Jumat, 13 Maret 2009

Citra Diri

Tahun lalu, saya sempat protes pada (mantan) dosen saya, karena nama e-mailnya sangat ke kanak-kanakan (saya lupa namanya). Dia keheranan, dan bertanya memangnya kenapa?

“Itu email saat saya masih mahasiswa. Untuk asyik-asyikan saja,” jelasnya.

Saya jawab, itu sah-sah saja. “Namun ingat, bahwa ibu sekarang tak mahasiswa lagi. Apa kata kolega dan relasi ibu kalau melihat nama email seperti ini? Ini sungguh tak membawa citra positif,” jelasku.

Sejak saat itu, dosen saya itu langsung mengubah nama emailnya jadi lebih terhormat dan berwibawa. Namanya, sagita@.... Dalam emailnya dia mengucap terimakasih telah mengingatkan.














“Nah, kalau begini kan kesannya jadi dewasa Bu. Bahkan terkesan ibu adalah penggemar musik.”

“Ya, ada juga yang bilang negitu,” jawabnya.

Kasus lain, seorang Nita (begitu sajalah samarannya) pejabat sebuah perusahaan pernah ngomel, tulisan-tulisan di facebook-nya dikutip oleh wartawan tanpa minta izin padanya.

Tulisan itu berkisah tentang keinginannya untuk pasang tato di Bali. “Kan saya udah nganggap dia (si wartawan) kawan, kok seperti itu ya?” ujarnya polos.

Tentu saja akibat berita ini, dia menjadi malu. Citranya di kantor, bahkan lembaganya sendiri, ikut terganggu. Malah akhir-akhir ini, dia malah diidentikkan dengan tato. “Ingat tato ingat Nita.” Begitulah kira-kira.

Saya tak mau menanggapi kontroversial ini, meski saya paham klausul di facebook yang mengatakan, bahwa apa saja yang ada di fecebook sudah menjadi milik umum. Bebas aja dikopi, disebarkan, baik itu atas atau tanpa izin si empunya.

Cuma saya menyarankan agar yang bersangkutan berhenti menebar sensasi di facebook. “Anda itu adalah wanita, petinggi perusahaan lagi, maka akan banyak sekali orang iseng yang mendekat jika anda menebar tulisan sensasional di facebook,” ujar saya.




















Saya mencontohkan, betapa pada suatu waktu, dia menulis di “berandanya” bahwa saat itu dia sedang ngopi di Starbuck Jakarta, lalu melihat seorang bule ganteng yang melirik terus padanya. Sebentar saja, tulisannya itu panen tanggapan.

Banyak lagi yang lain. Hingga puncaknya, saat berada di Bali, dia menulis ingin memasang tato. Inilah yang menurut saya sensasi. Sehingga orang jadi tertarik, ingin tahu dan se,acamnya. Bisa jadi juga dapat memancing orang untuk iseng.

“Tapi kan saya hanya mau bercanda Bang?”
“Betul. Mungkin kami, kawan-kawan Anda bisa menerima. Tapi bagaimana bagi orang lain yang tak tahu siapa Anda? Begitu melihat postingan semacam ini, bisa saja asumsi mereka beragam!” jelas saya.

Dua topik di atas tadi, adalah masalah citra diri. Mungkin saat di rumah, kita bisa jadi diri kita. Mau telanjang juga tak masalah. Namun saat di luar rumah, kita adalah… (baca titik-titik). Bisa kita seorang pejabat, seorang pengusaha, orang kaya, orang miskin dan sebagainya.

Inilah yang disebut peran (role). Setiap orang kadang memiliki beragam peran (multy of role). Misalnya, saat di lingkungannya si A adalah ketua RT, namun saat di kantor dia seorang kepala bagian, saat di organisasi massa dia adalah sekretaris dan seterusnya.













Jika tidak bijak, terkadang multi peran ini menimbulkan konflik. Bahkan ada yang konyol, tak bisa lagi membedakan perannya di mana dia saat itu berada. Misalnya, di kantor malah berlaku bak ketua RT, di lingkungan malah berperan bak kepala bagian dan sebagainya.

Yang paling parah, jika hal ini terjadi pada orang miskin yang berperan bak orang kaya, tentu akan kacau. Akan banyak sekali hal-hal yang dipaksakan yang tenmtunya akan berdampak buruk bagi si penyandang peran tersebut.

Secara sederhana, peranan ini ibarat baju kita. Memakainya harus sesuai situasi dan kondisi. Misalnya, saat memakai bikini ya jangan coba-coba main ke pasar, karena orang akan menganggap Anda gila. Lebih parah, bisa-bisa Anda diterkam “binatang buas”.

Dari setiap peran inilah memunculkan citra (image). Citra adalah bayangan yang muncul dari peran yang kita sandang. Selanjutnya citra memberikan aturan, bagaimana cara berpakaian, cara bicara cara bertingkah laku, cara bertindak dan lain-lain.

Mungkin kita sering mendengar kalimat seperti ini, “Dia itu kan pejabat, masak ngomongnya macam tukang becak!” dan sebagainya dan sebagainya.

Jadi, jangan lalai lalai menjaga peran sosial dan citra diri bahkan lembaga saat bersosialisasi. Sehingga tak terjadi konflik peran yang akan merugikan diri sendiri dan bisa jadi juga citra lembaga yang kita wakili.

Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar: