Jumat, 25 Mei 2012

Negeri nan Ramah

Banyak yang terkejut ketika negeri yang penduduknya terkenal manis budi bahasa, lemah lembut perangainya, saling menghormati, saling menghargai hak azasi, bernaung di bawah pusaka garuda Pancasila dan sang saka Merah Putih sebagai lambangnya ini ternyata menyimpan sejarah kelam tentang pembantaian anak-anaknya sendiri.
Semua terperangah, saat membaca dalam perjalanannya, anak-anak bangsa ini berlaku kejam dan sadis. Saat terjadi konflik, dendam eksumat muncul, dan membabat habis saudara yang dimusuhinya hingga kekarnya. Apakah ini yang disebut adat ketimuran?
Kita tentunya tak lupa, sejarah kelam ketika Partai Komunis Indonesia dinyatakan terlarang. Saat itu tahun 1966. Sekitar 500 ribu orang yang terkait atau bahkan yang hanya dituding terlibat PKI itu, diculik, disekap lalu dibunuh dengan sadis.
Ada yang disuruh berjalan dengan mata tertutup menuju luweng (sumur alam yang dalam). Kemudian mereka jatuh dan tewas di dalamnya, jenazahnya tak dikubur dengan layak. Di daerah lain, ada yang dikumpulkan di tepian hutan, lalu disuruh bunuh diri dengan menggorok leher sendiri. Alasannya, karena saat itu tentara ingin menghemat peluru. Banyak lagi kisah-kisah sadis lainnya.
Ada juga yang dikumpulkan di tepian sungai Brantas, Jawa Timur, lalu diberondong senapan mesin. Mayat-mayat bergeletakan, mengapung. Sungau Brantas merah darah. Peristiwa ”merahnya kali Brantas” ini disaksikan oleh Ong Hok Ham, sejarawan dan cendekiawan Indonesia, yang kala itu masih muda.
Tak ayal, Ong langsung dipresi, lalu berteriak-teriak ”Hidup PKI... Hidup PKI...” tentusaja aksinya dilihat tentara, lalu dia ditangkap dan nyaris dilenyapkan. Kemudian Ong Hok Ham dibawa ke Jakarta, namun kemudian dia dibebaskan oleh Nugroho Notosusanto, pejabat top Orde baru kala itu.
Itu tadi soal pembantaian tahun 66. Mau mundur lagi? Tentunya kita ingat bagaimana tewasnya Raden Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang memberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Trunojoyo kemudian dikeluarkan dari penjara Belanda oleh Sultan Amangkurat II, lalu dihadirkan dalam rapat pimpinan yang dipimpin sultan dan dihadiri para bupati Mataram. Kemudian di depan para bupatinya, Amangkurat II menusuk Trunojoyo dengan keris hingga tembus ke punggung. Selanjutnya, seluruh bupati dierintahkan ikut menusuk.
Tak sampai disitu, hati Trunojoyo dikeluarkan, dicincang dan dimakan ramai-ramai. Kepala Trunojoyo dipenggal dan dibawa ke keputren, lalu disuruh diinjak-injak. Setelah tak berbentuk dimasukkan alu dan ditumbuk!
Kisah sadis lain terungkap dari catatan Dr Walter H Medhurs (1796-1857) dan asistennya Revd Tomlin seorang misionaris. Kali ini tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Baliling (kini Buleleng, Bali), sebagaimana ditulis dalam buku Bali Tempoe Doeloe yang disusun Adrian Vickers.
Dikisahkan, pemangku kekuasaan Baliling kala itu, Guati Moorah Gede Karang, dibunuh saat terjadi pemberontakan di Djembrana. Kemudian Dewa Pahang, anak lelaki yang juga penerusnya, terlibat pertengkaran dengan pamannya, Gusti Moorah Lanang, raja Karang Assam (kini Karangasem).
Dia pun bersumpah akan menangkap sang paman dan meminum darahnya. Kemudian, darah itu akan dipakai mencuci rambut saudara perempuannya. Ancaman ini dia kirim melalui surat pada Gusti Moorah Lanang, yang kemudian juga membalas melalui surat, akan akan menangkap Dewa Pahang, lalu memenggal kepalanya dan mencincang tubuhnya hingga berbentuk potongan-potongan kecil.
Bahkan bila Dewa bermurah hati mengabulkan keinginannya ini, Lanang akan membuat pura dari tulang manusia lalu menyelimutinya juga dengan kulit manusia, sebagai bentuk penghormatan.
Singkat kata, dua kerajaan tersebut berperang. Kerajaan Baliling menang, Raja Moorah Lanang terusir. Namun Lanang berhasil meloloskan diri. Hingga kemudian dia berhasil membalas dendam lewat bantuan Raja Kalong Kong (kini Klungkung).
”Bukankah dulu kamu berjanji akan meminum darahku? Inilah yang mendorong aku memenggal kepalamu. Janji adalah janji, aku tak mungkin melanggarnya. Maka terimalah ini...” ujarnya. Gusti Moorah Lanang pun memenggal kepala Dewa Pahang, kemudian memutilasinya dan mengirimkan potongan potongan tubuh itu kepada beberapa raja sebagai bukti keberhasilannya.
Masih banyak lagi, masih banyak lagi... Kekejaman ini terus berlanjut hingga ratusan tahun setelahnya, hingga saat ini. Tentunya kita masih ingat tentang konflik di Ambon, Sampit atau yang menimpa penganut Ahmadiyah Cikeusik?
Dalam skala kecil, kita sering saksikan antar kita sendiri saling serang. Mulut kadang kasar, membentak, memaki, mengintimidasi, memerangi orang yang dianggap beda. Kenapa masyarakat kita kian piawai melakukan kekerasan? Bully dianggap biasa, membunuh jadi tren?
Inikah yang katanya bangsa nan ramah? Inikah adat ketimuran itu?
Sudah hilangkah negeri yang penduduknya terkenal manis budi bahasa, lemah lembut perangainya, saling menghormati, saling menghargai hak azasi itu? ***

Tidak ada komentar: