Minggu, 22 Februari 2009

Andai Aku Menjadi

Kata orang, kian tinggi pohon, kian kuat pula angin menerpanya. Benar begitu?

Jika aku menjadi pohon itu, yang aku pikirkan bukanlah hembusan angin, namun pohon apakah aku ini? Jika boleh, aku ingin menjadi pohon beringin atau jati. Karena selain akan mampu menahan hembusan angin, aku masih bisa melindungi para musafir yang berlindung di bawahku.

Aku menolak untuk menjadi pohon kelapa. Selain daunnya jarang, umumnya tak mampu memberikan rasa aman bagi para musafir untuk berteduh. Kelapa memang tinggi, namun terpaan angin sedikit saja, mampu merontokkan buahnya. Kalau kena kepala lumayan juga sakitnya. Masih untung jika hanya buah yang jatuh, kalau pohonnya ikut tumbang, kian bahaya.

Selain itu, kelapa amat berisik. Saat terkena terpaan angin, daunnya bergesek ke sana-ke mari, dahannya juga bergoyang tak tenang. Intinya, selalu bikin was-was. Begitulah.

Dua tipe pohon ini adalah sebuah gambaran orangt-orang top saat menghadapi terpaan isu atau gosip yang kadang kita temui sehari-hari.

Dari sini saya memiliki sebuah cerita, dulu sekitar tahun 2000-an, saya memiliki rekan seorang unsur pimpinan di sebuah perusahaan swasta. Sehari-hari rekan saya ini sibuknya minta ampun. Pasti Anda mengira dia sibuk menyelesaikan pekerjaan kan? Jawabnya tidak!








Rekan saya ini tiap hari selalu sibuk, sibuk untuk menggali gosip apa yang kini menimpa dirinya. ”Apakah hari ini ada orang yang menggunjing saya? Apakah hari ini ada orang yang tak senang pada saya?” Begitu terus.

Tak tanggung-tanggung, dia sampai menyewa bawahan yang dia percaya, hanya untuk menjadi intel pribadinya. Tiap hari, si intel melaporkan perkembangan terbaru.

”Bos, si A jelek-jelekin Bos terus tuh...”

”Si B juga bilang Bos jelek. Dia tak suka tuh sama Bos. Katanya Bos suka ini suka itu... bla bla bla...” Begitulah laporan si intel.

Tak cukup punya intel, rekan saya ini rajin tiap hari mengajak bawahannya ngopi, dengan harapan bisa menjadi orang yang dia percaya dan selanjutnya menjadi intelnya.

Dengan demikian, dapat meminimalisir bahkan menjadi tameng jika gosip tak sedap menimpanya. Sehingga, dia bisa langsung menyikat habis, orang yang menggosipkannya itu.

Adakalanya, info dari intelnya ini disimpan dalam hati. Sembari menghitung jika suatu saat akan melakukan aksi vandeta. Ada kalanya juga informasi dari intelnya ini, langsung dia konfrontir dengan orang yang dituding menjelek-jelekkan itu.

”Hei A, kamu jelek-jelekin saya ya? Kamu ini, bla bla bla....”

Begitu terus. Maka, jadilah rekan saya ini tak lagi konsen akan pekerjaannya. Dia lebih memikirkan, siapa yang menggunjingnya. Tak heran, di kantornya, saat itu, dia menjadi orang yang paling diwaspadai.

Lalu untuk apa semua ini?









”Ya, supaya wibawa saya tak jatuh. Saya juga bisa tahu yang mana teman dan yang mana lawan. Di samping itu, supaya si orang yang menggunjingkan saya itu kapok,” begitu jawabnya.

Kenapa langsung percaya begitu saja?

”Lho kan yang ngomong orang kepercayaan saya!” tegasnya.

Lalu, untuk apa semua ini?

Apapun alasannya, rekan saya ini tak memberikan ketenangan dalam lingkungan kerja itu sendiri. Ibarat pohon kelapa yang ditiup angin tadi, lingkungan sekitarnya jadi tegang, provokatif bertebaran, para karyawan lain jadi tak tenang. Bersuara salah, diam juga salah. Politik kantor pun tumbuh subur. Jilat menjilat, apalagi.








Selanjutnya, istilah-istilah politik pun beredar luas. Ada faksi-faksi, pro kanan-prokiri, sayap kanan-sayap kiri, in-group-out group, golongan kanan-golongan kiri, ini orangnya Pak Anu- ini orangnya Pak Ini. Begitu terus. Kerja sudah tak fokus lagi. Lalu, untuk apa semua ini?

Jika baru menghadapi gosip saja sudah tak karuan, apalagi menghadapi angin perubahan. Mutasi, suksesi atau apapun misalnya, tentu akan lebih terpukul lagi. Kasak-kusuknya lebih kencang lagi, bisa-bisa malah tumbang.

Adalah bijak jika orang-orang top itu meniru pohon beringin atau jati saat menghadapi terpaan angin. Tetap tenang, seakan tak terjadi apa-apa. Namun, tetap waspada. Karena mau bagaimana lagi, no body perfect.

Karena yang lebih penting tetaplah fokus pada pekerjaan, selesaikan tugas tepat waktu sesuai arahan, menjaga suasana tetap kondusif, sehingga orang yang berteduh di bawahnya menjadi nyaman bahkan bisa terlelap tidur, meski terpaan angin di atas sana berhembus begitu kuatnya.

Please, open mind...

Tidak ada komentar: