Jumat, 30 Maret 2012

BBM dan Depresi Besar

Beberapa hari lalu, saya membaca twit Gunawan Muhammad tentang pengalamannya di tahun 1980-an, kala bertemu Prof Wijoyo, Menko Ekuin waktu itu.

Gunawan berkisah, saat itu Prof Wijoyo pernah bilang kepadanya, bahwa sebenarnya lebih baik kalau kita tak punya minyak. ”Saya bingung. Waktu itu uang hasil ekspor minyak mulai mengalir deras masuk. Kenapa lebih baik tak punya minyak?” twitnya.

Widjojo pun menjelaskan, bahwa derasnya petrodollar masuk membuat pejabat-pejabat kita tak hati-hati dalam merancang anggaran pembangunan ke depan.

Menurut @gm_gm, demikian akun twitter budayawan ini, saat itu memang mulai tampak royalnya pimpinan Pertamina, Ibnu Sutowo dan lain-lain, membelanjakan uang dan investasi di mana-mana dari hasil booming minyak bumi ini. Pertamina juga hampir bikin perusahaan apa saja.

Pun demikian, petrodolar juga jadi sumber korupsi dan kemewahan pribadi pejabat-pejabat. Anggaran pendapatan negara tak didukung oleh sumber yang awet dan membangun partisipasi orang banyak: misalnya pajak.

Karena itulah, papar Gunawan, dia setuju subsidi bahan bakar minyak (BBM) dikurangi dan dana yang semula untuk itu, diinvestasikan buat kembangkan sumber tenaga yang bersih dan murah

”Saya jadi ingat kata-kata Pak Widjojo, orang yang tak suka pemborosan dan kemewahan itu. Tanpa minyak bumi, kita cari sumber energi baru,” pungkas Gunawan.

Bangsa ini (baca petinggi negeri) pernah sangat keenakan oleh buaian keuntungan ekspor minyak bumi dekade 1970-an, ekonomi tumbuh tanpa ditunjang dengan antisipasi yang tepat bila suatu ketika sumber daya tersebut habis.

Malah untuk mempertahankan ”keenakan ini” yang dilakukan pemerintah malah mengucurkan subsidi. Wajar saja bila krisis ekonomi dan politik selalu saja terjadi seiring naiknya harga BBM ini.

Mestinya kita belajar pada peristiwa great depression (depresi besar) di Amerika, yang juga dipicu lalainya antisipasi yang tepat oleh pemerintah, kala negara tersebut sangat menikmati keuntungan oleh ekspor peralatan perang ke Eropa, saat meletusnya Perang Dunia I yang pecah tahun 1914.

Kondisinya mirip saat Indonesia dilanda booming minyak bumi. Saat itu distribusi kekayaan antara kelas menengah dan kaya Amerika, antara pertanian dan industri di Amerika, dan antara Eropa dan Amerika, sangat tidak merata.

Hingga setelah perang berakhir tahun 1918, Eropa yang mengalami penurunan ekonomi, menahan laju impor sehingga berdampak pada dipresi ekonomi Amerika serikat atau disebut Zaman Malaise. Selama 10 tahun (1929 1939) ekonomi Amerika terjungkal sampai dasar.

Prahara ini dimulai dari ambruknya pasar bursa Wall Street atau dikenal dengan julukan Black Thursday (Kamis Hitam) yang merupakan awal terjadinya keruntuhan pada bursa dan Black Tuesday (Selasa Hitam) yaitu saat kehancuran terjadi yang membuat panik hingga lima hari setelahnya.

Akibatnya, pengangguran meningkat, banyak bank kolaps, bahkan raja media Amerika kala itu, William Randolph Hears yang memiliki 25 surat kabar, menciut hingga 17 saja yang bertahan.

Hingga kemudian Presiden AS kala itu, Franklin D Roosevelt yang memerintah tahun 1933-1945, mengambil langkah penyelamatan ekonomi. Dia berpikir, negara harus terlibat secara aktif dalam ekonomi. Presiden juga membangkitkan proyek pekerjaan umum, menawarkan pekerjaan pada pengangguran dengan uang pemerintah.

Roosevelt juga memperbaiki kebijakan konstruksi untuk mendirikan dan mebangkitkan lagi industri pertanian. Memperbaiki kebijakan bantuan untuk membantu pekerja, orang miskin dan orang kulit hitam.

Jurus inilah yang membuat keadaan ekonomi Amerika membaik. Karena itulah, Roosevelt dikenal sebagai bapak penyelamat Ekonomi Amerika. Wajahnya dipahat di Gunung Rushmore, bersama George Washington (presiden pertama, pendiri Amerika), Thomas Jefferson (presiden ke III, yang melebarkan tanah Amerika), dan Abraham Lincoln (presiden ke 16, yang memimpin kemenangan atas perang saudara Amerika dan pembebas perbudakan).

Depresi besar ini berakhir, saat Perang Dunia II meletus, kala Jerman menyerang Polandia tahun 1939. Sama seperti saat Perang Dunia I, Amerika lagi-lagi menangguk keuntungan dari Perang Dunia II, dengan mengekspor perlengkapan perang.

Hasilnya, ekonomi Amerika mengalami booming besar, hingga setelah perang berakhir. Masalah pengangguran pun terpecahkan, akibat banyaknya warga Amerika yang mengisi ”lowongan pekerjaan”, baik sebagai penyuplai bisnis pertahanan atau tentara.

Namun untuk kali yang kedua ini, Amerika sudah sangat menjaga agar depresi besar tak terulang lagi. Dengan ekspor peralatan perang inilah, Amerika kini selain tetap bisa menikmati keuntungan berlimpah, juga menempatkannya sebagai polisi dunia.

Tidak ada komentar: