Jumat, 16 Oktober 2009

Jadi Orang Kaya

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah tantang maraknya kini orang Bawean yang bercita-cita menjadi orang kaya, dengan cara-cara yang kurang baik.



Saat kumpul-kumpul dengan beberapa pemuda yang kritis di sebuah surau, saya ditanya bagaimana agar nilai-nilai agama bisa lebih terjadi di pulau ini.

Saya keheranan, kok bertanya seperti itu? ”Iya, saat ini banyak kemungkaran dilakukan terang-terangan,” jawab salah seorang dari mereka. ”Kini penduduk Bawean lebih banyak memuja materi (hedonis/hubbud dunia),” timpal yang lain.

Saya menjawab, bahwa penyakit tersebut kini memang mewabah tak hanya di Bawean saja, namun di seluruh Indonesia. Dampak globalisasi, dan kampanye negera-negara kapitalis, membuat hal ini kian mengakar.

”Bisa dicontohkan, memuja materi seperti apa?” saya kembali penasaran.

Selanjutnya salah seorang berujar, bahwa kini banyak orang yang memuja orang-orang kaya, tak peduli harta kekayannya berasal dari sumber yang baik atau buruk. ”Pokoknya yang kaya, disanjung meski itu hartanya di dapat dari jalan subhat,” jelasnya.

Akibat hal ini, kini banyak generasi muda yang bercita-cita seperti para seniornya. Jadi kaya, meski dengan cara haram. ”Namun ada banyak juga sih, yang masih memegang teguh iman, mencari rezeki yang halalan tayyiban,” sebutnya.

Saya lega mendengar jawaban terakhir ini. Syukurlah, berarti kondisi ini bisa diperbaiki. Meski itu sulitnya minta ampun. Kendala utama terletak pada kurang kuatnya filter di masyarakat itu sendiri, bagaimana mereka memandang harta.

”Bila orang-orang yang diketahui melakukan kemungkaran ini tidak mendapat tempat, tentu mereka tak akan berani memamerkan hasil kemungkarannya,” jelas saya.

Dari sini saya teringat sebuah tulisan antropolog belanda, Menner Jacob. Dulu saat melakukan penelitian di Bawean, didapat fakta bahwa masyarakat menempatkan kiyai dan orang-orang berilmu pada urutan atas, dalam strata kemasyarakatannya.

Sementara orang yang mungkar, seperti tukang sihir, mereka letakkan paling bawah. Kalau tak salah pada tingkat ke 10.

Makanya ditemukan di Bawean saat itu, orang-orang yang bangga akan kiai dan orang-orang berilmunya. Mereka sangat hormat, sampai-sampai seorang santri akan berebut meminum air bekas cuci tangan sang kiai, agar mendapat karamanya.

Dari sinilah, sampai-sampai muncul tradisi ”asare ghuru” atau mencari guru. Saat itu, sang anak akan merantau hingga dari masyrik ke magrib, agar nantinya bisa memiliki ilmu agama/pengetahuan yang baik.

Sebaliknya, penduduk sangat mengucilkan para tukang sihir. Maka itulah, orang-orang yang diduga tukang sihir sangat merahasiakan eksistensinya. Mereka bahkan memilih mengucilkan diri dari khalayak ramai.

”Saat ini coba diteliti, apakah strata sosial masyarakat Bawean masih menempatkan kyai dan orang-orang berilmu di deretan paling atas? Apakah masih ada tradisi ‘asare ghuru’ itu?” mereka terdiam.

Selanjutnya saya mengajukan ide ekstrem, bila memang fenomena untuk menjadi orang kaya, dengan harta subhat ini sudah sangat meresahkan, gelar saja pertemuan. Rapat akbar.

Dari sana susunlah kesepakatan, bahwa orang Bawean yang berbuat kemungkaran termasuk mencari harta dengan cara haram akan dikucilkan, seperti bagaimana pendahulu kita mengucilkan para tukang sihir.

Agar pesan ini tepat sasaran dan diikuti, bila perlu fatwakan, umumkan melalui ceramah salat Jumat di masjid-masjid.

Mau?
-------
Simak terus kisah menarik seputar liburan di Pulau Bawean di blog ini.

Tidak ada komentar: