Jumat, 13 Februari 2009

Doa-doa

Dulu saat masih sekolah di perguruan Muhammadiyah, ada tradisi yang selalu kami lakukan tiap hari sebelum dan sesudah proses belajar. Apa itu? Tentu saja doa. Doa yang kami lafazkan bersama saat itu, diambil dari petikan surat di kitab suci Al Quran.

Doa-doa ini biasanya dibaca dengan dipimpin oleh salah seorang teman kami, yang ditunjuk secara bergilir. Doa yang kami baca sebelum pelajaran dimulai saat itu, dipetik dari surat Thaha [20]: 25-2.

Rabbisyrah lii shadrii, wa yassir lii amrii, Wahluuqdatam mil lisaanii, yafqahuu qaulii.

Artinya: Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.







Hingga akhirnya pelajaran usai, kelas pun hendak ditutup. Saat itulah, kembali lagi, salah seorang teman kami akan memimpin membaca doa. Yang dibaca kali ini adalah surah Al-Asr (selengkapnya klik http://www.quran4theworld.com/translations/Indonesian/103.htm)

Yang artinya; Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Begitulah.

Doa-doa ini terus menerus dilafazkan, dihafalkan, digemakan, dan insyaallah dihayati. Doa-doa yang terus menerus mencoba menembus relung kabu dan iman. Maka itu, hingga saat ini, saya masih bergidik jika dibacakan surat-surat tersebut. Sama bergidiknya -kadang air mata deras mengalir- ketika saya mendengar ketika ayat-ayat imsak dibacakan.






Jangan tanya saya mengapa. Hingga saat ini tak tahu, mengapa saya harus bergidik, mengapa saya harus menangis saat mendengar ayat-ayat itu. Dan kenapa harus ayat-ayat itu?

Jawaban saya ini sama halnya saat Willy Soemantri Rendra ditanya, mengapa ketika kecil, harus menangis saat mendengar saat azan mengalun. Mengapa juga kaa itu, ketika sakit panas, dia yang Kristen, menyuruh orang tuanya memanggil muazin untuk melantunkan kalimah azan, supaya sakitnya bisa sembuh?

Ya, saya dan Rendra mungkin memiliki kesamaan dalam hal ini. Sekali lagi, saya tak tahu mengapa harus begidik. Pokoknya ya begidik saja, nangis, nangis saja.

Hingga setelah dewasa saat ini, pemahaman saya akan kedua ayat dan surah tersebut, kian mendalam. Pada surah Al Asr saya merenung kan putaran bumi ini. Ah, tak terasa, tahu-tahu sudah begini, tahu tahu sudah begitu. Dulu masih anak-anak, sekarang sudah punya anak. Karena itulah mungkin Allah sampai bersumpah demi waktu di surat Al-Asr itu.







Apa yang sudah saya perbuat? Belumlah sebanding dengan masa yang saya jalani.

Pada surat Thaha [20]: 25-2 saya merenung, betapa hingga kini jika di depan umum, lidah saya belumlah lancar mengucapkan kata-kata apa saja. Saya baru sadar, bahwa saya ternyata lahir dengan budaya tulisan. Saya lebih bagus menyampaikan pendapat dengan tulisan dibanding secara lisan.

Karena itulah, hingga saat ini, saya masih terus melafazkan surat tersebut. Saya berdoa, tentu juga berusaha.

Doa inilah yang dulu juga rajin dipanjatkan Nabi Musa. Beliau sadar, bahwa orang yang mendengar ucapan dari liudah yang kelu, bisa menimbulkan kesalahpahaman. Karena itulah, sangat perlu mengucapkan kata-katanya dengan jelas, sehingga diharapkan pendengar mengerti apa yang dimaksud.

Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar: