Kamis, 19 Maret 2009

Manusia dan Cahaya

Manusia ibarat laron yang menyukai cahaya. Manusia selalu merindukan tempat terang dan gemerlap. Karena terang adalah hidup.

Kecintaan manusia akan hal benderang ini tak hanya sebatas ritus, tapi juga kultus. Para penganut Majuzi menjadikan api sebagai “oknum tertingginya.” Mereka memuja, mereka meminta. Tak hanya api, manusia juga memuja benda-benda langit yang bercahaya, seperti bulan, bintang dan matahari.

Jangan heranlah, jika banyak lelaku anak manusia yang berpijak dari sini.
Orang-orang suku Maya, menjadikan benda-benda langit tersebut sebagai penanda akan keberlangsungan alam semesta. Hingga akhir-akhir ini, dunia dihebohkan akan sebuah temuan dari ramalan suku Maya, bahwa bumi akan hancur di tahun 2012.

Sementara orang-orang suku Tengger kuno, akan turun beramai-ramai menabuh kentongan saat matahari dan bulan dilanda gerhana. Mereka akan terus menabuh, sampai matahari atau bulan itu bisa bersinar sempurna lagi. Mereka percaya, gerhana tersebut terjadi karena matahari atau hulan, ditelan raksasa yang sedang murka. Untuk itu, harus diusir dengan kentongan.









Tak hanya itu, manusia juga banyak melakukan perayaan -yang masih bertahan hingga saat ini- tepat saat purnama menjelang. Karena pada saat itu, mereka merasa mendapat sensasi hidup yang lain dari biasanya; sinar bulan membuat hidup atau hari meraka lebih panjang.

Ke luar rumah di malam hari tak lagi menakutkan, orang tua pun dengan rela melepas anak-anaknya untuk bermain. Obor-obor dinyalakan, para pecinta sumringah merayakan momennya.

Beragam kegembiraan beraktivitas di bawah sinar bulan ini juga memberi inspirasi bagi para penyair untuk memuja bulan. Meski akhirnya diketahui, bahwa wajah bulan tak secantik apa yang mereka bayangkan dahulu.

Terang adalah hidup, jadi segala hal yang benderang adalah pemberi kehidupan. Maka itu harus diagungkan.

Keinginan untuk selalu terang inilah, mendorong masyarakat dunia sebelum abad 19 menghiasi kotanya dengan lampu. Lampu kala itu, tentu hanya sinar lilin di balik jendela.

Hingga sekitar abad 15, warga Eropa mulai mengenal lampu jalan. Bentuknya masih sederhana, berupa lentera yang dipasang di luar rumah. Bahan bakar lampu masih berupa minyak zaitun, lilin lebah, minyak ikan, atau lemak ikan paus. Bahkan kemudian minyak tanah.










Dalam perkembangannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara banyak menghias jalannya dengan lampu-lampu ini. Pemandangan ini banyak dikisahkan dalam kitab-kitab kuno dan catatan para pedagang.

Baru sekitar 1784 saat batu bara dan gas alam diperkenalkan, lampu jalan di Eropa saat itu memakai bahan bakar tersebut. Berlanjut, tahun 1830 lampu jalan berbahan bakar gas mulai digunakan di wilayah yang lebih luas di beberapa kota di AS, khususnya di New York.

Revolusi teknologi penerangan terjadi pada pertengahan abad 19 setelah orang gencar melakukan percobaan dengan listrik. Meski pada tahun 1845-an telah banyak orang menghasilkan lampu listrik, namun pada tahun 1878 Joseph Swan di Inggris dan Thomal Alfa Edison di AS pada tahun 1879 secara terpisah berhasil menemukan lampu pijar.

Tak lama kemudian lampu karya Thomas Alfa Edison, terpasang di jalan New York dengan pasokan listrik dari pembangkit di Pearl Street yang didirikan sejak 1882. Lampu jalanan listrik diakui sangat membantu menurunkan angka kejahatan di jalan raya AS. Pada tahun 1930-an lampu merkuri dan sodium pun mulai digunakan.

Kini, setelah listrik ditemukan, cahaya tak lagi identik dengan matahari, bulan dan api. Hidup pun jadi lebih mudah, lebih terang dan lebih panjang. Tak ada lagi beda siang dan malam. Kota-kota juga lebih semarak. Sebutan kota yang selalu identik dengan sesuatu yang gemerlap, kian nyata.









Pandangan manusia pun akan cahaya mulai berubah. Cahaya tak lagi hanya sebagai alat penerang dan hiasan, tapi juga alat pemoles citra kota. Kadang kita bisa menilai sebuah kota hanya dari gemerlap cahayanya.

Bayangkan, saat kita baru masuk ke sebuah kota di malam hari, namun tak menjumpai sedikitpun cahaya. Sepanjang jalan yang menyambut hanyalah gelap gulita. Otomatis, saat itu kita akan berpikir, kota ini adalah kota hantu, miskin, tertinggal dan ungkapan seram lainnya.

Falsafah kota gemerlap inilah, salah satunya, yang mendorong Las Vegas, kota judi di Nevada, Amerika, memasang ribuan lampu pijar di tiap bangunannya, khususnya kasino. Di sini mereka seolah berpesan, ”Hey lihatlah, inilah gemerlap hidup yang akan bisa Anda raih di sini, Las Vegas, (tentunya jika Anda beruntung).”

Fungsi cahaya lain yang tak kalah penting adalah sebagai alat keamanan. Soal ini saya masih ingat peristiwa di tahun 2000 lalu, ketika itu, Kapolresta Batam Nicolaus Eko menjawab pertanyaan masyarakat bagaimana menjaga agar rumah tetap aman.

Ternyata jawaban Nico, amat sederhana, “Pasang saja lampu 60 watt di teras Anda. Itu sudah cukup sebagai penangkal pertama atas gangguan keamanan, seperti pencuri dan sebagainya!”

Dari beragam uraian ini, jangan heranlah jika manusia moderen saat ini akan sangat stress jika sedetik saja harus berpisah dari cahaya.

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar: