Minggu, 13 September 2009

Diskusi Sumbang

Bila sebagian anak muda menghabiskan malam minggu dengan pasangannya, saya malah menghabiskannya dengan kawan-kawan. Mula-mula, bosan juga, namun lama-lama mengasyikkan juga. Rahasianya adalah.


Rahasianya adalah, saya bersama rekan-rekan lain, menggelar diskusi santai. Kebetulan, posisi meja kami menyerupai huruf “U”, sehingga saat akan menggelar diskusi, kami cukup memutar kursi saja. Jadilah sebuah forum.

Anggota diskusi ini hanya tiga orang saja. Cukup sedikit, namun yang penting berkualitas. Guna menjaga kualitasnya, kami harus memperhatikan khittah dari sebuah diskusi itu sendiri.

Apakah diskusi itu? Sebuah komunikasi kris kros. Di dalamnya harus ada kesepakatan, sekali lagi kesepakatan. Kami sepakat, harus ada yang mau berbicara dan harus ada yang mau mendengarkan.

Semua harus equal. Bila saya bicara, mereka mendengarkan pun sebaliknya. Hal ini meski sepele, namun umumnya susah dilakukan. Karena adakalanya orang lebih suka berbicara, namun malas mendengar.

Giliran orang mau mengutarakan pendapat udah dipotong, “Aku tahu apa yang kamu maksud!” Lalu ngomong lagi, lagi dan lagi, seolah sudah lebih tahu dari yang lain

Mungkin dalam perasaannya, orang akan mengatakan bahwa dia hebat, padahal sebenarnya saat itu dia tak ubahnya bagai penjual obat kutil di pasar.

Tentu bukan diskusi ini yang kami lakukan. Karena dengan begitu, tujuannya akan sulit tercapai. Tujuannya apa? Ya, sebuah solusi.

Kembali lagi kediskusi “Sabtuan” (karena dilakukan hari sabtu malam, he he) kami, materinya ada saja. Yang jelas bukan mengupas soal pribadi seseorang, karena itu bukan diskusi namanya, melainkan gosip ibu-ibu komplek.

Yang jelas, seputar masalah kerja. Membahas isu, analisa dan pengembangannya. Mengapa ini kok begini, mengapa ini kok begitu. Dan lain-lain. Ada juga kadang dikupas soal intrik, sensor dan lain-lain dan lain lain.

Kadang juga kami membahas, kok makin subur kolumnis tamu di koran-koran yang menyalah gunakan “kekuasaannya”. Katanya kolom budaya, namun kok malah jadi kolom olok-olok, sindir-sindir, serang menyerang orang yang dirasa berseberangan dengannya.

Seolah dia berkata, “He he he… baru tahu kamu ya… He he he… Awas lu kalau macem-macem lagi, gua tulis di kolom gua, he he he.”

Ini budayawan atau preman, tak jelas lagi. Sementara itu bagi yang dia senangi, maka disanjung setinggi gunung Daik. Penjilat!

Ah… mestinya mereka belajar bagaimana MH Ainun Najib menulis.

Yang bikin kesal, sudah tak disiplin, juga tak ada takaran jelas dalam menentukan jumlah karakter tulisan. Nulisnya panjaaaaaaaang, ngalor ngidul tak jelas. Macam lipsus saja.

Mereka pikir nulis panjang itu sudah hebat. Padahal, ini memuakkan. Orang kian sibuk. Selain itu fakta menunjukkan, hasil riset SPS terbaru; ternyata orang membaca koran hanya 15 menit. Artinya, kebanyakan hanya membaca judulnya saja, danm beberapa artikel yang dirasa menarik.

Yang lebih buruk, tulisan panjang hanya bikin wajah halaman jelek macam mading anak SMA tahun 1980-an.



Hm….

Nah, dari diskusi inilah kami mencoba membangun pijakan dan planning. Ke arah yang lebih baik tentunya.

If we could!

Tidak ada komentar: