Selasa, 13 September 2011

Fart (Jangan Dibaca)

Saya sudah anjurkan di judul agar tulisan ini tak dibaca. Tapi kalau Anda tertarik juga, ya bukan salah saya. Sebab, sebelumnya saya sudah mengingatkan.

Tulisan saya kali ini memang tak penting, bahkan bisa mengundang rasa kurang nyaman. Karena yang akan saya ceritakan adalah, soal buang gas atau kentut.

Soal gas yang satu ini, memang agak riskan diperbincangkan. Kalau sudah membahas hal ini, kita seolah berhadapan dengan continental divide, antara pro dan kontra. Ada yang bilang, reseh, tapi di sisi lain itu adalah hak. Ada juga yang bilang sehat, tapi juga dianggap kurang sopan.

Makanya, hingga saat ini saya selalu sewot dengan hal yang satu ini. Apalagi setelah Hollywood mulai menampilkan adegan orang buang gas secara vulgar, seperti dalam film The Nutty Professor (tahun 1996) disusul kemudian Big Momma’s House (tahun 2000).

Hingga kemudian, ”virus” ini menular ke Indonesia. Tayangan situasi komedi di televisi kita ikut-ikutan menampilkan adegan orang-orang buang gas, hingga yang terakhir menjadi judul film Deddy Mizwar, Kentut, dan orang membahasnya di Facebook, rasanya seperti mual saja, ”Huh, apa tak ada topik lain?!”

Maklumlah, saya memang sangat konservatif saat berhadapan dengan gas yang satu ini. Karena sedari kecil, dibiasakan dipesan, kalau buang gas jangan di depan orang.

Dan memang bukan hanya saya saja, teman-teman sepermainan saya saat SD juga begitu. Sehingga, buang gas saat itu jadi segitu rahasianya. Meski ada yang curang juga, dengan melepas silent gas. Entah bagaimana teknik mereka me-mute bunyinya. Tahu-tahu sudah bau.

Kalau sudah begini, ramailah saling tuding mirip politisi di senayan. Mirip ayam bertelur, ribut sekampung. Bahkan ada teman kecil saya sempat berkelahi, akibat dituding melepas gas. Dia marah, karena tudingan itu dinilai mencemarkan nama baiknya. Mestinya harus menggunakan azaz praduga tak bersalah dulu.

Namun saya biasanya bisa tahu siapa anak yang buang gas diam-diam tadi, dengan melihat wajahnya. Biasanya langsung merah. Meski saya tak bisa menuduhnya, karena barang buktinya susah ditangkap.

Hingga ketika SMP, paradigma teman-teman saya memandang kentut ini sudah berubah. Tinggallah saya yang tersiksa, karena masih teguh memegang ajaran agar jangan buang gas di depan orang.

Betapa tidak, saat itu kawan-kawan saya sangat vulgar bahkan paling brutal di dunia, dalam melapas gasnya. Di masa itu, kentut tak hanya dipamerkan bunyi dan baunya, tapi juga jadi bahan taruhan. Misalnya main karambol, yang kalah dikentuti dengan kepala menghadap (maaf) bokong pemenang.

Pertenyaannya, bagaimana kalau yang menang belum bisa buang gas? Tak jadi soal, itu dianggap utang. Yang kalah bisa inden untuk menghadap saat perut si pemenang sudah penuh gas. Makanya, kalau ada anak yang mencari-cari temannya, itu berarti akan merayakan kemenangan.

Seperti yang saya sebut di awal, sebenarnya kawan-kawan kecil saya itu semula sangat santun dalam hal buang gas. Hingga kemudian mereka dengar ”fatwa” kiai, bahwa kentut itu menyehatkan. Tapi kalau ditahan jadi penyakit.

Ceritanya, sang kiai sakit dan harus dioperasi. Setelah usai, dia tak boleh makan sebelum buang gas. Kata dokter itu menandakan dia sudah sehat. Bahkan ada kisah lain yang kian meligitimasi tindakan teman-teman saya buang gas sembarangan itu, kala itu ada kiai yang dioperasi sampai menghabiskan uang belasan juta rupiah, gara-gara tak bisa buang gas.

Sejak saat itulah, terjadi perubahan paradigma kawan-kawan saya dalam memandang kentut. ”Dari pada sakit, mending dikeluarin,” tekadnya. Cuma mengapa harus sevulgar itu?

Saya sempat protes, mengapa kiai sangat ceroboh dalam menyampaikan masalah sekrusial ini. Mengapa yang disebut hanya manfaat buang gas, tanpa disertai manual instruction-nya? Akibatnya jadi tak nyaman. Lebih gilanya, saat SMP, saya anggap anak yang buang gas sembarangan itu jahat.

Akhirnya, saya pun melakukan gerakan satyagraha (keteguhan berpegang pada kebenaran). Ini saya ambil dari metode perjuangan baru yang diperkenalkan Mahatma Gandhi. Satyagraha menekankan sebuah perjuangan menentang ketidakadilan melalui kesediaan diri menanggung penderitaan, dan melawan pelaku kejahatan dengan cara nir-kekerasan (non-violence).

Sebenarnya ada teman saya yang menyarankan, if you can't beat it, join it! Namun saya tolak. Akhirnya saya sangat selektif memilih teman. Syaratnya, baik budi dan tidak ngentutan. Meski ternyata hal ini tak efektif juga. Karena teman-teman saya itu ternyata ngentutan juga. Cuma kali ini alasan dan motivasinya beda.

”Saya ngentut karena kita udah teman dekat. Kalau di depan orang saya malu,” kilahnya. Wah, jadi kedekatan bisa diukur dari kentut? Jadi dengan berani buang gas di depan teman dekat, menandakan tak ada lagi hal buruk yang perlu ditutupi, tanda bisa saling terbuka dan jujur?

Demikianlah. Tapi meski saya tak bisa menghindar dari fart agent itu, tetap saja saya masih memegang teguh ajaran jangan buang gas sembarangan. Hingga sekarang, setelah dewasa, saya masih gigih memegang ”ajaran” itu.

Namun yang paling penting adalah: Menjaga pribadi agar tak sama dengan kentut. Ada atau nggak, tak ada pengaruhnya. Orang cuma tahu kalau kita ada, dari baunya. Sekian.

Tidak ada komentar: