Selasa, 27 September 2011

Ada Brand di Telur Goreng Pakde

Ini masih kisah saat sarapan lontong sayur di tempat favorit saya, di warung Pakde Batam Centre.

Setelah saya perhatikan, ternyata dari beberapa penjual lontong sayur yang telah saya cicipi, lontong sayur Pakde ini memiliki ciri khas yang tak ada di lontong sayur lain. Apa itu? telur rebus yang digoreng.

Saya penasaran, mengapa kok masih digoreng? Kan lebih memakan banyak anggaran, paling tidak nambah minyak goreng, gasa, dan tenaga untuk menggorengnya.

Pakde menjawab, menjual makanan itu tak hanya rasa, tampilan juga harus dijaga. Kalau meminjam istilah rumah makan Padang, ”Nan dicaliak rupo, nan dicubo raso (yang dilihat rupa, yang dicoba rasa.”

Dia melanjutkan, bila digoreng telur akan mempercantik "disain" penyajian dan tak akan hancur saat disajikan. Beda bila tak digoreng, warnanya putih pucat tak kontras dengan warna sayur yang kekuningan.

Hari-hari berlalu, hingga suatu ketika saya lihat ada orang goreng telur, ingatan saya selalu ingat pada lontong sayur Pakde ini. Saat itulah saya tertegun. Ah, mungkin ini pesan di balik telur rebus yang digoreng itu. Pakde tengah menancapkan brand-nya pada penikmat lontong sayurnya itu.

Ya, inilah brand. Kata Laureen Ong, pemenang hadiah broadcasting dan eksekutif jaringan televisi global, "Strong brand is the wave of the future."

Saat ini kita mungkin tahu beragam produk, baik itu makanan, perangkat elektronik, beragam televisi dan programnya, atau beragam artis. Semuanya sama bagus, sama hebat. Namun, selalu saja kita akan memilih nama-nama yang sudah dikenal.

Kita tak mau pusing memilih, karena kita sudah percaya pada beberapa brand yang kita suka, dan akan terus kembali ke brand itu. Meski sama-sama ayam penyet, tetaplah kita memilih ayam penyet yang sudah kita kenal cita rasanya. Meski banyak artis yang sama cantiknya, entah kenapa ingatan kita ke Dian Sastro lagi, Dian Sastro lagi.

Kata Wimar Witoelar karena semaraknya produk, membuat kita berhati-hati, lalu mencari acuan untuk meilih di antaranya teman, atau tokoh publik yang kita percaya. Orang-orang ini ibarat mesin pencari saat kita kebingungan ketika surfing di dunia maya.

Tokoh publik itu (tentunya yang memiliki aura positif) jadi brand juga, bisa ulama, artis dan lain sebagainya. Selama brand itu kuat, pemiliknya bisa melakukan macam-macam pemanfaatan.

Jadi jangan sewot juga bila acara televisi atau iklan kita selalu tak lepas dari, contoh, Sule atau Agnes Monica, karena saat ini mereka memang dinilai memiliki brand yang kuat.

Juga jangan bilang aji mumpung, bila ada tokoh atau artis yang memiliki brand yang kuat, memiliki multi profesi: ya, profesional, pragawati, fotomodel, bintang iklan, bintang sinetron, penyanyi, bahkan juga kepala daerah.

Juga jangan nyinyir, bila hampir semua anggota tubuhnya jadi duit: nama jadi duit, rambut jadi duit (iklan syampo), kulit jadi duit (iklan lotion atau sabun), gigi jadi duit (iklan pasta gigi), mata jadi duit (iklan obat mata), bibir jadi duit (iklan lipstik), kaki jadi duit (iklan sepatu/sandal) dan sebagainya dan sebagainya.

Begitulah, para pemilik brand kuat ini kerap dibayar mahal sebagai brand ambasador sebuah program atau produk agar lebih dikenal. Pokoknya kalau ingat ustaz A, ingatan kita langsung tertuju ke produk ini. Atau kalau ingat artis B, ingatan kita langsung nancap pada produk makanan itu. Begitulah kira-kira harapan pemilik usaha.

Hasilnya, memang banyak produk yang meningkat brand awareness-nya setelah memakai artis atau ustaz yang terkenal sebagai bintangnya. Tentunya kita masih ingat bagaimana Dian Sastro berhasil meningkatkan brand awareness Toshiba.

Namun brand ambassador haruslah hati-hati, karena modalnya adalah brand yang kuat, maka bila mereka mengecewakan langsung akan ditinggalkan. Tampaknya emosi orang mudah terjangkit oleh nama itu.

Dampaknya juga pada produk yang dibintanginya. Tentunya kita ingat bagaimana kasus Ariel, Luna Maya dan Cut Tary yang langsung hilang jadi bintang iklan (saya tak akan mengurai lagi soal ini).

Begitu sulitnya menciptakan dan menjaga brand ini, sehingga perusahaan (atau perorangan/caleg) sanggup mengeluarkan anggaran miliaran rupiah untuk mengiklankan produknya. Tujuannya agar masyarakat kenal (awareness), tahu (knowledge), suka (liking), memilih (prefer), yakin (conviction), dan kemudian membeli (purchase).

Tak hanya itu, peneliti pasar atau konsultan image pun kerap melakukan survei untuk mengukur respon publik nama-nama atau brand mana saja yang sudah dikenal. Hasilnya bisa dijadikan panduan bagi orang (juga calon kepala daerah) atau lembaga yang akan memakai brand tersebut untuk mengenalkan diri atau produknya.

Khusus produk, pemilik brand yang kuat dapat menjual produk serupa dengan harga 10 kali lipatnya. Meski sama-sama tas, tapi bila yang satunya ditempel LV, tentu akan lebih mahal dari pada yang ditempeli merek tak dikenal.

Fanatisme akan brand ini, sanggup membuat orang berkumpul membentuk club-club lalu memamerkan produk yang memiliki brand kuat tersebut dengan rasa bangga.

Dari semua uraian tadi, saya berpikir, inilah mungkin alasan Pakde mengapa telur rebus di lontong sayurnya, masih digoreng terlebih dahulu. Semata untuk menjaga brand. Paling tidak, saat saya melihat telur rebus yang digoreng, saya akan teringat lontong sayur Pakde.

Inilah brand, bukan merek. Merek itu nama, sedangkan brand lebih luas dari itu. Ia bisa jadi makna, memori, harapan, cerita, dan hubungan emosional yang terkumpul, mempengaruhi sikap dan tindakan kita.


-------------
Buat temen2 marketing, gunakan iklan hanya untuk popularitas brand/produk (Awareness, knowledge dan liking). Jangan paksa utk selling

Tujuan iklan ada 6 tahap: Awareness (kenal), knowledge (tahu), liking (suka), prefer (memilih), conviction (yakin, purchase (beli)

Setiap tahap punya bahasa dan pengucapan masing2. Utk tujuan Awareness (kenal) gunakan kalimat dan pengucapan INFORMATIVE

Utk tujuan knowledge (tahu) kita gunakan bahasa dan pengucapan EDUKATIVE

Untuk tujuan liking (suka) digunakan bahasa dan pengucapan PERSUASIVE

Untuk tujuan preference (memilih) digunakan bahasa dan pengucapan COMPARATIVE

Utk tujuan confiction (yakin) gunakan bahasa dan pengucapan DESCRIMINATIVE

Dan utk tujuan purchase (beli) gunakan bahasa dan pengucapan AUTHORITATiVE. Bersifat perintah

Tidak ada komentar: