Minggu, 15 Februari 2009

Maafkan Ayah, Regalia (2)

Namun, siang itu, ternyata pertahanan tersebut sudah bisa dibobol. Sayapun penasaran, lalu menuju ke tempat tidur kami, sebagai locus delicti tempat kejadian perkara. “Dari posisi pagar bantal ini, tampaknya dia jatuh dari sini,” ujar saya pada istri, sembari menunjuk ke arah bantal yang dimaksud.



Saya berasumsi demikian, karena melihat posisi bantal tersebut sudah bergeser agak miring. “Ya mungkin dia menerobos dari sini, lalu jatuh,” timpal istriku.

Tapi bagaimana posisi Regalia saat jatuh? Ini yang terus menggelayuti benak saya. “Saya yakin Reglia jatuh begini,” ujar saya menjelaskan pada istri.

Pertama, setelah bangun tidur Regalia berguling-guling lalu menuju pojok tempat tidur dengan kepala menjulur ke luar. Karena tenaga gulingannya yang kuat, bantal yang menjadi pagar pembatas itu jebol.

Dari sanalah Regalia merangkak sedikit-demi sedikit keluar ranjang, hingga akhirnya jatuh. Namun sebelum tubuhnya mencapai ubin, kedua tangannya bergerak menyanggah yang membuat arah jatuhnya tertahan, tubuhnya berbalik terhempas ke boks bayi yang ada disamping tempat tidur.

“Saya tak yakin kalau yang jatuh duluan adalah kakinya, sebab bisa-bisa kepalanya yang mendarat di ubin,” jelas saya, mirip anggota olah TKP Poltabes Barelang saja.














Setelah itu, kakak saya datang. Istripun menceritakan hal ini padanya. “Ini adalah keajaiban. Biasanya anak kecil selalu memiliki keajaiban ini. Dulu, anak Basit (temannya di kampung) jatuh dari tubir jurang setinggi 6 meter, namun tetap selamat. Hasil scan pun kepala dan tulangnya tetap terjaga,” jelas kak saya panjang lebar.

Selanjutnya saya berangkat ke kantor, ada rapat struktur yang harus dihadiri. Sepanjang jalan itu, perasaan berdosa saya terus bergelayut. Rasanya, jiwa saya tinggal separuh saja.

Di rapat pun, saya tak lagi bisa konsentrasi. Ingat terus.
“Bagaimana regalia sekarang?” SMS saya pada istri.
“Dia sudah bobok,” balasnya. Sedikit lega juga akhirnya.

Rapatpun terus berlanjut, membahas tentang tugas pokok dan fungsi. Saat itu, saya sedikit teringat pada anggota tim yang susah diajak berkoordinasi. Sudah empat malam ini, kerjaannya tak lagi melalui ACC saya. Langsung diputuskan sendiri saja.

Apakah saya tak pantas jadi mentornya? Apakah saya begitu mengganggunya? Entahlah. Positif thinking saja. Lagi pula, saya memang tak butuh sanjungan mereka. Tak dipandang hebatpun tak masalah, karena saya tak butuh popularitas.

Tugas saya hanya mengasuh, menebar cinta dan tunjuk ajar. Itu saja. Sudahlah, abaikan saja saya, jika itu bisa membuat mereka bahagia. Tapi ingat, sistem tetaplah sistem. Sistem yang mengatur, biar sistem pula yang menghukumnya. Ini adalah aturan yang mutlak harus diikuti.














Dari sini, lamunanku buyar, karena saat melihat ke slide show, saya yang saat itu diperkenalkan sebagai jajaran pengasuh, ditampilkan dengan foto saat menggendong Regalia.

Kontan saja, ingatan saya kembali ke Regalia. Di foto itu saya melihat Reglia setengah merengek, membuat haru ini kian memukul. “Hei, Riza, lihatlah anakmu yang lucu itu. Anak sekecil itu kamu biarkan jatuh dari tempat tidur, sungguh terlalu!” begitu bisikan yang seolah terngiang di telinga (kalimat terakhir kok jadi mirip Rhoma Irama ya?)



Saya pun kembali merekonstruksi bagaimana posisi saat dia jatuh. Selanjutnya terbit rasa berdosa. Begitu terus. Perasaan ini terus terbawa hingga rapat usai, hingga malam hari, hingga pagi harinya.

Hari ini, Senin (16 /2) setelah kondisi tenang, saya baru bisa menuliskan kisah ini. Sebagai pelajaran, sebagai kenangan betapa rasa berdosaku terhadap Regalia, sekaligus rasa kasih sayang ku padanya.

Hari Valentin, 14 Februari itu, kini mengukir sejarah bagi saya. Hari di mana saya lalai menjaga Regalia, hari di mana saya menyadari betapa cintanya saya pada Regalia.
----------


Inilah foto Regalia yang membuat airmata haru saya menetes saat rapat (Terimakasih Pak Socrates, abang telah menunukkan saya akan apa arti cinta sebenarnya).

Tidak ada komentar: