Rabu, 11 Februari 2009

Kasihanilah Saya

Kelemahan adalah kekuatan kita. Agar menang di dalam pertarungan, manfatkanlah kekuatan lawan sebagai senjata untuk mengalahkannya.

Ini adalah dasar-dasar yang diajarkan dalam tai-chi, beladiri china yang amat indah itu. Lntur, gemulai, namun mematikan. Rahasia tai-chi memang bukan pada kekuatan, namun bagaimana dengan kegemulaian itu, sang pendekar bisa membunuh lawan dengan kekuatannya sendiri.

Intinya, dengan kelemahan yang sang pendekar miliki, lawan dibuat bertarung dengan kekuatannya sendiri.

Saya, tentu bukanlah pendekar tai-chi, saya petik moral ini dari beberap buku tai-chi yang dulu sempat saya baca.

Filusuf tai-chi ini, dalam keseharian juga kerap kita saksikan. Lihatlah, bagaimana orang-orang yang kita anggap lemah, ternyata mampu memerintah kita melakukan sesuatu yng tak mampu mereka bawa.














Anak kecil, hanya dengan rengekannya, mampu memerintah orang yang lebih kuat di sekitarnya untuk meluluskan apa yang diinginkannya.

Seorang bawahan yang lemah, kadang mampu memerintah atasannya dengan hanya menyeru kata “tolong”. Disadari atau tidak, saat itu si bawhan telah memanfaatkan kekuatan atasannya dengan kelemahannya.

Krakteristik orang Indonesia yang baik-baik, tak individual, menjadi pupuk unggul untuk menyuburkan praktik seperti ini.

Hingga konteks yang lebih besar lagi, seiring ditemukannya ilmu publisistik, situasi ini dibalut sedemikian rupa untuk mencari simpati orang lain, guna mencapai tujuan dan keuntungan yang lebih besar lagi.

“Under dog is winning.” Inilah yang menjadi dasarnya. Artinya semakin direndahkan, semakin besar pula simpati yang mereka dapat. Lihatlah, akhir-akhir ini berapa banyak orang yang mengaku lemah bahkan dizalimi, agar tujuannya tercapai?

Mungkin Anda yang suka nonton tayangan ajang pencari bakat di televisi atau yang dikenal dengan idol-idolan itu? Baik yang tingkat anak-anak maupun yang remaja, sudah familiar akan trik seperti ini.

Lihat saja, bagaimana seorang kontestan yang dengan segala akalnya, memanfaatkan ketidak mampuannya untuk meraih dukungan SMS?











Layaknya pengemis, mereka mendramatisir ketidakmampuannya sedemikian rupa, hanya untuk mencari simpati. Kualitas tak penting, yang penting bagaimana memenangkan hati khalayak. Seolah mereka berkata, “Lihatlah aku, aku miskin, bantu aku, menangkan aku, pilih aku.”

Hasilnya, memang banyak yang berhasil. Buktinya rata-rata pemenang ajang pencrian bakat memang orang dari kalangan yang tak mampu.

Ini tentu menjadi bisnis bagi televisi. Merekapun berlomba membikin acara dengan mengeksploitasi kemiskinan tersebut. Tujuannya guna meraih simpati pemirsanya, sehingga mau mengirim SMS. Dari tiap SMS inilah, pengelola televisi dapat mengeruk uang Rp6.000! Bayangkan jika 1 juta pengirim, berapa uang yang mereka dapat?

Para artis juga sering memanfaatkan hal ini untuk menambah popularitasnya. Lihatlah Inul Daratista dan Dewi Persik bisa terus berkibar, kala itu, setelah dia mendapat kecaman dan pencekalan dari beragam pihak, akibat perbuatan yang memang dengan sadar dia lakukan.

Di ranah politik tambah subur lagi. SBY, pandai betul memanfaatkan hal ini. Popularitasnya naik tajam, saat dia mengaku dizalimi oleh Megawati. Sayangnya, Megawati, kala itu tak mampu membaca situasi ini, dengan pongahnya dia melah memamerkan tanda penzalimannya, berupa surat pengunduran diri SBY
di depan publik.










Hasilnya, ya seperti yang diulas tadi, simpati pada SBY kian mengalir, sebaliknya kebencian pada Mega kian subur. Hingga akhirnya, isu penzaliman SBY ini menjadi salah satu penyumbang kemenangannya.

Setelah naik menjadi Presiden, SBY tetap memanfaatkan isu ini dengan baik. Terakhir dia melansir sebuah gerakan ABS, asal bukan capres ”S”. “S” itu siapa? Ya bisa saja S-BY sendiri.

Seolah dia berkata, “Hei rakyat Indonesia, lihatlah saya yang lemah ini dizalimi lagi. Bantu saya, pilih saya!”

Apakah trik dia kali ini akan berhasil? Entahlah…

Jadi, tak selamanya kan, lemah itu kalah? Tak selamanya pula dizalimi itu jelek?

Please, open mind…

Tidak ada komentar: