Selasa, 27 September 2011

Ada Brand di Telur Goreng Pakde

Ini masih kisah saat sarapan lontong sayur di tempat favorit saya, di warung Pakde Batam Centre.

Setelah saya perhatikan, ternyata dari beberapa penjual lontong sayur yang telah saya cicipi, lontong sayur Pakde ini memiliki ciri khas yang tak ada di lontong sayur lain. Apa itu? telur rebus yang digoreng.

Saya penasaran, mengapa kok masih digoreng? Kan lebih memakan banyak anggaran, paling tidak nambah minyak goreng, gasa, dan tenaga untuk menggorengnya.

Pakde menjawab, menjual makanan itu tak hanya rasa, tampilan juga harus dijaga. Kalau meminjam istilah rumah makan Padang, ”Nan dicaliak rupo, nan dicubo raso (yang dilihat rupa, yang dicoba rasa.”

Dia melanjutkan, bila digoreng telur akan mempercantik "disain" penyajian dan tak akan hancur saat disajikan. Beda bila tak digoreng, warnanya putih pucat tak kontras dengan warna sayur yang kekuningan.

Hari-hari berlalu, hingga suatu ketika saya lihat ada orang goreng telur, ingatan saya selalu ingat pada lontong sayur Pakde ini. Saat itulah saya tertegun. Ah, mungkin ini pesan di balik telur rebus yang digoreng itu. Pakde tengah menancapkan brand-nya pada penikmat lontong sayurnya itu.

Ya, inilah brand. Kata Laureen Ong, pemenang hadiah broadcasting dan eksekutif jaringan televisi global, "Strong brand is the wave of the future."

Saat ini kita mungkin tahu beragam produk, baik itu makanan, perangkat elektronik, beragam televisi dan programnya, atau beragam artis. Semuanya sama bagus, sama hebat. Namun, selalu saja kita akan memilih nama-nama yang sudah dikenal.

Kita tak mau pusing memilih, karena kita sudah percaya pada beberapa brand yang kita suka, dan akan terus kembali ke brand itu. Meski sama-sama ayam penyet, tetaplah kita memilih ayam penyet yang sudah kita kenal cita rasanya. Meski banyak artis yang sama cantiknya, entah kenapa ingatan kita ke Dian Sastro lagi, Dian Sastro lagi.

Kata Wimar Witoelar karena semaraknya produk, membuat kita berhati-hati, lalu mencari acuan untuk meilih di antaranya teman, atau tokoh publik yang kita percaya. Orang-orang ini ibarat mesin pencari saat kita kebingungan ketika surfing di dunia maya.

Tokoh publik itu (tentunya yang memiliki aura positif) jadi brand juga, bisa ulama, artis dan lain sebagainya. Selama brand itu kuat, pemiliknya bisa melakukan macam-macam pemanfaatan.

Jadi jangan sewot juga bila acara televisi atau iklan kita selalu tak lepas dari, contoh, Sule atau Agnes Monica, karena saat ini mereka memang dinilai memiliki brand yang kuat.

Juga jangan bilang aji mumpung, bila ada tokoh atau artis yang memiliki brand yang kuat, memiliki multi profesi: ya, profesional, pragawati, fotomodel, bintang iklan, bintang sinetron, penyanyi, bahkan juga kepala daerah.

Juga jangan nyinyir, bila hampir semua anggota tubuhnya jadi duit: nama jadi duit, rambut jadi duit (iklan syampo), kulit jadi duit (iklan lotion atau sabun), gigi jadi duit (iklan pasta gigi), mata jadi duit (iklan obat mata), bibir jadi duit (iklan lipstik), kaki jadi duit (iklan sepatu/sandal) dan sebagainya dan sebagainya.

Begitulah, para pemilik brand kuat ini kerap dibayar mahal sebagai brand ambasador sebuah program atau produk agar lebih dikenal. Pokoknya kalau ingat ustaz A, ingatan kita langsung tertuju ke produk ini. Atau kalau ingat artis B, ingatan kita langsung nancap pada produk makanan itu. Begitulah kira-kira harapan pemilik usaha.

Hasilnya, memang banyak produk yang meningkat brand awareness-nya setelah memakai artis atau ustaz yang terkenal sebagai bintangnya. Tentunya kita masih ingat bagaimana Dian Sastro berhasil meningkatkan brand awareness Toshiba.

Namun brand ambassador haruslah hati-hati, karena modalnya adalah brand yang kuat, maka bila mereka mengecewakan langsung akan ditinggalkan. Tampaknya emosi orang mudah terjangkit oleh nama itu.

Dampaknya juga pada produk yang dibintanginya. Tentunya kita ingat bagaimana kasus Ariel, Luna Maya dan Cut Tary yang langsung hilang jadi bintang iklan (saya tak akan mengurai lagi soal ini).

Begitu sulitnya menciptakan dan menjaga brand ini, sehingga perusahaan (atau perorangan/caleg) sanggup mengeluarkan anggaran miliaran rupiah untuk mengiklankan produknya. Tujuannya agar masyarakat kenal (awareness), tahu (knowledge), suka (liking), memilih (prefer), yakin (conviction), dan kemudian membeli (purchase).

Tak hanya itu, peneliti pasar atau konsultan image pun kerap melakukan survei untuk mengukur respon publik nama-nama atau brand mana saja yang sudah dikenal. Hasilnya bisa dijadikan panduan bagi orang (juga calon kepala daerah) atau lembaga yang akan memakai brand tersebut untuk mengenalkan diri atau produknya.

Khusus produk, pemilik brand yang kuat dapat menjual produk serupa dengan harga 10 kali lipatnya. Meski sama-sama tas, tapi bila yang satunya ditempel LV, tentu akan lebih mahal dari pada yang ditempeli merek tak dikenal.

Fanatisme akan brand ini, sanggup membuat orang berkumpul membentuk club-club lalu memamerkan produk yang memiliki brand kuat tersebut dengan rasa bangga.

Dari semua uraian tadi, saya berpikir, inilah mungkin alasan Pakde mengapa telur rebus di lontong sayurnya, masih digoreng terlebih dahulu. Semata untuk menjaga brand. Paling tidak, saat saya melihat telur rebus yang digoreng, saya akan teringat lontong sayur Pakde.

Inilah brand, bukan merek. Merek itu nama, sedangkan brand lebih luas dari itu. Ia bisa jadi makna, memori, harapan, cerita, dan hubungan emosional yang terkumpul, mempengaruhi sikap dan tindakan kita.


-------------
Buat temen2 marketing, gunakan iklan hanya untuk popularitas brand/produk (Awareness, knowledge dan liking). Jangan paksa utk selling

Tujuan iklan ada 6 tahap: Awareness (kenal), knowledge (tahu), liking (suka), prefer (memilih), conviction (yakin, purchase (beli)

Setiap tahap punya bahasa dan pengucapan masing2. Utk tujuan Awareness (kenal) gunakan kalimat dan pengucapan INFORMATIVE

Utk tujuan knowledge (tahu) kita gunakan bahasa dan pengucapan EDUKATIVE

Untuk tujuan liking (suka) digunakan bahasa dan pengucapan PERSUASIVE

Untuk tujuan preference (memilih) digunakan bahasa dan pengucapan COMPARATIVE

Utk tujuan confiction (yakin) gunakan bahasa dan pengucapan DESCRIMINATIVE

Dan utk tujuan purchase (beli) gunakan bahasa dan pengucapan AUTHORITATiVE. Bersifat perintah

Selasa, 20 September 2011

Boyan, Melayu dan Marco Polo

Minggu lalu saya menghadiri halal bihalal warga Bawean di Batam. Orang Bawean juga disebut orang Boyan. Tanah klahiran saya ini memang uniknya bukan main.

Bayangkan saja, pulau yang berada di utara Jawa Timur ini, masyarakatnya berbahasa Sumenep (Madura), namun berbudaya Melayu, khususnya kesenian. Padahal penduduknya tak ada dari tanah Melayu.

Penduduk Bawean saat ini berakar pada suku-suku yang menetap selama ratusan tahun di pulau ini. Di antaranya suku Jawa (mereka pendatang dari Majapahit dan para wali penyebar Islam).

Selanjutnya, Palembang/Kemas (bisnisman papan atas yang menetap di era Belanda), ada juga Bugis Mandar (pelaut yang nenetap karena Bawean kaya akan hasil laut), Madura (menetap setelah ekspansi Kesultanan Cakraningrat IV ke Bawean, juga didorong migrasi dari tanahnya yang gersang).

Sisanya, ada keturunan Arab, India, China, dan Campa. Namun mereka sudah berbaur tak lagi menonjolkan identitas etnik seperti di daerah lain. Mereka menetap karena kepentingan dagang, mengingat pulau ini dahulu menjadi pulau transit armada dagang dari gerbang asia, sebelum melanjutkan ke Jawa.

Keunikan inilah yang membuat Antropolog Belanda, Jacob Vredenbregt, melakukan penelitian lalu dituangkan dalam bukunya De Baweanners in hun Moederland en in Singapore, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh AB Lapian dengan judul Bawean dan Islam. Tak jelas siapa yang mentransplantasi budaya Melayu ini ke Bawean. Yang saya dengar dan baca, paling tentang akulturasinya saja.

Kalau dirunut kisahnya, Bawean dulu dipimpin raja pagan lalu Hindu dan berbahasa asli Bawean yang kini punah. Hingga di era abad 15-an, pulau ini banyak disinggahi pedagang Arab dan kaum Muslim lain dari Jawa. Bahkan Wali Songo.

Hingga di abad 16 Kesultanan Cakraningrat IV dari Sumenep Madura, mengekspansi pulau ini. Saat itulah, bahasa Sumenep (Madura) jadi bahasa resmi (administratif), yang lama kelamaan menghilangkan bahasa asli Bawean. Dari sini Islam jadi agama resmi.

Meski begitu, soal kebudayaan, khususnya seni, orang Bawean cenderung ke Melayu, tanah yang terletak ratusan mil laut dari pulau ini. Hal ini disebabkan pada abad itu, orang Bawean sudah mengenal Melaka (kini Malaysia) sebagai daerah rantauannya. Ada juga yang menetap di sini.

Jadi, wajar bila di Malaysia, Singapura hingga beberapa daerah di kepulauan Riau ini, banyak terdapat Kampung Boyan. Bahkan di Singapura, sensus 1980-an ke bawah, orang Bawean (Boyanesse) tercatat sebagai etnis tersendiri ke-4 setelah Melayu, China, India.

Kembali lagi. Di antara perantau-perantau tersebut, ada juga yang pulang kampung. Dari merekalah, orang Bawean mengenal dan menyerap budaya dan seni Melayu. Demikian sejarah singkat, terjadinya transplantasi budaya Melayu ke Bawean.

Soal transplantasi budaya ini memang sudah biasa terjadi di dunia. Ini sudah hukum alam, di mana peradaban maju selalu mempengaruhi peradaban yang berkembang. Hal yang mendasarinya adalah satu rasa takjub (sense of wonder) dari si penjelajah atau perantau yang bersangkutan. Dengan rasa inilah, dia mencangkok budaya ke tempat asalnya: amati, tiru, modifikasi, jadilah hal baru (co-creation).

Buku Wimar Witoelar, Still More About Nothing, mengupas, bahwa dulu Eropa juga tak luput dari hal ini. Ditandai ketika Marco Polo membawa budaya China ke Eropa yang begitu kuat penerimaannya, hingga orang lupa akan hal-hal yang tak lahir di Eropa. Kalau kita makan spaghetti Bolognaise, kita lupa spaghetti itu sebetulnya mi yang dipindahkan ke dalam konteks bumbu Kota Bologna, Italia.

Saat orang lihat kembang api pada malam tahun baru di Times Square, orang tidak tahu bahwa kembang api itu asli China, dibawa oleh Marco Polo ke Venezia, kemudian diteruskan oleh orang lain ke New York. Banyak lagi contoh transpalansi budaya yang membuat dunia lebih sempurna.

Sama halnya ketika seniman lukis Eropa abad pertengahan, pasca-Perang Salib, gemar menorehkan kalimat la ilaa haillallah, pada setiap karyanya. Saya baca hal ini di buku Hanum Rais, 99 Cahaya di Langit Eropa.

Dia menyebut, kegandrungan orang Eropa abad pertengahan memajang kalimat Islami ini juga ditemukan pada dinding (inskripsi) di Gereja Pellermo di Sisilia, hingga mantel kebesaran Raja Roger dari Sisilia, yang dibuat tahun1113. Mantel ”The Baptized Sultan” itu sekarang tersimpan di Museum Harta Kerajaan, Istana Hofburgh, di Wina, Austria.

Yang menarik, lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus sekalipun, tak lepas dari torehan kalimat la ilaa haillallah. Salah satu buktinya lukisan Vierge a I’Enfant atau The Virgin an The Child, karya Ugolino di Nerio (1315-1320) yang kini tersimpan di Denon Wing, Museum Louvre, Paris. Museum dengan koleksi terlengkap di dunia, tempat lukisan maestro dunia tersimpan, mulai Rembrandt hingga Leonardo da Vinchi.

Kalimat la ilaa haillallah itu tertera pada hijab Bunda Maria, menggunakan huruf Arab Pseudo Kufic. Mana mungkin kalimat Tauhid Muslim itu tertera pada simbol suci Katolik?

Ceritanya pada awal abad 12 saat peradaban Islam di Arab maju. Bersamaan pasca-Perang Salib, pergerakan antarmanusia begitu besar. Orang-orang Eropa dan penakluk Kristen di Yerussalem, menyebar luaskan berita tentang hasil-hasil tenun indah dan tekstil kaum Muslim yang berkualitas. Inilah yang mereka bawa ke Eropa yang memang saat itu masih belum tersentuh pencerahan (renaissan).

Kerajinan ini sangat berharga, jadi kebanggaan para raja dan orang kaya Eropa. Merekapun gemar mendatangkan, atau menerima hadiah (suvenir), khas Timur Tengah, seperti permadani, keramik dan kain sutra.

Semua hasil industri ini tak bisa lepas dari pahatan atau bordir kalimat la ilaa haillallah. Kata-kata ini jadi semacam tag line favorit khas Timur Tengah kala itu. Barang belum dikatakan branded asli Timur Tengah bila tak tertera kalimat tauhid tersebut.

Tak heran bila kemudian, pemakaian kalimat ini jadi massive menghiasi baju kerajaan, busana dan kerudung bangsawan atau konglomerat Eropa kala itu. Nah, di saat yang bersamaan lukisan Bunda Maria dan Yesus atau Madonna and Child/Virgin Mary and Child, menjadi tema favorit para seniman kala itu.

Nah, supaya tampak sesuai tren, mereka menuliskan kalimat la ilaa haillallah pada kerudung yang dikenakan Bunda Maria. Tentunya, karena mereka tak tahu apa artinya. Jadi sama sekali tak disengaja.

Selasa, 13 September 2011

Fart (Jangan Dibaca)

Saya sudah anjurkan di judul agar tulisan ini tak dibaca. Tapi kalau Anda tertarik juga, ya bukan salah saya. Sebab, sebelumnya saya sudah mengingatkan.

Tulisan saya kali ini memang tak penting, bahkan bisa mengundang rasa kurang nyaman. Karena yang akan saya ceritakan adalah, soal buang gas atau kentut.

Soal gas yang satu ini, memang agak riskan diperbincangkan. Kalau sudah membahas hal ini, kita seolah berhadapan dengan continental divide, antara pro dan kontra. Ada yang bilang, reseh, tapi di sisi lain itu adalah hak. Ada juga yang bilang sehat, tapi juga dianggap kurang sopan.

Makanya, hingga saat ini saya selalu sewot dengan hal yang satu ini. Apalagi setelah Hollywood mulai menampilkan adegan orang buang gas secara vulgar, seperti dalam film The Nutty Professor (tahun 1996) disusul kemudian Big Momma’s House (tahun 2000).

Hingga kemudian, ”virus” ini menular ke Indonesia. Tayangan situasi komedi di televisi kita ikut-ikutan menampilkan adegan orang-orang buang gas, hingga yang terakhir menjadi judul film Deddy Mizwar, Kentut, dan orang membahasnya di Facebook, rasanya seperti mual saja, ”Huh, apa tak ada topik lain?!”

Maklumlah, saya memang sangat konservatif saat berhadapan dengan gas yang satu ini. Karena sedari kecil, dibiasakan dipesan, kalau buang gas jangan di depan orang.

Dan memang bukan hanya saya saja, teman-teman sepermainan saya saat SD juga begitu. Sehingga, buang gas saat itu jadi segitu rahasianya. Meski ada yang curang juga, dengan melepas silent gas. Entah bagaimana teknik mereka me-mute bunyinya. Tahu-tahu sudah bau.

Kalau sudah begini, ramailah saling tuding mirip politisi di senayan. Mirip ayam bertelur, ribut sekampung. Bahkan ada teman kecil saya sempat berkelahi, akibat dituding melepas gas. Dia marah, karena tudingan itu dinilai mencemarkan nama baiknya. Mestinya harus menggunakan azaz praduga tak bersalah dulu.

Namun saya biasanya bisa tahu siapa anak yang buang gas diam-diam tadi, dengan melihat wajahnya. Biasanya langsung merah. Meski saya tak bisa menuduhnya, karena barang buktinya susah ditangkap.

Hingga ketika SMP, paradigma teman-teman saya memandang kentut ini sudah berubah. Tinggallah saya yang tersiksa, karena masih teguh memegang ajaran agar jangan buang gas di depan orang.

Betapa tidak, saat itu kawan-kawan saya sangat vulgar bahkan paling brutal di dunia, dalam melapas gasnya. Di masa itu, kentut tak hanya dipamerkan bunyi dan baunya, tapi juga jadi bahan taruhan. Misalnya main karambol, yang kalah dikentuti dengan kepala menghadap (maaf) bokong pemenang.

Pertenyaannya, bagaimana kalau yang menang belum bisa buang gas? Tak jadi soal, itu dianggap utang. Yang kalah bisa inden untuk menghadap saat perut si pemenang sudah penuh gas. Makanya, kalau ada anak yang mencari-cari temannya, itu berarti akan merayakan kemenangan.

Seperti yang saya sebut di awal, sebenarnya kawan-kawan kecil saya itu semula sangat santun dalam hal buang gas. Hingga kemudian mereka dengar ”fatwa” kiai, bahwa kentut itu menyehatkan. Tapi kalau ditahan jadi penyakit.

Ceritanya, sang kiai sakit dan harus dioperasi. Setelah usai, dia tak boleh makan sebelum buang gas. Kata dokter itu menandakan dia sudah sehat. Bahkan ada kisah lain yang kian meligitimasi tindakan teman-teman saya buang gas sembarangan itu, kala itu ada kiai yang dioperasi sampai menghabiskan uang belasan juta rupiah, gara-gara tak bisa buang gas.

Sejak saat itulah, terjadi perubahan paradigma kawan-kawan saya dalam memandang kentut. ”Dari pada sakit, mending dikeluarin,” tekadnya. Cuma mengapa harus sevulgar itu?

Saya sempat protes, mengapa kiai sangat ceroboh dalam menyampaikan masalah sekrusial ini. Mengapa yang disebut hanya manfaat buang gas, tanpa disertai manual instruction-nya? Akibatnya jadi tak nyaman. Lebih gilanya, saat SMP, saya anggap anak yang buang gas sembarangan itu jahat.

Akhirnya, saya pun melakukan gerakan satyagraha (keteguhan berpegang pada kebenaran). Ini saya ambil dari metode perjuangan baru yang diperkenalkan Mahatma Gandhi. Satyagraha menekankan sebuah perjuangan menentang ketidakadilan melalui kesediaan diri menanggung penderitaan, dan melawan pelaku kejahatan dengan cara nir-kekerasan (non-violence).

Sebenarnya ada teman saya yang menyarankan, if you can't beat it, join it! Namun saya tolak. Akhirnya saya sangat selektif memilih teman. Syaratnya, baik budi dan tidak ngentutan. Meski ternyata hal ini tak efektif juga. Karena teman-teman saya itu ternyata ngentutan juga. Cuma kali ini alasan dan motivasinya beda.

”Saya ngentut karena kita udah teman dekat. Kalau di depan orang saya malu,” kilahnya. Wah, jadi kedekatan bisa diukur dari kentut? Jadi dengan berani buang gas di depan teman dekat, menandakan tak ada lagi hal buruk yang perlu ditutupi, tanda bisa saling terbuka dan jujur?

Demikianlah. Tapi meski saya tak bisa menghindar dari fart agent itu, tetap saja saya masih memegang teguh ajaran jangan buang gas sembarangan. Hingga sekarang, setelah dewasa, saya masih gigih memegang ”ajaran” itu.

Namun yang paling penting adalah: Menjaga pribadi agar tak sama dengan kentut. Ada atau nggak, tak ada pengaruhnya. Orang cuma tahu kalau kita ada, dari baunya. Sekian.

Kamis, 08 September 2011

Twit Sepatu Hak Tinggi

Saya akan twitkan kenapa hak tinggi jadi trend di paris...


1.Saat itu di paris abad 17, sistim sanitasi dan toilet amat buruk... Akibatnya, orang2 banyak boker di jalan...

2.Jijay... Tentu saja. Banyak cewek2 yg saat itu mau ke pesta, batal karena sering keinjak eek orang...

3.Selanjutnya, udah tahu kan? Untuk menghindari keinjak eek tadi, mereka menciptakan sepatu hak tiinggi atau high heels

4.Tak hanya wanita, pria juga pake spatu hak tinggi. Hasilnya, mereka tak kawatir lagi keinjak eek.

5.Meski keinjakpun, tak akan kena pakaian. Paling ujung hak sepatu aja yg blepotan. Itupun bisa langsung dicuci. Aman.

6. Tak ayal, kala itu spatu hak tinggi langsung jadi tren. Tapi tunggu dulu, masih ada gangguan lain...

7.Ternyata selain suka boker di jalan, orang paris tiap pagi sering buang eek yg mereka tampung dikantong, lalu dilempar ke luar jendela

8.Akibat "serangan udara" ini, warga paris bpikir keras. Maka terciptalah tren pakai payung. Tujuannya sbg tameng agar tak kena lemparan eek

9.Dlm perkembangannya hak tinggi dan payung jadi trend mode wanita eropa. Desainer ternama belomba mrancang hak tinggi dan payung nan elegan

10.Jadi jangan heran bila busana wanita bangsawan eropa zaman dulu, selalu pakai payung dan hak tinggi... Sejarahnya dari eek di paris

11.Lama2 mode spatu hak tinggi mendunia, seiring imprealisme barat. Selain itu, hak tinggi disuka krn mbuat wanita lebih sexy saat berjalan

12. Maklumlah, saat pakai spatu hak tinggi otot2 panggul ikut mengencang. Sehingga lebih "menggal-menggol"... ☺

13.Sebelum di paris, di china dulu juga menyukai wanita yg memiliki hak tinggi alami. Namun caranya lebih sakit

14.Agar memiliki hak tinggi, wanita2 china dulu, semasih anak2, dipaksa memakai sepetu kecil.

15.Tujuannya menghambat perkembangan kaki. Sehingga mengecil dan terbentuk hak tinggi secara alami... * THE END *

-------
High heels have a storied history in France; they were popularized by the petite fashionista Catherine Medici in the 1530s, and Louis XIV later embraced the trend, embellishing them and barring non-nobility from

Sabtu, 03 September 2011

Silaturahmi

Satu hal nikmat yang paling berharga saat Lebaran ini adalah, bisa puas silaturahmi.

Kita bertemu, bertatap muka, saling melempar senyum, menebar salam yang otomatis saling mendoa, ”Semoga diberikan keselamatan atasmu, dan rahmat Allah serta berkahNya juga kepadamu.”

Inti silaturrahim ialah berbuat baik kepada orang terdekat, dengan cara berkomunikasi. Makanya, Rasulullah ketika mencetuskan program silaturrahim, mencontohkan dengan membagi-bagikan materi, kepada orang-orang terdekatnya. Ini sunnah. Makanya dalam Lebaran, ada tradisi bagi-bagi uang.

Terlepas dari itu, yang paling indah adalah, ketika saling bermaafan, tanpa basa basi, ikhlas, mohon maaf lahir dan batin, tanpa dendam dan tuntutan di akhirat nanti.

Adakah hari lain seindah hari ini? Setelah sebulan penuh memohon ampun ke hadirat Ilahi, setelah Lebaran, ditutup saling bermaafan sesama insan. Hablum minallah, hablum minannas. Vertikal, horizontal sama-sama kena.

Inilah esensi fitrah sebenarnya. Dalam fitrah, kita kan terbentuk jiwa yang peduli, peduli itu harus indah, indah itu harus baik, baik itu harus benar, dan benar itu harus suci.

Kita patut bersyukur, karena akulturasi Lebaran disambung silaturahmi dan saling bermaafan itu, hanya ada dalam tradisi Melayu. Bahkan di Arab sendiri, tradisi semacam ini tidak ada.

Mereka juga tak mengenal ucapan maaf lahir dan batin. Begitu juga dengan kalimat minal aidin wal-faizin. Di sana, warga Arab biasanya hanya mengucapkan kullu am wa antum bi-khair. Ini berlaku untuk semua hari raya, bukan hanya Idul Fitri semata.

Karena itulah, wajar bila perayaan Idul Fitri di sini lebih ramai dibanding Idul Adha. Berbeda dengan kultur Arab yang lebih meramaikan Idul Adha. Di negeri yang dulu bernama Hijaz tersebut, tradisi silaturrahim saat Idul Fitri hanya berlangsung selama dua hari. Itupun hanya terbatas antar keluarga terdekat saja.

Sedangkan kita, silaturahmi Idul Fitri tak hanya pada keluarga dekat saja, tapi juga ke rumah kerabat, relasi, sahabat handai dan tolan. Bagi keluarga yang mampu, atau pejabat daerah, kadang sering menggelar open house (ada kalanya juga open mind) untuk menyambut tamu-tamu yang datang bersilaturahmi.

Karenanya, perayaan Idul Fitri tak cukup hanya tiga hari, kadang seminggu, hingga sebulan. Maka menjelmalah tradisi halal bi-halal. Dan lagi-lagi, tradisi ini pun hanya ada di Indonesia, asli produk bahasa dan budaya kita.

Beberapa lalu saya membaca mikro blogging Syukron Amin, mahasiswa yang kini studi di Yaman. Menurutnya, istilah halal bi-halal tidak ditemukan dalam literatur Islam dan Arab. Karena secara kaidah bahasa Arab, term halal bi-halal secara harfiah berarti ”menghalalkan yang telah halal” atau ”saling menghalalkan”, itu keliru. Yang benar istihlal (saling mohon maaf). Tapi begitulah, produk bahasa dan budaya.

Ada yang mengatakan, kalimat halal bi-halal dicetuskan oleh santri nusantara, dulu, saat studi di Makkah. Tradisi ini menjadi sangat populer, ketika Bung Karno, pada tahun 1940-an memperkenalkannya kepada publik. Hingga kemudian, halal bi-halal dipopulerkan sebagai acara silaturrahim tahunan oleh Bung Karno, di Yogyakarta.

Seiring perkembangan zaman, tradisi halal bi-halal yang merupakan manifestasi dari silaturrahim (menyambung kasih-sayang) yang identik dengan Idul Fitri ini, terus berkembang dan bertahan. Seiring kultur masyarakat kita yang memang berjiwa sosial.

Halal bi halal kini terus berkembang, tak hanya antar umat Islam saja, namun juga antar umat beragama. Bahkan tradisi silaturahmi saat hari raya, tak hanya dilakukan Muslim saja, namun jua non Muslim.

***

Tiada sapa seindah salam, tiada pinta seagung doa. Semua ini bisa didapat saat silaturahmi. Dari sini, ukhuwah kian erat. Karena itulah silaturahmi sangat dianjurkan dalam Islam.

Saya jadi teringat saat mengikuti ESQ, silaturahmi selain dianjurkan, juga masih ditambah dengan ”salam semut”. Salaman lalu berpelukan seraya ditambah kata ”saudaraku.” Tentu saja, dilakukan sesama jenis. Lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan.

Selain itu, jangan lupa tambahkan senyum untuk mencairkan suasana. Tersenyumlah, karena selain ibadah, senyum juga menandakan ketulusan dan keihlasan kita menerima saudara kita itu.

Lalu bagaimanakah senyum yg baik? Di ESQ juga diajar, senyum yang baik harus simetris, 2cm ke kanan dan 2cm ke kiri. Bila belum bisa senyum simetris, tak mengapa, asal jangan cemberut. Silaturahmi kok cemberut, tentu tak keren.