.
Sebab kebebasan pers kadang berseberangan dengan keinginan orang mendapat privasi. Kode etik jurnalistik bisa memaksimalkan manfaat kemerdekaan pers dan meminimalkan dampaknya. Dibanding undang-undang sifatnya lebih dinamis, mudah berubah, karena berbasis pada nilai-nilai masyarakat. Makanya kode etik sering direvisi tiap tiga tahun sekali. Sering kali kode etik ini ditabrak dengan alasan ”menulis berita investigasi”.
Padahal investigasi hanya dibenarkan bila menyangkut pelayanan publik, itupun harus diketahui pimpinan media. Misalnya menyamar dan sebagainya. Intinya, wartawan haruslah menghormati hak privasi, kecuali untuk kepentingan umum. Jangan sampai investigasi, tapi mengorek-ngorek privasi.
Kode etik ini meliputi: menyajikan berita berimbang, yang berarti kedua belah pihak sama-sama diberi kesempatan untuk membela diri. Selanjutnya azaz praduga tak bersalah artinya, orang yang tertuduh diberi kesempatan untuk menceritakan versinya.
Kode etik juga mengatur tentang cabul. Yang dimaksud ”cabul” di sini adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, tulisan dan gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan birahi.
Khusus para korban asusila atau kriminal di bawah umur, kode etik juga mengatur agar identitas si korban, sebagai alamat untuk meudahkan orang untuk melacak, dirahasiakan. Bila perlu tak disebut dalam berita.
***
Ada sesi yang mendebarkan, ketika ada sesi pertanyaan tentang ”amplop”. Saya sempat bergumam, ”Wah... Bagaimana jawabnya nih...” Karena dalam Kode Etik Jurnalistik sendiri tidak mengatur soal ”amplop”. Yang ada soal suap.
Pasal 6 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia tak boleh menerima suap: segala sesuatu yang dapat mempengaruhi independensi: berdiri sendiri/bebas/tak terikat (memberitakan berita sesuai fakta: hati nurani tanpa campur tangan pihak lain, baik di luar atau dalam media.
Soal amplop ini sempat saya tanyakan pada tokoh pers Nasional Atmakusumah Astraatmadja. Dia menjawab singkat, ”Bila pemberian yang anda terima tanpa mempngaruhi independensi, silakan. Namun harus tetaplah menjadi pertimbangan anda!” Hal ini jua yang saya sampaikan pada para peserta.
Namun bila amplop yang dimaksud itu adalah suap untuk mempengaruhi independensi media, maka wartawan yang bersangkutan pasti mendapat sanksi keras dam tegas.
Sedikit mengulas ke belakang, seorang wartawan ibu kota pernah berkisah, di medianya punya kebijakan, setiap awak redaksi yang dapat amplop, harus diserahkan ke sekretariat redaksi.
Amplop-amplop itu kemudian ditempel di papan. Setelah uang terkumpul, hasilnya kembali disalurkan untuk narasumber. Misalnya untuk beli suvenir berupa buku dan sebagainya, yang diserahkan pada momen tertentu, misalnya hari ulang tahun dan semacamnya. ***

Jumat, 04 Mei 2012

KC-X: Kepri Centre of Excellence

Selasa, 24 April lalu Kepri Center of Excellence sukses menggelar diskusi tentang kepabeanan. Beberapa pengusaha dan pejabat terkait, hadir dalam diskusi di Hotel PIH, Batam ini.
Di kolom ini, saya akan berbagai sedikit tentang apa itu Kepri Center of Excellence yang disingkat ”KC-X” itu. Sebenarnya, dari singkatannya, K-CX (baca ke si ex) kita sudah bisa melihat visinya. K, atau key, C atau see, X atau extraordinary. Maksudnya kunci untuk menatap sesuatu yang luar biasa. Bisa itu potensi dan semacamnya.
Karena itulah di KC-X haruslah berisi orang orang yang peduli dan resah melihat ketidak beresan, untuk kemudian menelaah dan hasilnya disampaikan pada orang yang bersangkutan.
Bila ketidak beresan itu ada di lingkar birokrasi, maka tugas KC-X lah menyampaikan analisanya pada kaum birokrat. Bila itu di lingkar ekonomi, maka telaahnya disampaikan pada pelaku bisnis.
Bila filusuf Yunani, Socrates selama ribuan tahun dikenang sebagai ”lalat” penganggu yang membuat lembu bangun dan kuda bergerak, karena menjadi Sang Penanya agar kita tak buta tuli, maka KC-X akan menjadi jam weeker untuk menyadarkan mereka yang terlelap.
Saya sebut "menyadarkan", bukan "membangunkan", karena orang yang hakikatnya bangun, melek, terjaga, belum tentu sadar.
”Sadar” harus dibedakan dengan ”terjaga”. Sadar terkait ”memahami” dan ”menyadari” sesuatu yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya . Sedangkan terjaga hanyalah sekadar membuka mata (melek), alias tidak tidur atau pingsan.
Orang yang melamun, mabuk bahkan kesurupan, bisa dikatakan terjaga (melek). Namun tidak bisa dikatakan sadar. Karena ada kalanya dia tak menyadari dan memahami apa yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya.
Maka itu dengan menyadarkan, maka kita akan mudah untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik, tentu saja.
Kita selama ini tentu tahu bahkan mengerti akan pentingnya sebuah perubahan. Hanya saja kadang belum sadar, sehingga hal yang kita ketahui, tidak meresap lalu melahirkan perbuatan untuk menuju ke arah perubahan yang diinginkan bersama.
Inilah tugas utama K-CX. Untuk itu, lembaga CSR Riau Pos Divre Batam ini akan aktif melkukan kajian-kajian keilmuan, baik melalui studi, studi, maupun penerbitan buku.
Apakah KC-X semacam lembaga profit atau LSM?
Saya jawab, tidak. KC-X hanyalah sebuah kelompok diskusi yang menelaah tentang keilmuan. Maka itu, KC-X tak memiliki struktur organisasi gemuk, layaknya sebuah LSM atau partai politik.
KC-X hanya punya seorang ketua, Candra Ibrahim dan beberapa pengurus, termasuk saya. Anggotanya? Siapa saja boleh bergabung. Namanya juga kelompok diskusi, asal anda punya pemikiran yang layak untuk disampaikan, maka silakan saja merapat ke KC-X, karena KC-X adalah rumah intelektual bagi semua.
Kira-kira semangat KC-X ini tertular dari tokoh adiluhung dari Melayu-Riau abad ke-19. Dia adalah Zaman dan Nama dari kebudayaan Melayu-Riau abad ke-19 yang nyaris redup —dan dia membuatnya bersinar abadi.
Dia adalah Raja Ali Haji, Pulau Penyengat tempat lahirnya jua kuburnya. Dari Pulau Penyengat inilah dia memancarkan cahaya ilmu pengetahuan penerang nusantara hingga dunia, yang terus bersinanr hingga saat ini.
Penggambaran tentang sosok Raja Ali haji saya temukan di tulisan Jamal D Rahman. Menurutnya, Raja Ali Haji adalah sosok intelektual serbabisa. Dia menulis buku politik, sejarah, agama, hukum, bahasa, dan sastra. Tentu juga dia mengajar.
Raja Ali Haji menandai babak baru sejarah kebudayaan Melayu. Dia penulis pertama puisi bergaya gurindam. Penulis pertama tatabahasa Melayu. Penulis pertama kamus ekabahasa Melayu.
Sebagai seorang pujangga, dia adalah pintu abadi sejarah politik dan kebudayaan Melayu, khususnya Melayu Johor-Riau-Lingga-Pahang, lebih khusus lagi Riau-Lingga. Siapa pun yang akan memasuki sejarah politik dan kebudayaan Melayu Riau-Lingga, dia akan melewati pintu itu, langsung atau tidak.
Dari sanalah dia bisa memasuki rumah besar sejarah Melayu Riau-Lingga dan mengenal lekak-liku-likat kehidupan politik dan kebudayaannya yang gemilang sekaligus penuh guncangan.
Sebagai pengarang, Raja Ali Haji melahirkan sedikitnya 12 judul buku. Sebagian besarnya berupa syair. Mewarisi khazanah kebudayaan Melayu dan tradisi intelektual Islam, terutama dalam bidang bahasa, sastra, dan agama, Raja Ali Haji telah mewariskan banyak hal pada generasi sesudahnya.
Raja Ali Haji telah memberikan sumbangan penting pada kebudayaan Melayu-Indonesia. Dalam arti itu dia telah melakukan sesuatu yang tepat bagi kebudayaan Melayu-Indonesia itu sendiri.
Beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores qalam (pena) jadi tersarung. —Raja Ali Haji dalam Bustanul Katibin. ***

Jumat, 27 April 2012

Kisah Ganja (2)

Saya masih akan mengupas buku Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia yang ditulis tim Lingkar Ganja Nusantara.
Sebenarnya banyak lagi kisah bagaimana ganja membangun peradaban manusia. Dalam ilmu medis, misalnya, adalah buku Materia Medica, kitab pengobatan herbal pertama di dunia, karangan intelektual Yunani, Dioscerides, abad 1 Masehi banyak menginspirasi ilmu kedokteran dunia. Gaung buku ini kian besar ketika bangsa Arab, menerjemahkan buku tersebut pada tahun 861 Masehi.
Materia Medica banyak mengurai tanaman ganja mampu mengobadi beragam penyakit, seperti telinga, perut bahkan anastesi bahkan perangsang nafsu makan dan daya ingat. Hal ini juga diakui oleh Ibnu Sina (Avicenna) di abad 10 Masehi.
Tulisan Dioscerides ini membuat Romawi menjadi sentra industri tanaman ganja. Setelah romawi runtuh, industri ganja tetap bertahan di Italia. Permintaan dunia akan serat ganja untuk tali temali, dan kain layar untuk armada laut membuat Bolognese dan Montagnana jadi daerah tanaman ganja. Bahkan senat Venesia mendirikan pabrik milik negara demi menjaga kualitas produksi serat ganja untuk angkatan laut.
Produksi serat ganja Itali sebagai pusat produksi serat ganja terbesar di dunia, bertahan hingga abad ke 19. Orang Itali terkenal terampil dalam memintal serat ganja untuk menghasilkan tekstil berkualitas tinggi, pakaian mewah hingga taplak meja yang kualitasnya hampir sama dengan sutera. Konsumen utamanya adalah Switzerland, Jerman, Inggris, Portugis dan Spanyol.
Sedangkan Amerika Selatan, khususnya Jamaika, ganja melatar belakangi lahirnya ”agama" Rastafari. Pengaruh mengisap ganja ini dibawa oleh orang-orang India yang dipekerjakan Inggris untuk budidaya ganja di Jamaika tahun 1800-an.
Juga kisah bagaimana ganja membangun Inggris, bahkan mempengaruhi kreativitas William Shakespeare dalam menelurkan karya-karyanya. Bahkan ada juga catatan tentang perang Napoleon meletus setelah ia menghentikan suplai serat ganja dari Rusia.
Belum lagi Amerika yang dulu sangat bergantung pada serat ganja ini. Sampai-sampai presiden George Washington maupun Thomas Jeffreson mencoba peruntungan dengan bercocok tanam ganja. Namun keduanya bangkrut. Bahkan Amerika sempat memberlakukan kebijakan tanam paksa ganja bagi petani Virginia, tahun 1619, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sangat tinggi. Bila gagal, ancamannya penjara.
Di Amerika, serat ganja dibuat selain tambang, juga tekstil semacam kain layar, bahkan menjadi bahan untuk industri mobil. Selai itu juga kertas yang pabriknya didirikan presiden Benjamin Franklin tahun 1750. Era ini mengakhirnya impor buku amerika dari Inggris.
Bukan rahasia juga bila naskah proklamasi Amerika (Declaration of Independence 4 juli 1776) ditulis di atas kertas dari serat ganja, juga bendera pertama amerika terbuat dari serat ganja. Tak hanya itu, industri minyak lampu pernah didominasi oeh minyak biji ganja hingga tahun 1800, baik di Amerika maupun di dunia.
Namun kejayaan ganja sebagai tulang punggung ekonomi Amerika dan dunia, runtuh ketika raja media AS kala itu, William Randolph Hearst (1863-1951) selama tiga dekade, melancarkan kampanye besar besaran di medianya akan bahaya ganja yang dia sebut mariyuana.
Ada catatan, hal ini dia lakukan karena ryasa dendam akibat 800 hektare hutan milik Hearst di Meksiko diambil alih oleh pahlawan pemberontak Meksiko, Pancho Villa, penentang diktator Porfirio Diaz.
Sejak saat itu Hearst dendam dan melancarkan stigma negatif bahwa ras Hispanik pecandu mariyuana, pemalas, dan kriminal. Hal yang sama juga dia lakuakn pada ras kulit hitam dan orang asia, khususnya China yang dia sebut yellow perill.
Koran-koran Hearst dengan sengaja mengarahkan opini bahwa maraknya kecelakaan dan kekerasan, akibat dari konsumsi maruyuana. Padahal bila ditilik perbandingan, jumlah kecelakaan akibat konsumsi alkohon mencapai 10.000:1. Namun ini tak pernah dia tulis.
Tak heran bila dalam perjalanannya Hearst, yang menjadi siangan Joseph Pulitzer ini, dikenal sebagai perintis jurnalisme sensasional di amerika, atau disebut yellow journalism (koran kuning), yakni jurnalisme yange mementingkan sensasi, mengesampungkan fakta dan kaidah demi mendongkrak penjualan, kampanye politik atau kepentingan pihak tertentu.
Puncaknya tahun 1920-1930 jaringan media Hearst, mengelompokkan pengguna narkotika dengan ras-ras miniritas luar kulit putih Amerika, sebagai kelompok masyarakat berbahaya dan harus ditakuti. Hal inj juga berlaku bagi mariyuana, sebagai tanaman yang harus diberantas.
Kampanye ini berhasil. Hingga kini, meski jaringan merdia Hearst telah rontok pada era depresi besar Amerika tahun 1930-an, ganja menjadi barang terlarang di Amerika yang akhirnya berimbas ke belahan dunia lain. ***

Jumat, 20 April 2012

Kisah Ganja (1)

Acara peringatan Hari Ganja Sedunia yang diperingati pada 20 April gagal digelar di Kota Bandung. Konon kabarnya, kegiatan yang digagas Lingkar Ganja Nusantara (LGN) itu mendapat teror dari ormas.

LGN, memang memiliki komitmen memperjuangkan dan membela pohon ganja. Misi mereka: legalisasi ganja di Indonesia! Upsss jangan serem dulu...

Saya pernah membaca buku yang ditulis aktivis LGN, judulnya Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia yang ditulis tim LGN.

Dari buku inilah saya tahu, peran ganja sangat luar biasa. Selama 12 ribu tahun sudah manusia mengenal ganja dan selama itu jua tanaman ini turut membangun peradaban. Wajarlah bila bangsa-bangsa di hampir serata bumi, mulai Asia, Afrika, Eropa, Skandinavia, India dan Amerika, punya kisah tersendiri bagaimana ganja membangun peradabannya.

Dokumen tertua tentang ganja ditemukan dalam coneiform (lempengan tanah liat yang ditulis dengan huruf paku) Bangsa Sumeria 3.000 tahun sebelum Masehi. Dipastikan, dari sinilah ganja pertama dikenal, lalu menyebar ke penjuru bumi.

Dari bahasa Sumeria-lah nama ganja dikenal hingga bervariasi sesuai Hukum Grim. Mulanya disebut gan zi, dalam bahasa Sansekerta disebut qaneh, lalu orang Ibrani menyebut qanubu.

Sebuah catatan menulis, dalam kitab Keluaran, disebut Musa diperintah Tuhan menyucikan kotak penyimpanan batu 10 Perintah Tuhan dengan minyak suci yang dibuat dari campuran kayu manis, myrrh, cassia dan qaneh bosm. Nama qaneh bosm ini kemudian dikenal sebagai cannabis.

India menyebut ganja dengan bhang. Tempat budidaya tanaman ini disebut bengal, yang arti harfiahnya adalah bhang land (tanah ganja). Berabad kemudian, daerah ini dikenal sebagai Bhangladesh.

Ganja berkembang melalui biji. Tiap biji bisa memunculkan dua jenis berbeda, tanaman betina dan jantan. Bagian kulit dari batang ganja terdiri dari serat yang kuat. Inilah yang kemudian dibuat sebagai tali temali, dan perlengkapan lain, seperti tekstil, hingga kertas.

Sedangkan efek memabukkan didapat dari trikoma atau resin (getah). Tapi jangan salah, justru resin inilah yang kemudian banyak dikembangkan dalam dunia medis sebagai obat hingga minyak.

Ganja yang memproduksi banyak resin hanyalah yang tumbuh di daerah periklim panas. Sedangkan di daerah dingin, akan menghasilkan batang yang lebih kuat namun getah lebih sedikit. Serat ganja inilah yang kemudian diolah menjadi produk tekstil dan sejenisnya.

Itulah mengapa di daerah sub tropis seperti Eropa, Rusia, Jepang dan Kanada, ganja banyak dipakai untuk membuat tekstil dan tali temali. Sedangkan di daerah tropis seperti China, India, Arab, Mesir, ganja memproduksi getah yang banyak yang digunakan untuk ilmu pengobatan, seni dan kebudayaan. Bahkan minyaknya dipakai untuk penerangan.

Dari serat ganja inilah kain tenun paling tua di dunia dibuat, tepatnya tahun 6.000 sebelum Masehi atau sudah berumur 8.000 tahun. Lain cerita lagi di China, serat ganja dibuat sebagai pakaian massal dan murah, khususnya kalangan menengah bawah yang tak mampu beli kain sutra.

Bahkan kertas pertama yang ditemukan T'sai Lun di China, terbuat dari bubur serat batang ganja. Teknologi ini kemudian menyebar ke kerajaan superpower Abbasiyah di Baghdad, abad ke 8, ketika dinasti Tang berhasil dikalahkan dalam perang Talas.

Dari sinilah terjadi alih teknologi pembuatan kertas. Tahun 794 pabrik kertas pertama berdiri di Baghdad, kemudian menyebar ke Eropa melalui Andalusia tahun 1151.

Selain beberapa hal di tasa tadi, ganja juga sudah lama digunakan sebagai keperluan keagamaan. Di India, kitab Atharva Veda dari agama Hindu, menyebut ganja sebagai satu dari lima tanaman suci, yang selalu mengiringi ibadah harian sore. Veda juga menyebut ganja sebagai sumber kebahagiaan, pemberi kesenangan dan pembebas. Tak heran bila tanaman ini kerap dipersembahkan bagi dewa dewa.

Pada aliran Buddha Mahayana, juga dikisahkan dalam enam tahap pertapaan untuk mencapai pencerahannya, Sang Buddha bertahan hidup dengan hanya 1 biji ganja setiap harinya, selama enam tahun hingga menjadi Sang Buddha di abad ke 5 sebelum Masehi.

Sedangkan di Jepang, industri pakaian dari serat ganja telah dmulai dari periode Nara. Hal ini juga menjadi kostum pendeta Shinto. Ada kisah unik, saat pertama kali Jepang mengirim utusannya menyeberangi Samudera Pasifik ke Amerika dengan kapal Kanrin Maru (kapal Jepang pertama setelah Restorasi Meiji, tahun 1860, red).

Saat itu, awak kapal kapal yang dinakhodai kapten Kimura dan penerjemah Yukichi Fukuzawa ini, hanya dibekali sepasang sandal dari serat ganja. Wajarlah bila mereka mengaku malu saat mendarat di San Fransisco. (bersambung)

Jumat, 13 April 2012

Sekolah Nomor Satu

Peradaban maju selalu menjajah peradaban yang tertinggal. Namun dengan ilmu pengetahuan, peradaban tersebut akan bertahan, bahkan akan mempu menaklukkan penakluknya.

Hal ini terjadi pada Yunani ketika ditaklukkan Romawi pada perang Corinthia, tahun 146 SM. Namun meski secara fisik takluk, namun Yunani berhasil menaklukkan imperium Romawi, bukan dengan senjata, melainkan dengan ilmu pengetahuan.

Kisahnya setelah Yuinani takluk, banyak penulis, seniman, filusuf, dan ilmuan dari Athena yang dibawa ke Roma untuk bekerja. Secara kebetulan, ada kalangan elit Roma yang antusias melakukan pencapaian dalam ilmu pengetahuan, salah satunya mengkaji kebudayaan Yunani. Era ini dikenal sebagai Graechophilia.

”Kini Yunani yang tertawan telah menawan balik penakluk mereka yang kasar....” tulis penyair Romawi, Horace.

Di antara orang Yunani yang dibawa ke Roma itu adalah, Padacius Dioscorides, ahli pengobatan di abad ke 1 SM. Dia menghabiskan sebagian hidupnya sebagai dokter bagi imperium Romawi. Salinan pertama dari buku Deoscorides terbit tahun 70 M berjudul Materia Medica yang menjadi kitab pengobatan herbal pertama di dunia.

Buku ini sangat terkenal hingga ke abad pertengahan, dan sudah diterjemahkan ke dalam beragam bahasa di dunia.

Kisah di atas mengingatkan saya pada negara jiran kita, Malaysia. Dulu negara ini jauh dari maju. Namun tak berapa lama mampu berdiri sejajar bahkan di atas negara-negara lain, setelah pemerintahnya sangat memperhatikan pendidikan.

Bermula ketika booming minyak di era 1970-an, saat itu sebagai mana Indonesia, uang hasil ekspor minyak mulai mengalir deras masuk ke negara ini. Derasnya petrodollar tersebut mereka anggarkan untuk merancang pembangunan ke depan; Malaysia memilih membangun pendidikan dengan segala kemudahan yang diberikan kepada masyarakatnya.

Banyak putra terbaiknya disekolahkan ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Selain itu, di dalam negeri sendiri anggaran pendidikan diperbesar (hingga mencapai 26 persen dari APBN), beasiswa diperbanyak, program buku gratis diberikan (tiap mahasiswa dapat RM 200 per orang atau setara dengan Rp 580.000), belu lagi bantuan untuk sains dan teknologi.

Hasilnya? Tak perlu menunggu terlalu lama, bagi mereka memiliki sarjana-sarjana tangguh hingga profesor. Mereka inilah yang kemudian mengisi pembangunan di negaranya, hingga terlecut maju.

Saya beberapa tahun lalu sempat berbincang dengan psikolog kondang negeri ini, kini sudah meninggal, katanya saat dia kuliah di dulu, tak ada yang mau dekat dengan mahasiswa dari Malaysia. ”Mereka sering diolok-olok sebagai ‘manusia pohon’,” kisahnya.

Namun, itu dulu. Saat ini, pendidikan di Malaysia maju dan berkembang pesat. Kondisipun berbalik, kini Malaysia menjadi tujuan bagi banyak bangsa di Asia, terutama Indonesia, sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan.

Malaysia pun mampu membuktikan sama majunya dengan masyarakat dunia maju lainnya. ”Kami saat ini memang masih tinggal di pohon, tapi naiknya pakai lift,” seloroh Aziz, mahasiswa Malaysia yang saya temui akhir tahun lalu di Kuala Lumpur.

Mahasiswa program Master yang mengambil Jurusan Riset Telekomunikasi ini berkisah, himgga saat ini pemerintah Malaysia terus menggalakkan keilmuan dengan jargon, ”Siapa yang pandai akan berjaya. Di sini sekolah nomor satu,” sebutnya.

Karena itulah, Aziz menolak tawaran kerja setamatnya menempuh S1. Ayahnya ingin dia ambil master bahkan doktor. Di Malaysia, asal tamat kuliah, tak perlu khawatir tak bisa bekerja. Mengapa? Karena memang untuk bisa kuliah sudah diseleksi dengan ketat. Apalagi yg bisa ambil doktor. ”Sijilnya sudah diiktiraf sampai luar negara. Intinya diakui. Kesejahteraan pengajar-pengajar di sini juga terjamin,” jelasnya.

Yang menarik, para sarjana Malaysia, khususnya lelaki, lebih gampang dapat pekerjaan daripada wanita. Hal ini tak ada hubungannya dengan gender. Pasalnya, sarjana wanita di Malaysia lebih banyak dari lelaki. Sehingga penerimaan mereka sangat ketat.

Kemudian saya bertanya, kanapa dia tak langsung saja bekerja sembari kuliah? Aziz tersenyum. Menurutnya, sebenarnya saat ini pun dia sudah digaji yang dia dapat dari hasil ”studinya” sebagai saintis untuk meneliti sistem baru dalam bidang fiber optic telekomunikasi. ***

Senin, 02 April 2012

Rasis 2

Ras yang tak kalah mengalami perilaku rasisme adalah orang kulit hitam. Dalam hal ini Afro-Amerika.

Orang kulit hitam tiba di Amerika sekitar tahun 1600-an, sudah berstatus sebagai budak. Di Brazil saja tercatat 5 juta orang yang ditawan lalu dijadikan budak.

Dalam buku Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Mengubah Peradaban Manusia disebut, mereka diseret dari Afrika untuk meningkatkan pertumbuhan industri komoditas pertanian, khususnya serat ganja untuk dijadikan tekstil, tali temali dan kain layar, di ”dunia baru” tersebut.

Sekilas mengulas ke belakang, praktik perbudakan ini sudah dilakukan manusia sejak lama. Pada masyarakat Romawi kuno misalnya, masyarakatnya disusun secara hierarkis yang terdiri dari tiga kelas utama yakni budak (servi), bekas budak yang dibebaskan (liberti), dan orang yang lahir merdeka (cives).

Masyarakat merdeka ini masih terdiri dari dua kelas, patriarchs atau yang masih memiliki garis keturunan dengan para pendiri Roma, serta plabeians yang tidak memiliki atau tak dapat menelusuri garis keturunannya.

Sedangkan di Amerika Serikat, terdapat dua sistem perbudakan yang dominan, yaitu sistem tugas (task system) dan sistem gang (gang system).

Meski sama-sama mempraktikkan perbudakan, namun orang kulit hitam lebih menyukai sistem tugas karena masih dapat memperoleh uang tambahan. Selanjutnya, dengan uang tambahan itu, mereka bisa membeli kebebasannya.

Beda dengan sistem gang. Budak-budak ini bekerja berkelompok dijaga seorang pengawas atau driver yang bertugas memberi hukuman fisik dan memastikan budak budak itu bekerja sekeras mungkin.

Orang kulit hitam ini dipilih, karena dinilai lebih memahami tanaman ganja dari pada ras lain. Budak kulit hitam ini kemudian ditempatkan di lahan pertanian yang tersebar di amerika serikat bagian selatan, seperti Kentucky dan Virginia, dan jumlahnya terus meningkat..

Pada perang saudara amerika tahun 1865, sekitar 4 juta warga kulit hitam ikut berperang bersama orang kulit putih, mendapatkan kebebasan mereka dari perbudakan dari Presiden Abraham Lincoln. Selapas ini, berhembuslah peraturan berbau rasis.

Meningkatnya jumlah warga kulit hitam ini dianggap membebani perekonomian negara, hingga populasinya perlu dikontrol, salah satunya dengan opini negatif di media.

Praktik rasisme ini dapat dilihat pada kasus ”lyching”. Orang orang Afro-Amerika ini diposisikan sangat rendah. Lyching sendiri adalah, pelaksanaan eksekusi ilegal di luar pengadilan bagi seseorang (khususnya kulit hitam) yang dituduh melakukan tindak kejahatan oleh sekelompok penegak hukum ”informal”.

Akibat praktik kebencian rasial lyching ini, antara tahun 1884-1900, membuat lebih 3.500 warga kulit hitam tewas.

Kebanyakan korban dibunuh hanya gara-gara menatap atau dituduh menatap wanita kulit putih sebanyak dua kali, menatap mata pria kulit putih lebih 3 detik, dan tidak pindah ke belajang antrean umum. Yang paling konyol, gara-gara menginjak bayangan orang kulit putih.

Lyching sendiri, sebenarnya diambil dari nama Charles Lynch (1736-1769) seorang hakim di Virginia yang sering melakukan pengadilan jalanan.

Pada tahun 1880 rasisme Amerika kian luas dengan diberlakukannya hukum Jim Crow yang berlaku hingga tahun 1960-an. Ini merupakan sistem segregasi atau pemisahan orang kulit hitam dan kulit putih, termasuk saat duduk. Dan ini berlaku di Tennessee, Florida, Mississipi dan Texas.

Bahkan di Alabama, orang kulit putih dan kulit hitam dilarang main catur bersama. Sementara di seantero Amerika perkawinan antara kulit hitam dan kulit putih, dilarang.

Dalam dunia seni, juga ada aturan ”Blackface”. Di mana seniman kulit hitam harus memakai cat hitam di mukanya, saat tampil di depan orang kulit putih.

Tak hanya sampai di sini, tanggal 24 Desember 1865, Ku Klux Klan (KKK) dikenal juga sebagai ”The Klan”, sebuah kelompok rasis ekstrem di Amerika berdiri. Mereka mengklaim bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik dan berjuang memberantas kaum kulit hitam dan minoritas di AS seperti Yahudi, Asia, dan Katolik Roma. Terlalu!

Sabtu, 31 Maret 2012

Rasis 1

Tak ada suku yang diperlakukan begitu buruk oleh pendatang, selain suku Indian Amerika. Mereka ditindas, diusir, dibunuh bahkan dibersihkan etnisnya dari tanahnya sendiri.


Indian, yang dikenal sebagai penduduk asli Amerika itu sebenarnya juga imigran. Mereka berasal dari suku-suku Mongolia yang hidup di padang rumput luas, bagian timur Laut Siberia.

Karena sulitnya kehidupan akibat perubahan iklim yang tak menentu, maka kira-kira 20-30 ribu tahun lalu, mereka menyebrang ke Amerika melalui selat Bering yang membeku dan menyebar, hingga ketika Colombus tiba, jumlah penduduk asli ini sekitar 15 juta orang.

Sedangkan orang Eropa sendiri, khususnya Portugal dan Spanyol , menemukan Amerika sekitar tahun 1400-an. Hal ini dipicu ketika orang-orang Eropa sangat terobsesi menemukan jalur baru ke India untuk mendapatkan rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, dan lada yang dibawa dari India.

Sebenarnya, jalur ke India ini sudah terbentuk sejak 1 Masehi ketika imperium Romawi menaklukkan Aleksandria, yakni melalui Laut Tengah. Namun jalur dagang ini dikuasai Italia.

Akhirnya, Spanyol dan Portugis mengutus Colombus, penjelajah Italia, untuk mencari jalur baru ke India. Tahun 1492 Colombus berankat ke barat, hingga menemukan pulau di benua baru yang dia sangka bagian dari India.

Inilah mengapa dia menyebut penduduk aslinya dengan ”Indio“ atau ”Indian”. Namun kemudian, Amerigo Vespucci menemukan bahwa benua baru itu bukan bagian India, yang kemudian benua tersebut dinamakan sesuai namanya, Amerigo, ”Amerika”.

Dari sinilah benua Amerika kemudian ramai didatangi orang-orang kulit putih, baik penjelajah, penjarah, maupun pelarian. Dari sini jugalah penderitaan suku Indian bermula.

Yang paling kejam dialami suku Indian di Amerika Selatan. Hernando Cortez yang dikenal sebagai Penakluk Meksiko, telah membantai peradaban Indian Aztec. Cortez yang datang dengan 11 kapal, 110 kelasi, 553 tentara (13 senjata api genggam, 32 busur panah, 10 meriam berat, 4 meriam ringan dan 16 ekor kuda), pada tahun 1519 mendarat di Amerika Selatan.

Cortez saat itu menuju Cholula, kediaman penguasa Aztec Montezuma II. Di sana dia melakukan penjagalan besar-besaran. Montezuma diangkap, emasnya dijarah. Setelah peradaban Aztek di Meksiko ini musnah, Francisco Pizzaro yang datang beberapa tahun setelahnya, memusnahkan peradaban Inca di Peru.

Pizzaro mendarat di Peru september 1532, dengan membawa 177 orang dan 62 kuda dia mendaki pegunungan Andes, dengan tujuan kota Cajamarca, tempat penguasa Inca-Atahualpa yang punya kekuatan 14 ribu prajurit.

Pizzaro sampai di sana tangal 15 November, dia langsung membantai 10 ribu orang Inca hanya dalam tempo singkat: 30 menit! Wajarlah bila Pizzaro disebut penakluk Spanyol yang licik, serakah dan paling brutal yang pernah dicatat dalam sejarah.

Tak hanya di Meksiko dan Peru, suku Indian Arawak dan Indian Taino yang mendiami Jamaica, sejak tahun 1.000 SM, juga dibantai hingga punah. Tak satupun keturunan kedua suku tersebut yang tersisa di Jamaika.

Dari tahun 1502-1525 spanyol melakukan pembersihan etnis secara sistematis terhadap kedua suku ini. Sehingga ketika Jamaika diambil alih Inggris melalui perang tahun 1655, penduduk asli tersebut sudah tak ada lagi. Yang ada hanya para budak dari Afrika yang dibawa orang-orang Spanyol.

Di Amerika Serikat sendiri, nasib suku Indian juga tak kalah pahit. Meski tak setragis nasib saudaranya di Amerika Selatan. Peristiwa rasial yang paling terkenal ketika tahun 1848, terjadi demam emas di Kalifornia.

Orang-orang kulit putih pun banyak menyerbu Kalifornia, dan menyebabkan orang-orang Indian di daerah tersebut seperti suku Cherokee, Apache, Sioux, Comache, diusir dan dikurung di penampungan bagian barat Florida. Banyak orang Indian yang mati terbunuh dalam peristiwa ini.

Arsitek di balik pengusiran ini adalah Presiden Andrew Jackson. Saking kejamnya, orang Indian menyebut Andrew sebagai ”Si Pisau Tajam”. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Trail of Tears.

Jumat, 30 Maret 2012

BBM dan Depresi Besar

Beberapa hari lalu, saya membaca twit Gunawan Muhammad tentang pengalamannya di tahun 1980-an, kala bertemu Prof Wijoyo, Menko Ekuin waktu itu.

Gunawan berkisah, saat itu Prof Wijoyo pernah bilang kepadanya, bahwa sebenarnya lebih baik kalau kita tak punya minyak. ”Saya bingung. Waktu itu uang hasil ekspor minyak mulai mengalir deras masuk. Kenapa lebih baik tak punya minyak?” twitnya.

Widjojo pun menjelaskan, bahwa derasnya petrodollar masuk membuat pejabat-pejabat kita tak hati-hati dalam merancang anggaran pembangunan ke depan.

Menurut @gm_gm, demikian akun twitter budayawan ini, saat itu memang mulai tampak royalnya pimpinan Pertamina, Ibnu Sutowo dan lain-lain, membelanjakan uang dan investasi di mana-mana dari hasil booming minyak bumi ini. Pertamina juga hampir bikin perusahaan apa saja.

Pun demikian, petrodolar juga jadi sumber korupsi dan kemewahan pribadi pejabat-pejabat. Anggaran pendapatan negara tak didukung oleh sumber yang awet dan membangun partisipasi orang banyak: misalnya pajak.

Karena itulah, papar Gunawan, dia setuju subsidi bahan bakar minyak (BBM) dikurangi dan dana yang semula untuk itu, diinvestasikan buat kembangkan sumber tenaga yang bersih dan murah

”Saya jadi ingat kata-kata Pak Widjojo, orang yang tak suka pemborosan dan kemewahan itu. Tanpa minyak bumi, kita cari sumber energi baru,” pungkas Gunawan.

Bangsa ini (baca petinggi negeri) pernah sangat keenakan oleh buaian keuntungan ekspor minyak bumi dekade 1970-an, ekonomi tumbuh tanpa ditunjang dengan antisipasi yang tepat bila suatu ketika sumber daya tersebut habis.

Malah untuk mempertahankan ”keenakan ini” yang dilakukan pemerintah malah mengucurkan subsidi. Wajar saja bila krisis ekonomi dan politik selalu saja terjadi seiring naiknya harga BBM ini.

Mestinya kita belajar pada peristiwa great depression (depresi besar) di Amerika, yang juga dipicu lalainya antisipasi yang tepat oleh pemerintah, kala negara tersebut sangat menikmati keuntungan oleh ekspor peralatan perang ke Eropa, saat meletusnya Perang Dunia I yang pecah tahun 1914.

Kondisinya mirip saat Indonesia dilanda booming minyak bumi. Saat itu distribusi kekayaan antara kelas menengah dan kaya Amerika, antara pertanian dan industri di Amerika, dan antara Eropa dan Amerika, sangat tidak merata.

Hingga setelah perang berakhir tahun 1918, Eropa yang mengalami penurunan ekonomi, menahan laju impor sehingga berdampak pada dipresi ekonomi Amerika serikat atau disebut Zaman Malaise. Selama 10 tahun (1929 1939) ekonomi Amerika terjungkal sampai dasar.

Prahara ini dimulai dari ambruknya pasar bursa Wall Street atau dikenal dengan julukan Black Thursday (Kamis Hitam) yang merupakan awal terjadinya keruntuhan pada bursa dan Black Tuesday (Selasa Hitam) yaitu saat kehancuran terjadi yang membuat panik hingga lima hari setelahnya.

Akibatnya, pengangguran meningkat, banyak bank kolaps, bahkan raja media Amerika kala itu, William Randolph Hears yang memiliki 25 surat kabar, menciut hingga 17 saja yang bertahan.

Hingga kemudian Presiden AS kala itu, Franklin D Roosevelt yang memerintah tahun 1933-1945, mengambil langkah penyelamatan ekonomi. Dia berpikir, negara harus terlibat secara aktif dalam ekonomi. Presiden juga membangkitkan proyek pekerjaan umum, menawarkan pekerjaan pada pengangguran dengan uang pemerintah.

Roosevelt juga memperbaiki kebijakan konstruksi untuk mendirikan dan mebangkitkan lagi industri pertanian. Memperbaiki kebijakan bantuan untuk membantu pekerja, orang miskin dan orang kulit hitam.

Jurus inilah yang membuat keadaan ekonomi Amerika membaik. Karena itulah, Roosevelt dikenal sebagai bapak penyelamat Ekonomi Amerika. Wajahnya dipahat di Gunung Rushmore, bersama George Washington (presiden pertama, pendiri Amerika), Thomas Jefferson (presiden ke III, yang melebarkan tanah Amerika), dan Abraham Lincoln (presiden ke 16, yang memimpin kemenangan atas perang saudara Amerika dan pembebas perbudakan).

Depresi besar ini berakhir, saat Perang Dunia II meletus, kala Jerman menyerang Polandia tahun 1939. Sama seperti saat Perang Dunia I, Amerika lagi-lagi menangguk keuntungan dari Perang Dunia II, dengan mengekspor perlengkapan perang.

Hasilnya, ekonomi Amerika mengalami booming besar, hingga setelah perang berakhir. Masalah pengangguran pun terpecahkan, akibat banyaknya warga Amerika yang mengisi ”lowongan pekerjaan”, baik sebagai penyuplai bisnis pertahanan atau tentara.

Namun untuk kali yang kedua ini, Amerika sudah sangat menjaga agar depresi besar tak terulang lagi. Dengan ekspor peralatan perang inilah, Amerika kini selain tetap bisa menikmati keuntungan berlimpah, juga menempatkannya sebagai polisi dunia.

Jumat, 23 Maret 2012

Nasib yang Diubah oleh Buku

Banyak yang mengatakan, bahwa peradaban kita saat ini akan lebih maju lagi andai manusia zaman dahulu bisa menghargai buku.

Adalah perpustakaan Alexandria di Mesir yang memiliki koleksi buku terlengkap akan ilmu pengetahuan. Di saat Mesir mengalami penaklukan, di saat itu juga perpustakaan ini dibakar.

Pembakaran pertama tak sengaja dilakukan Julius Caesar, tahun 48 SM, namun masih ada yang tersisa. Pembakaran kedua dilakukan Kaisar Theodosius tahun 391 Masehi. Juga masih ada yang tersisa.

Hingga akhirnya ketika tahun 642 Masehi, saat Mesir ditaklukkan Amr ibn al Aas, perpustakaan ini kembali dibakar. Kali ini tak ada yang tersisa. Buku-buku seperti hasil penelitian bidang optik dan astronomi, rumus-rumus matematika dan geografi, ludes.

Laju ilmu pengetahuan pun tersendat. Butuh 400 tahun bagi manusia untuk kembali mendapatkan ”ilmu yang hilang” itu, dengan menyalin kembali ilmu pengetahuan dari Yunani.

Kemajuan itu tumbuh dari Andalusia, Spanyol pada abad ke 11. Para ahli bermunculan, buku-buku banyak diterbitkan, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, arsitektur, filsafat, medis, geografi musik dan kesenian, bahasa dan sastra pun diraih.

Ilmu pengetahuan ini kian berkembang setelah Baghdad, ibu kota bani Abbasyah, negara super power kala itu menjadikan buku sebagai ”panglima”. Di sini budaya literasinya sangat maju. Karenanya banyak dibangun maktabah-maktabah (perpustakaan) besar. Yang terkenal dan terbesar adalah adalah Bait al Hikmah, perpustakaan yang memiliki koleksi lengkap.

Para terpelajar dan orang kaya di Baghdad kala itu, bangga bila punya koleksi buku yang banyak dan bermutu. Pernah seorang dokter diundang Sultan di Bukhara untuk tinggal di istananya. Ia menolak, sebab untuk mengangkut bukunya perlu 400 unta.

Namun, dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukan Hulagu Khan, Mongol pada tahun 1258. Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris, hingga airnya menjadi hitam oleh tinta.

Selain itu, banyak juga buku yang dibakar hingga apinya konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad. Sungguh pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah.

Selepas ini, kembali laju ilmu pengetahuan tersendat. Butuh ratusan tahun lagi manusia mencapai keberhasilan dalam ilmu pengetahuan, tepatnya abad 15-16, masa Renaissan berhembus di Eropa, yang sebelumnya didorong oleh kemajuan di Andalusia. Sejak era ini, buku-buku ilmu pengetahuan dilestarikan. Sehingga pembaharuannya tak putus hingga saat ini.

Di Indonesia sendiri juga pernah mengalami era di saat buku-buku yang dinilai menyimpang dibakar, sehingga catatan sejarah perjalanan bangsa ini banyak hilang. Tepatnya di era Orde Baru.

Kita pun kesulitan, apalagi bila ingin belajar sejarah kaum Tionghoa di Indonesia, karena banyak buku-buku tersebut dihancurkan.Ada juga yang dibakar sendiri oleh warga Tionghoa karena ketakutan bila ketahuan tentara rezim Orde Baru.

Padahal sebelum era Orde Baru, ilmu pengetahuan di Indonesia cukup dinamis. Tokoh-tokoh pendahulu kita kala itu sangat menghargai buku. Mereka bersatu dengan buku, juga bertentangan dengan buku. Mereka pembaca buku dan penulis. Kesadaran mereka dibimbing oleh buku yang mereka baca.

Sebuah buku Suara di Balik Prahara, Berbagi Narasi tentang Tragedi 65, menulis, di tahun 1962-1965, Indonesia sempat memanas oleh persaingan antar kelompok. Uniknya, mereka merayakan perbedaan pandangannya dengan tulisan baik buku dan di surat kabat.

Sampai-sampai waktu itu, koran koran terbagi jadi tiga kelompok. Ada kelompok kiri, tengah dan kanan. Intinya kala itu, yang kiri berhaluan Marxis yang kanan berhaluan Islam, yang tengah, inilah yang tak bisa ditebak.

Pertentangan ini dipicu salah satunya oleh pidato Bung Karno tanggal 17 agustus 1969 yang berjudul, The Rediscovery of Our Revolution. Sehingga menyulut pertentangan politik antara yang revolusioner dan kontra revolusioner.

Terjadi persaingan publik antara partai murba dan Partai Komunis Indonesia. Keduanya memang kiri, tapi berbeda. Murba dasarnya adalah Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog). Sedangkan PKI dasarnya Materialisme, Dialog dan History.

Di bidang budaya dan sastra terjadi pula persaingan antara kelompok Islam dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kelompok Islam diwakili oleh Hamka, sedangkan Lekra diwakili oleh Pramodya Anantatoer.

Buku memang mampu mengubah nasib bangsa. Hal ini juga terjadi di Amerika, kala era-era kemerdekaanya dulu. Saat itu warga Amerika terpecah, ada yang masih setia pada Inggris, ada yang tidak. Kaum penentang ini kemudian dicap menghianati Inggris, sebagai kampung halamannya.

Hingga akhirnya pada tahun 1776, terbit buku Thomas Paine, Common Sense. Buku ini mengatakan, bahwa kebebasan benua baru harus melepaskan diri dari dominasi pulau Inggris yang kecil yang diperintah raja. Hasilnya, pandangan warga Amerika berubah. Suasana pertentangan akan kemerdekaan, kini menjadi persetujuan. ***

Sabtu, 10 Maret 2012

Melukis, eh... Memasak

Memasak itu ibarat melukis. Bumbu boleh sama, namun dengan keahlian seorang koki profesional, makanan bisa diolah sedemikian rupa menjadi santapan yang lezat. 
 

Mengapa saya umpamakan dengan melukis? Perhatikan saja saat orang melukis. Bahan dasar atau sebut saja warna, bisa itu itu saja. Namun dengan keahlian tertentu, aneka warna itu bisa dibikin sebuah lukisan nan menawan. Bahkan di tangan seorang maestro, warna hitam putih saja, bisa dibuat lukisan yang menarik.

Mungkin kita pernah mendengar nama Pablo Diego Jose Fransisco de Paula Juan Nepumoceno Maria de los Ramedios Cipriano de la Santisima Trinaidad Ruiz y Picasso, ah sebut saja Pablo Picasso. Pria yang lahir pada 25 oktober 1881 dan meninggal 8 april 1973 ini, dikenal orang dengan lukisan abstraknya. Lukisan spektakulernya yang paling terkenal di kalangan awam adalah Studio with A Plaster Head.

Pengertian orang akan lukisan abstrak ini berbeda-beda. Bagi yang paham akan tampak sebagai karya yang indah. Tapi bagi yang tak paham, akan disangka coretan ngawur tanpa makna. Lukisan abstrak memang terkesan asal-asalan. Hanya orang yang mengerti akan seni yang bisa menikmatinya.

Di dunia ini, lukisan Picasso bernilai tinggi. Yang paling murah bernilai jutaan dolar. Ada satu coretan kuda yang dibuatnya beberapa detik dengan spidol dari di kertas yang disobek dari katalog, mendapat nilai 20 ribu pound atau sekitar rp300 juta! 

Hanya coretan saja, ratusan juta dibeli orang. Karenanya ada hal yang menarik, saya baca inidi buku Wimar Witoelar, Still More About Nothing, katanya kalau Picasso makan di restoran, ia tak perlu bayar. Tinggal tanda tangan di kertas tissue, maka si pemilik restoran akan sangat senang sekali.

Sama halnya dengan masakan. Bahan boleh tahu tempe, namun di tangan seorang koki yang andal, bisa menjelma jadi pepes atau baceman. Bahkan ampasnya pun bisa diolah jadi makanan yang mantap. 

Contoh lain, telur pun bisa dijadikan aneka kreasi. Bisa mata sapi, dadar, orak arik, rebus matang atau setengah matang, dan lain sebagainya.

Bahkan saat makan di rumah makan padang, tak perlu pakai lauk yang mewah mewah. Cukup kuahnya saja plus nasi, sudah sedap. 

Demikian juga di kampung saya dulu, orang biasa makan dengan garam dan cabe lalu diulek sedemikian rupa. Ya, enak juga. 

Mengapa begitu? Dari sini diketahui, Karena sebenarnya yang bikin masakan enak itu bukan ikan atau daging, tapi bumbu. Bumbu itu merupan padu-padan dari rempah-rempah. Sedangkan di negara kita ini kaya akan rempah. Sampai sampai menarik orang orang Eropa untuk menguasi negeri ini.

Karena itulah,  sebenarnya Indonesia ini tak akan pernah kelaparan. Ketahanan pangan kita sangat kuat, karena di sini kaya akan bumbu (juga ikan dan sayuran).

Tinggal melatih bagaimana agar orang-orangnya kreatif dan variatif dalam memadukan bumbunya. Sehingga bahan makanan sederhana pun bisa diolah menjadi masakan yang lezat bin maknyus binti mantap.

Kamis, 08 Maret 2012

Sambal

”Apa bahasa Inggrisnya sambal?” tanya seorang kawan. Sore itu, di Surabaya, dua orang tengah berbincang serius tentang sambal.



”Hot chili!” jawab lawan bicaranya. Namun, jawaban ini langsung disambar dengan bantahan. ”O bukan... sambal is sambal. Sambal bukan chili, karena sambal tak hanya chili,” jelasnya.

Yang menjawab itu adalah pak Ali, ahli tataboga Surabaya. Dia adalah mantan F&B Manager sebuah hotel berbintang 5 di kota buaya itu. Sedangkan saya, kala itu hanya menguping. Kayaknya menarik juga mendengar mereka membahas dunia ”persambalan” ini.

Maklum selama ini saya hanya bisa melahap, tanpa mampu mengkritisi tentang apa dan bagaimana sambal ini. Tampaknya sihir sambal telah melumpuhkan naluri kewartawanan saya yang biasanya selalu menyerang dengan senjata ”why?”

Oke, kembali lagi ke penjelasan Pak Ali. Dia berkisah, sekitar tahun 2003 lalu pernah menggelar seminar sambal. ”Rupanya banyak yang tertarik juga,” jelasnya.

Seminar ini langsung dilanjut dengan lomba meracik sambal paling enak antar kecamatan di Surabaya. Pesertanya membludak, karena wali kota di sana menginstruksikan agar tiap kecamatan ikut serta.

Hasilnya, ditemukan rasa sambal yang beragam. ”Yang kasihan jurinya. Lidahnya panas (pedas) akibat sering icip-icip,” jelas Ali. Bayangkan saja, tiap kecamatan masing-masing menyajikan tiga jenis sambal, jadi jumlahkan sendiri banyaknya.

Mengapa hanya tiga? Setelah ditelusuri, awalnya jenia sambal itu memang hanya tiga ”mahzab”. Masing-masing sambal terasi, sambal tomat, dan sambal bajak.

Dari sinilah muncul variasi-variasi rasa lain, dengan menambahkan sedikit bumbu ini dan itu sesuai karakteristik daerah masing-masing.

Berdasar inilah, mengapa sambal berbeda dengan chili sauce. Beda sekali. ”Sambal is sambal, titik,” katanya.

Sambal bukan mayonaise pada salad atau petis kacang pada rujak dan sejenisnya. Itu dalam dunia makanan dikenal sebagai dresser. Disebut demikian karena hanya cocok untuk satu makanan tertentu saja. ”Dan yang pasti, dresser tak boleh pedas,” jelasnya.

Sedangkan sambal adalah padanan tersendiri. Karena sambal memiliki fungsi yang cocok untuk segala macam makanan, mulai sayur hingga ikan. Bahkan makan nasi saja sudah enak dengan sambal.

Sambal bagi masyarakat Indonesia merupakan final touch, artinya masakan boleh beragam, namun tetap saja harus ada sambal. Karena awalnya fungsi sambal adalah penyeimbang rasa, akibat makanan pokok kita, nasi, tanpa rasa.

Nah, ternyata bermulanya dari sini. Karena nasi yang tanpa rasa itulah, di Indonesia muncul aneka masakan atau resep lauk pauk nan maknyus. Kaya sekali. Tujuannya untuk menyeimbangkan rasa nasi yang tawar tadi.

Beda dengan orang Eropa, yang makanan pokoknya adalah kentang atau daging. Daging dan kentang sudah memiliki rasa tersendiri. Kentang misalnya, rasanya sudah manis. Maka itu mereka mencari penyeimbang yang sedikit hambar, cukup sayuran rebus, atau roti.

Kadang sedikit dresser berupa krim mayonaise, saus tomat dan sapuan keju (dairy). Hanya itu ke itu saja. Jadi jangan heran bila masakan Eropa kurang variatif, karena makanan pokoknya sudah berasa.

Hanya di Indoensialah nasi dimakan apa adanya. Tawar. Makanya perlu penyeimbang yang beraneka rasa.

Bila melihat di negara-negara Asia tengah, nasi sudah dimakan dengan bumbu, seperti nasi bariani atau kebuli. Bahkan dari India ke barat, nasi sudah diolah menjadi tepung yang tentu saja disajikannya dengan dicampur sedikit penyedap. Maka itu, mereka tak memerlukan sambal lagi sebagai final touch-nya.