Sabtu, 03 September 2011

Silaturahmi

Satu hal nikmat yang paling berharga saat Lebaran ini adalah, bisa puas silaturahmi.

Kita bertemu, bertatap muka, saling melempar senyum, menebar salam yang otomatis saling mendoa, ”Semoga diberikan keselamatan atasmu, dan rahmat Allah serta berkahNya juga kepadamu.”

Inti silaturrahim ialah berbuat baik kepada orang terdekat, dengan cara berkomunikasi. Makanya, Rasulullah ketika mencetuskan program silaturrahim, mencontohkan dengan membagi-bagikan materi, kepada orang-orang terdekatnya. Ini sunnah. Makanya dalam Lebaran, ada tradisi bagi-bagi uang.

Terlepas dari itu, yang paling indah adalah, ketika saling bermaafan, tanpa basa basi, ikhlas, mohon maaf lahir dan batin, tanpa dendam dan tuntutan di akhirat nanti.

Adakah hari lain seindah hari ini? Setelah sebulan penuh memohon ampun ke hadirat Ilahi, setelah Lebaran, ditutup saling bermaafan sesama insan. Hablum minallah, hablum minannas. Vertikal, horizontal sama-sama kena.

Inilah esensi fitrah sebenarnya. Dalam fitrah, kita kan terbentuk jiwa yang peduli, peduli itu harus indah, indah itu harus baik, baik itu harus benar, dan benar itu harus suci.

Kita patut bersyukur, karena akulturasi Lebaran disambung silaturahmi dan saling bermaafan itu, hanya ada dalam tradisi Melayu. Bahkan di Arab sendiri, tradisi semacam ini tidak ada.

Mereka juga tak mengenal ucapan maaf lahir dan batin. Begitu juga dengan kalimat minal aidin wal-faizin. Di sana, warga Arab biasanya hanya mengucapkan kullu am wa antum bi-khair. Ini berlaku untuk semua hari raya, bukan hanya Idul Fitri semata.

Karena itulah, wajar bila perayaan Idul Fitri di sini lebih ramai dibanding Idul Adha. Berbeda dengan kultur Arab yang lebih meramaikan Idul Adha. Di negeri yang dulu bernama Hijaz tersebut, tradisi silaturrahim saat Idul Fitri hanya berlangsung selama dua hari. Itupun hanya terbatas antar keluarga terdekat saja.

Sedangkan kita, silaturahmi Idul Fitri tak hanya pada keluarga dekat saja, tapi juga ke rumah kerabat, relasi, sahabat handai dan tolan. Bagi keluarga yang mampu, atau pejabat daerah, kadang sering menggelar open house (ada kalanya juga open mind) untuk menyambut tamu-tamu yang datang bersilaturahmi.

Karenanya, perayaan Idul Fitri tak cukup hanya tiga hari, kadang seminggu, hingga sebulan. Maka menjelmalah tradisi halal bi-halal. Dan lagi-lagi, tradisi ini pun hanya ada di Indonesia, asli produk bahasa dan budaya kita.

Beberapa lalu saya membaca mikro blogging Syukron Amin, mahasiswa yang kini studi di Yaman. Menurutnya, istilah halal bi-halal tidak ditemukan dalam literatur Islam dan Arab. Karena secara kaidah bahasa Arab, term halal bi-halal secara harfiah berarti ”menghalalkan yang telah halal” atau ”saling menghalalkan”, itu keliru. Yang benar istihlal (saling mohon maaf). Tapi begitulah, produk bahasa dan budaya.

Ada yang mengatakan, kalimat halal bi-halal dicetuskan oleh santri nusantara, dulu, saat studi di Makkah. Tradisi ini menjadi sangat populer, ketika Bung Karno, pada tahun 1940-an memperkenalkannya kepada publik. Hingga kemudian, halal bi-halal dipopulerkan sebagai acara silaturrahim tahunan oleh Bung Karno, di Yogyakarta.

Seiring perkembangan zaman, tradisi halal bi-halal yang merupakan manifestasi dari silaturrahim (menyambung kasih-sayang) yang identik dengan Idul Fitri ini, terus berkembang dan bertahan. Seiring kultur masyarakat kita yang memang berjiwa sosial.

Halal bi halal kini terus berkembang, tak hanya antar umat Islam saja, namun juga antar umat beragama. Bahkan tradisi silaturahmi saat hari raya, tak hanya dilakukan Muslim saja, namun jua non Muslim.

***

Tiada sapa seindah salam, tiada pinta seagung doa. Semua ini bisa didapat saat silaturahmi. Dari sini, ukhuwah kian erat. Karena itulah silaturahmi sangat dianjurkan dalam Islam.

Saya jadi teringat saat mengikuti ESQ, silaturahmi selain dianjurkan, juga masih ditambah dengan ”salam semut”. Salaman lalu berpelukan seraya ditambah kata ”saudaraku.” Tentu saja, dilakukan sesama jenis. Lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan.

Selain itu, jangan lupa tambahkan senyum untuk mencairkan suasana. Tersenyumlah, karena selain ibadah, senyum juga menandakan ketulusan dan keihlasan kita menerima saudara kita itu.

Lalu bagaimanakah senyum yg baik? Di ESQ juga diajar, senyum yang baik harus simetris, 2cm ke kanan dan 2cm ke kiri. Bila belum bisa senyum simetris, tak mengapa, asal jangan cemberut. Silaturahmi kok cemberut, tentu tak keren.

Tidak ada komentar: