Trending topic masyarakat Batam akhir-akhir ini adalah soal bisnis online. Sebuah bisnis yang hanya menanam modal dalam bentuk mata uang asing, akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Bisnis ini tak ayal menarik perhatian semua kalangan dan usia. Apalagi ditambah efek word of mouth marketing (getok ular) masyarakat, sehingga kian menjadi-jadi.
Lalu apa iya?
Terobosan ini, tentu mendobrak teori enterpreneur tergila sekalipun. Di mana uang bisa didapat sedemikian mudahnya. Hal ini lebih dari apa yang dilakukan Muhammad Yunus dan Grameen Bank Banglades, yang berhasil meraih Nobel Perdamaian di tahun 2006. Padahal Yunus hanya memberikan program kredit mikro pada kaum papa Bangladesh.
Bandingkan dengan penemu bisnis online ini, yang nasabahnya menyebar ke beragam negara. Artinya, akan banyak lagi warga yang terbantu lepas dari lilitan finansial (baca: kemiskinan).
Tapi memang susah membuktikannya, karena sebagian besar orang yang tergiur bisnis online ini karena ikut-ikutan. Mereka ikut karena mendengar ada orang yang bisa kaya dalam sekejap, sehingga langsung percaya, meski tanpa melakukan verifikasi.
Tak perlu heran, karena kebiasaan ini berakar pada budaya masyarakat kita yang lebih gemar bertutur lisan dan mendengarkan, daripada mengembangkan budaya literasi (bertutur dengan tulisan) dan membaca. Wajarlah bila word of mouth marketing (getok ular) lebih banyak dipakai dari pada literasi.
Bila ditelaah lebih jauh lagi, budaya bertutur lisan inipun telah berlangsung dari generasi ke generasi, berabad lamanya. Sehingga kita kesulitan menemukan rekam jejak bangsa ini. Apakah itu di era Periode Klasik awal (abad 7-9 Masehi), Periode Klasik pertengahan (abad 10-13 Masehi), Periode Klasik akhir (abad 14-15 Masehi).
Sebenarnya di era itu budaya literasi sudah dimulai, baik itu tertulis di prasasti atau naskah. Meski sangat terbatas dan di lingkup (pesanan) kerajaan. Itupun banyak yang enggan membacanya, karena masyarakat masih suka mendengar dari penuturan.
Belum lagi, banyak penulis prasasti yang tidak konsisten, terutama dalam tanda-tanda diakritik (tulis), yang berakibat berubahnya arti dari sebuah kalimat.
Akibatnya, bila kita ingin mengetahui secara pasti jejak peristiwa sejarah atau sepak terjang tokoh-tokoh masa lalu tersebut, baik di zaman Sriwijaya, Majapahit, bahkan era sembilan wali, maka sejarah sangat sulit memberikan gambaran data cukup.
Semua fakta sejarah kadang hadir sepotong-sepotong, dengan persepsi yang tak sama, dan bahkan berbenturan antara satu dengan yang lain. Itupun datanya kadang didapat dari pedagang Arab, China atau penjelajah Eropa.
Wajarlah bila kita kesulitan mencari catatan tentang siapa itu Gajah Mada? Lahir tahun berapa, orang tuanya siapa, karir politiknya bagaimana. Yang kita tahu hanya cerita-ceritanya saja, dari mulut-ke mulut.
Sejarah yang tak terarsip dengan baik ini tentu menjadi masalah serius. Sejarahwan besar asal Inggris, Arnold Toynbee mengatakan, sejarah merupakan cara mengatasi kesulitan dan tantangan yang telah diisi secara lengkap dari para pendahulu, akan menjadi mercu suar yang terang bagi generasi selanjutnya. Dari sejarah kita belajar hukum, tantangan dan tanggapan (melawan tantangan).
Karena masyarakat lebih condong bertutur dengan lisan daripada tulisan, membuat kita banyak memiliki cerita rakyat. Banyak tempat, baik gunung, sungai, laut hingga danau, memiliki legendanya masing-masing yang kadang terhubung pada tokoh-tokoh tertentu. Itupun selalu disertai ”bumbu”. Namanya juga lisan, jangan harap bisa pas.
Bangsa ini kian giat mengubah tradisi lisan ke tulisan (literasi), salah satunya setelah misionaris Inggris, Medhurst, membawa mesin cetak ke Batavia pada tahun 1828.
Selain itu masuknya era politik Etis (politik balas budi/een eerschuld) Balanda. Kebijakan tersebut tercetus setelah Belanda tersentuh oleh novel Max Havelaar, karya Multatuli, tentang penderitaan rakyat Hindia Belanda akibat tanam paksa.
Salah satu kebijakan politik etis itu adalah edukasi. Dari sinilah anak-anak bangsa ini mulai mengecap pendidikan ala Belanda, yang kemudian melahirkan cendekia-cendekia baru. Selanjutnya mereka inilah yang memperkenalkan negara Indonesia, lalu berjuang untuk kemerdekaan.
Namun namanya juga tradisi, tetap saja susah mengubahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar