Rabu, 04 Maret 2009

Belajar pada Abdul Hadi Djamal (2)

Tak cuma tulisan itu, semua artikel-artikel yang sengaja diposting mengenai kinerja Abdul Hadi yang kemarin terpampang di blog itu juga raib. Foto-fotonya, termasuk bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tidak ditemui lagi.



”Perjuangan Tidak Berakhir di Ujung Terali Besi, Pak!” begitu judul blog tersebut. Warnanya yang semula biru khas PAN, kini berubah abu-abu.

Sebuah tulisan yang tampak berapi-api juga memberikan pembelaan untuk Abdul Hadi. ”Mana mungkin dia melakukan itu (disuap), sementara kondisi ekonomi dia saja tidak berlebih. Kalau pulang ke Makassar saja dia numpang sama saya,” begitu salah satu kalimatnya.

Tulisan yang diposting oleh seseorang yang menamakan Underconstruction itu juga meminta agar pihak-pihak yang pernah dibantu oleh Abdul Hadi tidak diam saja.

”Anda atau daerah, institusi dan banyak pihak yang pernah mendapat bantuan langsung baik dari kantong pribadi beliau maupun melalui proyek-proyek yang terbukti atas perjuangan beliau, ayo buktikan dong kalau apapun yang diusahakan oleh beliau adalah buat kesejahteraan Sulsel,” tulisnya.

”Jangan lantas diam saja bahkan ikut menghujat bagaikan orang paling suci,” lanjut kalimat itu.

Dia juga tidak percaya Abdul Hadi seorang yang mau menerima uang haram. Sebelum menjadi anggota DPR, Abdul Hadi sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses dan pejabat penting di Bukaka.

”Mobilnya saja hanya Terrano, padahal sudah jadi pengusaha sukses. Bandingkan dengan pejabat lain. Andalah yang bisa menilai,” tegasnya.











Demikianlah akhir kisah blog seorang Abdul Hadi Jamal. Lalu, apa yang bisa kita pelajari di sini?

Publisitas itu ibarat pisau bermata dua bagi manusia. Saat kita mulai populer, itu sama halnya dengan kita membuka ruang bagi orang lain untuk menilai diri kita. Atau ibarat berdiri di cahaya lampu sorot dalam pentas opera. Semua mata tertuju pada kita, semua langkah dan gerak selalu di lihat dan dinilai.

Semua orang ingin tahu tentang siapa dan apa diri kita, tak ada lagi ruang yang tersisa. Tak hanya pujian yang manis, cacian hingga fitnahan pahit pun kerap dilayangkan. Bahkan ada yang sampai memparodikan segala. Maka itu kalau tidak siap, akan bikin kita sendiri yang susah.

Tak membuka diri saja, orang sudah ingin mengorek-ngorek, apalagi membuka diri dengan gamblang di internet. Kian bebaslah para penjelajah dunia maya itu beraksi. (lebih lengkap klik: http://rizafahlevi.blogspot.com/2008/08/pisau-popularitas.html)

Belum lama ini ada diskusi hngat di Voice of America. Yang dibahas kali ini soal demam Facebook. Mereka mengamati bagaimana keranjingannya manusia Amerika akan situs jejaring sosial yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg itu.

Di antara manusia amerika itu, tentu ada juga di antarnya seorang politisi muda. Sebelum menapak karir ke dunia “tarik vokal” itu, si pemuda adalah seorang Facebooker. Di sanalah dia memosting seluruh aktivitas pribadinya. Kawan-kawannya pun banyak.

Hingga suatu saat, lawan politiknya melihat celah di Facebook tersebut. Di sana, entar disengaja atau tidak, juga diposting foto-foto pribadi sang politisi. Maka, dikopilah foto tersebut sebanyak-banyaknya, dan dijadikan senjata untuk menjatuhkan sang politisi.

Hasilnya, karir politik pemuda tersebut hancur dalam sekejap saja, oleh foto-fotonya sendiri, yang dia posting di Facebook-nya sendiri.








Ekses negatif Facebook juga sempat terungkap. Seorang gadis pengguna Facebook
tiap malam ditelepon banyak orang karena diangap wanita panggilan.

Setelah ditelusuri, ternyata data si gadis di Facebook-nya (lengkap dengan telepon dan foto), di-copy oleh orang yang bertanggungjawab lalu diseberluaskan di website sebagai wanita panggilan lengkap dengan nomor telepon dan fotonya.

Ini adalah pelajaran bagi kita semua. Untuk itu, ssebisa mungkin jangan mengumbar data pribadi, informasinya secukupnya saja. Tak usahlah mencantumkan nomor telepon segala.

Lihat-lihat dulu, jangan asal ''add friend''. Tambahkan yang kenal atau setidaknya yang pernah kita tahu saja. Kalau yang tak jelas, mending jangan.

Jangan asal ''add application,'' karena saat Anda mengizinkan (allow) data Anda dibaca, sangat mungkin data pribadi Anda sedang di-copy dan akan disalahgunakan oleh si pembuat aplikasi.

Bagaimana? Sudah siap terkenal? Sudah siap punya blog? Pikir lagi lah. Kalau tipe Anda suka dipuji, kalau Anda alergi dikritik, mending pikir berulang kali. Belajarlah pada kasus Abdul Hadi Djamal.



-----------
tulisan ini diperkaya oleh detik.com

Tidak ada komentar: