Senin, 12 Oktober 2009

Tradisi Atolong

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah Tradisi Atolong berikut ini.

Bulan syawal tiba... Kini saatnya musim kawin, eh, musim menikah. Ini adalah pesta bagi para pecinta.

Bagi warga Bawean yang 100 peratus Muslim, bulan ini memang menjadi bulan yang the most recomanded oleh para kiai, kepada orang tua menikahkan anak-anaknya. Karena berdasar penimbangan hitungan, bulan ini tetaplah menjadi bulan yang bagus.

Musim menikah ini menjadi membuat bulan syawal menjadi bulan yang tak hanya meriah, tapi juga penuh berkah. Berkah itu juga dialami bagi perantau yang pulang kampung seperti saya.

Maklumlah, tiap hari, selau saja ada orang yang nangap orkes dangdut, seni tradisi, hingga semarak iring-iringan warga yang mengarak kedua mempelai keliling alun-alun Sangkapura. Pokoknya ramai.

Dan yang paling penting, saya bisa kembali menyelami sedapnya nasek maor-maoran (nasi kenduri), yang memang jerang dibuat selain pada musim ini. Ada nasek samen (semacam nasi kebuli, kalau di Jakarta mirip nasi goreng Kebon Sirih yang terkenal itu). Yang bikin meriah, lauk pelengkapnya itu lho, sate Bawean yang khas ada juga kare daging plus mie. Maknyus.

Selain itu di musim nikah ini, biasanya para lemari dapur ibu-ibu penuh dengan aneka kemasan minyak goreng dan gula kemasan 1 kiloan. Ini adalah bingkisan dari kedua mempelai, orang Bawean menyebutnya “berkat”, bagi mereka yang telah sudi datang pada acara selamatan.

“Wah, mantap neh. Di saat minyak goreng dan gula di Batam langka, di bawean malah berlebih. Gratis lagi. Kayaknya program ini perlu dicontoh,” pikirku asal asalan.

Namun, tak lama, pendapat saya ini langsung luntur. Karena, saya lihat mimik ibu-ibu itu tak sesumringah yang saya rasakan. Kok bisa? Begini ceritanya.

Syahdan, saat saya bertandang ke rumah kerabat, dari sana saya mendengar sekumpulan ibu-ibu yang setengah mengeluh.

“Adu....h bennyakna panganten. E Bhengkalan, e Dheun, Bengkosobung. Lesso,” katanya yang dalam terjemahan bebasnya berarti, Aduh banyak sekali pengantin, di Bangkalan, di Daun, Bengkosubung. Capek deh...)

Saya bingung, kok bisa mereka mengeluh begitu. Bukankah, nanti mereka dapat bingkisan yang yahud?

Ternyata alasannya, untuk setiap undangan, harus “atolong” minimal Rp30 ribu. Uang ini mereka masukkan dalam amplop. “Atolong” dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “memberi pertolongan”. Ini adalah tradisi yang lazim dilakukan warga Bawean saat menghadiri selamatan.

Dari data ini, saya perlahan mulai menghitung, kalau satu undangan selamatan saja harus “atolong” Rp30 ribu, berapa banyak dana yang dikeluarkan para ibu-ibu tersebut di musim nikah ini. Apalagi, kadang satu orang kadang bisa diundang lebih dari satu selamatan kawinan. Bahkan ada yang sampai mendapat 10 undangan selamatan. Tinggal dikalikan saja.

Tentu ini bukan angka yang kecil, apalagi tingkat ekonomi masyarakat Bawean yang umumnya masih tergolong menengah ke bawah.

Dalam pikirku, sempat terlontar ide konyol agar ibu-ibu itu bisa terlepas dari “keborosan ritual” ini.

Misalnya, tiap ibu-ibu yang sudah menerima undangan selamatan, tak boleh lagi diundang. Atau pak lurah dan warga harus rembukan, bagaimana supaya dalam satu kampung, dalam sebulan tak boleh ada pernnikahan lebih dari satu.

Ha ha ha ha... tentu ini bukan ide yang baik. Bisa-bisa saya dicap kafir, deh. Tapi, bagaimanapun memang harus ada yang bisa melepaskan kegundahan ini. Pesta ya pesta saja, tak usah mengharap pemasukan dari para undangan. karena ini akan memberatkan dan mengurangi ke-khusyukan selamatan itu sendiri.

Hingga beberapa hari berlalu, saya mendengar cerita bahwa banyak beberapa penyelenggara selamatan nikahan itu menerima amplop kosong. Jumlahnya kadang lebih dari satu.

Mungkin orang yang “atolong” dengan amplop kosong, sudah tak kuat lagi menanggung beban yang kian sarat itu.



Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini.

Tidak ada komentar: