Selasa, 01 September 2009

Rindu Ini Membunuhku

Puasa tahun ini menjadi puasa yang saya rasa paling berat dalam hidup. Bukan nahan laparnya, melainkan nahan perasaan harus berpisah dengan Regalia. My baby, 15 month old.



Hari ini, 10 hari sudah, berpisah dengan Regalia. Sejak dia pulang ke kampung bersama bundanya, ke Bawean Jawa Timur. Ah… Tak enak rasanya, seolah separuh jiwa saya ikut terbang. Ibarat batrey ponsel, tinggal separuh saja.

Yang bikin hampa, bukannya karena saat ini saya harus hidup sendiri, ibarat lagu Caca Handika itu, “Makan- makan sendiri, masak-masak sendiri…” dan seterusnya. Karena saya sudah terbiasa mandiri.

Sejak kecil kami sudah diajar tak bergantung pada orang lain. Masak, nyapu, ngepel, semua belajar sendiri. Ayah memang mendisain kami untuk selalu jadi pribadi yang bersih, dari fisik dan Insyaallah terbawa ke ruhani.

Hal ini yang terus saya bawa hingga saat ini. Bila dirasa bisa dikerjakan sendiri, ya lakukanlah. Bila terlalu mengharapkan orang lain, hanya bikin sakit saja. Apalagi bila mereka tak bisa melakukan sesuai keinginan.

Jadi, hidup sendiri kayaknya tak terlalu berat. Namun berpisah dengan Regalia, sungguh berat.

Setiap saat saya selalu cek kalender, kapan tibanya tanggal 28 September, di mana cuti saya tiba dan bisa menjemput impian saya itu, bertemu, mendengar celotehannya, bahkan menggendongnya.

Saking lekatnya, sampai-sampai kebawa mimpi, “Marilah nak, tak gendong. Udah lama ya tak gendong ayah…” Gubrak!!! Saya terbangun. Nafas saya memburu.

“Huh, hanya mimpi rupanya! Hampir saja jatuh dari peraduan,” rutukku, sembari menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tak gatal.

Too sweet to forget.

Seorang rekan sempat melempar nasihat, “Sudahlah Za, jangan engkau ingat terus, kasihan Regalia, nanti dia bisa kepikiran juga,” ujarnya.

Iya deh. Tapi, bagaimana bisa lupa? Anak gitu loh! Apalagi bila di rumah, rasanya setiap jengkal tembok terpampang wajah Regalia.

Apalagi saat melihat cecak. Cecak? Apa hubungannya? Ya, ada. Ceritanya, bila lihat reptil merayap itu, Regalia selalu spontan menunjuk lalu berujar, “Cecak…! Hus… hus…”

Yang paling terharu saat saya merapikan setumpuk mainannya yang tersimpan dalam kontainer plastik di ruang tengah. Terutama saat melihat mainan kotak berisi enam bola warna warni. Regalia sangat menyukai mainan ini.

Melalui lubang-lubangnya, dia biasa memasukkan bola ke dalam kotak. Kadang dikeluarkan lagi. Begitu terus. Kadang kalau main ini, dia sampai lupa waktu. Wajahnya amat serius, hingga tugasnya memasukkan semua bola itu selesai.

Seiring waktu, Regalia mulai bosan. Maka mulailah dia berimprovisasi. Bola-bola itu dia ganti dengan benda lain. Mulai plastik hingga kertas. Bagaimana cara memasukkannya? Caranya, kertas dan plastik itu dia remas hingga kecil, setelah pas dengan lubang baru dimasukkan.

Ada-ada aja akalnya. Untuk anak seusia itu, saya beri dia nilai A.

Hal inilah yang saya lihat saat merapikan mainan tersebut. Di dalamnya penuh plastik dan kertas. Sayapun tertawa, terharu.

Untunglah saat ini teknologi sudah canggih. Ada ponsel untuk bisa mendengar kabar tiap saat. Sayangnya, di kampung kami fasilitas 3G belum ada, jadinya repot bila ingin interaktif dengan Regalia. Penginnya sih niru-niru telekonferensi macam Pak SBY gitu, he he he.

Tapi, untunglah di kampung sana tante Regalia ada Blackberry yang terkeneksi ke Facebook. Dari sini saya bisa meminta agar selalu meng-up-load foto –fotonya lalu posting di facebook, sehingga dahaga rindu saya bisa hilang.

Tidak ada komentar: