Jumat, 23 Oktober 2009

Ketika Wartawan Pulang Kampung

Jangan kaget bila membaca isi blog saya edisi bulan Oktober ini, semuanya menceritakan pengalaman saat pulang kampung. Kadang serius, kadang juga jenaka. Semua tulisan ini rencananya akan saya rangkum dalam sebuah buku, berjudul Ketika Wartawan Pulang Kampung.


Adapun tokoh-tokoh utama dalam tulisan ini adalah, Abdul Basit, Kadir, Pik-Pik dan Ratna.

Sebenarnya saya ingin membuat buku yang agak wah-wah, semisal ngomongin jurnalistik, komunikasi dan sebagainya. Namun saya rasa, hal tersebut sudah terlalu banyak dilakukan. Toh, teorinya gitu-gitu saja, banyak copy paste dari ahli zaman purba yang sudah mati.

Lagi pula, saya memandang saya belumlah sehebat itu.

Menurut saya, berpikir hebat, berpikir besar, tak harus mahal dan wah. Termasuk dalam ide membuat buku ini.

Maka itulah, saya memilih topik sesederhana ini. Idenya segar dan original. Di sini juga sekaligus saya ingin menegaskan, bahwa kesejatian seorang wartawan itu adalah menulis.

Menulis apa saja, tak terkecuali pengalaman pribadi. Menulis tanpa pamrih, menulis tanpa mengharap puja puji, menulis tanpa mengharap amplop, menulis tanpa harus menargetkan award apa yang akan saya dapat atau tidak.

Menulislah, karena itu bagian dari sejarah.


Komplen Sekumpulan Anak Muda

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya menerima Komplen Sekumpulan Anak Muda soal pemberitaan Media Bawean.




Sabtu, 3 Oktober, Tiga anak-anak muda usia belasan, datang bertandang ke rumah. Saya melihat, seorang di antaranya sangat resah. Hal ini bisa saya tangkap dari bahasa tubuhnya. Matanya tak terarah, tubuhnya gelisah. Begitulah.

Semula, mereka bersilaturahmi, ngucapkan selamat hari raya, bla... bla... bla... Hingga akhirnya, seorang anak muda yang resah tadi, mulai membuka suara.

”Sampean kenal Basit Media Bawean?” tanyanya.

”Ya, tentu saja,” saya menjawab.

”Sampean kok bisa jadi penulis tetapnya?”

”Oh, itu. Sebenarnya saya suka menulis di blog. Nah, catatan di blog saya itulah, bila dirasa menarik, diambil juga oleh Media Bawean,”

”Oh, begitu ya...”

”Memangnya mengapa?”

”Oh, enggak, sebenarnya saya cuma minta tolong agar foto saya yang dipasang di berita Media Bawean dicabut. Malu saya kak,” ujarnya.

Selanjutnya dia menjelaskan, kegusarannya itu bermula saat membaca berita Media Bawean yang berjudul Polsek Sangkapura Mengamankan Pemuda Mabuk-mabukan.

Dalam berita itu ditulis, Polsek Sangkapura pada Rabu (30/9) mengamankan beberapa pemuda asal Desa Sungaiteluk yang sedang mabuk-mabukan di pinggir jalan raya dengan minuman beralkohol. Pengamanan dilakukan, setelah kantor Polsek mendapat laporan dari warga setempat.

Operasi dipimpin langsung oleh Kapolsek Sangkapura AKP Zamzani,SH. dengan anggota langsung mendatangi TKP dan berhasil mengamankan 5 orang pemuda sedang asyik minum-minuman jenis anggur hitam yang beralkohol. Kelima pemuda diamankan di Mapolsek Sangkapura dan mendapatkan pembinaan.

Nah, anak muda yang datang ke rumah ini rupanya salah satunya. ”Saya malu Kak, bagaimana nanti bila saudara-saudara saya baca, baik yang di sini maupun di rantau,” ujarnya.

”Lho kenapa harus malu, kan namamu tak disebut?”
”Iya kak, tapi kan wajah saya terpampang di sana!”

Di sela-sela dia menjelaskan, ponselnya berdering. ”Nah ini dia dari kawan saya yang fotonya ikut nampang di situ,” jelasnya, lalu dia mengangkat telepon.

”Ella, pokoknya bekna kalaben eson tak bisa beu paraben pole (Udahlah, kamu dan eku tak akan lagi dapat cewek,” ujarnya.

Lalu, si penelepon bertanya bagaimana hasil pembicaraannya dengan saya. ”Iye, la ekabela ka eson (iya, udah aku bilangin),” jelasnya, lalu menutup telepon.

”Gitulah kak, dari tadi kawan-kawan terus nelepon minta tolong. Yang terakhir ini paling parah, di foto itu dia berpose sedang memegang botol,” lanjutnya.

”Saya tahu saya salah, tapi tak usahlah foto kami dipasang. Kan kami sudah dihukum di kantor polisi, malam ditangkap, siang baru boleh pulang. Jadi berapa hukuman lagi yang harus kami terima?,” ujarnya.

Sayapun mafhum, lalu berjanji akan disampaikan pada Basit, selaku Pemrednya. ”Saya hanya bisa membantu, semua keputusan di tangan Basit. kalian harus paham itu,” terang saya. Syukurlah, anak muda ini maklum, lalu minta diri.

Selanjuunya saya telepon Basit, saya ceritakan semuanya. Saya katakan, bahwa saya sangat mendukung Media Bawean membantu kepolisian fight crime. Namun, saya harap juga mengedepankan rasa kasih sayang juga.

Menurut saya, anak-anak itu sudah cukup mendapat hukuman dari polisi, jadi jangan masih dihukum lagi oleh pemberitaan. Nanti apa kata keluarganya, kawan-kawannya, bahkan pacarnya? Toh, kesalahannya juga tak begitu berat.

”Kecuali bila mereka pembunuh atau merampok, pajang aja fotonya besar-besar.”

Alhamdulillah, basit mengerti. Dan foto itu langsung dicabut.


-------------


Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini...

Selasa, 20 Oktober 2009

Hampir Pingsan saat Bersepeda

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Misalnya saat saya Hampir Pingsan saat Bersepeda.



Di awal-awal tahun 2009 ini, di Bawean sedang dilanda demam sepeda. Tiap sore, selalu saja ada yang bersepeda. Bahkan dari demam ini, lahirlah KOBYSA (Komunitas Bicycle Sangkapura).

Namun saat saya pulang kampung, demam ini mulai reda. Hal ini saya rasakan dari jarangnya orang yang melakukan akrivitas bersepeda. Meski ada, hanya satu dua saja. Tak massive seperti sebelumnya.

Adalah Kadir, Pikpik, dan Ratna, yang masih melakukan kebaiasaan baik ini. Mereka adalah kawan saya. Masih ada hubungan saudara juga. Khusus Kadir, semasih saya di Batam, dia sudah sering mengajak saya bersepeda. ”Oke, tunggu nanti saat saya pulang ya,” janji saya kala itu.

Makanya saat pulang kampung ini, saya langsung nelepon Kadir. ”Jadi kita bersepeda Dir?”
”Ye, Kak Rija. Jhella pokol empak la kabengkona (Ya, nanti pukul 16.00 saya ke rumah),” jawab Kadir.

Dan benar, akhirnya Kadir datang juga. Meski ngaret sampai setengah jam. ”Ta tedung eson (ketiduran),” excuse-nya.
”Ya udah, kita berangkat,” ajak saya.

Kadir pun berganjak memimpin. Dengan mantap dia mengayuh sepeda gunungnya. Pakaian yang dikenakan saat itu berwarna jingga, di punggungnya tertulis KOBYSA (Komunitas Bicycle Sangkapura). Ini adalah seragam kebanggan mereka.

Tujuan kami saat itu adalah ke Desa Gunung Teguh. Dengan melintasi rute perkampungan ke utara, mulai Dayabata - alun-alun - Sawahluar - Sawahdaya. Selanjutnya memasuki jalan persawahan, menuju Patar Selamat - Disallam hingga Batu Raket.

Namanya juga ke pegunungan, jalan yang kami lalui menanjak. Namun tak seberapa. Maklumlah, hati ini masih terhibur dengan indahnya pemandangan areal persawahan dan gunung ganang yang berada dui kanan kiri.

Hingga lepas dari Disallam, tanjakannya kian curam. Aduh, copot rasanya engsel kaki saya. Dengkul ini langsung panas. Maklum, belum terbiasa. Di Batam, saya jarang bersepeda. Olah raga saya paling banter hanya naik turun tangga di lantai dua Gedung Graha Pena Batam.

Namun, tantangan ini berhasil saya tempuh dengan baik. Kata Kadir, untuk ukuran pemula dengan perut gendut, saya dapat nilai B. Sesampainya di jembatan Batu Raket, sekitar 6 kiloan dari rumah, kami berhenti sebentar. Di depan saya ada tanjakan yang cukup curam. Saya pikir, di sinilah akhir rute ini.

Ternyata belum. Setelah melepas dahaga, Kadir melanjutkan perjalanan. Kali ini benar-benar berat. Saya mencoba mengayuh, namun sampai separuh tanjakan sudah tak kuat. Dengkul panas, nafas terengah.

Akhirnya saya putuskan turun dari sepeda, sembari terus mendaki ke puncak. Sementara Kadir, masih bertahan di atas sepedanya.

Tak lama kemudian, sampai juga di puncak. Di sini ada sebuah huma (dhurung). Kamipun beristirahat di sana. Sementara, nafas saya tersengal, jantung berdetak cepat.

Saat itu saya akan pingsan, namun segera saya berdiri, menghadap pegunungan lalu menghirup oksigen banyak-banyak. Selanjutnya sisa air mineral saya siramkan ke atas kepala. Tak lama, rasa mau pingsan itu hilang, seiring muklai teraturnya nafas, berganti hawa segar.

”Ah, tak kuat saya Dir. Rasanya macam diurut saja jantung ini,” jelas saya.

”Ini tak seberapa, jalan ini menuju Gunung Soka, jalannya lebih curam lagi,” jelas Kadir, bagai tak berdosa.

”Ah, sudahlah, ayo pulang. Sebentar lagi Maghrib,” ajak saya.

Kamipun pulang. Kali ini perjalanan agak santai, maklum menurun.

***

Pengalaman ini saya ceritakan kembali, ketika bertemu Pikpik dan Ratna. Merekapun mengecam Kadir, ”Kok diajak ke sana, ya iyalah. Yang enak sepedaan itu menempuh rute ke Lebak, jalannya rata,” jelas mereka.

”Ya, udah, kapan kita ke sana?”
”Besok sore juga boleh. Kita bertemu di alun-alun,” ujarnya.

Singkat kata, keesokan harinya kamipun bergerak. Kali ini menuju arah barat, menempuh rute Alun-alun - Pateken - Perikanan - Dermaga - Ra-as (selanjutnya saya tak hafal nama desanya). Agar tak silau oleh sapuan matahari senja, saya melindungi wajah dengan topi dan kaca mata.

Dan benar, rute ini jauh lebih santai. Maklum jalannya rata. Tanjakan sih ada, utamanya saat di dusun Ra-as, namun tak securam tanjakan di Baturaket kemarin.

Hingga akhirnya sampai juga di desa lebak. dari rumah, jaraknya sekitar 6 km. Di sebuah huma yang ada di pingguir jalan, di areal persawahan kami istirahat, sembari menikmati air mineral dan pemandangan alam yang mantap.

Selanjutnya kami pulang, sampai di rumah, Azan Maghrib berkumandang di telinga.


Foto: Istirahat di Lebak.


------------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini...

Senin, 19 Oktober 2009

Makan di Kelong

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah Makan di Kelong berikut ini.


Ini adalah secebis kisah dari ekspedisi keliling Bawean yang saya lakukan bersama Basit, Pemimpin Redaksi Media Bawean. Ada sisi lain yang menarik, selain kisah amburadulnya jalan sepanjang jalur yang kami lalui, yaitu soal kisah hunting makanan selama perjalanan.

”Gruukkk.... grukkk...”

Perut ini tak berhenti berderak, saat jam tangan sudah menunjuk pukul 11.30. Lapar. Mana matahari sedang panas-panasnya, sampai dua punggung tangan saya terbakar. Rasanya perih dan gosong.

”Di mana makanan khas yang enak pak Basit?”
”Di mana ya Pak, mungkin di daerah Tambak.”
”Aku dengar ada rumah makan kelong yang mantap?”
”Oh itu di Pangge, Pak setelah Tanjungori,”
”Apa memang enak?”
”Kabarnya begitu,”
”Ayo kita ke sana,” ajakku.

Brum.... roda-roda motor itu melaju, tubuhku berguncang lagi, menghindari lubang menganga dan batu tajam yang menlintang. harus konsentrasi penuh rupanya. Sudah lama lebih 8 tahun saya tak offroad, eh di sekarang malah kejadian. Padahal, saya pikir jalannya mulus.

Hingga sampai di dusun Dedawang, Teluk Jatidawang, Basit membelokkan sepedanya. ”Kita mampir dulu ke Tellok Jhete di sana ada sentra produksi pindang,” ujarnya. Akupun mengangguk.

Tak lama, kami sampai ke sebuah kampung nelayan. beberapa perahu tampak parkir di pantai, yang menghadap langsung ke Pulau Cina.

Saat saya memarkirkan sepeda motor, bau ikan pindang sudah menyengat.

Selanjutnya Basit mengajak saya ke sebuah rumah berdinding bambu. Ukurannya cukup besar. Dari dalam, asap tebal mengepul. ternyata di sana ada seorang wanita setengah baya, sedang mengukus pindang.

Di dalam rumah itu, ada puluhan tungku yang di atasnya bertengger sebuah kendil (kette) ukuran kecil. Dalam kette itulah, ikan pindang dimasukkan bersama garam, lalu dikukus dengan kayu bakar.

Puas melihat-lihat, kamipun berangkat kembali menuju Tambak. Setelah berguncang-guncang lagi, melakukan manuver-manuver lagi, akhirnya tiba juga di kota kecamatan Tambak. Tepat di pasar, saya meminta Basit berhenti. ”Kabarnya di sini ada empek-empek yang lezat?” tanya saya.

”Oh iya Pak, tadi udah tertinggal di belakang,”
”Kalau begitu, ayo balik lagi,” ajak saya. basit pun setuju.

Di sebuah warung pinggir jalan, saya memborong empek-empek. Buat oleh-oleh setibanya di rumah, Sangkapura. Namun untuk mengganjal perut yang lapar, saya memesan bola bakso (pentul) yang langsung saya santap di teras rumah dekat toko itu. ”Wah mantap, rasa ikannya terasa sekali,” seru saya, sembari meneguk hampir setengah botol sedang air mineral.

Setelah puas, perjalanan dilanjutkan kembali. Di sebuah daerah bernama Labuhan, Basit menghentikan sepeda motor. Sekitar 1 km dari pantai, saya melihat lima yacth (perahu pesiar) sedang berlabuh. ”Itu milik turis Belanda, Bapak. Mereka kerap ke mari,” jelas Basit.

Sementara itu, tepat di depan saya, sebuah kapal tongkang bersandar di pantai Labuhan yang landai. Di belakangnya, tampak sebuah tug boat. Lama saya mengagumi pantai ini, hingga akhirnya kami berganjak lagi.

Kali ini menuju ke Bandara Bawean, yang berada di desa Tanjungori. ”Sebentar lagi sampai,” jelas Basit. Soal kisah di bandara sudah saya tulis di blog ini sebelumnya.

Setelah dari Bandara. Nah, ini dia, tibalah saatnya untuk menjamu selera yang sedari tadi tertahan.

Selepas Tanjungori, roda-roda motor kami terus melintas di sepanjang pantai. Hingga dari kejauhan saya melihat sebuah rumah panggung berbahan bambu, berdiri di pantai agak menjorok ke tengah laut yang dihubungkan dengan jembatan yang juga berbahan bambu.

”Ah, mungkin itu yang dimaksud rumah makan kelong itu,” pikir saya.

Ternyata benar, Basit memarkir sepeda motornya. Saya lihat, posisi bangunan ini tepat diseberang pintu masuk ke situs Nyai Zainab, Desa Ponggo, desa yang satu-satunya di bawean memiliki bahasa endemik; berbahasa Jawa aksen Bawean. Selama dasawarsa, bahasa orang Ponggo tak terpengaruh Bahasa Sumenep, bahasa orang Bawean pada umumnya.

Di tengah deraan rasa lapar, saya masuk ke kelong itu. Namanye cafe Pantai Losari Diponggo.

Saya lihat bagunannya cukup apik. Di sebelah kiri pint masuk, terpasang parabola ukuran sedang yang ditopang sebuah pipa besi.

Sebelum masuk, kita diminta meninggalkan alas kaki di pintu masuk. Di dalam saya lihat aneka meja khas jepang, berjejer rapi. Ya, konsep rumah makan ini memang lesehan. Sebagai alasnya, pengelola membentangkan karpet dan tikar.

Bangunan kelong ini terbagi dari bangunan induk tempat pengunjung memesan makanan, dan bangunan pelengkap di belakang.

Di sini, tempatnya yang lebih elok. Dari sini, sembari menyantap hidangan, pengunjung dapat menikmati pemandangan laut yang indah, berlatar belakang perkampungan nelayan dan perahu-perahu kecilnya. Sungguh indah. Terpaan angin sepoi-sepoi menambah syahdunya nuansa.

”Makan pak?” seorang wanita berbadan subur, berusia 40-an tergopoh-gopoh menghampiri.

Saya pun melihat menunya. Semula kerangka otak saya berpikir, bahwa menunya tak jauh dari sari laut, sebagaimana khas masakan kelong. Tapi ternyata apa yang saya temui, berbeda sama sekali. Di sini yang ada malah nasi lalapan. Wah, kok jadi macam di pegunungan saja.

”Ya udah, saya pesan ayam penyet dan jeruk anget,” pinta saya. Sementara Basit pesan Indomie goreng dan es soda gembira.

Tak lama pesanan datang. Perlahan saya cicipi bersama beberapa daun kemangi, wah.... nasinya masih hangat, berasnya cukup pulen. Sementara daun kemangi yang magis, memberikan rasa yang atraktif. Excellence!

Lalu saya coba mencicipi ayam gorengnya, wah..... krenyes di luar, namun juicy di dalam. Mantap.

Saat tiu saya melirik Basit, wah, tampaknya dia juga sibuk menikmati mie-nya. Saya lihat, mimik wajahnya yang bulat bersemu merah. "Tambah nasi Pak Basit?!"

"Emh... Empon, ento la cokop. Ghik kenyyang bule, pon mare adheer kan engghellek (Udah, ini udah cukup. Saya masih kenyang, tadi juga baru sarapan," jelasnya.

Selanjutnya saya terus bereksperimen. Apa jadinya bila dua paduan ini saya cocol dengan sambalnya. Ah... Saya ambil bagian kecil, dococol, lalu ambil nasi di ujung jari, yak... siap disantap. Hasilnya?

Uwaaaahhhhhh... Mantap sekali, rasa ayam yang lembut dan krispi tadi, berpadu dengan pulennya nasi, dan tersentuh rasa sambal yang manis sedang dan godaan cabe yang lembut. Sungguh sebuah paduan yang cakep banget.

Sayapun sampai-sampai memanggil penjualnya. ”Wah, mantap banget sambalnya. Tolong dibungkusin ya, mau saya bawa ke Sangkapura,” pesan saya. Luar biasa.

Agar rasa cabe tak nempel, saya basuh lidah ini dengan irisan timun. Blezzzz.... Emh... Mantap, sensasi seger langsung terasa.

Terakhir, saya lengkapi sapuan makan-makan ini dengan meneguk hangatnya jeruk nipis peras. Wah.... benar-benar segar. habis pedas pedas, langsung dibasuh dengan yang segar. Tenggorokan ini jadi enteng kembali. Pokoe maknyus.












------------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini...



Minggu, 18 Oktober 2009

Profesi Wartawan

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Termasuk bagaimana mereka memandang tentang Profesi Wartawan.

Pandangan warga di kampung saya tentang wartawan, sama halnya dengan masyarakat di belahan pertiwi ini. Wartawan itu, ya meliput berita. Titik.

Sehingga tiap kali saya bertemu orang yang mengenal saya, mereka selalu bertnya, ”Lho, meliput apa di Bawean?” Atau ada lagi, ”Enggak meliput gempa ke Padang?”

Atau ada lagi yang lebih parah, ”Tolong dong saya acara saya diliput, biar masuk ke koran di Batam,” ujar seorang yang menyelenggarakan selamatan tujuh bulanan.

Mendengar ini, saya kadang hanya tersenyum. Adakalanya saya menjawab, bahwa saya sedang cuti, jadi takl meliput dulu. Atau agar mereka puas, ya sudah, saya ambil kamera poket saya, lalu jepret-jepret. Lalu saya bilang, ”Nah, nanti ini saya terbitkan di Jawa Pos Batam,” jelas saya.

Yang saya maksud ”Jawa Pos Batam” adalah Batam Pos, institusi tempat saya bekerja. Maklumlah, di kampung kami warga lebih mengenal Jawa Pos. Merekapun senang.

Anggapan wartawan meliput, memang ada benarnya, namun juga kurang tepat. Karena di era industrialisasi pers sepesat abad ini, wartawan tak melulu orang yang meliput berita di lapangan.

Berdasar undang undang pers, yang disebut wartawan itu adalah orang yang secara konsisten mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita. Dari pengertian ini, jelas, seorang wartawan tak hanya sebagai orang yang mencari (meliput) berita saja, namun ada bagian-bagian lain. Yang penting harus konsisten. Itu saja.

Untuk menjaga konsistensi itulah, maka dibentuk sebuah perusahaan pers. Di dalam perusahaan pers ini, seorang wartawan bisa jadi dia menjabat sebagai sekretaris, kepala bagian, kepala departemen, manajer, general manajer, direktur, direktur utama, bahkan seorang presiden direktur.

Oleh karena itu pada perusahaan-perusahaan pers yang besar, baik dari segi modal dan reputasi, seorang wartawan yang duduk di level pimpinan kadang diajar bagaimana itu mengelola perusahaan.

Mereka belajar financial non manajemen (keuangan), pemasaran, iklan dan tentu saja, organisasi dan tata laksana perusahaan. Bisa jadi saat itu mereka disiapkan suatu saat bisa mengisi posisi entah sebagai direktur keuangan, pemasaran dan lain sebagainya.

Inilah yang sebenarnya yang sebanarnya mau saya jelaskan pada mereka, namun tak ada waktu.

Hingga akhirnya kesempatan itu muncul, ketika Koko Sujatmiko, Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Sangkapura, Bawean mengundang saya ke kantornya untuk berdiskusi soal pers.

Di sanalah saya menjelaskan sedikit organisasi kewartawanan, yang sebagian sudah saya jelaskan di atas.

Menurut saya, duania wartawan saat ini sama dengan dunia profesional lain yang memiliki jenjang karir. Mereka bekerja juga berdasarkan perencanaan, ada agenda setting, bussiness plan dan lain-lain.

Dalam perusahaan pers yang besar, karir wartawan dimulai sebagai reporter. Inilah ujung tombak. Merekalah yang meliput berita di lapangan. Selanjutnya, naik lagi sebagai asisten redaktur lalu redaktur.

Ini adalah semacam kepala bagian, orang yang bertanggung jawab akan satu persatu halaman koran. Redaktur juga bisa disebut editor, atau produser.

Naik lagi, ada asisten redaktur pelaksana dan redaktur pelaksana. Semacam kepala departemen. Mereka yang mengelola satu sesi koran. Dalam setiap eksemplar koran, biasanya ada beberapa sesi.

Naik lagi ada wakil pemimpin redaksi dan pemimpin redaksi. Mereka yang mengepalai redaksi. Di posisi lain, pemimpin redaksi bisa juga disebut manajer. Cuma beda bahasa saja, tugas-tugasnya sama.

Di atas Pemimpin redaksi ini ada Pemimpin umum, atau general manajer, ada juga nanti direktur, direktur utama, hingga chief executif officer (CEO).

Dari sini jelas, orang yang bertugas meliput itu adalah reporter. Reporter adalah wartawan, namun tak semua wartawan adalah reporter.

Semua ada tugas pokoknya, namun sah-sah saja bila selain reporter masih mau meliput. Toh, Dahlan Iskan saja, bos, bos, bos, bos, bos, bos, bos, bos, bos, para bos koran, masih mau meliput.

-------
Simak terus kisah menarik seputar liburan di Pulau Bawean di blog ini. Selengkapnya...

Sabtu, 17 Oktober 2009

Misteri Baju Koko Basit

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti saat saya mengungkap tentang Misteri Baju Koko Basit.

Salah satu pertanyaan yang saya siapkan dari Batam setibanya di Bawean saat bertemu Abdul Basit, Pemred media Bawean, adalah; Mengapa selalu mengenakan baju koko? That it!

Sebenarnya, pertanyaan ini muncul ketika saya banyak mendengar bahwa Basit selalu mengenakan baju koko dalam kesehariannya.

”Pokoknya kalau kamu lihat orang yang siang malam selalu pakai baju koko, pasti itu Basit,” kisah seorang kawan, menjawab saya yang penesaran seperti apa Basit itu.

Ya, memang selama ini saya belum pernah bertemu langsung dengan Basit. Pertemanan kami hanya terjadi di dunia maya dan di dunia pulsa saja.

Dan, setelah lama saya simpan akhirnya pertemuan itu datang juga. Kesempatan berlibur ke Bawean itu datang juga. Dan saya memasukkan rencana bertemu Basit, dalam urutan atas listing agenda silaturahmi.

Saat bertemu pertama kali di markas Media Bawean, pada Senin (28/9) malam, pertanyaan itu belum sempat saya lontarkan. Meski saat itu saya lihat Basit mengenakan baju koko warna kuning. Maklumlah, saat itu Basit sedang sibuk editing, jadi tak enak hati mau mengganggu.

Hingga akhirnya, kesempatan itu datang pada keesokan harinya, Selasa (29/9). Saat itu Basit mengajak saya melakukan ekspedisi mendaki puncang Tanjung Gaan bersama keluarga besar Media Bawean. Kali ini baju kokonya ganti warna abu-abu.

Selama perjalanan menggunakan sepeda motor, Basit membonceng saya. Bak guide tour, sepanjang jalan dia menjelaskan bila ada tempat-tempat eksotik yang saya tak tahu.

”Ento nyamana Kampong Somor-somor, soalna benyyak somorna. Teap bengko andik somor (ini namanya Kampung Sumur-sumur. Soalnya, memiliki sumur yang bnnyak. Setiap rumah punya sumur),” jelasnya, menunjuk sebuah kampung yang berada jauh di pedalaman pulau Bawean.

Nah, dari perbincangan inilah akhirnya saya memiliki kesempatan untuk melontarkan pertanyaan yang sudah lama saya pendam itu. Mengapa selalu mengenakan baju koko? Namun sebelum masuk ke sana, saya terlebih dulu bertanya tentang apa motovasinya mengembangkan Media Bawean seperti saat ini.

Basit pun mulai mengurai, bahwa dia hanya ingin agar Bawean lebih dikenal lagi, tak hanya dalam skup nasional, tapi juga dunia. Selain itu, dengan media ini dia bisa memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan masyarakat kepada pemerintah daerah, atau bajkan ke pusat.

Sebelum mengembangkan Media Bawean menjadi versi berita on line seperti saat ini, Basit bersama reken-rekannya membentuk sebuah LSM bernama Gerbang Bawean. Namun, suaranya kurang menggema. Hal ini akibat terbatasnya publikasi oleh press.

Karena itulah, akhirnya sekitar tahun 2007 dia mengembangkan Media Bawean. Saya sebut mengembangkan, karena Media Bawean sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1996. Namun saat itu hanya berisi kumpulan artikel tentang Bawean dari media massa nasional.

Di tangan Basit-lah, Media Bawean disulap menjadi media berita real time. Yang unik, ternyata semula Basit awam disain web. Dia bisa melakukan posting dan editing di web setelah didekte oleh mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya.

Namun karena semangatnya yang besar, akhirnya dia cepat mahir.

Mengambangkan media ini, bukannya tak banyak tantangan. Cibiran datang silih berganti. Namun Basit tetap istiqomah. Namun, banyak juga sambutan.

”Pernah motor saya pecah ban di sebuah desa, tiba-tiba pak kepala desanya menyuruh meninggalkan sepeda motor saya, dan meminjamkan sepeda motornya. Saya sungguh terharu,” jelasnya menuturkan pengalaman manisnya selama menjadi wartawan Media Bawean.

Singkat cerita, setelah ngobrol ”ka berak ka temor” maka tibalah saya melontarkan pertanyaan pamungkas itu. ”Mengapa selalu mengenakan baju koko?”

”Saya kurang suka mengenakan pakaian lain, selain baju koko. Rasanya lebih nyaman,” jawab Basit, sembari tetap berkendara.

”Punya berapa bajo koko?” saya penasaran.

”Ada empat, Bapak. Biru, merah, kuning dan yang saya pakai sekarang ini (abu-abu),” urainya.

Oh begitu rupanya.

Misteri baju koko Basit pun terkuak.



-------
Simak terus kisah menarik seputar liburan di Pulau Bawean di blog ini.

Jumat, 16 Oktober 2009

Jadi Orang Kaya

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah tantang maraknya kini orang Bawean yang bercita-cita menjadi orang kaya, dengan cara-cara yang kurang baik.



Saat kumpul-kumpul dengan beberapa pemuda yang kritis di sebuah surau, saya ditanya bagaimana agar nilai-nilai agama bisa lebih terjadi di pulau ini.

Saya keheranan, kok bertanya seperti itu? ”Iya, saat ini banyak kemungkaran dilakukan terang-terangan,” jawab salah seorang dari mereka. ”Kini penduduk Bawean lebih banyak memuja materi (hedonis/hubbud dunia),” timpal yang lain.

Saya menjawab, bahwa penyakit tersebut kini memang mewabah tak hanya di Bawean saja, namun di seluruh Indonesia. Dampak globalisasi, dan kampanye negera-negara kapitalis, membuat hal ini kian mengakar.

”Bisa dicontohkan, memuja materi seperti apa?” saya kembali penasaran.

Selanjutnya salah seorang berujar, bahwa kini banyak orang yang memuja orang-orang kaya, tak peduli harta kekayannya berasal dari sumber yang baik atau buruk. ”Pokoknya yang kaya, disanjung meski itu hartanya di dapat dari jalan subhat,” jelasnya.

Akibat hal ini, kini banyak generasi muda yang bercita-cita seperti para seniornya. Jadi kaya, meski dengan cara haram. ”Namun ada banyak juga sih, yang masih memegang teguh iman, mencari rezeki yang halalan tayyiban,” sebutnya.

Saya lega mendengar jawaban terakhir ini. Syukurlah, berarti kondisi ini bisa diperbaiki. Meski itu sulitnya minta ampun. Kendala utama terletak pada kurang kuatnya filter di masyarakat itu sendiri, bagaimana mereka memandang harta.

”Bila orang-orang yang diketahui melakukan kemungkaran ini tidak mendapat tempat, tentu mereka tak akan berani memamerkan hasil kemungkarannya,” jelas saya.

Dari sini saya teringat sebuah tulisan antropolog belanda, Menner Jacob. Dulu saat melakukan penelitian di Bawean, didapat fakta bahwa masyarakat menempatkan kiyai dan orang-orang berilmu pada urutan atas, dalam strata kemasyarakatannya.

Sementara orang yang mungkar, seperti tukang sihir, mereka letakkan paling bawah. Kalau tak salah pada tingkat ke 10.

Makanya ditemukan di Bawean saat itu, orang-orang yang bangga akan kiai dan orang-orang berilmunya. Mereka sangat hormat, sampai-sampai seorang santri akan berebut meminum air bekas cuci tangan sang kiai, agar mendapat karamanya.

Dari sinilah, sampai-sampai muncul tradisi ”asare ghuru” atau mencari guru. Saat itu, sang anak akan merantau hingga dari masyrik ke magrib, agar nantinya bisa memiliki ilmu agama/pengetahuan yang baik.

Sebaliknya, penduduk sangat mengucilkan para tukang sihir. Maka itulah, orang-orang yang diduga tukang sihir sangat merahasiakan eksistensinya. Mereka bahkan memilih mengucilkan diri dari khalayak ramai.

”Saat ini coba diteliti, apakah strata sosial masyarakat Bawean masih menempatkan kyai dan orang-orang berilmu di deretan paling atas? Apakah masih ada tradisi ‘asare ghuru’ itu?” mereka terdiam.

Selanjutnya saya mengajukan ide ekstrem, bila memang fenomena untuk menjadi orang kaya, dengan harta subhat ini sudah sangat meresahkan, gelar saja pertemuan. Rapat akbar.

Dari sana susunlah kesepakatan, bahwa orang Bawean yang berbuat kemungkaran termasuk mencari harta dengan cara haram akan dikucilkan, seperti bagaimana pendahulu kita mengucilkan para tukang sihir.

Agar pesan ini tepat sasaran dan diikuti, bila perlu fatwakan, umumkan melalui ceramah salat Jumat di masjid-masjid.

Mau?
-------
Simak terus kisah menarik seputar liburan di Pulau Bawean di blog ini.

Kamis, 15 Oktober 2009

Mengunjungi Bandara Bawean

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya Mengunjungi Bandara Bawean, daerah Tanjungori, Tambak.


Setelah bersepeda motor dari Sangkapura menempuh jarak 25 kilo bersama Pemred Media Bawean, sekitar 1 jam lebih melintasi rusaknya jalan lingkar dengan lubang lubang besar, batu tajam bak medan off-road, akhirnya saya tiba juga di lapangan terbang Bawean, Sabtu (4/10).

Lapangan terbang Pulau Bawean terletak di Desa Tanjungori, Kecamatan Tambak. Pembangunan bandara ini dimulai pada tahun 2007, dengan panjang landasan pacu 900 meter.

Ide pembuatan bandara ini bermula saat bisnismen asal Singapura dan Malaysia mengadakan pertemuan dengan Gubernur Jawa Timur kala itu, Imam Utomo.

Mereka mengatakan pada Gubernur, mengapa di Bawean tak dibangun bandara saja, sehingga jarak tempuh antara Surabaya dan pulau tersebut akan lebih singkat dan mudah dibanding dengan kapal.

Dengan pesawat udara, hanya membutuhkan waktu 15 menit saja. Bendingkan dengan kapal laut yang memakan waktu 3 jam. Lebih dari 10 kali lipatnya.

Dari sinilah, kemudian pada awal Januari, tim dari Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya turun melakukan pengkajian hingga akhirnya ditemukan lokasi yang cocok di dekat tebing di Tanjungori.








Saat saya ke sana, kondisinya masih dalam pengerjaan. Sudah 60 persen selesai, sudah pula lengkap dengan terminal penumpang baik deperture maupun arrival.

Untuk menuju terminal itu, dari jalan utama masih harus masuk ke dalam sekitar 2 kiloan. Kondisinya cukup baik. Tinggal perluasan landasan pacu saja yang masih terkendala. Konon masalah pembebasan lahan-lah yang membuat hal ini berlarut-larut.

Mumpung masih dalam pengerjaan, saya melihat langsung ke landasan pacunya. Wow, cukup luas. Dari kondisi fisiknya landasan ini hanya diperuntukkan untuk pesawat jenis Fokker 50. Karena bila melayani boeing atau air bus, masih kurang panjang dan luas lagi.

Namun, saya rasa cukuplah untuk membuka isolasi ini.

Sesampainya di landasan pacu tiu, saya turun dari sepeda motor. Tak sadar, tubuh ini luruh mengucap sujud syukur, lalu saya menelentangkan badan di atas aspalnya.

Kepanasan? Ya iyalah, saat itu tepat pukul 12.00, saat matahari menampakkan kegarangannya. Mana pada tanggal tersebut, jarak rotasinya lebih dekat dengan khatulistiwa, lagi.

Melihat aksi saya ini, Basit, terheran-heran. Dasar wartawan, secepat kilat dia mengambil kamera poketnya, lalu jepret, jepret, dia mengambil gambar saya.










Usai melakukan sksi ini, saya mengajak Basit meninjau ujung landasan. Dari sini saya tahu, ternyata bandara ini dibangun di atas tebing.

Dari atas sini view-nya sangat indah. Saya bisa melihat indahnya panorama alam Bawean, dengan pantai berpasir putih, dan sederet kapal-kapal nelayan berjejer didekat perkampungan.

Subhanallah. Allah ternyata sungguh baik, dengan memberikan penduduk pulau Bawean alam yang begitu indah, kaya dan ramah. Sayapun bertasbih, tahlil dan tahmid.

Setelah itu, saya memanggil Basit. ”Lihatlah Pak! Lihatlah! Inilah kunci kemakmuran pulau kita!” seru saya. Basit menyimak.

Lalu saya menjelaskan, bahwa tak mungkin pemerintah pusat mengucurkan uang miliaran rupiah untuk membangun lapangan terbang di sebuah pulau terpencil semacam Bawean, bila tak ada apa-apanya. ”Di beberapa kabupaten di Kepulauan Riau saja, tak semuanya memiliki lapangan terbang,” ujar saya.

Dari sinilah, nanti potensi Bawean akan tergali, pendapatan asli daerah akan terbantu, sehingga bisa membuat status pulau ini bisa saja naik.

Lalu saya menceritakan pertemuan saya dengan Gus Dur tahun 2008 lalu. Menurutnya, Bawean bisa maju asal tiap hari harus ada penerbangan. ”Ya, nantinya ada pesawat terbang dari Bawean menuju Sembilangan, yang berada di pantai barat Madura,” jawab Gus Dur.






Beberapa profesor yang ikut nimbrung dalam diskusi kami saat itu menimpali, bahwa Bawean memiliki sumber kelautan yang sangat baik. Bila Kenjeran saja bisa makmur hanya memanfaatkan selat Madura, Bawean pasti lebih bisa lagi. Karena potensi kelautannya lebih besar dan banyak.

Bahkan kabarnya, nantinya Bawean akan menjadi hub dan pusat industri maritim dan hortikultura di Indonesia bagian Barat. Hal ini akan mengulang kejayaan Bawean di masa penjajahan Belanda lampau, yang memang diperuntukkan untuk itu.

Berasal dari inilah kenapa saat ini di Bawean banyak ditinggali multi etnis, mulai Palembang hingga Mandar.

Kini, tinggal mencari investornya saja. Cara yang paling mudah, dengan menggalakkan pariwisata. Dari sinilah mereka akan masuk.

Berbicara soal potensi wisata Bawean, sunguh kaya. Tinggal dikelola saja. Pantainya landai dan bersih, penduduknya baik dan ramah, kulinernya mantap mantap, apa lagi? Mau mandi air panas? Ada. Mau mandi air terjun? Bisa.

Atau mau melakukan outbound di danau, hiking, tracking, rappeling hingga puncak gunung? Tinggal pilih saja, Bawean banyak memiliki gunung. Jumlahnya konon sampai 99 buah. Setara asmaul husna. Luar biasa.

Bagi yang suka diving, fishing, ah itu sih kecil. Di sini tak kalah indahnya dan asyiknya. Apalagi bicara soal fishing, tak usah kelaut dalam, di dermaga saja, Anda sudah bisa mendapat ikan kakap merah.

Terumbu karangnya juga bagus, khususnya di pantai Mayangkara dan beberapa pulau kecil, seperti Nusa, Cina, Karabile, Noko, dan Gili.

Bila mau wisata kampung, macam Dorani homestay di Malaysia, atau wisata religi di sinilah surganya. Di pulau ini selain alamnya masih perawan, juga menyimpan banyak peninggalan bernilai religius dan sakral. Di sini ada gelebung, situs Nyai Zainab, hingga jherat lanjheng (kuburan panjang).










Cuma, semua potensi ini belumlah terekspos. Untuk itu, saya menyarankan agar para camat membikin lomba desa wisata. Caranya, tiap desa mengusulkan potensi wisata unggulannya. Potensi wisata ini, selanjutnya dikelola desa masing-masing.

Tentu ini kan baik, karena selain akan menambah pendapatan bagi desa yang bersangkutan, juga akan membuat potensi wisata Bawean kian dikenal dan bisa terorganisir dengan baik.

”Itulah mengapa tadi saya sampai sujud syukur Pak Basit. Ini sebagai rasa kecintaan saya terhadap pulau ini. Kita bisa lebih aju lagi, setara dengan daerah lain,” jelas saya. Basit pun mafhum.

Saya melanjutkan, tak usah terlalu jauh, keuntungan di depan mata saja dengan berdirinya bandara ini bagi penduduk, akan dapat menciptakan multy player effect yang baik.

”Dengan adanya bandara, nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja dan lahan bisnis, mulai rumah makan, transportasi hingga penginapan. Bahkan bisa jadi akan mengubah ‘naga bisnis’ pulau Bawean dari Sangkapura, ke Tambak!”




-------
Simak terus kisah menarik seputar liburan di Pulau Bawean di blog ini.

Rabu, 14 Oktober 2009

Little Mecca

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya melihat alun-alun Sangkapura menjelma menjadi Little Mecca (Mekkah Kecil).


Sudah sejak 30 Agustus lalu, Alun alun Sangkapura, di depan Masjid Jami, berubah menjadi Mekkah kecil. Ada miniatur ibadah haji di sana, Safa, Marwah, Hijr Sulaiman, sekaligus bangunan Kakbah setinggi 10 meter.

Replika Baitullah ini mirip denga aslinya. Posisi Kakbah itu berada di tengah, menutupi tugu yang terpasang di sana.

Bila malam, alun-alun ini terang benderang oleh banyak lampu led ukuan besar yang terpasang pada poin-poin tempat pelaksanaan ibadah haji itu.

Semula, hal ini ditujukan untuk latihan masik haji jamaah dari Pulau Bawean, 22 September lalu. Namun setelah acara itu usai, miniatur ini belum dibongkar.

Bila dilihat dari kegunaannya, jelas alun-alun Sangkapura sudah kehilangan fungsinya. Apa itu? Sebagai tempat warga berkumpul, sebagai plaza masyarakat, sebagaimana yang didisain para penemu tata kota zaman Belanda dahulu.

Ya, gimana mau berkumpul, karena sudah menjadi miniatur ibadah haji. Namun, sah-sah saja lah, toh masyarakat bisa menerima. Malah, katanya, kesan Bawean sebagai Pulau Religius jadi kian tampak dengan adanya miniatur Haji ini.

Namun sayang, sang pembuat miniatur ini, lalai memperhatikan hal kecil, sehingga membuat simpati masyarakat terhadap panorama religi ini jadi agak luntur.

Hal ini saya dengar saat bertandang kesebuah rumah cukur. Di sana, beberapa pelanggan yang datang menggunjingkannya.

"Itu, mau sampai kapan alun-alun jadi tempat ibadah haji ya?" tanya salah seorang dari mereka.

" Tao, kalakoanna sapa jereak (Entahlah)," jawab yang lain cuek.

Kemudian, keduanya terlibat perbincangan sengit. Intinya, mereka mulai merindukan kembali suasana alun-alun seperti dulu. Buat apa dibuat ada Kakbah segala, toh tak dirawat juga.

"Engkene Kakbe-na la bennyyak carrek, eano kanak-kanan. Kadeng bede embik apa semasok (Sekarang dinding Kakbah-nya sudah banyak yang robek oleh anak-anak. Kadang juga kambing masuk ke situ," ujar yang lain bersemangat.

"Mong eson sepaleng penggel, lestrekna odik terros, sampek seang. Sementara oreng laen mate-matean (Kalau saya paling keki lihat lampu listrik di sana dibiarkan hidup. kadang sampai siang. Sementara lampu di rumah kita sering mati bergiliran," ujarnya.

Sejak mendengar percakapan itu, saya jadi tertarik melihat miniatur ibadah haji ini. Tiap kali melintas, selalu saya perhatikan. memang benar apa yang dikemukakan mereka.

Kondisi miniatur Kakbah-nya mulai lapuk dan banyak yang robek. yang paling miris, emnyaksikan lampu-lampu berwatt besar itu dibiarkan menyala hingga matahari di atas kepala.

Saya pernah berbincang soal ini denagn pemred Media Bawean Abdul Basit. Menurutnya, lampu itu sudah ada yang nanggung.

Oke sih, namun bukankah pemborosan itu tak baik? Apalagi dilakukan di saat krisis listrik tengah mencengkram Bawean?

Foto: Miniatur Kakbah yang sudah koyak moyak itu.

-------



Simak terus kisah menarik seputar liburan di Pulau Bawean di blog ini.

Selasa, 13 Oktober 2009

Kian Makmur

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya melihat bahwa kini kehidupan warga Kian Makmur.


Beberapa kali saya sempat kesasar saat masuk ke kampung-kampung, seperti Bengkosobung dan Sawahluar. Jalan-jalan kampung yang dulu lebar, kini makin sempit. Rumah-tumah penduduk pun sudah banyak berganti, tak hanya wajah, namun juga raga.

Dulu banyak yang terbuat dari kayu, kecil dan reyot, kini sudah menjelma menjadi rumah gedung dengan pilar-pilar yang besar dan tinggi. Sungguh luar biasa. Sudah semakin makmur saja kehidupan di kampungku.

Rumah-rumah ini dibangun dari jerih payah penghuninya, menangguk dolar di Singapura. Bahkan ada juga yang sampai ke Malaysia dan Timur Tengah. Alhamdulillah.

Namun, sayang banyak pembangunan ini tak memperhatikan tata ruang dan wilayah, sehingga terkesan sesak dan sempit. Saat ini tanah lapang jadi berkurang, berganti rumah rumah yang kokoh.

Yang lebih parah, ternyata banyak rumah-rumah ini tak dilengkapi dengan sanitasi yang baik, seperti saluran air. Tentu akan bahaya bila hujan tiba, bisa banjir akibat air tak memiliki jalan keluar.

Yang paling kontras, saat melihat rumah yang berdiri di tepi jalan. Umumnya sudah sangat rapat hingga row 0 meter dari badan jalan.

Padahal, dulu penataan rumah-rumah yang berada di tepi jalan sangat baik. Tepat di tepi jalan masih ada parit kecil, semeter setelah itu baru boleh dibangun rumah dan semacamnya.

Fungsi ini adalah model tatara ruang yang dibangun Belanda, untuk menjaga agar kota tetap asri, khususnya antibanjir.

Di balik semua kekurangan ini, ada suatu kelebihan, di mana saat ini tak perlu khawatir becek lagi, karena semua ruas jalan yang membelah perkampungan, telah disemen.

Selidik punya selidik, ternyata ini adalah program Pemerintah Kabupaten Gresik yang membangun Jalan Poros Desa di Pulau Bawean. Pembangunan JPD dari anggaran PAK Kabupaten Gresik terdiri dari 7 desa di Kecamatan Sangkapura dan 5 desa di Kecamatan Tambak.

Sementara itu, jalan raya juga kian tertata, setelah aspal diganti paving. Semula saya heran, kok jalan di paving, ya jangan kaget, karena jalan raya di Bawean luasnya kurang dari 4 meter, mirip luas gang standar perumahan tipe 45.

Selain itu, pemilihan paving saya rasa agar lebih awet saja,karena jalan raya di Bawean jarang atau bahkan tidak pernah dilewati kendaraan berat, dengan tonase diatas 5 ton. Paling banyak hanya sepeda motor, jadi saya rasa paving ini lebih mampu menahan beban.


Simak terus kisah-kisah unik lainnya selama berlibur ke Bawean di blog ini.

Selamatkan Bawean

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya bertemu seorang guru yang konsen untuk Selamatkan Bawean.

Saat berkunjung ke SMP Muhammadiyah, Sangkapura, sekolah tempat saya dulu mencari ilmu, saya bertemu seorang guru yang sangat kritis. Khususnya dalam masalah lingkungan.

Dalam diskusi itu, dia sangat gundah. ”Banyak hutan di Bawean yang dirusak, dan gundul. Kalau ini dibiarkan, maka keselamatan penduduk jadi taruhannya,” sergahnya bersemangat.

Semula, saya menanggapinya biasa saja. Saya malah berseloroh, ”Sudahlah, masalah itu terlalu berat, mending mengurus yang kecil-kecil saja,” jelas saya.

Namun sang guru malah makin bersemangat, ”Justru karena ini masalah besar harus dipikirkan Pak!”

Kali ini saya tak sembarangan lagi, rupanya dia serius. Lalu saya bertanya, apa tindakannya melihat semua ini. ”Kalau hanya ngomong prihatin, semua juga bisa. Tapi harus bertindak juga dong!” saran saya.

Dia makin sengit, ”Oh, saya sudah melakukan itu. Saya telah meninjau beberapa lokasi, dan memang di sana terjadi kerusakan hutannya sangat parah!” jelasnya.

Dia juga mengurai, data data temuannya ini dia sampaikan para beberapa petinggi daerah di Bawean. Namun hingga kini belum ada respon berarti. Sementara kerusakan dan penjarahan terus meluas.

Menjawab ini, saya akhirnya memberikan saran bagaimana supaya aksinya bisa lebih bergaung. ”Mas, kalau hanya bergerak sendiri tentu akan sangat susah. Perjuangan Anda akan kehabisan tenaga,” jelas saya.

Untuk itu saya menyarankan agar dia coba menggandeng berapa organisasi lingkungan, seperti Greenpeace dan semacamnya, atau masuk dalam kelompok diskusi tentang hutan di milis internet. Saya yakin aksinya akan lebih didengar.





Karena, saat ini isu kerusakan hutan memang lagi menghangat, karena berdampak pada pemanasan global. Isu inilah yang membuat beberapa negara-negara maju berkumpul dan mengucurkan dana miliaran dolar untuk menyelamatkan hutan ini.

Menurut data yang dirilis Food Agricultural Organization tahun 2007, laju perusakan hutan 1,8 juta hektar per tahun. Dalam 1 menit perusakan hutan terjadi seluas 5 kali luas lapangan sepak bola. Dengan kata lain, dalam sejam hutan seluas 300 lapangan sepak bola rusak.

Bahkan, beberapa waktu lalu, Joko Arif, Juru Bicara Kampanye Bidang Kehutanan Greenpeace di Jakarta, mengatakan penggundulan hutan di Indonesia menyumbang 75 persen gas rumah kaca.

Hingga diskusi ini berakhir, saya masih memikirkan temuan sang guru itu. Oh, pantas saja di Bawean saat ini sangat panas. Dulu saya berpendapat, Batam dan Surabaya adalah kota terpanas, namun kini, setelah beberapa tahun kemudian saya datang ke Bawean, anggapan saya itu gugur. Bawean, menjadi kota terpanas di antara dua kota itu. Bisa bayangkan.

Padahal untuk ukuran pulau kecil yang berada di tengah laut dan memiliki banyak gunung dan hutan, seharusnya udara Bawean lebih sejuk dan basah di Banding Surabaya dan Batam.

Hal ini diperparah, karena di pulau ini sangat jarang turun hujan, meski tahun ini sudah memasuki musim penghujan.

Akibat penggundulan hutan, tentu membuat kawasan resapan air terganggu. Semua ini berdampak pada berkurangnya debit air pada sumber-sumber air utama di Pulau Bawean seperti hutan primer di kawasan Gunung Nangka, Gunung Besar, Gunung Bengkoang, Gunung Dedawang dan juga menyediakan danau sebagai tempat resapan air yaitu Danau Kastoba dengan vegetasi yang masih utuh mengitari sekeliling danau.

Saat saya melakukan ekspedisi keliling Bawean, saya melihat beberapa punggung gunung sudah gundul, banyak sawah sawah mengering, tanahnya retak retak akibat kekurangan air. Sementara hewan ternak seperti sapi, mulai kesulitan mencari rumput segar. Semua mengering.

Debit air di sumur-sumur warga pun, khususnya yang tinggal di perkotaan, mulai menyusut. Meski ada, kadang kotor. Penduduk kini menggantungan suplai air dari sumber mata air di pegunungan, dengan menggunakan pipa yang dikelola desa masing-masing. Namun lagi-lagi, airnya kadang tersendat.

Di sisi lain, akhir-akhir ini konflik pemanfaatan air di Bawean sudah mulai terasa lebih-lebih pada saat musim kemarau dima debit air berkurang. Beberapa kelompok petani pengguna air menganggap bahwa adanya akses masyarakat dengan pipanisasi dari dalam kawasan telah mengurangi jumlah air yang dipakai untuk kebutuhan pengairan.

Di satu sisi kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di pulau. Beberapa sumber air yang memberikan manfaat lain seperti Air Terjun Kuduk-kuduk ataupun Air terjun Latcar kini keindahannya semakin meredup karena debit air terjunnya semakin berkurang.

Tak puas, saya pun melihat sungai-sungai yang dulu dikenal memiliki air yang berlimpah, seperti ke sungai Patar Selamat dan Bengkosobung. Ternyata sama, sudah banyak terjadi pendangkalan dan penyempitan, rasanya lebih cocok disebut parit dari pada sungai. Airnya pun kotor dan keruh bercampur sampah.

"La derak kabbhi songai engkene nak (udah dangkal semua sungai saat ini, nak)," jelas seorang warga yang saya temui saat melihat-lihat kondisi sungai di Barat Sungai awal Oktober lalu.


Saat mendaki puncak Tanjung Gaan, lebih miris lagi. Kayu mentigi (santeghi), kayu bertuah yang dulu tumbuh lebat di sana, juga tak tampak lagi. Habis dijarah. Saya jadi khawatir, jangan-jangan kayu ini sudah punah dari ranah Bawean, sehingga anak cucu Bawean hanya bisa mendengar bahwa dulu di pulau ini tumbuh kayu mentigi, dari cerita pengantar tidur para orang tuanya saja.

Yang lebih kesalnya lagi, dulu saat akan merapat di pulau ini, dari kejauhan saya melihat Bawean sebagai pulau biru. Warna ini disumbang oleh lebatnya hutan yang menutup gunung ganangnya.

Namun kini, dari kejauhan Bawean menjelma menjadi pulau merah. Gunung ganang yang berselimut hutan tebal itu, banyak yang gundul. Sampai-sampai saya ragu, jangan-jangan saya tersasar ke pulau lain.

Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi.


“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’aro: 151-152)

---------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya selama berlibur ke Bawean di blog ini.

Berkunjung ke Markas Media Bawean

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya Berkunjung ke Markas Media Bawean berikut ini.




Baru saja saya tiba di Bawean, tiba-tiba ”Titit... titit....” Massage alert tone standard ponsel saya berbunyi. Ada SMS dari Abdul Basit, Pemred Media Bawean.

”Bapak, jadi berkunjung ke Media Bawean?” bunyinya.
”Untuk apa ya?”
”Lho kan Bapak guru besar kami, jadi wajar dong berkunjung ke mari?”
”Baik, nanti jam delapan (20.00) saya datang,” balas saya. Pembicaraan selesai.

Hingga akhirnya pukul 20.00 saya menepati janji. Motor yang saya kendarai pun parkir di sebuah deretan bangunan petak. Saya hitung ada empat petak, tiap petak berukuran sekitar 4 x 4 meter.

Pintu bangunan ini, menggunakan pintu geser ke atas dan ke bawah. ”Oh, di sini rupanya markas yang menjadi gudang ide pembangunan pulau Bawean itu?” gumam saya dalam hati.

Kantor ini treletak di Jalan Pendidikan Sawah Laut, tepat sebelah selatan depan Rumah sakit Sangkapura. Malam itu, kantor media Bawean cukup terang oleh temaram lampu led hemat energi Sinyoku, setara 80 watt.

Tanpa ragu saya masuk. Kantor ini hanya terbagi dua ruang, yang hanya diskat oleh triplek. Ruang redaksinya menghadap ke jalan, dilapir sebuah kaca hitam, mirip studio radio. Di sini, ada sebuah komputer layar cembung dan sebuah laptop.

Di dalam ada seorang lelaki berbadan subur, mengenakan pakaian bak kaum santri, sarung kotak, baju koko warna kuning, berpeci haji bersulam benang emas, sedang mengutak atik sebuah laptop.

”Ah, pasti ini Abdul Basit itu,” pikir saya menebak. Sekadar diketahui, saya belum pernah bertemu langsung dengan Basit. Hubungan kami selama ini hanya melalui SMS, telepon atau chatting di Facebook.

Makanya saya agak bingung juga, ketika dia meminta saya menjadi guru besar Media Bawean yang luar biasa ini. Ya sudahlah, saya saya terima saja. Semoga saja menjadi ibadah.

”Assalamualaikum...”

”Wa alaikum salam,” lelaki subur menjawab, lalu itu bangkit dari duduknya, badannya setengah membungkuk, lalu menjabat tangan saya, lalu bekas telapak tangan saya dia cium.

Saya bingung. Siapakah saya ini? Apakah setan sifat Malaikat, atau seorang malaikat bersifat syetan bak kisah Harut Marut?

”Slamat datang bapak,” sambutnya, suaranya lembut pandangannya tetap tertunduk.
”Terimakasih,” balas saya. ”Oh benar ternyata dia Basit,” bisik saya dalam hati.

Kemudian Basit mempersilakan saya duduk di kursinya. ”Sudah kita duduk di sini saja,” balas saya, sembari menunjuk ke sebuah tikar Bawean yang terhampar di ruang tersebut.

Dari wajahnya, tikar ini amatlah multi fungsi. Kadang sebagai alas para tamu yang hadir, tempat makan, bahkan juga tempat tidur Basit bila kantuk menjajah.

Selanjutnya kami terlibat perbincangan hangat. Sebuah kipas angin duduk, menggeleng ke kanan dan kemari, memberikan hawa sejuk dalam perbincangan itu.

Saat itu saya berpesan agar Basit, sebagai pengelola Media Bawean, tak larut dalam sanjungan dan alergi kritik bahkan hinaan.

Karena orang yang kerap menerima kritikan memiliki energi lebih dari orang yang terbiasa disanjung atau orang-orang yang mengkritiknya.

Oleh karena itu mengapa tak ada orang besar yang tumbuh dari hasil mengkritik. Orang besar itu umumnya tumbuh dari hasil membangun dan menguatkan orang lain. Watawa saubil haq, wa tawa saubissabr.

Selanjutnya kami membicarakan banyak hal. Sejak malam itu, saya sering bertandang ke markas media Bawean ini. Saya pun tak merasa kesepian, karena suasana di sekitar Media Bawean cukup ramai. Kadang saya mendengar ada sekumpulan orang bercanda, tertawa kecil, atau orang yang sedang membuka tutup pintu. Pokoknya semarak.

Namun, setelah lama-lama saya mulai merasa aneh. Saat akan pulang, saya perehatikan lagi, kantor Media Bawean ini terpencil, terpisah dari perkampungan dan rumah penduduk.

Yang lebih aneh, bangunan di sebelahnya masih kosong. Juga tak ada yang menggunakan pintu engsel, melainkan slidingdoor. Lalu, dari mana asal suara-suara itu?

Penasaran saya tanya ke Basit. Menjawab keanehan saya ini, dia hanya tersenyum. ”Ah itusih hiburan saya sehari-hari. kadang saya mendengar ada segerombolan orang tawuran di belakang,” jawabnya.

”Emang di belakang itu ada perkampungan?”

”Tak ada Bapak. Tepat di belakang kantor ini adalah taman pemakaman umum!”

Saya terhenyak mendengar jawaban ini.

”Tak takut sendirian di sini?”

”Tidak Bapak, saya santai saja. Tiap malam saya kadang pulang di atas jam 12 (dini hari). Saya berperinsip, tak ada orang mati gara-gara diganggu setan. Jadi kenapa harus takut?”

Foto: Saat berkunjung ke dapur redaksi Media Bawean.

-----------------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya selama berlibur ke Bawean di blog ini.

Senin, 12 Oktober 2009

Jangan Makan Ayam

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya diingatkan Jangan Makan Ayam berikut ini.


Kebiasaan saya uang lain saat pulang kampung adalah reuni dengan kawan sekampung. Sebenarnya, mereka bukan sepantaran saya, namun dulu mereka kerap menjadi pelengkap saat kami melakukan permainan, seperti perang-perangan, benteng bentengan, pal-palan dan lain-lain.

Mereka adalah Iwan dan Kadir. Sementara kawan sepantaran saya sudah banyak yang tak lagi bermukim di kampung kami. Mereka ada yang sudah di Malaysia dan daerah lain di Indonesia. Yang tersisa hanya Acang dan Maswadi. Itupun tinggalnya sudah terpencar, ada yang di Pacenan bahkan di Rokkak.

Namun, saat saya pulang kampung, biasanya mereka berkumpul. Nah, untuk memeriahkan pertemuan ini, saya menggelar acara dengan apa yang disebut “amassak-massa-an”. Maksudnya, masak-masakan.

Ini tradisi yang kami bangun sejak dulu. Biasanya, bila ada yang punya uang lebih, kami membeli 5 bungkus Indomie rasa kaldu ayam, lalu dimasak di rumah. Selanjutnya, ya dimakan bareng-bareng. Asyiknya rame-rame.

Nah, untuk acara kami ini, saya memilih rumah kak Dikding, yang berada di depan rumah, sebagai tempat menggelar acara. Syukurlah, Kak Dikding yang memang baik hati itu, mau.

Agar lebih meriah, saya memesan satu ekor ayam. “Yang enak nanti dibakar aja,” pesan Kak Dikding. Sayapun mengangguk setuju.

Hingga tibalah acara itu di gelar, semua sudah berkumpul. Ada Iwan, Kadir, Maswedi, dan tak ketinggalan Mansyur Momo, senior di kampung kami yang gayanya sangat saya suka. Kocak sih. Selalu saja bikin saya terpingkal hingga guling-guling di tanah.

Sebagai bintang tamunya, saya mengundang Abdul Basit, Pemimpin Redaksi Media Bawean.

Tak lama, istri kak Dikding datang membawa senampan penuh Indomie rasa kaldu ayam. Di atasnya puluhan cabai hijau bergeletakan, bikin air liur ini menetes saja.

Agar nendang, ditambah nasi putih satu bakul. Dan, tentu saja, ayam panggang. Istyri Kak Dikding memang piawai dalam memasak. Pokoke maknyus. Kawan-kawan puas.

Di saat kami menyantap, Iwan tak henti-henti berkisah tentang kenangan-kenangan nostalgia yang lalu disambung dengan tawa kami. Rupanya dia masih ingat akan peristiwa-peristiwa lucu zaman dulu.

Ketika makanan hampir habis, Basit pun datang dengan pakaian kebesarannya, baju koko.

“Natdhe e-dhe-er Pak Basit ( Artinya: silakan disantap Pak Basit),”
“Enggih engghih... (Iya iya),” ujarnya dengan logat Batusendi yang khas.

Basit pun dengan mantap mengambil Indomie rasa kaldu ayam itu ke piringnya. Lalu dia mulai makan.

“Ayu nasekna kean, ajemnya esambi.... Adheeee tak usah malo-malo (Ayo nasinya juga, ayamnya dimakan. Tak usah malu-malu),” ujar Kak Dikding pada Basit.

“Engghih, pon mento bhei. Bule pantang ngakan ajem mong akompol-kompol, (Iya, udah gini aja. Saya pantang makan ayam saat kumpul-kumpul begini),” tolaknya.
Kontan semua terkejut.

“Arapa? (Mengapa)”

“Takok mong apesah (Takut nanti berpisah),” jelas Basit.

Basit memiliki sebuah kepercayaan, bila makan ayam saat acara kumpul-kumpul, maka persahabatan mereka akan retak. Yang pacaran pun akan putus.

“La benyyak bhuktena (Udah banyak buktinya),” jelas lelaki subur ini.

Waduh, gimana lagi nih, ayamnya udah hampir habis. “

Ya udah, marilah kita berlindung pada Allah, semoga ramalan Pak Basit tak terjadi,” ujar saya, sembari mengunyah daging ayam panggang yang memang maknyus itu.


Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini.

Salat di Surau Kampung

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya Salat di Surau Kampung berikut ini.


Pulang kampung, jangan hanya muas-muasin lidah dan raga saja, jiwa dan ruh juga dong.

Inilah prinsip yang masih saya pegang. Hingga ketika memiliki ksempatan pulang ke Bawean, saya bisa melampiaskan dahaga akan ruh Rabbani ini lebih lekat lagi.

Maklumlah, di Batam saya tinggal di sebuah komplek yang jauh dari masjid. Jadi nuansa religiusnya agak sedikit berkurang. Untuk ingin mengetahui apakah saat ini sudah masuk waktu salat saja, saya harus memutar radio. Atau bila terlewat, melihat jadwal salat di Batam Pos. Sedih. Banget.

Beda dengan di Bawean, rumah kami di sana dikelilingi masjid-masjid besar. Yang paling dekat adalah Masjid Jami Sangkapura.

Bila saat waktu salat tiba, suara kaset orang melantunkan ayat suci Alquran menggema di mana-mana. Apalagi saat azan tiba, lantunan suara beraneka langgam dan vokal pun terdengar yang disusul dengan puji-pujian aneka rupa. Pokoknya meriah.

Yang paling nostalgik dan sangat saya sukai adalah, mendengar lantunan tahrim dari Masjid Jami, sebelum azan subuh berkumandang. Untuk yang saru ini, saya tak mau melewatkan. Sehingga, saat saya pulang saya selalu bangun pukul 04.00 pagi.

Aduh, saat mendengar ayat demi ayat dibaca, rasanya bulu kuduk saya berdiri, merinding, seolah ada Malaikat Izrail datang menyapa. Kadang tak terasa air mata ini berlinang.

Saya sendiri hingga saat ini tak paham, mengapa hal ini terjadi. Yang jelas, bila tahrim berkumandang tanpa dikomando air mata ini luruh. Padahal yang suara tahrim tersebut berasal dari kaset. Namun justru itulah yang bikin diri ini bergetar. Bila dilantunkan secara langsung, malah getarannya kurang, maklumlah, yang membaca tahrim asal-asalan, tanpa memperhatikan tajwid.

Kebiasaan saya yang lain, adalah salat berjamaan di surau kampung Kotta, tempat darah saya pertama tumpah dari rahim ibunda. Waduh, rasanya sangat syahdu, seolah salat di Masjid Haram saja.

Di surau inilah masa kecil saya dihabiskan. Utamanya pada bulan Ramadan, dulu, saya dan kawan-kawan menjadikan surau ini sebagai rumah kedua. Taraweh, tadarus, bahkan tidur pun di sini. Nuansanya sangat hidup dan makmur.

Dulu surau ini berbentuk rumah panggung dari kayu, namun sejak tahun 90-an bangunannya dirumbak dan diganti berbahan tembok. Seiring berubahnya bangunannya, surau ini juga tak lagi semakmur dulu.

Dulu saat salat Maghrib dan Isya jamaahnya berlimpah. Sekarang hanya lima orang saja. Umumnya yang datang yang rumahnya berada di dekat surau ini. Itupun udah tua-tua.

Seiring zaman, imam surau ini pun berganti. Dulu imamnya adalah Pak Muhammad, kiai yang sangat saya banggakan. Kami memanggilnya Mama, kependekan dari Rama dalam bahasa Indonesia berarti bapak.

Kini, setelah Mama mangkat, surau ini diteruskan oleh anak-anaknya. Kadang yang jadi Imam adalah Maswadi, teman sebaya saya. Kadang juga Kak Dullah.

Syukurlah. Saya bangga akan sikap istiqomah keluarga Mama dalam menjaga surau ini tetap hidup.

Ya, semua berubah. Meski demikian, kenangan itu masih tetap lekat.

Karena itulah, pada hari Selasa 6 Oktober lalu, saat menyempatkan salat Isya di surau ini. Saat itu, Kak Dullah yang jadi imam. “Silakan,” kata kak Dullah meminta saya jadi imam. Namun tawaran ini saya tolak dengan halus. Soalnya, saya ingin merasakan kesyahduan menjadi makmum, seperti saat-saat dulu.

Saat itu saya mengambil tempat dekat mihrab, tepat di belakang imam. Hingga akhirnya salat selesai ditunaikan, mata saya menyapu seisi ruang. Di kanan dan kiri gerbang mihrab imam itu saya melihat lafal Allah dan Muhammad, terpajang.

Namun saat melihat lebih ke atas lagi, ternyata di atas antara lafaz itu terpampang sebuah jam bergambar dua orang calon bupati Gresik (kini telah terpilih), bertuliskan “KH Robbach Maksum dan HM Sastro Suwito Pemimpin Pilihan Rakyat Gresik.”

Sayapun langsung gusar. Waduh, ternyata saya salat menghadap gambar dua orang ini. “Wah, macam orang Ko*****u saja, beribadah harus menghadap gambar,” pikirku.

“Sekalian saja di surau ini dipajang gambar garuda Pancasila, Presiden dan wakilnya, Gubernur dan wakilnya, pak camat dan sekcamnya, kalau perlu pak Kades dan bu Kades, pak kasun dan bu kasun, atau pak hansip dan bu hansip,” selorohku dalam hati.

Hingga setelah para jamaah tutun, saya menanyakan pada Kak Dullah, “Apa masalahnya kok jam bergambar Robbach Maksum dipasang lebih tinggi dari lafaz Allah dan Muhammad?”

Kak Dullah pun tersenyum. “Entahlah, itu siapa yang pasang,” ujarnya.

Selidik punya selidik, rupanya jam itu hadiah dari tim sukses Robbach Maksum untuk dibagikan pada masjid dan surau di seluruh Gresik.



Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini
.

Tradisi Atolong

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah Tradisi Atolong berikut ini.

Bulan syawal tiba... Kini saatnya musim kawin, eh, musim menikah. Ini adalah pesta bagi para pecinta.

Bagi warga Bawean yang 100 peratus Muslim, bulan ini memang menjadi bulan yang the most recomanded oleh para kiai, kepada orang tua menikahkan anak-anaknya. Karena berdasar penimbangan hitungan, bulan ini tetaplah menjadi bulan yang bagus.

Musim menikah ini menjadi membuat bulan syawal menjadi bulan yang tak hanya meriah, tapi juga penuh berkah. Berkah itu juga dialami bagi perantau yang pulang kampung seperti saya.

Maklumlah, tiap hari, selau saja ada orang yang nangap orkes dangdut, seni tradisi, hingga semarak iring-iringan warga yang mengarak kedua mempelai keliling alun-alun Sangkapura. Pokoknya ramai.

Dan yang paling penting, saya bisa kembali menyelami sedapnya nasek maor-maoran (nasi kenduri), yang memang jerang dibuat selain pada musim ini. Ada nasek samen (semacam nasi kebuli, kalau di Jakarta mirip nasi goreng Kebon Sirih yang terkenal itu). Yang bikin meriah, lauk pelengkapnya itu lho, sate Bawean yang khas ada juga kare daging plus mie. Maknyus.

Selain itu di musim nikah ini, biasanya para lemari dapur ibu-ibu penuh dengan aneka kemasan minyak goreng dan gula kemasan 1 kiloan. Ini adalah bingkisan dari kedua mempelai, orang Bawean menyebutnya “berkat”, bagi mereka yang telah sudi datang pada acara selamatan.

“Wah, mantap neh. Di saat minyak goreng dan gula di Batam langka, di bawean malah berlebih. Gratis lagi. Kayaknya program ini perlu dicontoh,” pikirku asal asalan.

Namun, tak lama, pendapat saya ini langsung luntur. Karena, saya lihat mimik ibu-ibu itu tak sesumringah yang saya rasakan. Kok bisa? Begini ceritanya.

Syahdan, saat saya bertandang ke rumah kerabat, dari sana saya mendengar sekumpulan ibu-ibu yang setengah mengeluh.

“Adu....h bennyakna panganten. E Bhengkalan, e Dheun, Bengkosobung. Lesso,” katanya yang dalam terjemahan bebasnya berarti, Aduh banyak sekali pengantin, di Bangkalan, di Daun, Bengkosubung. Capek deh...)

Saya bingung, kok bisa mereka mengeluh begitu. Bukankah, nanti mereka dapat bingkisan yang yahud?

Ternyata alasannya, untuk setiap undangan, harus “atolong” minimal Rp30 ribu. Uang ini mereka masukkan dalam amplop. “Atolong” dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “memberi pertolongan”. Ini adalah tradisi yang lazim dilakukan warga Bawean saat menghadiri selamatan.

Dari data ini, saya perlahan mulai menghitung, kalau satu undangan selamatan saja harus “atolong” Rp30 ribu, berapa banyak dana yang dikeluarkan para ibu-ibu tersebut di musim nikah ini. Apalagi, kadang satu orang kadang bisa diundang lebih dari satu selamatan kawinan. Bahkan ada yang sampai mendapat 10 undangan selamatan. Tinggal dikalikan saja.

Tentu ini bukan angka yang kecil, apalagi tingkat ekonomi masyarakat Bawean yang umumnya masih tergolong menengah ke bawah.

Dalam pikirku, sempat terlontar ide konyol agar ibu-ibu itu bisa terlepas dari “keborosan ritual” ini.

Misalnya, tiap ibu-ibu yang sudah menerima undangan selamatan, tak boleh lagi diundang. Atau pak lurah dan warga harus rembukan, bagaimana supaya dalam satu kampung, dalam sebulan tak boleh ada pernnikahan lebih dari satu.

Ha ha ha ha... tentu ini bukan ide yang baik. Bisa-bisa saya dicap kafir, deh. Tapi, bagaimanapun memang harus ada yang bisa melepaskan kegundahan ini. Pesta ya pesta saja, tak usah mengharap pemasukan dari para undangan. karena ini akan memberatkan dan mengurangi ke-khusyukan selamatan itu sendiri.

Hingga beberapa hari berlalu, saya mendengar cerita bahwa banyak beberapa penyelenggara selamatan nikahan itu menerima amplop kosong. Jumlahnya kadang lebih dari satu.

Mungkin orang yang “atolong” dengan amplop kosong, sudah tak kuat lagi menanggung beban yang kian sarat itu.



Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini.

Kisah Para Penerus

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti Kisah Para Penerus ini.


Pulang kampung, ah... saatnya menjamu selera. Hunting makanan. Bawean memang kaya akan khasanah kuliner.

Hunting makanan saat mudik, tak hanya memuaskan rasa ragawi tapi juga ruhani. kenangan-kenangan nostalgik yang melankolis itu, seolah terlintas saat mulut ini mengunyah satu demi satu makanan favorit itu.

Ada banyak makanan favorit yang memang sudah masuk dalam listing saya saat ke Bawean, ada nasek koa, sutu, lumpang, putu manyang, to-om, to-om, lopes, kui benjer, dan banyak lagi. Meski tak semua makanan itu bisa saya dapatkan, namun beberapa di antaranya sudah cukup mewarnai nostalgiok itu.

Berbicara soal ini, saya punya cerita unik saat saya akan menikmati nasek koa. Nasek koa dalam bahasa Indonesia adalah nasi berkuah santan. Ini adalah sarapan wajib orang Bawean. Bila fajar tiba, kaum hawa akan berbondong-bondong menuju tempat penjual nasek koa pujaannya.

Dulu saat aku kecil, di Sangkapura ada beberapa penjual nasi yang kondang. Di Bengko sobung ada Mak Pik-pik, Mak Dik-dik, Mak Caa dan Mak Tima. Di Sawah luar ada Mak Dik dik, ada juga Mak Asma. Semua spesialis nasek koa.

Sementara di Laut Sungai ada Pak Raden. Namun, mereka bukan menjual nasek koa, melainkan nasi pecel. Rasanya mantap, apalagi rempeyeknya, kuerennyes.... kres... kres...

Namun seiring waktu, satu persatu mereka tutup, karena tak punya penerus. Yang masih eksis, karena ada yang meneruskan usahanya, seperti Mak Tima itu. Survival for the fittes.

Berbeda dengan penjual makanan pada umumnya, penjual nasek koa ini tak dijajakan di warung, melainkan di rumah (semacam home industry). Biasanya, mereka menggelar dagangannya di sebuah pondok kecil di teras rumah, yang orang Bawean biasa disebut “dhurung”.

Meski namanya sama, namun tiap penjual nasek koa ini memiliki resep rahasia dan rasa yang berbeda. Misal, nasek koa Bengkosobung memiliki ciri khas menggunakan sayur nangka muda, dan juga belimbing. Sedangkan Sawahdaya biasanya pakai sayur rebung.

Di antara penjual nasek koa yang paling terkenal adalah nasek koa Luluk yang berdomisili di Bengkosobung. Bila berminat, Anda harus datang sekitar pukul 06.00 pagi. Telat sedikit, akan ludes.

Siapa Luluk? Selidik punya selidik, Luluk adalah generasi ke dua penerus kejayaan nasek koa yang dulu dibangun oleh almarhum ibunya, Mak Tima. Jadi sebelum orang menyebut “nasek koa Luluk”, sebelumnya sudah dikenal dengan sebutan “nasek koa Mak Tima”.

Saat kecil dulu, saya sering membeli nasek koa “Mak Tima” ini. Rasanya memang mantap. Ini adalah sarapan favorit keluarga kami, selain nasek koa Mak Asma di Sawahdaya yang terkenal itu.

Saya masih ingat, betapa Buk Makma (almarhum)sangat menggilai terasi home made Mak Tima ini, sampai-sampai tiap membeli nasek koa, dia selalu berpesan, "Pabennyak acanna Ma," (maksudnya, banyakin terasinya).

Dan memang, rasanya luar biasa.

Hingga seiring waktu, Mak Tima wafat, dan kini diganti oleh penerusnya, Luluk.

Soal rasa, tak perlu ragu, masih tetap sama dengan nasek koa pendahulunya, yang 20 tahun lalu saya rasakan itu. Hal ini bisa dijaga, karena keterampilan tersebut tak diajarkan, namun melalui proses penularan yang sangan tekun.

Saya ingat, bagaimana Mak Tima mempersiapkan penerusnya itu, sejak dia masih SD. Di sanalah dia mengajarkan tips dan trik mencari dan mengolah bahan-bahan bermutu, hingga tercipta sebuah sistem yang mengikat.

Jadi, meski Mak Tima tak adapun, rasanya tetap saja terjaga.

Selain nasek koa, banyak juga masakan terkenal Bawean yang kini telah dilanjutkan para penerusnya. Ada “Sutu Mak Subeide”, yang sangat terkenal itu. Setelah Mak Subeide mangkat, kini diteruskan putrinya bernama Yati. Maka jadilah orang menyebut Sutu Yati”.


Ah syukurlah, kekayaan kuliner itu kini tetap bertahan.


Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini...