Minggu, 15 Maret 2009

Adi Pura-pura

Minggu pagi, sekitar pukul 07.30 saya melewatkan untuk jalan-jalan ke Jodoh. Sebuah kota penyanggah di Batam. Saat melintas di depan Ramayana dan Pasar Toss 3000, ada pemandangan yang lain. Jalanan lengang dan lapang.


Saya tentu saja penasaran. Ada apa? Biasanya, di sini amat padat dan kotor. Pedagang kaki lima meluber sampai menutup badan jalan. Mulai penjual sayur hingga penjual pecah-belah, berjejer sepanjang jalan sejauh 1 kilo meter, meninggalkan aneka sampah plastik dan bau busuk.

Yang tampak saat itu hanya sampah berupa bungkus plastik, dan juga sepasukan Satpol PP. Oh mungkin, baru saja ada penertiban. Tapi kok terlalu mudah? Biasanya, kalau penertiban kan berlangsung lama, tegang dan rusuh.

Ini tidak, malah sebaliknya. Bak negeri antah-berantah saja. Tampak pedagang kaki lima dengan rela mengemasi dagangannya, sementara beberapa personel Satpol PP, dengan langkah santai dan sedikit senyum, berkeliling sambil berkata, “Ayo bubar-bubar…” katanya.

Lagipula, kalau penertiban, mana sanggup jika hanya dilakukan oleh sepasukan Satpol PP. Biasanya kadang dibantu satu peton polisi pengendali massa saja kewalahan. Maklumlah, kawasan Jodoh ini adalah pusatnya pedagang kaki lima.














Pedagang kaki lima di sini sudah mirip industri saja. Sangat terorganisir, dan memang terkesan dipelihara karena “pajak” gelap yang dihasilkan dari mereka cukup besar. Bisa puluhan juta perhari. Maka itu, pedagang kaki lima di sini berakar amat kuatnya.

Berangkat dari beragam rasa penasaran itu, saya coba turun dari kendaraan, mendekati beberapa pedagang kaki lima yang baru saja berkemas-kemas.

“Ada apa Bang?”
“Ah biasalah bang, Adipura,” jawabnya.

Saya penasaran akan jawaban ini, lalu mendekat,
“Maksudnya bagaimana Bang?”
“Ya, kan hari ini ada penilaian tim Adipura di sini, jadi kami diminta tak jualan dulu. Tapi dua hari lagi udah normal lagi,” jelasnya.

Saya agak kaget juga dengar jawaban mereka. Juga sedikit geli. Ah, saya kira memang permanen. Ternyata hanya pura-pura saja, karena ada tim penilai Adipura. Kalau memang demikian, mestinya pedagang kaki lima di sini harus juga dapat penghargaan Adipura, karena mereka dengan rela ikut bersekongkol (baca: berpartisipasi) tak jualan dulu, agar Batam kelihatan bersih oleh tim penilai Adipura.

Kawasan Jodoh memang menjadi salah satu titik penilaian tim Adipura di Batam. Meski kondisinya kumuh dan kotor, saat anugeran Adipura diumumkan, kawasan ini menjadi penumbang nilai terbesar bagi kebersihan Kota Batam.

Tentu ini tak masuk akal. Saya juga semula tak percaya, karena kawasan ini amat kumuhnya. Tapi kok bisa bersih ya?













Saya tak seorang diri, masyarakat Batam sendiri banyak juga yang protes kotanya bisa meraih Adipura. Terbukti beberapa siaran di radio dan kolom interaktif di koran, banyak yang memprotes akan penghargaan tersebut.

“Katanya dapat Adipura, kok masih kotor?”
“Kok Batam dapat Adipura, gimana tim penilainya?”
“Kok Batam dapat Adipura, padahal sampah di mana-mana?”

Begitulah teriak mereka. Lalu apa jawaban Pemko Batam? Rata-rata hanya retorika belaka. Yang inilah-yang itulah. Tapi kebenaran tetaplah kebenaran. Serapi-rapinya menyimpan barang busuk, toh baunya akan tercium juga.

Ah, ternyata ada skenarionya.

Kalau ingat hal ini, saya jadi teringat komentar Mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir. Semasa dia menjabat dulu, dia kurang bergairan mengejar Adipura.

“Saya bukanlah pemburu award. Buat apa, dapat award tapi kenyataannya masih kotor. Yang penting bagi saya bagaimana membikin tahapan agar masyarakat bisa mandiri dalam menjaga kebersihan ini,” jelasnya.

Ah Adipura… Adi pura-pura… Tapi percayalah, masyarakat tak bodoh.

Bagaimana menurut Anda?

1 komentar:

Citra Pandiangan mengatakan...

Ngak kebayang kalau Batam --khususnya Jodoh-- mank benar2 bersih... Salut, bakal rajin maen ke Jodoh deh... Tapi????