Jumat, 18 Mei 2012

Mengontrol Kinerja Pers

Senin 7-8 Mei lalu, saya diundang berbagi tentang cara membuat pers rilis, berita dan feature, dalam Diklat Kehumasan dan Jurnalistik di Lingkungan Bank Riau Kepri, di Hotel Grand Elite Pekanbaru. Pesertanya ada 30 Kepala Cabang Bank RiauKepri, se Riau dan Kepri.
Tentu saya bangga bisa berbicara selama 2 jam lebih, di depan orang-orang hebat ini. Namun, yang lebih membanggakan saat mengetahui bahwa saat ini masyarakat sangat peduli akan dunia jurnalistik. Ini bagus karena pers asalnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Semangatnya sama dengan demokrasi, karena memang pers adalah pilar ke empat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dari sini saya teringat tulisan Farid Gaban, ”Jurnalisme terlalu penting untuk hanya diurus para wartawan saja. Publik perlu mempersenjatai diri dengan pengetahuan bagaimana industri media beroperasi, bagaimana wartawan bekerja.”
Saat ini, seiring maraknya jejaring sosial, kian banyak masyarakat yang peduli pada kinerja wartawan. Hal ini tampak dalam peristiwa tragedi Sukhoi, baru-baru ini. Bila menyimak di twitter, tampak bagaimana masyarakat aktif mengontrol kinerja wartawan, mulai dari cara wawancara, sampai penyajian berita dan gambar/foto. Luar biasa! Dampaknya, wartawan kian terbantu manyajikan berita yang aman dan dibutuhkan masyarakat. Bukankah berita dibuat untuk dibaca? Dan agar dibaca, tentunya harus dibutuhkan.
Hal ini jua yang saya sampaikan pada para peserta, yang memang sangat antusias ingin tahu. Sehingga tak jarang, materi pers rilis, berita dan feature yang saaya bawakan, sempat melebar, demi menjawab pertanyaan peserta yang sangat ingin tahu akan proses produksi koran.
***
Hal yang banyak ditanyakan dalam pelatihan itu tentang kode etik jurnalistik. Menurut saya, kode etik adalah standar kerja yang harus dimiliki wartawan supaya tak melanggar aturan. Kode etik itu sendiri adalah satu titik tengah yang dianggap paling maksimal.
Sebab kebebasan pers kadang berseberangan dengan keinginan orang mendapat privasi. Kode etik jurnalistik bisa memaksimalkan manfaat kemerdekaan pers dan meminimalkan dampaknya. Dibanding undang-undang sifatnya lebih dinamis, mudah berubah, karena berbasis pada nilai-nilai masyarakat. Makanya kode etik sering direvisi tiap tiga tahun sekali. Sering kali kode etik ini ditabrak dengan alasan ”menulis berita investigasi”.
Padahal investigasi hanya dibenarkan bila menyangkut pelayanan publik, itupun harus diketahui pimpinan media. Misalnya menyamar dan sebagainya. Intinya, wartawan haruslah menghormati hak privasi, kecuali untuk kepentingan umum. Jangan sampai investigasi, tapi mengorek-ngorek privasi.
Kode etik ini meliputi: menyajikan berita berimbang, yang berarti kedua belah pihak sama-sama diberi kesempatan untuk membela diri. Selanjutnya azaz praduga tak bersalah artinya, orang yang tertuduh diberi kesempatan untuk menceritakan versinya.
Kode etik juga mengatur tentang cabul. Yang dimaksud ”cabul” di sini adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, tulisan dan gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan birahi.
Khusus para korban asusila atau kriminal di bawah umur, kode etik juga mengatur agar identitas si korban, sebagai alamat untuk meudahkan orang untuk melacak, dirahasiakan. Bila perlu tak disebut dalam berita.
***
Ada sesi yang mendebarkan, ketika ada sesi pertanyaan tentang ”amplop”. Saya sempat bergumam, ”Wah... Bagaimana jawabnya nih...” Karena dalam Kode Etik Jurnalistik sendiri tidak mengatur soal ”amplop”. Yang ada soal suap.
Pasal 6 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia tak boleh menerima suap: segala sesuatu yang dapat mempengaruhi independensi: berdiri sendiri/bebas/tak terikat (memberitakan berita sesuai fakta: hati nurani tanpa campur tangan pihak lain, baik di luar atau dalam media.
Soal amplop ini sempat saya tanyakan pada tokoh pers Nasional Atmakusumah Astraatmadja. Dia menjawab singkat, ”Bila pemberian yang anda terima tanpa mempngaruhi independensi, silakan. Namun harus tetaplah menjadi pertimbangan anda!” Hal ini jua yang saya sampaikan pada para peserta.
Namun bila amplop yang dimaksud itu adalah suap untuk mempengaruhi independensi media, maka wartawan yang bersangkutan pasti mendapat sanksi keras dam tegas.
Sedikit mengulas ke belakang, seorang wartawan ibu kota pernah berkisah, di medianya punya kebijakan, setiap awak redaksi yang dapat amplop, harus diserahkan ke sekretariat redaksi.
Amplop-amplop itu kemudian ditempel di papan. Setelah uang terkumpul, hasilnya kembali disalurkan untuk narasumber. Misalnya untuk beli suvenir berupa buku dan sebagainya, yang diserahkan pada momen tertentu, misalnya hari ulang tahun dan semacamnya. ***

Tidak ada komentar: