Minggu, 02 Oktober 2011

Oligarki di Lontong Sayur

Sejak saya rajin menulis tentang lontong sayur Pakde, banyak yang bertanya dimana lokasinya, ”Saya juga ingin menjajalnya,” ujar mereka, baik melaui SMS atau bertanya langsung. Ah, syukurlah, bila kemudian saya bisa memasarkan lontong Pakde.

Saya lupa mau sampaikan, kalau mau beretmu Pakde, datanglah pada hari Minggu. Sebab selain hari itu, yang melayani bukan Pakde, tapi saudara perempuannya. Karena, Pakde saat ini lagi giat-giatnya ekspansi, membuka cabang baru di sebuah kawasan Industri Batam Center.

Maka itu, dia menunjuk saudaranya sendiri untuk menjalankan salah satu usahanya tersebut, sementara dia fokus di tempat lain. Tapi jangan khawatir, karena saudaranya ini telah lulus uji kepatutan dan kelayakan sesuai standar lontong sayur, sehingga tak beda dengan Pakde.

Lagi pula, saudaranya tersebut hanya memiliki hak menyajikian, sedangkan original recipe-nya tetap dipegang Pakde. Jadi, soal rasa... Nothing diffrent at all.

Menunjuk saudara sendiri untuk menjalankan usaha, sah-sah saja dalam dunia bisnis. Yang penting tak merugikan dan tentu saja mampu.

Lagi pula, usaha tersebut memakai dana dari uang milik pribadi dan risikonya juga ditanggung pribadi. Jadi, tak ada masyarakat yang dirugikan bila Pakde berprinsip, ”Dari saya, oleh saya, untuk keluarga saya.”

Yang keliru itu bila hal tersebut diterapkan pada jabataan publik, seperti sistem pemerintahan yang digerakkan dengan uang (pajak) rakyat. Seperti yang terjadi pada beberapa kasus di provinsi, dan kabupaten/kota bahkan pemerintah pusat itu sendiri.

Inilah yang disebut Oligarki (bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

Secara etimologis, oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, oligarkhia gabungan kata oligon (sedikit) dan arkho (memerintah). Sistem ini memang lazim ditemukan pada mitologi Yunani dan Romawi.

Seperti kita ketahui, dewa-dewa pemangku kekuasaan dalam mitologi Yunani itu masih saudara kandung. Kita tahu Zeus, pemimpin para dewa itu, membagi kekuasaan pada adik-adiknya, seperti Aides untuk memerintah dunia bawah, Poseidon memerintah penuh atas laut. Juga ada Selene (Luna) sang Dewi Bulan, yang masih adik Helios, Dewa Matahari, dan sebagainya. Semua dewa-dewa ini adalah anak dari Uranus (ayah) dan Ge (ibu).

Mitologi ini dikenal luas, ketika orang-orang Yunani tinggal di Italia dan menemukan mitologi milik penduduk Celtic, yang menurut kebiasaan Yunani yang menghormati dewa-dewa, mitologi tersebut diadopsi dan disesuaikan berdasarakan kesamaan dewa-dewa mereka. Maka terbentuklah keyakinan baru yang dipengaruhi kepercayaan Yunani kuno.Hingga kemudian menjelma menjadi keyakinan agama di Roma.

Tak heran bila dewa-dewa dalam mitologi Yunani mirip dengan dewa-dewa dalam mitologi Romawi. Cuma beda di penyebutan saja. Misalnya, Zeus oleh orang Romawi disebut Jupiter, Hera (Juno), Aphrodhite (Venus) dan seterusnya.

Dari motologi itu juga kita belajar bahwa sistem oligarki dalam perebutan kekuasaan ini selalu memicu konflik yang selalu menempatkan rakyat kecil sebagai tumbal atau korbannya. Ayah lawan anak, anak lawan anak dan setrusnya. Sementara rakyat kecil kian susah dan menjadi tumbal. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Dalam masyarakat kita, oligarki ini kian subur sejak era otonomi daerah melalui pemekaran daerah besar-besaran yang dimulai tahun 2000 lalu. Otonomi daerah yang ingin tujuannya ingin membentuk daerah lebih sejahtera dengan pemendekan rentang kendali kekuasaan, malam memunculkan raja-raja kecil baru beserta kroni-kroninya.

Makin kecil daerah, makin besar dan kuat sistem kekerabatannya, semakin besar pula peluang oligarkinya.

Sistem ini kian diperkeruh dengan maraknya praktik plutokrasi, dimana orang kaya menggunakan uangnya untuk mendapatkan kekuasaan politik, lalu dengan kekuasaan itu dia melindungi dan menambah pundi-pundi uangnya melalui regulasi dan proteksi. Akibatnya, korupsi meraja.

Jadi jangan heran bila dalam sistem ini lembaga hukum dan pemberantasan korupsi, akan terus dilemahkan bahkan dikebiri oleh para koruptor yang berlindung di balik proteksi kekuasaan.

Kita lihat, politik lokal di Indonesia. Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik di eksekutif maupun legislatif, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya, bekerja nyata di tingkat lokal.

Kekuasaan tingkat lokal dibagi-bagi di tangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis politik-rente (rent-seeking) atau balas budi, maupun jaringan keluarga atau "kacung" terdekatnya. Kalau bagus masih mending, kadang tak berkualitas.

Oligarki ini sangat jahat, karena orang-orang tertentu itulah yang menikmati uang rakyat yang terkumpul lewat APBD/APBN. Merekalah yang kemudian menjadi predator ”tumpeng” itu melalui proyek-proyek maupu kegiatan fiktif lain untuk keuntungan finansial mereka sendiri. Dan ini diproteksi oleh baik kepala pemerintahan maupun kebijakannya.

Akibatnya, pembangunan mandeg, banyak proyek-proyek terbengkalai sementara uangnya entah ke mana. Segala dalih memang digunakan sebagai pembenaran.

Jeffrey Winter, pakar ekonomi-politik Indonesia dari Northwest California, Amerika mendefinisikan oligarki sebagai penggunaan kekayaan untuk mendapat kekuasaan politik dan kemudian kembali mendapatkan kekayaan.

Tidak ada komentar: