Selasa, 20 September 2011

Boyan, Melayu dan Marco Polo

Minggu lalu saya menghadiri halal bihalal warga Bawean di Batam. Orang Bawean juga disebut orang Boyan. Tanah klahiran saya ini memang uniknya bukan main.

Bayangkan saja, pulau yang berada di utara Jawa Timur ini, masyarakatnya berbahasa Sumenep (Madura), namun berbudaya Melayu, khususnya kesenian. Padahal penduduknya tak ada dari tanah Melayu.

Penduduk Bawean saat ini berakar pada suku-suku yang menetap selama ratusan tahun di pulau ini. Di antaranya suku Jawa (mereka pendatang dari Majapahit dan para wali penyebar Islam).

Selanjutnya, Palembang/Kemas (bisnisman papan atas yang menetap di era Belanda), ada juga Bugis Mandar (pelaut yang nenetap karena Bawean kaya akan hasil laut), Madura (menetap setelah ekspansi Kesultanan Cakraningrat IV ke Bawean, juga didorong migrasi dari tanahnya yang gersang).

Sisanya, ada keturunan Arab, India, China, dan Campa. Namun mereka sudah berbaur tak lagi menonjolkan identitas etnik seperti di daerah lain. Mereka menetap karena kepentingan dagang, mengingat pulau ini dahulu menjadi pulau transit armada dagang dari gerbang asia, sebelum melanjutkan ke Jawa.

Keunikan inilah yang membuat Antropolog Belanda, Jacob Vredenbregt, melakukan penelitian lalu dituangkan dalam bukunya De Baweanners in hun Moederland en in Singapore, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh AB Lapian dengan judul Bawean dan Islam. Tak jelas siapa yang mentransplantasi budaya Melayu ini ke Bawean. Yang saya dengar dan baca, paling tentang akulturasinya saja.

Kalau dirunut kisahnya, Bawean dulu dipimpin raja pagan lalu Hindu dan berbahasa asli Bawean yang kini punah. Hingga di era abad 15-an, pulau ini banyak disinggahi pedagang Arab dan kaum Muslim lain dari Jawa. Bahkan Wali Songo.

Hingga di abad 16 Kesultanan Cakraningrat IV dari Sumenep Madura, mengekspansi pulau ini. Saat itulah, bahasa Sumenep (Madura) jadi bahasa resmi (administratif), yang lama kelamaan menghilangkan bahasa asli Bawean. Dari sini Islam jadi agama resmi.

Meski begitu, soal kebudayaan, khususnya seni, orang Bawean cenderung ke Melayu, tanah yang terletak ratusan mil laut dari pulau ini. Hal ini disebabkan pada abad itu, orang Bawean sudah mengenal Melaka (kini Malaysia) sebagai daerah rantauannya. Ada juga yang menetap di sini.

Jadi, wajar bila di Malaysia, Singapura hingga beberapa daerah di kepulauan Riau ini, banyak terdapat Kampung Boyan. Bahkan di Singapura, sensus 1980-an ke bawah, orang Bawean (Boyanesse) tercatat sebagai etnis tersendiri ke-4 setelah Melayu, China, India.

Kembali lagi. Di antara perantau-perantau tersebut, ada juga yang pulang kampung. Dari merekalah, orang Bawean mengenal dan menyerap budaya dan seni Melayu. Demikian sejarah singkat, terjadinya transplantasi budaya Melayu ke Bawean.

Soal transplantasi budaya ini memang sudah biasa terjadi di dunia. Ini sudah hukum alam, di mana peradaban maju selalu mempengaruhi peradaban yang berkembang. Hal yang mendasarinya adalah satu rasa takjub (sense of wonder) dari si penjelajah atau perantau yang bersangkutan. Dengan rasa inilah, dia mencangkok budaya ke tempat asalnya: amati, tiru, modifikasi, jadilah hal baru (co-creation).

Buku Wimar Witoelar, Still More About Nothing, mengupas, bahwa dulu Eropa juga tak luput dari hal ini. Ditandai ketika Marco Polo membawa budaya China ke Eropa yang begitu kuat penerimaannya, hingga orang lupa akan hal-hal yang tak lahir di Eropa. Kalau kita makan spaghetti Bolognaise, kita lupa spaghetti itu sebetulnya mi yang dipindahkan ke dalam konteks bumbu Kota Bologna, Italia.

Saat orang lihat kembang api pada malam tahun baru di Times Square, orang tidak tahu bahwa kembang api itu asli China, dibawa oleh Marco Polo ke Venezia, kemudian diteruskan oleh orang lain ke New York. Banyak lagi contoh transpalansi budaya yang membuat dunia lebih sempurna.

Sama halnya ketika seniman lukis Eropa abad pertengahan, pasca-Perang Salib, gemar menorehkan kalimat la ilaa haillallah, pada setiap karyanya. Saya baca hal ini di buku Hanum Rais, 99 Cahaya di Langit Eropa.

Dia menyebut, kegandrungan orang Eropa abad pertengahan memajang kalimat Islami ini juga ditemukan pada dinding (inskripsi) di Gereja Pellermo di Sisilia, hingga mantel kebesaran Raja Roger dari Sisilia, yang dibuat tahun1113. Mantel ”The Baptized Sultan” itu sekarang tersimpan di Museum Harta Kerajaan, Istana Hofburgh, di Wina, Austria.

Yang menarik, lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus sekalipun, tak lepas dari torehan kalimat la ilaa haillallah. Salah satu buktinya lukisan Vierge a I’Enfant atau The Virgin an The Child, karya Ugolino di Nerio (1315-1320) yang kini tersimpan di Denon Wing, Museum Louvre, Paris. Museum dengan koleksi terlengkap di dunia, tempat lukisan maestro dunia tersimpan, mulai Rembrandt hingga Leonardo da Vinchi.

Kalimat la ilaa haillallah itu tertera pada hijab Bunda Maria, menggunakan huruf Arab Pseudo Kufic. Mana mungkin kalimat Tauhid Muslim itu tertera pada simbol suci Katolik?

Ceritanya pada awal abad 12 saat peradaban Islam di Arab maju. Bersamaan pasca-Perang Salib, pergerakan antarmanusia begitu besar. Orang-orang Eropa dan penakluk Kristen di Yerussalem, menyebar luaskan berita tentang hasil-hasil tenun indah dan tekstil kaum Muslim yang berkualitas. Inilah yang mereka bawa ke Eropa yang memang saat itu masih belum tersentuh pencerahan (renaissan).

Kerajinan ini sangat berharga, jadi kebanggaan para raja dan orang kaya Eropa. Merekapun gemar mendatangkan, atau menerima hadiah (suvenir), khas Timur Tengah, seperti permadani, keramik dan kain sutra.

Semua hasil industri ini tak bisa lepas dari pahatan atau bordir kalimat la ilaa haillallah. Kata-kata ini jadi semacam tag line favorit khas Timur Tengah kala itu. Barang belum dikatakan branded asli Timur Tengah bila tak tertera kalimat tauhid tersebut.

Tak heran bila kemudian, pemakaian kalimat ini jadi massive menghiasi baju kerajaan, busana dan kerudung bangsawan atau konglomerat Eropa kala itu. Nah, di saat yang bersamaan lukisan Bunda Maria dan Yesus atau Madonna and Child/Virgin Mary and Child, menjadi tema favorit para seniman kala itu.

Nah, supaya tampak sesuai tren, mereka menuliskan kalimat la ilaa haillallah pada kerudung yang dikenakan Bunda Maria. Tentunya, karena mereka tak tahu apa artinya. Jadi sama sekali tak disengaja.

Tidak ada komentar: