Kamis, 24 September 2009

SMS Lebaran yang Unik

Sama seperti insan di bumi lainnya, saat lebaran ini saya banyak sekali mendapatkan SMS ucapan Idul Fitri. Bunyinya trata-rata sama; Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Namun ada beberapa yang sangat menarik yang akan saya bagi untuk Anda. Agar memudahkan, saya sudah memberi judul dan tanggapan kecil di bawahnya.



Maaf Nuansa Kraton Jogja

Kanti kaweningipun manah, hambok bilih wonten catur wicoro lan toto kromokirang prapusilo ingkang damel gerahinipun penggalih paduka, kawulo ing dinten riyadhin puniko nyuwun pangapunten agungin samodra pangkisami. Dalah hangaturaken sugeng riyadhin.

(Wayangnya bingung, dalangnya bingung yang penting bisa tertawa, ha ha ha)

Excuse, tapi Tetap Jaim

Kedewasaan bukan berarti hidup tanpa kesalahan, kecerdasan bukan berarti hidup tanpa khilaf. Dengan segala kerendahan hati saya tundukkan kepala untuk memohon maaf.

(Ceritanya mengklaim udah dewasa dan cerdas ya, he he...)

Maaf ala Muadzin

Tanpa disadari kehidupan ini selalu ada di antara azan dan salat. Lahir diazani dan mati disalatkan. Begitu singkat hidup ini untuk persiapkan diri. Kini Ramadan akan pergi meninggalkan kita. Izinkan maaf untuk semua khilaf dan lisan yang kadang tak terjaga. Sikap yang kadang tak terarah, janji yang belum terpenuhi, canda yang kadang menyakiti.

(Nanti kalau azan dan salat jangan salah lagi ya... he he)



Sibuk Banget Ya?

Walaupun langkah kita tidak saling bertemu, tangan kita tidak saling berjabat ucapan kita tidak terdengar, namun izinkan kami sekeluarga mengucapkan selamat hari raya...

(Ya udah pak, jangan sedih, kan ada henpon... kita sms-an aja terus....)

Pemandu Kuis yang Sombong

Selamat!!! Anda mendapat kesempatan meraih kemenangan setelah dihadapi denagn berbagai godaan selama bulan suci Ramadan. Anda juga meraih fitrah karena pintu maaf dari kami sekeluarga terbuka lebar dari hati yang paling dalam.

(Coba perhatikan kalimat ini “Anda juga meraih fitrah karena pintu maaf dari kami sekeluarga terbuka lebar”... Sombong banget ya, melebihi Tuhan aja... Yang menentukan fitrah atau tidak itu kan cuma Allah bos... he he).

Tinggian Mana?

Ukuran tertinggi manusia, bukanlah di mana dia berdiri pada saat-saat nyaman dan menyenangkan. Melainkan di mana dia berdiri pada masa-masa penuh tantangan. Selamat Idul Fitri...

(Oke deh...)

Jujur Nih...

Atas sikap yang tidak adil, wajah yang keras, kurang senyum, pemarah dan semua yang jelek-jelek saya minta maaf.

(Saya suka orang seperti ini. Namun saya tak suka orang yang tak konsisten dan suka berprasangka buruk.)

Maaf ala Sinetron

Bila kata merangkai dusta, bila hati penuh prasangka dan bila langkah menoreh luka. Mohon bukakan pintu maaf.

(Mirip lagu Dewi Yull aja)

Maaf ala Dai

Ya Allah, jadikanlah Ramadan ini amalan yang terbaik bagi Engkau. Sekiranya belum, mohon diampuni segala khilaf. Ya Allah pertemukanlah kami dengan Ramadan yang akan datang.

(Aaaaaaaaaamiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin...)

Aneh bin Ajaib

Ayam kampung beli koran...
Ya ampun, besok mau Lebaran...

Makan dodol di Balikpapan...
Gak afdol kalau belum maaf-maafan...

Si Udin jadi muadzin...
Minal adin wal faizin...

(Emang ada ayam yang bisa beli koran? He he he.. Ya udah, salam juga buat si Udin ya...)

Tak Nyambung

Minal Aidin...

(Ini ihlas enggak sih mau maaf-maafannya?)


Maaf ala Aktivis Lingkungan

Ada hakikat semua kehidupan bersaudara. Satu keluarga di satu rumah yang namanya kita sepakati “Bumi”. Semua menghirup udara yang sama. Hakikat kehidupan tiada perbedaan. Hati fitri bebas dari konsep dan pertentangan. Hakikatlah segalanya...

(Baiklah pak, lets save our earth)

Kok Macam Orang Nge-Rap?

Selamat menyambut Hari Raya Aidil Fitri... Ampun dan maaf seandainya terkasar bahasa, tersilap bicara, termarah yang tak kena, tertanya tak tentu hala, Tersasul yang tak sengaja, terpegang kat mana-mana, terpekik di telinga, terhantuk di kepala, terpinjam harta benda, termoody tak semena-mena, terumpat dan termacam-macam lagi yang tiada kena mengena dan segala-galanya yang sewaktu dengannya. Semoga dimaafkan dunia dan akhirat

(Banyak sekali salahnya, bisa hafal satu-satu, he he he...)


Lebih Cepat Lebih Baik

Sebelum takbir berkumandang, sebelum beduk kemenangan ditabuh, sebelum ketupat tersaji. Dengan tulus hati saya haturkan maaf lahir batin. Mari kita songsong hari yang fitri dengan hati bersih.

(Masih ingat ketupat aja ya)

Promosi Sate

Tuku sate nang Kertosono, dikipasi diwolak walik cek matenge roto.
Sakmeniko dinten Riroyo, kulo sak keluargo nyuwun pangapuro. Mohon maaf lahir batin.

(Jauh sekali beli sate aja ke Kertosono (Malang), di Batam banyak. Mau sate Madura atau sate Padang?)

Ada Udang di Balik Bengkel

Pagi Pak... Minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin. Gimana dengan mobil Camry-nya? Kalau memerlukan mekanik panggilan saya siap dikerjakan di rumah bapak. Dijamin murah. Sekarang saya freelance, udah enggak di Kyoto Motor lagi. Tks Pak.

(Oke mas, nanti saya hubungi)

Maaf ala Sumatera Barat

Balam lalu, barabah mandi bairiang tabangnyo ka muaro. Hinggok pulo di ateh sampan. Salam tibo sambah dibari, rela jo maaf dipintakan. Kok mangarek tibo di pangka. Kok marawuik talampo aluih. Talantuang pulo dek ka turun. Samatang ado upek jo puji, kato sasek nan tasorong, upek jo puji nan talompek, disusun jari nan sapuluah, minta ampun kami kepado Allah, barilah kami maaf jo rela. Minal aidin wal faizin.

(O.... Baitu... Samo-samo yo...)


Okelah, saya juga mohon maaf zahir dan batin. Di balik semua untaian kata yang indah ini, marilah kita meresapi apa inti meminta maaf itu sebenarnya. Ialah sebuah pernyataan bahwa diri kita tak akan mengulangi lagi perbuatan yang menyakitkan itu dan segala apa yang memicunya. Itulah mengapa, orang yang meminta maaf itu sanbat mulia, dan yang memberi maaf lebih dimuliakan lagi.

Media Bawean, Inilah Saatnya

Saya pernah bertanya pada pemimpin redaksi Media Bawean, Abdul Basit, mau di bawa ke mana media ini?




Apakah Media Bawean hanya akan menjadi media komunitas, media forum, media kepentingan, media radikal, atau media perjuangan untuk memajukan pulau Bawean, atau apa lagi?

Saya bertanya seperti ini, karena seiring waktu Media Bawean harus menentukan posisinya atau kata orang bule stand, positioning, bla-bla bla.

Karena, begitulah semua media bermula. Semula melalui fase kritis, fase pengembang, dan fase penerus.

Kalau kita runut, dari tiga fase ini, saya menilai media Bawean sudah mempu melalui fase kritis, from nothing to some thing-lah. Kini saatnya, media ini memasuki fase pengembang. Sebuah fase yang jauh lebih susah dari fase kritis.

Hal ini seiring dengan grafik tingkat kepuasan pembaca pada media yang selalu di atas pencapaian. Pembaca, selalu saja kurang puas dan selalu saja meminta lebih. Inilah yang sekarang mulai dirasakan media ini.

Semula, pembaca senang membaca media bawean dengan informasi apa adanya. namun, lambat laut, permintaan mereka akan meningkat. Minta beritanya diperbanyak lah, minta menyoroti ini itu lah, dan lain-lain dan lain-lain.

Dulu, mungkin pembaca masih bisa maklum dengan argumen pengelolanya bahwa masih kekurangan ini dan itu, namun lama-lama tentu alasan ini tak akan diterima lagi.

Untuk itu sebelum masa tersebut datang, pengelola Media Bawean harus lebih kreatif lagi menyajikan hal-hal yang baru di media ini. karena bermodal semangat saja tidak cukup.

Kreatif dan terus belajar, itulah kunci sukses media, bila ingin tetap eksis. Meminjam tagline Jawa Pos, "Selalu ada yang baru".

Bagaimana caranya?

Saya mengusulkan agar pengelola media Bawean mulai sedikit demi sedikit masuk pada manajerial media, khususnya dalam segi pemberitaan (news gathering), sehingga liputannya bisa padu.

Jangan sampai nanti pembaca membaca sebuah berita, namun keesokan harinya tak tahu bagaimana lanjutannya. Tentunya mereka akan kecewa.

Misalnya hari ini ada memberitakan pohon tumbang yang menutup jalan, besoknya jangan sampai lanjutannya malah hilang. Dan lain-lain.

Atau misalnya, Media Bawean ingin memberitakan buruknya infrastruktur di pulau ini, maka penyajian beritanya harus fokus pada akar berita itu sendiri. Sehingga dengan demikian, akan mampu menggedor para pemegang kebijakan di Gresik.

Nah, semua ini hanya dapat diketahui setelah melakukan menajemen pemberitaan itu.

Langkah sederhananya dengan melakukan Planning, Organizing, Actuating, Controlling (POAC) agenda dan event. Bisa harian, mingguan dan bulanan.

Dari sinilah nanti akan ditemukan sebuah sari-sari agenda setting yang akan menjadi jati diri media ini. Apakah agenda settingnya, apa tag linenya, apa tujuannya dan kemana pula muaranya?

Jadi, bisa lebih fokus apakah akan menjadi media perjuangan aspirasi dan sebagainya.

Media Bawean nantinya akan mampu mempetakan sebuah issue dan pengembangannya, sebuah row material berita dan approximity-nya.

Media ini juga akan mampu melakukan coverge akan ilmu pengetahuan, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan di pulau ini.

Tak hanya itu, nanti akan dapat juga melakukan sistem bedah wilayah akan karakteristik dan keragaman Bawean itu sendiri, sehingga akan mampu lebih dekat dengan pembacanya dan bisa menyajikan rubrik baru yang interaktif.

Berat memang, namun bagaimana lagi, inilah resiko pekerja media. Maju terus Pak Basit, Bawean bangga pada Anda.

Rabu, 16 September 2009

Nguping-nguping

Ini adalah kumpulan cerita pendek, hasil saya nguping. Lokasi; di mall, kantor, pasar. Pokoknya di mana-mana deh.


Laptop Kuarto

Kawan 1: Akudengar kamu punya laptop baru ya...
Kawan 2: Ya, sih. Alhamdulillah...
Kawan 1: Ngomong-ngomong, bagus nggak?
Kawan 2: Ya, lumayan sih. Udah kuarto duo

Dikuping dari perbincangan dua sahabat yang tak bisa membedakan antara laptop dan kertas kuarto.
***

Mengejar Buronan

Kawan 1: Saya ada berita. Tadi saya ikut rombongan Satpol PP mengejar WN Afganistan yang kabur dari tahanan Imigrasi, Pak.
Kawan 2: Wah, mantap itu. Terus bagaimana?
Kawan 1: Ya, saya kejar terus. Hingga sampai di hutan, tiba-tiba dia berhenti dan mengambil sikap hendak menyerang. Saya saat itu heran, kok dia berani? Lalu saya lihat ke belakang, ternyata tinggal saya sendiri. Satpol PP yang tadi mengejar sama saya hilang entah ke mana. Ya saya langsung kabur juga. Ngeri, badannya gede banget.

Nguping laporan seorang reporter baru, yang gagal jadi pahlawan.

***

Save By The Hen

Ayah: Kurang ajar kamu, dasar anak nakal. Rasakan ini, huh huh (sambil memukul si anak)
Anak: Wua wua...... Wua.... Ampun Yah... Arrrrrrgghhh...
Ayah: Diam, kamu memang nakal. Harus dihukum. (Di tengah amarah hebat itu tiba-tiba terdengar suara ayam si anak berkotek).
Anak: (Tiba-tiba berhenti nangis) Entar dulu Yah, nanti marahnya dilanjutkan lagi. Aku mau lihat ayamku sudah bertelur.
Ayah: ??????

Dikuping saat seorang ayah memarahi anaknya yang bandelnya tak ketulungan.
***

Kerja Enak
Kawan 1: Enakan jadi tukang bunga. Sebulan omsetnya bisa Rp4 juta, lebih besar dari gaji kita.
Kawan 2: Ah, kalau begitu masih enakan jadi Cak To, bos puluhan pengemis di Surabaya. Sehari penghasilannya Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan. Dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah CRV kinclong, dan empat rumah.
Kawan 3: Enakan makelar air ATB, satu drum air dia bisa dapat untung Rp50 ribu. Kalikan saja kalau operhari dia bisa jual 10 drum.

Dikuping dari percakapan dua rekan yang sudah kehilangan akan jati diri, dan makna sebuah kerja dan ibadah.
***

Lebih Galak

Kawan 1: Gimana nih, kok beritanya tak ada fotonya?
Kawan 2: Sudah saya minta, kata reporternya tak ada.
Kawan 1: Kamu marahin saja dia. Kan kamu editornya.
Kawan 2: Wah, kalau saya marahin, dia lebih galak dari saya.

Dikuping dari percakapan antara editor di sebuah majalah.
***

Gaptek

Kawan 1: Aku pikir semula hotspot itu, pencari panas. Saat pertama kali punya henpon yang ada hotspot-nya saya kebingungan, kok fungsinya tak bekerja saat saya deketin ke kompor.
Kawan 2: Ha ha ha ha... ha aha ha ha

Dikuping dari kawan yang baru punya communicator.
***

Karir

Kawan lama 1: Sekarang kegiatanmu apa?
Kawan lama 2: Oh, saya saat ini berkarir di (dia menyebut sebuah perusahaan)
Kawan lama 1: Emang karir itu apaan?
Kawan lama 2: Karir itu adalah, sebuah posisi pekerjaan yang kamu idam-idamkan, sehingga kamu akan melakukan hal terbaik untuk mendapatkannya. Namun ketika kamu sudah meraihnya, kamu merasa hampa dan tak dapat apa-apa.
Kawan lama 1: Maksydnya gimana sih?

Dikuping dari percakapan antara dua sahabat yang sudah lama terpisah. Yang satu cerdas yang satu telmi.
***

Salah Terus

Kawan 1: Gimana sih, kok kerjaan anak buahmu sering salah?!
Kawan 2: Tak tahu gimana lagi ngasih tahu dia nih, umurnya sudah senior, semestinya sudah sangat paham. Tapi tiap dikasih tahu ada aja jawabnya.
Kawan 1: Ah, itu pandai-pandai dia saja. Suka ngeles. Nanti saya sendiri yang turun tangan.
Kawan 2: Oke Pak entar aku ajak dia bicara dari hati ke hati dulu. Kalau tak jalan kuserahkan ke manajemen. Cuma aku terbayang anaknya yang 5 orang dan masih kecil-kecil, itu saja.
Kawan 1: Ya udah deh, aku tak tega juga...

Dikuping dari percakapan dua orang bos, yang ternyata masih memiliki hati selembut salju. He he he.
***

Kapan Kawin
Kawan 1: Hei, kapan kamu kawin.
Kawan 2: Ya, sebenarnya saya sudah punya pilihan. Tapi masih dilarang menikah dulu sama ibu.
Kawan 1: Oh gitu ya alasannya. Bukan karena ininya (dia menunjuk ke pedang pusaka rekannya) yang nggak mampu? Masih bisa berdiri kan?
Kawan 2: Ah ha ha... ya enggak lah... Ini saya masih kuat kok...

Dikuping dari percakapan dua kawan sekantor, yang tersipu malu, saat dituduh pusaka nenek moyangnya tak ampuh.
***

Cari THR

Kawan 1: Aduh, kemana lagi neh mau cari THR.
Kawan 2: Ah, kan situ ada Mas Soerya. SMS dong.
Kawan 1: Udah tuh.
Kawan 2: Gimana hasilnya?
Kawan 1: Ah, jangankan ngasih harapan, balas aja kagak.

Dikuping dari percakapan dua sahabat yang ngebet nunggu THR.
***

Salah Telepon


Kawan 1: Assalamualaikum... Bisa bicara dengan Pak Ismeth? (Ismeth Abdullah, Gubernur Kepri)
Kawan 2: Waalaikum salam. Ya, saya sendiri.
Kawan 1: Ini saya Pak, dari harian XXX, mau wawancara sebentar.
Kawan 2: Oh, boleh soal apa ya.
Kawan 1: (Mulai curiga, kok suaranya mirip kawannya) Maaf, ini benar dengan Pak Ismeth Abdullah.
Kawan 2: Bukan, ini Ismeth Syafriady. Ini kan nomor saya Ja, masak kamu tak tahu?
Kawan 1: Sialan kamu Mek, udah tadi suara saya saya bikin lembut dan sopan, kamu rupanya.
Kawan 2: Ha ha ha...

Dikuping dari percakapan dua wartawan via telepon. Mau nelepon Gubernur, ternyata salah sambung ke kawannya sendiri.
***

Jablay
Kawan 1: Horeee.... Suamiku sudah pulang dari ICU. Nanti malam, saatnya memberi dia hadiah. Sudah lama tak disentuh neh....

Bunyi status salah seorang kawan di Facebook. Kayaknya udah horny tuh bocah.
***

Gempa
Kawan 1: Tadi ada gempa, lalu saya bangunin pembatu sekalian minta agar anak saya digendong. Eh tak tahunya, malah dia yang keluar duluan, anak saya ditinggal.

Bunyi status salah seorang kawan di Facebook yang ketakutan saat terjadi gempa di Jogja.
***

Minggu, 13 September 2009

Diskusi Sumbang

Bila sebagian anak muda menghabiskan malam minggu dengan pasangannya, saya malah menghabiskannya dengan kawan-kawan. Mula-mula, bosan juga, namun lama-lama mengasyikkan juga. Rahasianya adalah.


Rahasianya adalah, saya bersama rekan-rekan lain, menggelar diskusi santai. Kebetulan, posisi meja kami menyerupai huruf “U”, sehingga saat akan menggelar diskusi, kami cukup memutar kursi saja. Jadilah sebuah forum.

Anggota diskusi ini hanya tiga orang saja. Cukup sedikit, namun yang penting berkualitas. Guna menjaga kualitasnya, kami harus memperhatikan khittah dari sebuah diskusi itu sendiri.

Apakah diskusi itu? Sebuah komunikasi kris kros. Di dalamnya harus ada kesepakatan, sekali lagi kesepakatan. Kami sepakat, harus ada yang mau berbicara dan harus ada yang mau mendengarkan.

Semua harus equal. Bila saya bicara, mereka mendengarkan pun sebaliknya. Hal ini meski sepele, namun umumnya susah dilakukan. Karena adakalanya orang lebih suka berbicara, namun malas mendengar.

Giliran orang mau mengutarakan pendapat udah dipotong, “Aku tahu apa yang kamu maksud!” Lalu ngomong lagi, lagi dan lagi, seolah sudah lebih tahu dari yang lain

Mungkin dalam perasaannya, orang akan mengatakan bahwa dia hebat, padahal sebenarnya saat itu dia tak ubahnya bagai penjual obat kutil di pasar.

Tentu bukan diskusi ini yang kami lakukan. Karena dengan begitu, tujuannya akan sulit tercapai. Tujuannya apa? Ya, sebuah solusi.

Kembali lagi kediskusi “Sabtuan” (karena dilakukan hari sabtu malam, he he) kami, materinya ada saja. Yang jelas bukan mengupas soal pribadi seseorang, karena itu bukan diskusi namanya, melainkan gosip ibu-ibu komplek.

Yang jelas, seputar masalah kerja. Membahas isu, analisa dan pengembangannya. Mengapa ini kok begini, mengapa ini kok begitu. Dan lain-lain. Ada juga kadang dikupas soal intrik, sensor dan lain-lain dan lain lain.

Kadang juga kami membahas, kok makin subur kolumnis tamu di koran-koran yang menyalah gunakan “kekuasaannya”. Katanya kolom budaya, namun kok malah jadi kolom olok-olok, sindir-sindir, serang menyerang orang yang dirasa berseberangan dengannya.

Seolah dia berkata, “He he he… baru tahu kamu ya… He he he… Awas lu kalau macem-macem lagi, gua tulis di kolom gua, he he he.”

Ini budayawan atau preman, tak jelas lagi. Sementara itu bagi yang dia senangi, maka disanjung setinggi gunung Daik. Penjilat!

Ah… mestinya mereka belajar bagaimana MH Ainun Najib menulis.

Yang bikin kesal, sudah tak disiplin, juga tak ada takaran jelas dalam menentukan jumlah karakter tulisan. Nulisnya panjaaaaaaaang, ngalor ngidul tak jelas. Macam lipsus saja.

Mereka pikir nulis panjang itu sudah hebat. Padahal, ini memuakkan. Orang kian sibuk. Selain itu fakta menunjukkan, hasil riset SPS terbaru; ternyata orang membaca koran hanya 15 menit. Artinya, kebanyakan hanya membaca judulnya saja, danm beberapa artikel yang dirasa menarik.

Yang lebih buruk, tulisan panjang hanya bikin wajah halaman jelek macam mading anak SMA tahun 1980-an.



Hm….

Nah, dari diskusi inilah kami mencoba membangun pijakan dan planning. Ke arah yang lebih baik tentunya.

If we could!

Jumat, 04 September 2009

Buruk Iman Ustad Dibelah

Di Bulan Ramadan ini, saya melihat beragam jenis kiai. Ada yang diagungkan dan berperan sebagai subyek, namun ada yang dinistakan sebagai obyek lelucon. Tak hanya itu, ternyata ada juga kiai yang memperolok diri dan membikin bingung umat. Rupiah mungkin yang membuatnya seperti itu.

Baiklah mari kita kupas satu persatu, tiga model kiai yang saya amati di bulan nan suci ini.

Pertama: Kiai yang diagungkan dan berperan sebagai subyek. Hal ini bisa Anda lihat pada acara Tablig Akbar di TV 1. Di sini setiap hari, bisa kita lihat beberapa kiai memberikan tausyahnya kepada umat. Ada Zainuddin MZ, Aa Gy, Al Habsy, Jefry Al Buchory, hingga Akrie Patrio.

Selain itu ada pula di Metro TV, acara Tafsir Al Misbah bersama Quraisy Shihab, dan petunjuk melakukan Shalat Khusu bersama ustad Abu Sangkan.

Di semua acara ini, mereka semua diagungkan dan menampatkan peran dan fungsinya dengan benar dan sahih, yakni mengarahkan, memberi pencerahan dan memecahkan persoalan umat dengan tepat.

Intinya sini mereka bertindak sebagai subyek, man behind the wheel. Kalau begini, saya ingat bagaimana dulu peran Buya Hamka, dan kiai-kiai sepuh lainnya di Jawa Timur, di mana rasa hormat umat tak berkurang.

Yang kedua: Ada kiai yang dinistakan sebagai obyek lelucon. Penistaan yang saya maksud di sini salah satunya adalah, ada seorang pelawak yang mencari nafkah dengan cara memakai atribut semacam sorban hingga logat kiai. Sebutannya AA Jimmy, dia cari yang identik dengan AA Gym, tokoh yang dijiplaknya itu.

Namun, semua itu untuk dia jadikan bahan lelucon, hingga membuat citra kiai kadang jadi remeh.

Tak jarang juga kiai jadi-jadian ini, melakukan goyang gergaji khas Dewi Persik, sebuah goyangan yang kerap dikritik dan diharamkan oleh kiai, karena identik dengan maksiat.

Ada kalanya juga, sang kiai jadi-jadian yang tergabung dalam kelompok musik parodi itu, tampil bak orang moron dan melakukan hal konyol dan menjijikkan lainnya, agar penonton tertawa.

Selain itu, banyak juga kiai betulan yang menjadi obyek di panggung-panggung lawakan. Kadang dipukul-pukul, kadang dicibir-cibir dan seterusnya dan seterusnya. Meski itu hanya guyonan, namun tetap saja ada penistaan di dalamnya.


Naudzubillah hi minzalik.

Dan yang ketiga. Kali ini, justru sang kiai sendirilah yang memperolok diri dan membikin bingung umat. Tak jelas lagi mana halal dan haram.

Adalah sebuah acara Take Me Out Indonesia di Indosiar. Acara ini semacam acara kontak jodoh. Saat itu, ada sekitar 20 wanita yang tengah mencari jodoh di jejer untuk memilih seorang lelaki yang ditentukan panitia.

Mau tahu, siapa komentator acara ini? Ternyata seorang kiai betulan. Namanya Ustad Cinta. Entah apa maksudnya dia mencari nama seperti ini. Aku berpikir suatu saat akan ada juga ustad maksiat.

Di sini, sang kiai menjadi komentator soal pasangan yang akan dipilih oleh si gadis.

Lalu apa salahnya? Menurut saya, salah masuk acara. Karena domain cinta yang dia masuki dan komentari itu, sudah ke dalam cinta birahi. Di mana, di acara ini setelah, si pria atau wanita menemukan pasangan yang cocok, mereka masih akan dikarantina di sebuah ruang khusus.

Jadi, kemana otak sang ustad cinta itu. Bukankah dalam Islam berdua-duaan antara wanita dan pria dalam sebuah ruangan haram hukumnya? Artinya, dengan hadirnya sang ustad di acara tersebut, sama saja dia bersubahat menghalalkan jenis maksiat semacam ini?

Yang lebih konyol lagi, ada seorang ustad bernama Hariri, sampai mau hadir jadi komentator di sebuah acara SMS Premium. Padahal, acara semacam ini sebagaian ulama telah mengharamkannya.

Naudzubillahi min dzalik. Inilah bedanya mungkin, ustad yang diangkat dari sebuah kontes pidato, dengan ustad atau kiai yang kapasitasnya diangkat oleh ummat.

Inilah bentuk penilaian saya akan wajah-wajah kiai di bulan Ramadan ini. Sebagai catatan untuk poin kedua dan ketiga, apakah ini bentuk dakwah? Kalau mereka ingin meniru cara para sunan, saya rasa tak tepat juga. Metodanya sudah absurd.

Memang benar adanya, para sunan dulu saat berdakwah kadang menggunakan media non mimbar dengan memodifikasi budaya pop. Tapi ingat, kondisi umat Islam di zaman itu masih monoritas.

Namun setelah umat Islam mayoritas seperti saat ini, saya yakin para sunan tak akan melakukan metode semacam itu, karena nilai-nilai aqidah sudah merasuk, tinggal menguatkannya saja. Bukan malah bikin bingung.

Kamis, 03 September 2009

Petuah Ayah untuk Regalia

Dulu, masih saya kecil, ayah sering menitip pesan bijak pada ku melalui lagu. Maklumlah, ayah seorang musisi. Dan kini setelah saya dewasa, hal itu terulang lagi pada anak saya. Regalia.


Lagu yang ayah nyanyikan dulu, saya nyanyikan kembali, sembari memberi nasihatlah. Syukurlah, Regalia pun suka.

Lagu ayah yang sering saya nyanyikan sebagai nasihat adalah yang ini.

Belajar di waktu kecil
Bagai mengukir di atas batu

Belajar sesudah dewasa
Laksana mengukir di atas air

Ilmu dunia akhirat
Wajib dituntut dipelajari

Dari kecilah engkau mendapat
Sudah Dewasa berguna kemana pergi

Belajar di waktu kecil
Bagai mengukir di atas batu

Belajar sesudah dewasa
Laksana mengukir di atas air

Jangan sedih yatim piatu
Tiada berayah tiada beribu

Tapi sedihlah tak punya ilmu
Jalan mana.. yang mana hendak dituju

Belajar di waktu kecil
Bagai mengukir di atas batu

Belajar sesudah dewasa
Laksana mengukir di atas air…


Inilah mungkin salah satu alasan, mengapa ayah rela menghabiskan hartanya, demi melihat anaknya berilmu.

Kami adalah keluarga besar, ada 9 kakak beradik. Ayah dulu adalah seorang yang jaya dalam berbisnis. Namun, di akhir hayatnya ayah tak meninggalkan warisan harta pada kami. Hanya ilmu pengetahuan.

Saudara-saudara kami semua di sekolahkan hingga ke perguruan tinggi di Jawa. Di masa itu (Tahun 1970-an) masih jarang warga di kampung kami studi di universutas.

“Ayah lebih baik melihat kalian berilmu, dari pada kalian ayah belikan kemewahan dunia. Yang penting sekolah,” ujarnya saat itu.

Pernah di tahun 1985-an saya merengek ingin sepeda motor, ayah tak bisa meluluskan permintaan ini.

“Nak, bila harta yang ayah belanjakan untuk pendidikan kakak-kakak mu, ditukar dengan sepeda motor, mungkin lebih dari harga 10 sepeda motor,” ujarnya tersenyum.

Menurut ayah, orang akan terhormat bila mempunyai ilmu. Pendiriannya tetap teguh, meski kakak kami yang saat itu baru di wisuda, belum juga mendapat kerja.

“Percayalah Nak, tak ada istilahnya orang berilmu itu nganggur. Suatu saat, ilmu kakakmu pasti berguna,” tegasnya.

Jawaban ayah ini sekaligus menepis anggapan orang di kampung kami yang selalu berperinsip, buat apa sekolah tinggi-tinggi toh nanti nganggur.


Selain lagu itu, ayah sering melantunkan sebuah lagu dari orkes El Suraya Medan, orkes gambus tahun 50-an berirama swing. Judulnya Fatwa Orang Tua.

Syairnya seperti ini;
Bila diri ingin dikenang, semailah benih di tengah sawah
Bila diri ingin dikenang, semailah benih di tengah sawah

Bawalah ilmu, padi di ladang tambah berisi tunduk ke bawah
Bawalah ilmu, padi di ladang tambah berisi tunduk ke bawah

Bila diri ingin terpandang, jauhi kata tinggi melambung
Bila diri ingin terpandang, jauhi kata tinggi melambung

Jauhi sifat ayam di kandang, bertelur satu ribut sekampung
Jauhi sifat ayam di kandang, bertelur satu ribut sekampung

Jauhi sifat mengaku pandai, angkuh dan sombong menepuk dada
Jauhi sifat mengaku pandai, angkuh dan sombong menepuk dada

Ingat petuah penyu di pantai, telur beratus namun tak bangga
Ingat petuah penyu di pantai, telur beratus namun tak bangga

Bila ingin harum bak mawar, jauhi sifat meninggi diri
Bila ingin harum bak mawar, jauhi sifat meninggi diri

Bisa ular tidak kan tawar walau menyuruk batas berduri
Bisa ular tidak kan tawar walau menyuruk batas berduri



Anakku Regalia, demikianlah…


Rabu, 02 September 2009

Mobil Dewan yang Asyik

Dua hari jelang berakhirnya masa bakti anggota DPRD Batam 2004-2009, saya sempat mencicipi bagaimana rasanya mengendarai mobil dinas mereka, Toyota Altis matic 2003 itu. Mau tahu serunya?


“Tunggu bang, saya ganti dulu platnya ya,” ujar B, ajudan salah seorang anggota DPRD Batam.

Tak lama, lelaki itu langsung membuka bagasi belakang mobil, mengambil dua keping plat hitam. Kemudian dengan tangkas dia melepas nomor plat merah mobil tersebut.

Sudah? Masih belum, karena sang ajudan masih mengeluarkan barang-barang pribadi milik majikannya. Seperti agenda kerja, aneka map dan hal-hal yang berhubungan dengan kinerja bosnya.

“Bah, selesai sudah bang. Nih kuncinya,” ujarnya memberikan sebuah kunci mobil tersebut.

“Makasih Bang,” sambut saya dengan senyum mengembang.

Sebelum masuk, saya amati dulu kondisi body mobil ini. Masih mulus, catnya pun mengkilap. Hanya ada goresan kecil di bagian samping bagasi.

Puas mengamati, lalu saya berganjak masuk ke dalam “kokpit” mobil itu.

Hm… sejenak saya nikmati nuansa di dalamnya. Bersih, dan wangi. Tak ada yang lecet. Stirnya juga terawat, terbuat dari paduan kayu dan besi yang pinggirnya dilapis karet, sehingga tangan tak slip.

“Bapak orangnya bersihan, Bang. Termasuk soal mobil ini. Noda sedikit dia bisa marah,” kata-kata sang sang ajudan terngiang di telinga saya, beberapa saat sebelum mobil ini dipinjam-pakaikan pada saya.

Dan memang, demikian adanya, interiornya masih terawat, joknya khususnya di jok belakang sangat bersih dan didesain mirip mini limousine. Sebuah kotak tisu dan tatakan gelas terpasang di bagian tengah jok belakang.

“Oh, mungkin ini tempat sang bos minum,” pikirku. Saya kembali teringat omongan sang ajudan, bahwa bosnya memang selalu duduk di belakang. Tapi, bukan karena sang bos suka nge-bos, namun karena si bos ngeri bila duduk di depan.

“Kalau saya nyetir, dia merasa mobil ini macam mau nabrak saja. Makanya dia ngeri,” ujar sang ajudan di selingi ketawa kecil.

Oke cukuplah diskripsi soal interior. Mari kita tes drive. “Cke kek kek kek, brummmmm,” mesin pun menyala. Tanpa pikir panjang, langsung saya tarik knobnya ke panel D, dan kaki pun mengjinjak gas.

Brum…. Dalam sekejap mobil melesat. Akselarasinya masih oke, dalam dua detik saja RPM-nya sudah mencapai putaran tinggi. Cukup mantap untuk ukuran mobil yang memiliki mobilitas tinggi.

Sistem rem bagus. Baru tekan sedikit saja sudah berhenti. Ditambah lagi, kondisi power steering-nya sangat maksimal, sehingga menyetir tak bikin sakit pinggang.

Dengan kondisi ini, saya jadi sangat lincah membelah jalan. Sreeeet… sret… Dalam sekejap, beberapa mobil sudah saya salip. “Yuhu….”

Selain mesin, sistem shock absorber-nya masih berfungsi baik. Tak gruduk-gruduk saat melaju di jalan berbatu. Bunyi-bunyi kecil pun tak daya temukan.

“Bapak orangnya memang sangat perfect soal mobil. Bila dengar bunyi sekecil apapun, dia langsung m,inta saya bawa ke bengkel, Bang,” kembali kisah sang ajudan terngiang di telinga.

Lalu bagaimana dengan sistem pendinginnya. Saya pun mulai penasaran. Pandangan pun mulai mengarah ke beberapa panel digital di tengah dashboard.

Saya coba hidupkan dulu, lalu set laju angin ke posisi bar ke dua, dan suhu 26 derajad. Wus… Maknyus, tak perlu lama untuk mendinginkan suasana. Seiring dengan itu, bau wewangian jasmin menyeruak, dari dua pengharum ruang yang di pasang di kanan-kiri lubang pendingin udara.

“Enak juga rupanya jadi anggota dewan,” pikir saya.

Lama saya berkencan dengan mobil ini. Dari Batam Center saya bawa ke Bandara, lalu keliling-keliling kota. Tak terasa dua hari sudah saya jajal. Mantap memang.

Hingga sehari jelang masa berakhirnya jabatan anggota dewan, saya mengembalikan mobil ini pada empunya. Karena keesokan harinya, mobil ini harus dikembalikan ke Sekretariat DPRD Batam, setelah 5 tahun menemani tuannya.

“Mobil ini sudah capek bang,” ujar sang ajudan, saat menerima kunci dari saya.

“Sudah lima tahun menemani Bapak ke mana-mana. Mobilitasnya tinggi,” sambungnya.

“Apa tak pernah rusak bang?”

“Ya pernah lah Bang. Kemarin, sebelum abang pinjam, sistem pendingin otomatisnya rusak, sehingga harus saya bawa ke bengkel. Untung bisa langsung ketahuan. Kalau tidak bisa jem!” terangnya.

Selanjutnya sang ajudan bercerita, bahwa beberapa eksterior yang ada di mobil ini udah dia ganti milik pribadi. Misalnya velg. “Nanti mau saya lepas, Bang. Saya yang ganti velg-nya. Soalnya aslinya jelek,” jelasnya.

Selanjutnya saya pamit. Pengalaman ini sungguh mengasyikkan.

Selasa, 01 September 2009

Rindu Ini Membunuhku

Puasa tahun ini menjadi puasa yang saya rasa paling berat dalam hidup. Bukan nahan laparnya, melainkan nahan perasaan harus berpisah dengan Regalia. My baby, 15 month old.



Hari ini, 10 hari sudah, berpisah dengan Regalia. Sejak dia pulang ke kampung bersama bundanya, ke Bawean Jawa Timur. Ah… Tak enak rasanya, seolah separuh jiwa saya ikut terbang. Ibarat batrey ponsel, tinggal separuh saja.

Yang bikin hampa, bukannya karena saat ini saya harus hidup sendiri, ibarat lagu Caca Handika itu, “Makan- makan sendiri, masak-masak sendiri…” dan seterusnya. Karena saya sudah terbiasa mandiri.

Sejak kecil kami sudah diajar tak bergantung pada orang lain. Masak, nyapu, ngepel, semua belajar sendiri. Ayah memang mendisain kami untuk selalu jadi pribadi yang bersih, dari fisik dan Insyaallah terbawa ke ruhani.

Hal ini yang terus saya bawa hingga saat ini. Bila dirasa bisa dikerjakan sendiri, ya lakukanlah. Bila terlalu mengharapkan orang lain, hanya bikin sakit saja. Apalagi bila mereka tak bisa melakukan sesuai keinginan.

Jadi, hidup sendiri kayaknya tak terlalu berat. Namun berpisah dengan Regalia, sungguh berat.

Setiap saat saya selalu cek kalender, kapan tibanya tanggal 28 September, di mana cuti saya tiba dan bisa menjemput impian saya itu, bertemu, mendengar celotehannya, bahkan menggendongnya.

Saking lekatnya, sampai-sampai kebawa mimpi, “Marilah nak, tak gendong. Udah lama ya tak gendong ayah…” Gubrak!!! Saya terbangun. Nafas saya memburu.

“Huh, hanya mimpi rupanya! Hampir saja jatuh dari peraduan,” rutukku, sembari menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tak gatal.

Too sweet to forget.

Seorang rekan sempat melempar nasihat, “Sudahlah Za, jangan engkau ingat terus, kasihan Regalia, nanti dia bisa kepikiran juga,” ujarnya.

Iya deh. Tapi, bagaimana bisa lupa? Anak gitu loh! Apalagi bila di rumah, rasanya setiap jengkal tembok terpampang wajah Regalia.

Apalagi saat melihat cecak. Cecak? Apa hubungannya? Ya, ada. Ceritanya, bila lihat reptil merayap itu, Regalia selalu spontan menunjuk lalu berujar, “Cecak…! Hus… hus…”

Yang paling terharu saat saya merapikan setumpuk mainannya yang tersimpan dalam kontainer plastik di ruang tengah. Terutama saat melihat mainan kotak berisi enam bola warna warni. Regalia sangat menyukai mainan ini.

Melalui lubang-lubangnya, dia biasa memasukkan bola ke dalam kotak. Kadang dikeluarkan lagi. Begitu terus. Kadang kalau main ini, dia sampai lupa waktu. Wajahnya amat serius, hingga tugasnya memasukkan semua bola itu selesai.

Seiring waktu, Regalia mulai bosan. Maka mulailah dia berimprovisasi. Bola-bola itu dia ganti dengan benda lain. Mulai plastik hingga kertas. Bagaimana cara memasukkannya? Caranya, kertas dan plastik itu dia remas hingga kecil, setelah pas dengan lubang baru dimasukkan.

Ada-ada aja akalnya. Untuk anak seusia itu, saya beri dia nilai A.

Hal inilah yang saya lihat saat merapikan mainan tersebut. Di dalamnya penuh plastik dan kertas. Sayapun tertawa, terharu.

Untunglah saat ini teknologi sudah canggih. Ada ponsel untuk bisa mendengar kabar tiap saat. Sayangnya, di kampung kami fasilitas 3G belum ada, jadinya repot bila ingin interaktif dengan Regalia. Penginnya sih niru-niru telekonferensi macam Pak SBY gitu, he he he.

Tapi, untunglah di kampung sana tante Regalia ada Blackberry yang terkeneksi ke Facebook. Dari sini saya bisa meminta agar selalu meng-up-load foto –fotonya lalu posting di facebook, sehingga dahaga rindu saya bisa hilang.