Selasa, 20 Oktober 2009

Hampir Pingsan saat Bersepeda

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Misalnya saat saya Hampir Pingsan saat Bersepeda.



Di awal-awal tahun 2009 ini, di Bawean sedang dilanda demam sepeda. Tiap sore, selalu saja ada yang bersepeda. Bahkan dari demam ini, lahirlah KOBYSA (Komunitas Bicycle Sangkapura).

Namun saat saya pulang kampung, demam ini mulai reda. Hal ini saya rasakan dari jarangnya orang yang melakukan akrivitas bersepeda. Meski ada, hanya satu dua saja. Tak massive seperti sebelumnya.

Adalah Kadir, Pikpik, dan Ratna, yang masih melakukan kebaiasaan baik ini. Mereka adalah kawan saya. Masih ada hubungan saudara juga. Khusus Kadir, semasih saya di Batam, dia sudah sering mengajak saya bersepeda. ”Oke, tunggu nanti saat saya pulang ya,” janji saya kala itu.

Makanya saat pulang kampung ini, saya langsung nelepon Kadir. ”Jadi kita bersepeda Dir?”
”Ye, Kak Rija. Jhella pokol empak la kabengkona (Ya, nanti pukul 16.00 saya ke rumah),” jawab Kadir.

Dan benar, akhirnya Kadir datang juga. Meski ngaret sampai setengah jam. ”Ta tedung eson (ketiduran),” excuse-nya.
”Ya udah, kita berangkat,” ajak saya.

Kadir pun berganjak memimpin. Dengan mantap dia mengayuh sepeda gunungnya. Pakaian yang dikenakan saat itu berwarna jingga, di punggungnya tertulis KOBYSA (Komunitas Bicycle Sangkapura). Ini adalah seragam kebanggan mereka.

Tujuan kami saat itu adalah ke Desa Gunung Teguh. Dengan melintasi rute perkampungan ke utara, mulai Dayabata - alun-alun - Sawahluar - Sawahdaya. Selanjutnya memasuki jalan persawahan, menuju Patar Selamat - Disallam hingga Batu Raket.

Namanya juga ke pegunungan, jalan yang kami lalui menanjak. Namun tak seberapa. Maklumlah, hati ini masih terhibur dengan indahnya pemandangan areal persawahan dan gunung ganang yang berada dui kanan kiri.

Hingga lepas dari Disallam, tanjakannya kian curam. Aduh, copot rasanya engsel kaki saya. Dengkul ini langsung panas. Maklum, belum terbiasa. Di Batam, saya jarang bersepeda. Olah raga saya paling banter hanya naik turun tangga di lantai dua Gedung Graha Pena Batam.

Namun, tantangan ini berhasil saya tempuh dengan baik. Kata Kadir, untuk ukuran pemula dengan perut gendut, saya dapat nilai B. Sesampainya di jembatan Batu Raket, sekitar 6 kiloan dari rumah, kami berhenti sebentar. Di depan saya ada tanjakan yang cukup curam. Saya pikir, di sinilah akhir rute ini.

Ternyata belum. Setelah melepas dahaga, Kadir melanjutkan perjalanan. Kali ini benar-benar berat. Saya mencoba mengayuh, namun sampai separuh tanjakan sudah tak kuat. Dengkul panas, nafas terengah.

Akhirnya saya putuskan turun dari sepeda, sembari terus mendaki ke puncak. Sementara Kadir, masih bertahan di atas sepedanya.

Tak lama kemudian, sampai juga di puncak. Di sini ada sebuah huma (dhurung). Kamipun beristirahat di sana. Sementara, nafas saya tersengal, jantung berdetak cepat.

Saat itu saya akan pingsan, namun segera saya berdiri, menghadap pegunungan lalu menghirup oksigen banyak-banyak. Selanjutnya sisa air mineral saya siramkan ke atas kepala. Tak lama, rasa mau pingsan itu hilang, seiring muklai teraturnya nafas, berganti hawa segar.

”Ah, tak kuat saya Dir. Rasanya macam diurut saja jantung ini,” jelas saya.

”Ini tak seberapa, jalan ini menuju Gunung Soka, jalannya lebih curam lagi,” jelas Kadir, bagai tak berdosa.

”Ah, sudahlah, ayo pulang. Sebentar lagi Maghrib,” ajak saya.

Kamipun pulang. Kali ini perjalanan agak santai, maklum menurun.

***

Pengalaman ini saya ceritakan kembali, ketika bertemu Pikpik dan Ratna. Merekapun mengecam Kadir, ”Kok diajak ke sana, ya iyalah. Yang enak sepedaan itu menempuh rute ke Lebak, jalannya rata,” jelas mereka.

”Ya, udah, kapan kita ke sana?”
”Besok sore juga boleh. Kita bertemu di alun-alun,” ujarnya.

Singkat kata, keesokan harinya kamipun bergerak. Kali ini menuju arah barat, menempuh rute Alun-alun - Pateken - Perikanan - Dermaga - Ra-as (selanjutnya saya tak hafal nama desanya). Agar tak silau oleh sapuan matahari senja, saya melindungi wajah dengan topi dan kaca mata.

Dan benar, rute ini jauh lebih santai. Maklum jalannya rata. Tanjakan sih ada, utamanya saat di dusun Ra-as, namun tak securam tanjakan di Baturaket kemarin.

Hingga akhirnya sampai juga di desa lebak. dari rumah, jaraknya sekitar 6 km. Di sebuah huma yang ada di pingguir jalan, di areal persawahan kami istirahat, sembari menikmati air mineral dan pemandangan alam yang mantap.

Selanjutnya kami pulang, sampai di rumah, Azan Maghrib berkumandang di telinga.


Foto: Istirahat di Lebak.


------------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini...

Tidak ada komentar: