Minggu, 08 Februari 2009

Belajar ke Belanda

Banjir di mana-mana selalu menjadi momok kota. Karena itulah, negara-negara maju merogoh kocek dalam-dalam untuk mengatasi masalah ini.

Di Prancis, sejak dulu sudah membangun kanal-kanal bawah tanah yang mengiris-iris Kota Paris. Konon teknologi kanal-kanal inilah yang menjadi cikal-bakal kemunculan era ilmupengetahuan baru di Eropa.

Di London Inggris, selain membangun kanal-kanal bawah tanah tadi juga membangun piranti raksasa yang diletakkan di Sungai Thames. Alat yang bisa dibuka-tutup ini berfugsi sebagai penahan air jika sewaktu-waktu serbuan air laut pasang (rob) datang.

Tak jauh-jauh, Malaysia, membangun terowongan bawah tanah raksasa yang membelah perut Kuala Lumpur hingga ke daerah selatan.

Terowongan ini dibuat dua tingkat, dalam keadaan normal berfungsi sebagai jalan tol. Namun saat banjir menghajar Kuala Lumpur, maka funginya akan ditutup menjadi sluran air.









Yang lebih ekstrim lagi, adalah Tokyo, Jepang. Untuk menanggulangi banjir, mereka membangun G-Cans, sistem banjir dan badai Tokyo. Sistem yg sedang dibangun dibawah tanah Tokyo ini adalah sebuah sistem antibanjir untuk manampung luapan air sungai ketika badai menerjang kota.

Oleh Japan Institute of Wastewater Engineering Technology (JIWET), instalasi raksasa ini dikatakan terdiri dari pipa berdiameter 32 m, tiang- tiang setinggi 65 m, yg terhubung dgn 64 km terowongan, terletak 50 m dalamnya dibawah permukaan tanah. Sistem ini di back-up dengan turbin-turbin berkekuatan 14.000 tenaga kuda yang dapat memompa 200 ton air per detik ke sungai terdekat.

Indonesia, khususnya Jakarta, bagaimana? Masih belum ada.
Saat kunjungannya ke Belanda Sabtu-Minggu lalu, Wapres Jusuf Kalla mengajak Gubernur DKI Jakarta Fawzi Bowo untuk belajar pada mereka, bagaimana mengatasi banjir di ibukota. Untuk apa?

Memang, Belanda adalah negara memiliki ilmu paling top di dunia dalam urusan menata air. Jangankan hanya banjir, air laut yang ganas pun bisa mereka jadikan kota metropolitan.









Belanda sendiri berasal dari kata Koninkrijk der Nederlanden, secara harfiah berarti ”Kerajaan Tanah-Tanah Rendah”. Kata Belanda dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Portugis: Holanda- olanda- wolanda - bolanda - maka jadilah ”Belanda”.

Dari namanya saja kita sudah mengerti, bahwa tanah salah satu negara yang terpadat di dunia ini, kebanyakan berada di bawah permukaan laut. Belanda juga terkenal dengan dijk (tanggul) dan kincir anginnya.

Dari uraian ini, memang cuikup beralasanlah kiranya bila Jakarta mau belajar ke Belanda soal menata air, dalam hal ini banjir.

Namun kalau ditilik dari sejarahnya, rasanya kok janggal juga. Kok baru mau belajar, bukankah Belanda telah meninggalkan ilmu tentang menata air ini pada bangsa ini? Apakah kita lupa, bahwa Indonesia atau mereka sebut Nederlands-Indiƫ, adalah negara yang selama 350 tahun menjadi salah satu koloni Belanda? Jajahan, begitu tepatnya.

Hingga saat ini, jejak peninggalan Belanda juga masih terlihat. Lihatlah, bagaimana Belanda menata kota-kota di Indonesia, mulai dari taman kota landscape, irigasi, bahkan dam-nya!









Lihat saja, setiap pusat kota selalu memiliki alun-alun, yang bersanding dengan pasar, kantor pemerintahan (keraton). Perhatikan juga, bagaimana belanda membuat sistem irigasinya. Supaya air dapat terdistribusi dengan baik, mereka membuat sistem buka-tutup pada aliran sungai seperti yang tampak pada Pintu Air Manggarai.

Pintu air ini direkayasa untuk menahan air aliran sungai Ciliwung, agar kawasan elit yang berada di dataran rendah, seperti Menteng, Monas, Istana Merdeka dan lain-lain bisa terlindungi dari banjir.

Teknologi ini adalah buah ilmu Prof Dr H van Breen. Kiprah perannya saat ditugaskan oleh Departement Waterstaat memimpin Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir, secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 25 km2 (sekarang luas Jakarta 740 km2).

Penugasan itu diterimanya setelah Batavia terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa pada 1918. Peninggalan lain, tentang bagaimana Belanda saat itu memetakan banjir di Batavia, hingga memunculkan ide membikin saluran banjil kanal timur.

Yang lebih terkenal lagi adalah, Bendung Katulampa di kecamatan Katulampa, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini di bangun pada tahun 1911 dengan tujuan sebagai sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektare yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendung.









Selain hal ini, perhatikan juga bagaimana Belanda menata lingkungan. Jarak antara rumah dan jalan raya, selalu teratur, minimal 5 meter dengan dibatasi troroar untuk pedestrian. Di pinggir pedestrian itu, selalu saja ada parit untuk laluan air. Begitu semua.

Jangankan di kota besar, di kampung saya saja, Pulau Bawean Jawa Timur, juga ditata seperti ini. Bawean yang berada di tengah arus kuat dan gelombang tinggi itupun, tetap aman dari banjir air laut, karena Belanda membangun dam kecil di pesisir sebelah selatan, sekitar pantai boom Kecamatan Sangkapura.

Perhatikan juga bagaimana Belanda menghitung jarak antara bantalan rel kereta api dan bangunan di pinggirnya yang selalu berjarak 8 meter! Sehingga, bisa memberikan rasa aman baik dari polusi suara dan tentu fisik penduduk sekitarnya.

Yang lebih mencengangkan lagi, coba kita perhatikan jarak antara kota-kota di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, selalu 80 kilo meter. Mengapa? Hal ini tak lepas dari aturan belanda dulu, agar kendaraan angkut, saat itu umumnya masih kereta kuda, harus berhenti setelah menempuh jarak 80 kilo meter.

Hal ini untuk memulihkan kembali kondisi hewan dan manusianya, setelah menempuh perjalanan jauh. Dari tempat pemberhentian itulah, selanjutnya memunculkan sebuah aktivitas bisnis, semula tempat ngaso, hingga menjadi kota.









Hingga di abad moderen ini, aturan ini masih dipakai di negara-negara maju. Bahkan di Malaysia, menerapkan dengan ketat aturan ini. Saat merayap di jalan tol, bus-bus di sana harus berenti setelah mencapai kilometer 80.

Tujuannya sama, untuk merenggangkan otot, atau menghilangkan kantuk. Tak heran, setiap 80 km jalan tol di sana, selalu dibangun tempat ngaso, dan kantin makanan.

Kembali lagi soal belajar menanggulangi banjir ke Belanda, tampaknya hal tersebut tak perlu lagilah dilakukan, karena sebenarnya kita sudah mengerti bagaimana caranya. Belanda sudah mencontohkan langsung pada kita.

Masalahnya adalah, kita tak bisa merawatnya. Lihat saja, apa yang telah ditata oleh Belanda, kini rusak. Aturan dan lemahnya penegakan hukum, yang jadi pemicunya. Satu-persatu peninggalan Belanda ini, musnah. Jangankan dipelajari, menjaga dan merawat saja kita malas.

Bukan berarti saya mengagungkan penjajah, namun kalau dilihat di video-video zaman penjajahan dulu, sekitar tahun 1930-an, Jakarta yang kala itu bernama Batavia, amatlah ramah lingkungan. Sungai-sungainya bersih, jalanannya juga bagus dan asri. Mirip kota-kota di Eropa saat ini. Berbeda dengan saat ini, serba semrawut, tak teratur.

Menata kembali, itulah yang bisa kita lakukan dalam hal menangani banjir. Karena kita tak punya uang lagi untuk merogoh kocek dengan membangun sistem antibanjir seperti Prancis, Malaysia, apalagi Jepang!

Please, open mind...

Tidak ada komentar: