Kamis, 12 Maret 2009

Subyektivitas

Seorang sahabat dekat datang padaku dan bertanya. “Za, kritiklah aku. Yang jelek-jelek ya….” Saya pun bingung dan bertanya kenapa? “Aku ingin mengubah diri supaya lebih baik.”

Saya diam sejenak. Setelah lama saya cerna, akhirnya saya urung menjawab pertanyaan kawan saya tadi.

Tentu saja dia keheranan dan bertanya, mengapa? Saya menjawab, bahwa saya tak mau mengganggu proses alamiah. Biarkanlah ini terjadi, karena sewaktu-waktu sifat buruk itu perlu juga kamu perlihatkan.

Sebenarnya, bagi saya sangat mudah saat itu memberikan penilaian pada rekan saya tadi, tentang apa saja sifat buruknya. Ibarat melihat ikan di akuarium, saat itu juga saya bisa memberinya beribu kekurangannya.

Jangankan saya, yang suda sebesar ini, anak kecilpun akan sangat mahir soal ini. Karena itu memang sudah menjadi sifat dasar manusia, paling bisa melihat kekurangan orang lain, seolah diri paling sempurna saja.

“Kuman” di seberang lautan saja kelihatan, namun “gajah” di pelupuk mata malah tak tampak. Itulah dia kata pepatah.

Karena itulah, ada psikolog yang berkata hal ini pada saya, “Jika kamu sudah merasa terjepit oleh serangan musuhmu, serang saja pribadinya, pasti kacau dia,” sebutnya.

Saya camkan kata-kata ini, ternyata ada benarnya. Kadang kita lihat, orang yang tak bisa lagi secara akal mengalahkan rivalnya, memilih menjatuhkannya dengan menyerang subjektivitasnya. Apa yang menjadi kekurangan orang tersebut, dibeberkan.




















Menjatuhkan lawan dengan menyerang subyektivitas ini, sering kita lihat di forum-forum bahkan di internet sekalipun.

Tentunya kita sudah sering membaca, betapa banyak politisi cerdas yang jatuh, setelah foto-foto atau video yang menggambarkan sisi negatifnya, beredar luas.

KH Zainuddin MZ dalam ceramahnya pernah berujar, orang kalau sudah mencintai seseorang jangankan dengar suaranya, kentutnyapun dibilang wangi. Tapi kalau sudah tak senang, jangankan ngomong, ngajipun salah.

Maksud kiai sejuta umat ini adalah, seseorang kalau sudah tak menyenangi orang lain, yang timbul di kepalanya hanyalah penilaian yang jelek-jelek saja. Objektivitasnya dikalahkan subyektivitas.

Subyektivitas ini dilemparkan seseorang, untuk melindungi egonya. Hal ini terbentuk oleh emosional si pelaku. Karena itu, subyektivitas sulit dibuktikan secara obyektif.

Ini adalah naluri, yang sudah terbina sejak kecil. Seperti yang saya contohkan di atas tadi. Ya, lihat saja anak kecil, kalau tak bisa lagi bersaing dengan temannya, biasanya akan menyerang subyektivitas (kekurangan) temannya tersebut.

Karena ini adalah hal yang paling mudah, dari pada harus capek-capek berargumen.

Efek Cermin
Dari beragam kasus subyektivitas, cenderung merupakan cerminan sifat buruk si penuduh. Sebenarnya, saat dia mengungkap kekurangan lawan bicaranya, saat itu pula dia menelanjangi diri sendiri.

Misal, orang yang selalu curiga, cenderung akan menuduh orang lain memiliki sifat yang sama dengannya, yakni selalu curiga. Orang yang suka mengambil kesimpulan dan hasut, juga cenderung menuduh orang lain yang tidak disukainya sebagai orang yang suka mengambil kesimpulan dan hasut pula. Begitu seterusnya.

Karena itu, ada baiknya, stay away orang yang suka jelek-jelekin orang. Karena saat di depan Anda dia jelek-jelekin orang, tapi ketika Anda tak ada, bisa jadi dia akan menjelek-jelekkan Anda.


Bagaimana pendapat Anda?

1 komentar:

HIJAU BIRU mengatakan...

Minta izin untuk memposting tulisan ini di blog saya lily-turangan.spaces.live.com. Tentu akan saya cantumkan sumbernya. Terimakasih.
Salam,
Lily