Rabu, 25 Februari 2009

Merantau

Orang Bawean punya tradisi unik saat akan merantau. Setelah meninggalkan rumah, maka mereka tak boleh lagi menoleh ke belakang. Apapun yang terjadi, pandangan harus tetap tertuju ke depan! Namun setelah berasil di rantauan, mereka harus pulang, menengok kampung halaman.


Ini adalah tradisi, kebudayaan yang bermula dari kebiasaan dan bermuara pada adat. “Budaya” atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Begitulah.

Tentu tradisi tersebut ada maksudnya. Mengapa perantau tak boleh lagi melihat ke belakang? Supaya mereka bisa fokus dengan hal yang akan dihadapinya di rantauan. Sesuatu yang bisa jadi belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sesuatu yang baru, sesuatu yang asing.

Merantau sendiri, adalah pilihan bagi pria Bawean. Disebut “pilihan”, karena tak ada paksaan. Tak mau merantau tak masalah, cuma masyarakat tak akan mengakuinya sebagai “lelaki”. Di Bawean, seseorang akan diakui sebagai lelaki jika sudah merantau. Ibarat lompat batu di Nias, atau Upacara Kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.








Maklumlah, karena merantau memang berat. Merantau zaman ini terasa ringan, mengingat majunya teknologi transportasi dan komunikasi. Tapi dulu, lelaki Bawean harus berbulan-bulan dalam perahu layar untuk membawanya merantau ke Melaka dan Tumasik dan seminggu jika hendak ke Pulau Jawa.

Bayangkan, selama itu harus terombang ambing di laut, makan ala kadarnya, dan tak bisa membersihkan badan. Belum lagi terputusnya hubungan dengan keluarga tercinta. Bertemu di mimpi saja sudah syukur Alhamdulilah.

Karena itulah, tekad bulat, tekad baja. Berlaku di sini. Jangan cengeng, rautau tak mengerti apa itu kata cengeng. Yang ada hanya kata maju, fokus. Rise or fail. Hanya ada dua pilihan; hidup mulia atau mati. Kalaupun harus mati, ada dua pilihan, mati konyol atau mati mulia (syahid). Pokoknya belajar, belajar, belajar bagaimana bisa bertahan hidup. Survival of the fittes-lah.

Pilihan inilah yang dilontarkan Panglima Islam, saat akan menaklukkan Andalusia. Setelah selesai menyeberagi selat jabal Tariq (Gibraltar, Maroko), sang Panglima membakar semua perahu tentara Muslimin. “Nah sekarang pilihannya hanya dua. Maju, risikonya mati, tapi mati syahid. Mundur, risikonya mati, tapi mati konyol,” begitulah.








Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah, saat memutuskan Hijrah ke Madinah. Suatu hal yang sama sekali masih asing. Apalagi saat itu, Madinah bukanlah dihuni penduduk Muslim. Namun, tekad ini terus digelorakan Rasulullah hingga akhirnya berhasil.

Berat memang (kadang juga ada rasa takut) saat meninggalkan orang-orang tercinta dan “dunia” yang sudah hayati. Tak usah berpikir membayangkan bagaimana tatanan masyarakat di rantau kelak, memikirkan makanan saja sudah berat. Dari semula lidah terbiasa dengan makanan bersantan, di rantau nanti harus makan makanan berkecap.

Belum lagi mikirkan yang lain, ”Bagaimana dengan ini saya? Kalau ayam saya mati bagaimana? Karena kalau tak saya yang ngasih makan, siapa lagi?”

Namun apa daya, jika nantinya dengan merantau bisa membuat segalanya lebih baik, mengapa tidak? Demi sesuatu yang lebih baik kadang harus menerima kenyataan untuk “berperang” di dunia baru. Karena inilah tekad para perantau.

Saya yakin tekad merantau ini tak hanya dianut orang Bawean saja. Marco Polo, dan para penjelajah Eriopah-pun telah menganutnya. Saya mencontohkan orang Bawean, karena yang saya tahu, orang Bawean memang memiliki tradisi seperti itu.







Merantau memang berat. Dalam konteks kekinian, merantau juga bisa diartikan dengan hal-hal yang baru. Di pekerjaan sendiri, kadang juga kita harus “merantau” ke bidang yang lain. Berat memang, namun harus dijalani. Karena pilihannya hanya dua, seperti yang sudah saya singgung di atas.

Dan, jangan lagi menoleh ke belakang. Tapi jika sudah berhasil, jangan lupa menengok tempat asal.

Mario Teguh memiliki contoh yang lebih baik soal ini. “Ibaratnya Anda punya mobil Ferari, apakah semua isi bagasi dari mobil lama Anda akan dipindahkan juga Ferrari Anda? Tentu tidak!”

Tidak ada komentar: