Selasa, 13 Oktober 2009

Selamatkan Bawean

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya bertemu seorang guru yang konsen untuk Selamatkan Bawean.

Saat berkunjung ke SMP Muhammadiyah, Sangkapura, sekolah tempat saya dulu mencari ilmu, saya bertemu seorang guru yang sangat kritis. Khususnya dalam masalah lingkungan.

Dalam diskusi itu, dia sangat gundah. ”Banyak hutan di Bawean yang dirusak, dan gundul. Kalau ini dibiarkan, maka keselamatan penduduk jadi taruhannya,” sergahnya bersemangat.

Semula, saya menanggapinya biasa saja. Saya malah berseloroh, ”Sudahlah, masalah itu terlalu berat, mending mengurus yang kecil-kecil saja,” jelas saya.

Namun sang guru malah makin bersemangat, ”Justru karena ini masalah besar harus dipikirkan Pak!”

Kali ini saya tak sembarangan lagi, rupanya dia serius. Lalu saya bertanya, apa tindakannya melihat semua ini. ”Kalau hanya ngomong prihatin, semua juga bisa. Tapi harus bertindak juga dong!” saran saya.

Dia makin sengit, ”Oh, saya sudah melakukan itu. Saya telah meninjau beberapa lokasi, dan memang di sana terjadi kerusakan hutannya sangat parah!” jelasnya.

Dia juga mengurai, data data temuannya ini dia sampaikan para beberapa petinggi daerah di Bawean. Namun hingga kini belum ada respon berarti. Sementara kerusakan dan penjarahan terus meluas.

Menjawab ini, saya akhirnya memberikan saran bagaimana supaya aksinya bisa lebih bergaung. ”Mas, kalau hanya bergerak sendiri tentu akan sangat susah. Perjuangan Anda akan kehabisan tenaga,” jelas saya.

Untuk itu saya menyarankan agar dia coba menggandeng berapa organisasi lingkungan, seperti Greenpeace dan semacamnya, atau masuk dalam kelompok diskusi tentang hutan di milis internet. Saya yakin aksinya akan lebih didengar.





Karena, saat ini isu kerusakan hutan memang lagi menghangat, karena berdampak pada pemanasan global. Isu inilah yang membuat beberapa negara-negara maju berkumpul dan mengucurkan dana miliaran dolar untuk menyelamatkan hutan ini.

Menurut data yang dirilis Food Agricultural Organization tahun 2007, laju perusakan hutan 1,8 juta hektar per tahun. Dalam 1 menit perusakan hutan terjadi seluas 5 kali luas lapangan sepak bola. Dengan kata lain, dalam sejam hutan seluas 300 lapangan sepak bola rusak.

Bahkan, beberapa waktu lalu, Joko Arif, Juru Bicara Kampanye Bidang Kehutanan Greenpeace di Jakarta, mengatakan penggundulan hutan di Indonesia menyumbang 75 persen gas rumah kaca.

Hingga diskusi ini berakhir, saya masih memikirkan temuan sang guru itu. Oh, pantas saja di Bawean saat ini sangat panas. Dulu saya berpendapat, Batam dan Surabaya adalah kota terpanas, namun kini, setelah beberapa tahun kemudian saya datang ke Bawean, anggapan saya itu gugur. Bawean, menjadi kota terpanas di antara dua kota itu. Bisa bayangkan.

Padahal untuk ukuran pulau kecil yang berada di tengah laut dan memiliki banyak gunung dan hutan, seharusnya udara Bawean lebih sejuk dan basah di Banding Surabaya dan Batam.

Hal ini diperparah, karena di pulau ini sangat jarang turun hujan, meski tahun ini sudah memasuki musim penghujan.

Akibat penggundulan hutan, tentu membuat kawasan resapan air terganggu. Semua ini berdampak pada berkurangnya debit air pada sumber-sumber air utama di Pulau Bawean seperti hutan primer di kawasan Gunung Nangka, Gunung Besar, Gunung Bengkoang, Gunung Dedawang dan juga menyediakan danau sebagai tempat resapan air yaitu Danau Kastoba dengan vegetasi yang masih utuh mengitari sekeliling danau.

Saat saya melakukan ekspedisi keliling Bawean, saya melihat beberapa punggung gunung sudah gundul, banyak sawah sawah mengering, tanahnya retak retak akibat kekurangan air. Sementara hewan ternak seperti sapi, mulai kesulitan mencari rumput segar. Semua mengering.

Debit air di sumur-sumur warga pun, khususnya yang tinggal di perkotaan, mulai menyusut. Meski ada, kadang kotor. Penduduk kini menggantungan suplai air dari sumber mata air di pegunungan, dengan menggunakan pipa yang dikelola desa masing-masing. Namun lagi-lagi, airnya kadang tersendat.

Di sisi lain, akhir-akhir ini konflik pemanfaatan air di Bawean sudah mulai terasa lebih-lebih pada saat musim kemarau dima debit air berkurang. Beberapa kelompok petani pengguna air menganggap bahwa adanya akses masyarakat dengan pipanisasi dari dalam kawasan telah mengurangi jumlah air yang dipakai untuk kebutuhan pengairan.

Di satu sisi kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di pulau. Beberapa sumber air yang memberikan manfaat lain seperti Air Terjun Kuduk-kuduk ataupun Air terjun Latcar kini keindahannya semakin meredup karena debit air terjunnya semakin berkurang.

Tak puas, saya pun melihat sungai-sungai yang dulu dikenal memiliki air yang berlimpah, seperti ke sungai Patar Selamat dan Bengkosobung. Ternyata sama, sudah banyak terjadi pendangkalan dan penyempitan, rasanya lebih cocok disebut parit dari pada sungai. Airnya pun kotor dan keruh bercampur sampah.

"La derak kabbhi songai engkene nak (udah dangkal semua sungai saat ini, nak)," jelas seorang warga yang saya temui saat melihat-lihat kondisi sungai di Barat Sungai awal Oktober lalu.


Saat mendaki puncak Tanjung Gaan, lebih miris lagi. Kayu mentigi (santeghi), kayu bertuah yang dulu tumbuh lebat di sana, juga tak tampak lagi. Habis dijarah. Saya jadi khawatir, jangan-jangan kayu ini sudah punah dari ranah Bawean, sehingga anak cucu Bawean hanya bisa mendengar bahwa dulu di pulau ini tumbuh kayu mentigi, dari cerita pengantar tidur para orang tuanya saja.

Yang lebih kesalnya lagi, dulu saat akan merapat di pulau ini, dari kejauhan saya melihat Bawean sebagai pulau biru. Warna ini disumbang oleh lebatnya hutan yang menutup gunung ganangnya.

Namun kini, dari kejauhan Bawean menjelma menjadi pulau merah. Gunung ganang yang berselimut hutan tebal itu, banyak yang gundul. Sampai-sampai saya ragu, jangan-jangan saya tersasar ke pulau lain.

Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi.


“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’aro: 151-152)

---------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya selama berlibur ke Bawean di blog ini.

Tidak ada komentar: